Eksposisi Injil Matius
oleh: Pdt. Budi
Asali MDiv.
1) Istilah ‘hukum Taurat’ mempunyai beberapa arti, yaitu:
·
10 hukum
Tuhan.
·
5 kitab
Musa, yaitu Kejadian sampai Ulangan.
·
seluruh
Perjanjian Lama.
Dalam ay 17 yang
diambil adalah arti yang ke 2 (karena di sini istilah ‘hukum Taurat’ ditambahi dengan kata-kata ‘atau
kitab para nabi’),
sedangkan dalam ay 18-19 yang diambil adalah arti yang ke 3.
Ay 17: ‘hukum Taurat atau kitab para nabi’.
Istilah yang biasanya digunakan adalah ‘hukum Taurat dan kitab para nabi’. Yesus menggunakan kata ‘atau’ untuk memberikan penekanan: ‘Aku
tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi’.
Yang Ia maksudkan dengan
hukum Taurat / Perjanjian Lama tentu bukan ajaran / penafsiran ahli-ahli Taurat
tentang Perjanjian Lama. Untuk menunjukkan betapa njlimet / rumitnya ahli-ahli
Taurat dalam menafsirkan hukum Taurat / Perjanjian Lama, bacalah apa yang
dikatakan Barclay di bawah ini.
Barclay: “The
Law lays it down that the Sabbath Day is to be kept holy, and that on it no
work is to be done. That is a great principle. But the Jewish legalists had a
passion for definition. So they asked: What is work? All kinds of things were
classified as work. For instance, to carry a burden on the Sabbath Day is to
work. But next a burden has to be defined. So the Scribal Law lays it down that
a burden is ‘food equal in weight to a dried fig, enough wine for making a
goblet, milk enough for one swallow, honey enough to put upon a wound, oil
enough to anoint a small member, water enough to moisten an eye-salve, paper
enough to write a customs house notice upon, ink enough to write two letters of
the alphabet, reed enough to make a pen’ - and so on endlessly. So they spent
endless hours arguing whether a man could or could not lift a lamp from one
place to another on the Sabbath, whether a tailor committed a sin if he went
out with a needle in his robe, whether a woman might wear a brooch or false
hair, even if a man might go out on the Sabbath with artificial teeth or an
artificial limb, if a man might lift his child on the Sabbath Day. These things
to them were the essence of religion. Their religion was a legalism of petty
rules and regulations” [= Hukum
Taurat menetapkan bahwa hari Sabat harus dikuduskan, dan bahwa pada hari itu
tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan. Itu merupakan prinsip yang besar.
Tetapi para legalist Yahudi senang mendefinisikan. Karena itu mereka bertanya:
Apakah pekerjaan itu? Semua jenis hal-hal digolongkan sebagai pekerjaan.
Misalnya, membawa beban pada hari Sabat adalah bekerja. Tetapi selanjutnya
‘beban’ itu harus didefinisikan. Maka hukum dari ahli-ahli Taurat menetapkan
bahwa ‘beban’ adalah ‘makanan yang sama beratnya dengan sebuah buah ara kering,
anggur yang cukup untuk membuat satu gelas minuman, susu yang cukup untuk satu
teguk, madu cukup untuk diberikan pada suatu luka, minyak cukup untuk mengurapi
anggota yang kecil, air cukup untuk membasahkan salep mata, kertas cukup untuk
menuliskan pemberitahuan suatu rumah cukai (?), tinta cukup untuk menuliskan 2
huruf dari alfabet, bambu cukup untuk membuat sebuah pena’, dst tanpa ada
akhirnya. Demikianlah mereka menghabiskan banyak waktu untuk berdebat apakah
seseorang boleh atau tidak boleh mengangkat sebuah lampu dari satu tempat ke
tempat lain pada hari Sabat, apakah seorang penjahit melakukan dosa jika ia
pergi keluar dengan sebuah jarum dalam jubahnya, apakah seorang perempuan boleh
memakai bros atau rambut palsu, bahkan apakah seseorang boleh pergi keluar pada
hari Sabat dengan gigi palsu atau kaki palsu, apakah seseorang boleh mengangkat
anaknya pada hari Sabat. Hal-hal ini bagi mereka merupakan inti dari agama. Agama
mereka adalah suatu legalisme yang terdiri dari peraturan-peraturan yang picik
/ remeh] - hal 128.
Barclay: “To
write was to work on the Sabbath. But writing has to be defined. So the
definition runs: ‘He who writes two letters of the alphabet with his right or
with his left hand, whether of one kind or of two kinds, if they are written
with different inks or in different languages, is guilty. Even if he should
write two letters from forgetfulness, he is guilty, whether he has written them
with ink or with paint, red chalk, vitriol, or anything which makes a permanent
mark. Also he that writes on two walls that from an angle, or on two tablets of
his account book so that they can be read together is guilty ... But, if anyone
writes with dark fluid, with fruit juice, or in the dust of the road, or in
sand, or in anything which does not make a permanent mark, he is not guilty.
... If he writes one letter on the ground, and one on the wall of the house, or
on two pages of a book, so that they cannot be read together, he is not
guilty.’ That is a typical passage from the Scribal Law; and that is what the
orthodox Jew regarded as true religion and the true service of God” [= Menulis pada hari Sabat berarti bekerja. Tetapi
‘menulis’ perlu didefinisikan. Dan demikianlah bunyi definisinya: ‘Ia yang
menulis 2 huruf dari alfabet dengan tangan kanan atau tangan kirinya, apakah
dari satu jenis atau 2 jenis, jika huruf-huruf itu ditulis dengan tinta yang
berbeda atau dalam bahasa yang berbeda, bersalah. Bahkan jika ia menulis 2
huruf karena lupa, ia bersalah, apakah ia telah menulis huruf-huruf itu dengan
tinta atau dengan cat, kapur merah, benda tajam (?), atau apapun yang membuat
tanda permanen. Juga ia yang menulis pada 2 dinding yang membentuk suatu sudut,
atau pada 2 lembaran dari buku catatan / rekeningnya sehingga huruf-huruf itu
bisa dibaca bersama-sama, ia bersalah ... Tetapi jika seseorang menulis dengan
cairan gelap, dengan air buah, atau di tanah di jalanan, atau pada pasir, atau
pada apapun yang tidak membuat tanda permanen, ia tidak bersalah. ... Jika ia
menulis satu huruf di tanah, dan satu di dinding rumah, atau pada 2 halaman
dari suatu buku, sehingga huruf-huruf itu tidak bisa dibaca bersama-sama, ia
tidak bersalah’. Itulah text yang khas dari hukum dari ahli-ahli Taurat; dan
itulah yang dianggap oleh seorang Yahudi orthodox sebagai agama dan sebagai
pelayanan yang benar kepada Allah] - hal 129.
Barclay: “To
heal was to work on the Sabbath. Obviously this has to be defined. Healing was
allowed when there was danger to life, and especially in troubles of the ear,
nose and throat; but even then, steps could be taken only to keep the patient
from becoming worse; no steps might be taken to make him get any better. So a
plain bandage might to (be ?) put on a wound, but no ointment; plain wadding
might be put into a sore ear, but not medicated wadding” (= Menyembuhkan pada hari Sabat berarti bekerja. Jelas
bahwa hal ini harus didefinisikan. Penyembuhan diijinkan pada saat ada bahaya
terhadap kehidupan, dan khususnya pada waktu ada gangguan telinga, hidung dan
tenggorokan / kerongkongan; tetapi bahkan dalam keadaan itu, hanya boleh
dilakukan langkah-langkah untuk menjaga supaya pasien itu tidak menjadi lebih
parah; tidak boleh dilakukan langkah-langkah yang membuatnya lebih baik. Jadi,
suatu perban biasa boleh diberikan pada suatu luka, tetapi tidak boleh diberi
obat / salep; kapas biasa boleh diberikan pada telinga yang sakit, tetapi kapas
dengan obat tidak boleh)
- hal 129.
Barclay: “The
Scribes were the men who worked out these rules and regulations. The Pharisees,
whose names means The Separated Ones, were the men who had separated themselves
from all the ordinary activities of life to keep all these rules and
regulations. We can see the length to which this went from the following facts.
For many generations this Scribal Law was never written down; it was the oral
law, and it was handed down in the memory of generations Scribes. In the middle
of the third century A. D. a summary of it was made and codified. That summary
is known as the Mishnah; it contains sixty-three tractates on various subjects
of the Law, and in English makes a book of almost eight hundred pages. Later
Jewish scholarship busied itself with making commentaries to explain the
Mishnah. These commentaries are known as the Talmuds. Of the Jerusalem Talmud
there are twelve printed volumes; and of the Babylonian Talmud there are sixty
printed volumes. To the strict orthodox Jew, in the time of Jesus, religion,
serving God, was a matter of keeping thousands of legalistic rules and
regulations; they regarded these petty rules and regulations as literally
matters of life and death and eternal destiny. Clearly Jesus did not mean that
not one of these rules and regulations was to pass away; repeatedly he broke
them himself; and repeatedly he condemned them; that is certainly not what
Jesus meant by the Law, for that is the kind of law that both Jesus and Paul
condemned” (= Ahli-ahli Taurat
adalah orang-orang yang menyusun peraturan-peraturan ini. Orang-orang Farisi,
yang namanya berarti ‘orang-orang yang terpisah’, adalah orang-orang yang
memisahkan diri mereka sendiri dari semua aktivitas kehidupan biasa untuk
mentaati semua peraturan-peraturan itu. Kita bisa melihat panjangnya
peraturan-peraturan itu dari fakta-fakta yang berikut ini. Selama beberapa
generasi, hukum dari ahli-ahli Taurat ini tidak pernah dituliskan; itu
merupakan hukum lisan, dan diturunkan dalam ingatan dari generasi-generasi
ahli-ahli Taurat. Pada pertengahan abad ketiga Masehi suatu ringkasan darinya
dibuat dan disusun. Ringkasan itu dikenal sebagai Mishnah; itu terdiri dari 63
traktat tentang bermacam-macam pokok hukum Taurat, dan dalam bahasa Inggris
menjadi sebuah buku yang terdiri dari hampir 800 halaman. Ahli-ahli theologia
Yahudi selanjutnya menyibukkan dirinya sendiri dengan membuat tafsiran-tafsiran
untuk menjelaskan Mishnah. Tafsiran-tafsiran ini dikenal sebagai Talmud. Talmud
Yerusalem terdiri dari 12 volume; dan Talmud Babilonia terdiri dari 60 volume.
Bagi seorang Yahudi orthodox, pada jaman Yesus, agama dan pelayanan kepada
Allah merupakan persoalan ketaatan terhadap ribuan peraturan-peraturan
legalistik; mereka menganggap peraturan-peraturan remeh / picik ini secara
hurufiah sebagai persoalan hidup atau mati dan tujuan kekal. Jelas bahwa Yesus
tidak memaksudkan bahwa tidak satupun dari peraturan-peraturan ini yang boleh
ditiadakan; berulangkali Ia sendiri melanggar mereka; dan berulangkali Ia
mengecam mereka; jelas bukan itu yang Yesus maksudkan dengan hukum Taurat,
karena itu adalah jenis hukum Taurat yang dikecam oleh Yesus dan Paulus) - hal 129-130.
2) Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat /
Perjanjian Lama.
a) Kata-kata ‘jangan kamu menyangka’ (ay 17) menunjukkan bahwa ada orang-orang yang
menganggap bahwa Tuhan Yesus membatalkan Perjanjian Lama. Mengapa banyak orang
beranggapan demikian?
1. Karena Ia mengajarkan ‘ajaran yang
baru’ dan mengajarkannya dengan cara yang berbeda.
·
Mark 1:22,27
- “Mereka takjub mendengar pengajaranNya,
sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli
Taurat. ... Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya:
‘Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahatpun
diperintahNya dan mereka taat kepadaNya.’”.
·
Kis 6:14
- “sebab kami telah mendengar dia
mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah
adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.’”.
·
Kis 21:21
- “Tetapi mereka mendengar tentang
engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara
bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan,
supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat
istiadat kita”.
Memang dalam ayat terakhir ini tuduhan
itu diberikan kepada Paulus, tetapi Paulus jelas mendapatkan ajarannya dari
Yesus.
2. Dalam mengajar, biasanya ahli-ahli
Taurat mengajar dengan berkata: ‘Musa
berkata: ...’ (bdk.
Mat 19:7 22:24 23:2 Yoh 5:45,46
8:5 9:28,29). Tetapi pada
waktu Yesus mengajar, Ia berkata: ‘Aku
berkata: ...’ (Mat
5:18,20,22 dst).
3. Kristus sendiri juga kelihatan
berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, karena Ia sendiri
bukanlah seorang ahli Taurat maupun orang Farisi. Ia tidak pernah belajar dalam
sekolah mereka.
Yoh 7:15 - “Maka heranlah orang-orang Yahudi dan berkata:
‘Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!’”.
Ini tentu tidak berarti bahwa Yesus
tidak pernah belajar Firman Tuhan. Ini hanya berarti bahwa Ia tidak pernah
belajar di ‘sekolah theologia’ dari ahli-ahli Taurat.
b) Tuhan Yesus dengan jelas membantah
anggapan tersebut, dan Ia berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan
Perjanjian Lama (ay 17), dan bahwa tidak ada satu bagian kecilpun dari
Perjanjian Lama yang boleh dibuang (ay 18).
Ay 17-18: “‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan
hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya,
melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama
belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak
akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”.
1. ‘meniadakan’.
Barnes (hal 22) mengatakan bahwa
kata ini maksudnya adalah: ‘abrogate’ (= membatalkan / mencabut), ‘to
deny their divine authority’ (= menyangkal otoritas ilahinya), ‘to set
men free from the obligation to obey them’ (= membebaskan manusia dari
kewajiban untuk mentaatinya).
2. ‘Iota’ merupakan huruf terkecil dalam abjad
Yunani (i); dan dalam bahasa Ibrani mungkin ini analog dengan huruf Yod (y).
Perlu diingat bahwa perbedaan kecil
dalam penulisan bisa menjadi perbedaan besar dalam artinya.
Illustrasi: sepasang suami istri bertengkar. Lalu
si suami merasa bersalah dan ingin berdamai. Ia lalu pergi ke toko bunga dan
meminta toko itu mengirimkannya kepada istrinya. Ia juga meminta supaya bunga
itu disertai sebuah kartu atas namanya disertai dengan ucapan: ‘I am sorry,
I love you’ (= Maafkan aku, aku cinta kepadamu). Tetapi toko bunga itu
kurang teliti, dan menghapuskan koma di tengah-tengah kalimat itu sehingga yang
tertulis adalah kata-kata ‘I am sorry I love you’ (= Aku menyesal aku
mencintai kamu).
Lebih-lebih dalam bahasa Ibrani ada
banyak huruf yang bentuknya mirip, dan perbedaan titik atau coretan kecil, bisa
menyebabkan perbedaan yang sangat besar.
3. ‘selama
belum lenyap langit dan bumi ini’ (ay 18).
Pulpit Commentary mengatakan (hal 156)
bahwa kata-kata ini tidak berarti bahwa pada saat langit dan bumi berlalu maka
hukum Taurat dibuang.
Bdk. Luk 16:17 - “Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik
dari hukum Taurat batal”.
Tetapi Hendriksen mempunyai pandangan
yang berbeda. Ia mengatakan (hal 292) bahwa di dunia yang akan datang itu tidak
ada lagi Kitab Suci (Perjanjian Lama + Perjanjian Baru).
William Hendriksen: “In
the new heaven and earth ‘the law’ as a written book will no longer be
necessary. In fact, the written Bible - Old and New Testament - will have
become superfluous” (= Dalam
langit dan bumi yang baru, hukum Taurat sebagai buku tertulis tidak lagi
diperlukan. Bahkan, Alkitab tertulis - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru -
akan menjadi berlebihan / tidak dibutuhkan) - hal 292.
c) Bukti-bukti bahwa Tuhan Yesus tidak
meniadakan Perjanjian Lama:
·
Yesus
mempelajari Perjanjian Lama (Luk 2:46).
·
Yesus
menggunakan Perjanjian Lama untuk melawan pencobaan / godaan setan
(Mat 4:4,7,10), dan Ia mengutip Perjanjian Lama pada waktu mengajar. Ini
menunjukkan bahwa Ia menghafalkan Perjanjian Lama.
·
Yesus
menyuruh orang mentaati Perjanjian Lama (Mat 8:4 bdk. Im 14:1-32).
·
Yesus
sendiri mentaati Perjanjian Lama, misalnya: Ia berbakti, ikut merayakan hari
raya Perjanjian Lama, dan sebagainya.
d) Yesus sejalan dengan Paulus dalam
persoalan ini.
Kata-kata Yesus dalam ay 17-18 ini
sejalan dengan kata-kata Paulus dalam Ro 3:31 - “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat
karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya”.
Dalam Kitab Suci memang ada ayat-ayat
yang menunjukkan seakan-akan Paulus bertentangan dengan hukum Taurat (bdk.
Kis 15:1-2 Gal 3:1-5 Gal 5:1-6), tetapi ayat-ayat itu
tidak menunjukkan bahwa ia menentang Perjanjian Lama / hukum Taurat, tetapi
bahwa ia menentang keselamatan melalui ketaatan terhadap hukum Taurat.
e) Pembahasan ayat-ayat Kitab Suci
yang seolah-olah menunjukkan bahwa hukum Taurat sudah tidak berlaku.
1. Luk 16:16a - “Hukum Taurat
dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes”.
Penjelasan: Ayat ini salah terjemahan! Kata ‘berlaku’ sebetulnya tidak ada! Memang dengan demikian kelihatannya ada
yang kurang dalam kalimatnya, dan kekurangan itu harus disuplai. Tetapi Kitab
Suci Inggris menyuplai dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Kitab Suci
Indonesia.
KJV/RSV: ‘The law and the prophets were
until John’ (= Hukum Taurat
dan nabi-nabi ada sampai Yohanes).
NIV/NASB: ‘The Law and the Prophets were
proclaimed until John’ (= Hukum Taurat
dan Nabi-nabi diberitakan sampai Yohanes).
Bandingkan juga dengan ayat
pararelnya dalam Mat 11:13 - “Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga
tampilnya Yohanes”.
Arti ayat itu: Yohanes
Pembaptis membuka suatu jaman yang baru. Tetapi sama sekali tidak berarti bahwa
Perjanjian Lama dihapuskan.
2. Ro 10:4 - “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat,
sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya”.
KJV: ‘Christ is the end of the Law’ (= Kristus adalah akhir dari hukum
Taurat).
Ini menyebabkan
kelihatannya Hukum Taurat / Perjanjian Lama tidak berlaku lagi sejak kedatangan
Kristus.
Penjelasan: ada 2 cara penafsiran:
·
Kata yang
diterjemahkan ‘the end’ (= akhir)
seharusnya berarti ‘sesuatu yang menyempurnakan’. Jadi, artinya: ketaatan /
kebenaran yang sempurna dicapai dengan iman dalam Kristus (baca
Ro 10:1-4).
·
Hendriksen
mengatakan (hal 342, footnote) bahwa kata ‘end’ di sini tidak boleh
diartikan ‘akhir’ (karena akan bertentangan dengan Ro 3:31 Ro 5:20 Ro 7:7), tetapi harus diartikan ‘tujuan’.
Bdk. Gal 3:24 - “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai
Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman”.
Bagaimanapun juga, ayat ini
tidak berarti bahwa Perjanjian Lama dihapuskan sejak Kristus datang.
3. Ef 2:15 - “sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah
mem-batalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk
menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu
mengadakan damai sejahtera”.
Kita tidak boleh
menafsirkan bahwa ayat ini mengajarkan bahwa seluruh hukum Taurat dibatalkan,
karena kalau demikian maka penafsiran tersebut akan bertentangan dengan
kata-kata Yesus dalam Mat 5:17-18 yang sedang kita bahas ini. Yang
dibatalkan di sini hanyalah ‘ceremonial
Law’ (= hukum-hukum yang berhubungan dengan upacara kebaktian / keagamaan).
Contoh: sunat, persembahan korban untuk menghapus dosa, larangan makan,
persoalan najis / tahir dan sebagainya.
Semua hal-hal ini (ceremonial
law) dihapuskan pelaksanaannya saja, tetapi arti / maknanya makin
diteguhkan. Misalnya: sejak Kristus mati di salib, kita tidak perlu lagi
mengorbankan binatang untuk menghapuskan dosa, tetapi arti dari persembahan
korban dalam Perjanjian Lama itu tetap berlaku (tidak ada pengampunan tanpa
pencurahan darah - bdk. Ibr 9:22).
Calvin: “With
respect to doctrine, we must not imagine that the coming of Christ has
freed us from the authority of the law: for it is the eternal rule of a devout
and holy life, ... With respect to ceremonies, there is some appearance
of a change having taken place; but it was only the use of them that was
abolished, for their meaning was more fully confirmed. ... Let us therefore
learn to maintain inviolable this sacred tie between the law and the Gospel,
which many improperly attempt to break” (= Berkenaan dengan doktrin, kita tidak boleh
membayangkan bahwa kedatangan Kristus telah membebaskan kita dari otoritas
hukum Taurat: karena itu merupakan peraturan kekal dari kehidupan yang saleh /
taat dan kudus, ... Berkenaan dengan upacara-upacara, kelihatannya telah
terjadi perubahan; tetapi hanya penggunaan mereka yang dihapuskan, karena
arti mereka bahkan makin diteguhkan. ... Karena itu hendaklah kita belajar
untuk menjaga supaya hubungan yang kudus antara hukum Taurat dan Injil tidak
diganggu gugat, yang merupakan sesuatu yang diusahakan untuk dihancurkan oleh
banyak orang) - hal
277-278.
Calvin: “But
it is asked, were not ceremonies among the commandments of God, the least of
which we are now required to observe? I answer, We must look to the design and
object of the Legislator. God enjoined ceremonies, that their outward use might
be temporal, and their meaning eternal. That man does not break ceremonies, who
omits what is shadowy, but retains its effect” (= Tetapi ditanyakan, bukankah upacara termasuk di
antara perintah-perintah Allah, yang harus kita taati sampai bagian yang
terkecil? Saya menjawab: Kita harus melihat rencana dan tujuan dari pembuat
hukum / undang-undang. Allah memerintahkan upacara, supaya penggunaan lahiriah
mereka hanya bersifat sementara, tetapi artinya bersifat kekal. Seseorang tidak
melanggar upacara, kalau ia menghapuskan apa yang bersifat bayangan, tetapi
mempertahankan artinya)
- hal 279-280.
Catatan: hal lain yang mendukung penghapusan ceremonial
law adalah sobeknya tirai Bait Allah pada saat Tuhan Yesus mati (Mat
27:51). Dengan ini seluruh Bait Allah beserta imam-imam dan korban-korban telah
dihapuskan.
3) Tuhan
Yesus datang untuk menggenapi Perjanjian Lama (ay 17b).
Apa artinya ‘menggenapi’?
a) Mentaatinya dengan sempurna.
Mat 3:15 - “Lalu Yesus menjawab, kataNya kepadanya: ‘Biarlah hal itu
terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh
kehendak Allah.’ Dan Yohanespun menurutiNya”.
Jelas bahwa di sini kata
‘menggenapkan’ berarti ‘mentaati’. Arti ini bisa diambil untuk Mat 5:17b ini.
Jadi Tuhan Yesus menggenapi Perjanjian Lama dengan mentaatinya.
Gal 4:4 - “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus
AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat”.
KJV: ‘made
under the law’ (= dibuat di bawah hukum Taurat).
Terjemahan hurufiahnya adalah ‘becoming
under law’ (= menjadi di bawah hukum Taurat).
b) Menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian
Lama (bdk. Mat 1:22
Mat 2:15
Mat 4:14), dan menggenapi bagian-bagian Perjanjian Lama yang
merupakan type / bayangan Tuhan Yesus seperti: imam, korban penghapus dosa dan
sebagainya.
c) Mati disalib untuk memikul hukuman
dosa-dosa manusia.
D. Martyn Lloyd-Jones: “One
of the ways in which the law has to be fulfilled is that its punishment of sin
must be carried out. This punishment is death, and that was why He died” (= Salah satu cara dalam mana hukum Taurat harus
digenapi adalah bahwa hukuman dari dosa harus dilaksanakan. Hukuman ini adalah
kematian, dan itulah sebabnya mengapa Ia mati) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 192.
d) Dr. Knox Chamblin mengatakan bahwa
dalam kata ‘menggenapi’ ini tercakup juga arti ‘to fill up’ (= memenuhi
/ mengisi sampai penuh), atau ‘to complete’ (= melengkapi).
e) Ada juga orang yang mengatakan
bahwa kata ‘menggenapi’ itu bisa diartikan ‘mengajar’.
D. Martyn Lloyd-Jones: “Our
Lord Jesus Christ in these two verses confirms the whole of the Old Testament.
He puts His seal of authority, His imprimatur, upon the whole of the Old
Testament canon, the whole of the law and the prophets. ... To the Lord Jesus
Christ the Old Testament was the Word of God; it was Scripture; it was
something absolutely unique and apart; it had authority which nothing else has
ever possessed nor can possess”
(= Tuhan kita Yesus Kristus dalam kedua ayat ini meneguhkan seluruh Perjanjian
Lama. Ia memberikan meterai otoritasNya, persetujuanNya, pada seluruh kanon
Perjanjian Lama, seluruh kitab / hukum Taurat dan nabi-nabi. ... Bagi Tuhan
Yesus Kristus, Perjanjian Lama adalah Firman Allah; itu adalah Kitab Suci; itu
merupakan sesuatu yang secara mutlak unik dan terpisah; itu mempunyai otoritas
yang tidak pernah dipunyai dan tidak akan dipunyai oleh apapun yang lain) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 187.
1) Kita tidak boleh meniadakan bagian
yang bagaimanapun kecilnya dari Perjanjian Lama (ay 19).
Kalau Yesus sendiri tidak
meniadakan Perjanjian Lama, bahkan bagian yang terkecil sekalipun, maka kita
harus meneladani Dia dalam hal tersebut.
a) ‘meniadakan’ (ay 19).
KJV: ‘break’
(= melanggar).
RSV: ‘relaxes’
(= mengendurkan / mengurangi).
NIV: ‘breaks’
(= melanggar).
NASB: ‘annuls’
(= membatalkan).
Pulpit Commentary
mengatakan (hal 157) bahwa arti dari kata Yunaninya bukan sekedar ‘melanggar’
tetapi ‘abrogate’ (= mencabut, membatalkan).
b) ‘sekalipun
yang paling kecil’ (ay 19).
1. Ini menunjukkan bahwa Firman Tuhan tidak semua sama
penting.
Hendriksen mengatakan (hal 292) bahwa
sekalipun ajaran Kristus jauh berbeda dibandingkan dengan ajaran ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, yang ia anggap sebagai ‘membelah rambut’, tetapi
Ia jelas juga menganggap adanya hukum yang lebih penting dari pada hukum yang
lain. Dasar Kitab Suci untuk pandangan ini:
·
kata-kata
‘sekalipun yang paling kecil’ dalam ay 19 ini.
·
Mat 22:36-40
- “‘Guru, hukum manakah yang terutama
dalam hukum Taurat?’ Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada
kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
·
Mat 23:23
- “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari
selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam
hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan.
Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”.
·
1Kor 15:3-4
- “Sebab yang sangat penting telah
kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga,
sesuai dengan Kitab Suci”.
William Hendriksen: “Not
every commandment of that law is of equal significance. The rabbis divided the
law into 613 commandments. They considered 248 of these to be positive, 365
negative. They carried on lengthy debates about heavier and lighter
commandments. Some rabbis considered Deut. 22:6 (‘You shall not carry off the
mother-bird together with her young’) to be the ‘lightest’ (least significance)
of them all. As to the heaviest or greatest of all commandments, the question
as to its identity was answered by a scribe (Luke 10:27). That Jesus agrees
with him is clear from his response (Luke 10:28; cf. Matt. 22:34-40; Mark
12:28-34)” [= Tidak setiap
perintah dari hukum Taurat mempunyai arti yang setara. Rabi-rabi membagi hukum
Taurat menjadi 613 perintah. Mereka menganggap 248 darinya sebagai perintah
positif, 365 perintah negatif. Mereka mengadakan perdebatan panjang lebar
tentang perintah yang lebih berat dan yang lebih ringan. Beberapa rabi
menganggap Ul 22:6 (“janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama
dengan anak-anaknya”) sebagai yang paling ringan (paling tidak penting /
berarti) dari semua. Sedangkan tentang yang terberat atau terbesar dari semua
perintah, pertanyaan berkenaan dengan identitasnya dijawab oleh seorang ahli
Taurat (Luk 10:27). Bahwa Yesus setuju dengan dia terlihat dengan jelas dari
tanggapan-Nya (Luk 10:28; bdk. Mat 22:34-40; Mark 12:28-34)] - hal 292.
Ul 22:6-7 - “Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah
satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya,
dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka
janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya.
Setidak-tidaknya induk itu haruslah kaulepaskan, tetapi anak-anaknya boleh
kauambil. Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu”.
Catatan: saya berpendapat bahwa Hendriksen
salah dalam menggunakan ayat, karena:
·
Luk 10
itu tidak mempersoalkan hukum yang terutama, lihat mulai ay 25.
Luk 10:25-28 - “Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk
mencobai Yesus, katanya: ‘Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup
yang kekal?’ Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa
yang kaubaca di sana?’ Jawab orang itu: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan
dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.’ Kata Yesus kepadanya: ‘Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka
engkau akan hidup.’”.
·
Mat 22:34-40
/ Mark 12:28-34 memang mempersoalkan hukum yang terutama, tetapi
Luk 10:25-28 tidak, karena Luk 10:25-28 tidak paralel dengan
Mat 22:34-40 / Mark 12:28-34 (tetapi Matius dan Markus memang
paralel), karena:
*
Dalam
Lukas, pertanyaan dari ahli Taurat itu berbeda, karena yang ia tanyakan adalah
apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal (Luk 10:25), dan
ahli Taurat itu sendirilah yang mengucapkan hukum kasih itu. Sedangkan dalam
Matius / Markus, Yesuslah yang mengucapkan hukum kasih itu.
Mat 22:34-40 - “Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah
membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka dan seorang dari
mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: ‘Guru, hukum
manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ Jawab Yesus kepadanya:
‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi.’”.
Mark 12:28-34 - “Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan
orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat
kepada orang-orang itu, datang kepadaNya dan bertanya: ‘Hukum manakah yang
paling utama?’ Jawab Yesus: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai
orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada
kedua hukum ini.’ Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: ‘Tepat sekali, Guru,
benar kataMu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.
Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan
dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri
adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.’
Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata
kepadanya: ‘Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!’ Dan seorangpun tidak berani
lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus”.
*
Dalam
Lukas, ahli Taurat itu tegar tengkuk (Luk 10:29). Ini berbeda dengan
gambaran yang diberikan oleh Markus (Mark 12:32-34).
*
Dalam
Lukas ada cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Luk 10:30-37),
sedangkan dalam Matius / Markus tidak.
2. Sekalipun hukum yang satu tidak
sama pentingnya dengan hukum yang lain, tetapi yang paling tidak pentingpun
tetap tidak boleh dibuang / diabaikan.
Pulpit Commentary: “While the Jews distinguished
carefully between small and great precepts, they insisted on the importance of
keeping even the smallest” (= Sementara orang-orang Yahudi membedakan secara
hati-hati antara perintah / aturan yang kecil dan yang besar, mereka tetap
menekankan pentingnya ketaatan pada yang terkecil) - hal 157.
Calvin menggunakan bagian ini untuk
menyerang Gereja Roma Katolik, yang mengatakan bahwa ada dosa remeh (venial
sin). Dulu dikatakan bahwa venial sin ini tidak diakuipun
tidak apa-apa. Bagaimana dengan ajaran Gereja Roma Katolik sekarang?
Apakah mereka berubah? Dalam ‘Catechism of the Catholic Church’ 1992,
dikatakan (No 1458):
“Without being strictly necessary, confession of
everyday faults (venial sins) is nevertheless strongly recommended by
the Church” [= Tanpa
mengatakan bahwa ini diharuskan secara ketat, bagaimanapun pengakuan dari
kesalahan-kesalahan setiap hari (dosa-dosa remeh / ringan) dianjurkan secara
kuat oleh Gereja].
Jadi dalam hal ini kelihatannya tidak
terlalu ada perubahan, karena mereka hanya menganjurkan secara kuat,
tetapi tidak mengharuskan secara ketat, untuk melakukan pengakuan dosa
terhadap dosa-dosa ringan / remeh.
Saya setuju dengan Calvin bahwa ini
jelas merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kata-kata Yesus di sini. Jadi,
sekalipun memang hukum yang ‘ringan’ dan dosa yang ‘kecil’ itu memang ada,
tetapi kita tetap tidak boleh melanggar hukum yang ringan atau membiarkan dosa
yang kecil.
Renungkan: dosa apa yang saudara anggap remeh
dan saudara biarkan dalam hidup saudara? Hukum yang mana yang saudara abaikan
dalam hidup saudara? Bertobatlah dari sikap seperti itu!
Jadi dari ay 19 ini
terlihat bahwa kita tidak boleh meniadakan bagian manapun dalam Perjanjian
Lama. Kita harus menerima dan menghormati seluruh Perjanjian Lama.
Penerapan:
Apakah saudara hanya senang
membaca / mempelajari Perjanjian Baru? Ini sama dengan meniadakan seluruh
Perjanjian Lama!
Pulpit Commentary: “The
Christian, while he loves the New Testament with all his heart, must not
depreciate the Old” (= Orang
kristen, sementara ia mengasihi Perjanjian Baru dengan segenap hatinya, tidak
boleh merendahkan / meremehkan Perjanjian Lama) - hal 176.
D. Martyn Lloyd-Jones: “We
must never drive a wedge between the Old Testament and the New. We must never
feel that the New makes the Old unnecessary. I feel increasingly that it is
very regrettable that the New Testament should ever have been printed alone,
because we tend to fall into the serious error of thinking that, because we are
Christians, we do not need the Old Testament” (= Kita tidak pernah boleh memecah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Kita tidak pernah boleh merasa bahwa Perjanjian Baru membuat
Perjanjian Lama tidak perlu. Saya makin lama makin merasa bahwa merupakan
sesuatu yang sangat disesalkan bahwa Perjanjian Baru dicetak sendirian, karena
kita cenderung untuk jatuh ke dalam kesalahan yang serius untuk berpikir bahwa
karena kita adalah orang-orang kristen, kita tidak membutuhkan Perjanjian Lama) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 191.
2) Kita harus mentaati dan mengajarkan
/ memberitakan Perjanjian Lama.
Ay 19b: ‘siapa yang melakukan dan mengajarkan’.
a) Hubungan antara ‘melakukan / mentaati’ dan ‘mengajarkan’.
Ada orang yang mau mentaati tetapi
tidak mau menyebarkannya. Ada juga yang sebaliknya, mau mengajarkannya, tetapi
ia sendiri tidak melakukannya. Yesus menghendaki keduanya.
A. T. Robertson: “Jesus puts practice before
preaching. The teacher must apply the doctrine to himself before he is
qualified to teach others” (= Yesus meletakkan praktek
sebelum pengajaran. Sang guru harus menerapkan ajaran kepada dirinya
sendiri sebelum ia memenuhi syarat untuk mengajar orang lain) - ‘Word
Pictures in the New Testament’, vol I, hal 43.
Perhatikan bahwa ia menggunakan kata ‘apply’ (=
menerapkan). Saya
setuju dengan kata ‘menerapkan’, tetapi kalau kata itu diganti dengan ‘mentaati’, saya tidak setuju. Saya tidak setuju, tidak peduli betapa
populernya pandangan yang mengatakan bahwa seorang pendeta / pengkhotbah harus
mentaati dulu baru boleh mengajar. Mengapa? Karena kalau pengkhotbah hanya
boleh mengajarkan apa yang sudah bisa ia taati, maka sedikit sekali dari Kitab
Suci yang bisa dia ajarkan. Jarang sekali, kalau ada, orang yang bisa mentaati
ayat-ayat seperti Mat 22:37
Mat 5:28
Mat 5:39,44 Fil 4:4 1Tes 5:18 dsb. Kalau demikian
apakah ayat-ayat ini tidak boleh diajarkan? Ini akan bertentangan dengan
ay 19a, yang mengecam orang yang tidak mengajarkan semua / seluruh
hukum Taurat. Juga, kalau kita melihat seorang dokter terkena flu, kita tidak
akan berkata bahwa dokter itu tidak boleh mengobati orang yang sakit flu. Kalau
kita melihat seorang montir mobilnya mogok, kita tidak akan mengatakan bahwa
montir itu tidak boleh membetulkan mobil. Lalu mengapa kalau ada seorang
pendeta yang tidak bisa melakukan ajarannya kita berkata bahwa ia tidak boleh
memberitakan ajaran tersebut?
Lain lagi ceritanya kalau si
pengkhotbah itu memang tidak berkeinginan untuk melakukan apa yang ia ajarkan.
Ini tentu merupakan suatu kemunafikan.
Tetapi dari sudut saudara sebagai
jemaat / pendengar, apakah pendeta / pengkhotbah itu mentaati ajarannya sendiri
atau tidak, saudara tetap harus mendengar dan taat, tentu saja selama ajarannya
itu benar.
Bdk. Mat 23:1-3 - “Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada
murid-muridNya, kataNya: ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah
menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang
mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan
mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”.
Kalau pendeta / pengkhotbah itu tidak
mentaati ajarannya sendiri, itu urusan dia dengan Tuhan, tetapi kalau saudara
ikut-ikutan tidak taat, saudarapun akan berurusan dengan Tuhan. Jadi tetaplah
taat, tak peduli pendeta / pengkhotbahnya taat atau tidak!
b) Keharusan mentaati Perjanjian Lama.
Misalnya:
·
tentang
persembahan persepuluhan! Tidak pernah ada ayat yang menghapuskan persembahan
persepuluhan ini! Ada orang yang menggunakan 2Kor 9:7 sebagai dasar untuk
menghapuskan persembahan persepuluhan, tetapi ini salah, karena ayat ini
berbicara tentang persembahan sukarela, bukan tentang persembahan persepuluhan!
·
tentang
peraturan Sabat (tidak boleh bekerja / mempekerjakan orang, dan harus
berbakti). Ini juga tidak pernah dihapuskan. Entah berdasarkan apa orang-orang
tertentu mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru peraturan / hukum Sabat sudah
dihapuskan!
Ay 19 ini perlu dicamkan setiap
kali saudara meremehkan suatu dosa dan membiarkannya ada dalam hidup saudara.
Itu sama dengan meniadakan / tidak melakukan salah satu Firman Tuhan. Misalnya:
Ø dusta. Bdk. Kel 20:16 - “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”.
Ø iri hati. Bdk. Kel 20:17 - “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini
isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau
keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.’”.
Ø menyebarkan gossip.
Amsal 10:12 - “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih
menutupi segala pelanggaran”.
Amsal 17:9 - “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih,
tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib”.
Hati-hati dengan dosa ini, dan jangan
memberi alasan / dalih: ‘Oh, itu keluar dengan sendirinya’. Atau: ‘Oh, saya
tidak bermaksud begitu’. Atau: ‘Oh, aku maunya cuma sharing’. Semua
penggossip begitu. Tidak ada penggosip yang memulai gossipnya dengan berkata:
‘Eh dengarkan, saya mau menceritakan suatu gossip. ...’.
3) Resiko kalau melanggar hal-hal di
atas dan pahala kalau mentaati hal-hal di atas (ay 19).
Resiko bagi yang melanggar:
menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga (ay 19).
Pahala bagi yang mentaati: menduduki
tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga (ay 19).
Ada 2 hal yang ingin
saya bahas di sini:
a) Istilah ‘Kerajaan Surga’ menunjuk
kepada apa?
·
Calvin
menganggap bahwa istilah ‘Kerajaan Sorga’ menunjuk kepada Gereja, sama seperti
penggunaan istilah itu dalam Luk 7:28 - “Aku
berkata kepadamu: Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada
seorangpun yang lebih besar dari pada Yohanes, namun yang terkecil dalam Kerajaan
Allah lebih besar dari padanya.’”.
Catatan: kalau Matius menggunakan istilah ‘Kerajaan Sorga’ maka Lukas menggunakan istilah ‘Kerajaan Allah’. Tetapi kedua istilah ini artinya sama.
·
Tetapi
penafsir yang lain pada umumnya menganggap bahwa istilah ini menunjuk baik
kepada ‘Gereja’, maupun kepada ‘surga’.
William Hendriksen: “As
Scripture confirms, this principle holds with respect to Christ’s rule both on
earth (cf. Matt. 18:1-4) and in heaven. It is true now and will apply also in
the day of judgment and afterward”
[= Seperti diteguhkan oleh Kitab Suci, prinsip ini berlaku berkenaan dengan
pemerintahan Kristus baik di bumi (bdk. Mat 18:1-4) dan di surga. Itu benar
pada saat ini, dan akan berlaku juga pada hari penghakiman dan setelahnya] - hal 292-293.
Mat 18:1-4 - “Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus
dan bertanya: ‘Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?’ Maka Yesus
memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu
berkata: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan
menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak
kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”.
Catatan: mungkin ia menggunakan
Mat 18:1-4 ini, karena karena para murid jelas sudah masuk dalam ‘Gereja’,
sehingga yang dimaksudkan oleh Yesus dengan ‘tidak
akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga’
adalah ‘tidak masuk ke surga’.
Matthew Poole: “that
man shall have a great renown and reputation in the church, which is the
kingdom of heaven upon earth, and shall have a great reward in the kingdom of
glory hereafter” (= orang itu
akan mendapatkan kemasyhuran dan reputasi yang besar dalam gereja, yang adalah
kerajaan surga di bumi, dan akan mendapatkan upah / pahala yang besar dalam kerajaan
kemuliaan setelahnya / di alam baka) - hal 23.
Saya lebih setuju dengan penafsiran
yang kedua. Jadi sekalipun masuk surga itu hanya tergantung iman kepada
Kristus, tetapi tinggi rendahnya tingkat di surga, atau besar kecilnya pahala
di surga, tergantung dari kehidupan kita, dan khususnya tergantung dari sikap
kita terhadap Firman Tuhan.
b) Apa artinya ‘menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan
Surga’?
·
Clarke
menafsirkan kata-kata ini sebagai:
“shall have no place in the kingdom of
Christ here, nor in the kingdom of glory above” (= tidak akan mendapatkan tempat dalam kerajaan Kristus
di sini ataupun dalam kerajaan kemuliaan di atas) - hal 70.
Bdk. Wah 22:18-19 - “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar
perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu
kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya
malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang
mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah
akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang
tertulis di dalam kitab ini.’”.
·
Pulpit
Commentary (hal 157) mengutip pendapat Agustinus tentang bagian ini dimana ia
mengatakan bahwa orang-orang ini bukannya tidak masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
tetapi menduduki tempat terendah.
Saya lebih condong pada pandangan kedua
ini.
Jadi, sikap kita terhadap Firman Tuhan
mempengaruhi / menentukan tinggi rendahnya tempat di surga. Dengan kata lain,
itu mempengaruhi / menentukan kemuliaan kita di hadapan Allah. Ini sesuai
dengan Kis 17:11 - “Orang-orang
Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di
Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan
setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu
benar demikian”.
KJV/RSV: ‘more noble’ (= lebih mulia).
NIV: ‘more noble character’ (= karakter yang lebih mulia).
NASB: ‘more noble-minded’ (= mempunyai pikiran yang lebih mulia).
Jadi, orang yang mempunyai sikap yang
benar terhadap Firman Tuhan dianggap lebih mulia oleh Tuhan, dan karena itu
nanti pasti juga akan mendapat tempat yang lebih mulia di surga.
Hal-hal lain yang mempengaruhi
kemuliaan seseorang di hadapan Allah adalah:
1. Doa, yang merupakan ketaatan
terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk berdoa.
Bdk. 1Taw 4:9-10 - “Yabes lebih dimuliakan dari pada
saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: ‘Aku
telah melahirkan dia dengan kesakitan.’ (10) Yabes berseru kepada Allah
Israel, katanya: ‘Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan
memperluas daerahku, dan kiranya tanganMu menyertai aku, dan melindungi aku
dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!’ Dan Allah mengabulkan
permintaannya itu”.
2. Pelayanan, yang merupakan ketaatan
terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk melayani. Bandingkan dengan
ayat-ayat di bawah ini:
·
Mat 20:26-27
- “Tidaklah demikian di antara kamu.
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hambamu”.
·
Mat 24:46-47
- “Berbahagialah hamba, yang didapati
tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya”.
·
Mat
25:14-23 - perumpamaan tentang talenta.
·
Luk
19:12-19 - perumpamaan tentang uang mina.
1) Yesus bertentangan dengan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi.
Ay 20 ini bukan hanya menunjukkan
bahwa Yesus menentang kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi
juga bahwa Ia ‘menghakimi’ ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Karena itu
jelaslah bahwa ‘larangan menghakimi’ dalam Mat 7:1-2 tidak boleh diartikan
seakan-akan kita tidak boleh mengecam / menyatakan kesalahan / kesesatan dari
orang / gereja tertentu. Bdk. Yoh 7:24.
D. Martyn Lloyd-Jones: “The
second proposition, which he lays down in verses 19 and 20, is that this
teaching of His which is in such harmony with the Old Testament is in complete
disharmony with, and an utter contradiction of, the teaching of the Pharisees
and scribes” (= Hal yang kedua
yang Ia berikan dalam ay 19 dan 20, adalah bahwa ajaranNya ini, yang begitu
sesuai dengan Perjanjian Lama, sepenuhnya tidak sesuai dengan, dan sama sekali
bertentangan dengan, ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 181.
D. Martyn Lloyd-Jones: “our
Lord was not content with making positive statements only; He made negative
ones also. He was not content with just stating His doctrine. He also
criticized other doctrines. ... Many, alas, seem to object in these days to
negative teaching. ‘Let us have positive teaching’, they say. ‘You need not
criticize other views.’ But our Lord definitely did criticize the teaching of
the Pharisee and scribes. ... And it is essential, of course, that we should do
the same” (= Tuhan kita tidak
puas dengan memberikan pernyataan yang positif saja; Ia juga memberikan
pernyataan yang negatif. Ia tidak puas dengan hanya menyatakan ajaran /
doktrinNya. Ia juga mengkritik ajaran / doktrin yang lain. ... Pada jaman ini
kelihatannya ada banyak orang keberatan dengan pengajaran yang negatif.
‘Baiklah kita mempunyai pengajaran yang positif’, kata mereka. ‘Engkau tidak
perlu mengkritik pandangan-pandangan yang lain’. Tetapi Tuhan kita jelas
mengkritik ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. ... Dan tentu
saja merupakan sesuatu yang penting bahwa kita melakukan hal yang sama) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 181,182.
D. Martyn Lloyd-Jones: “We
are talking about ęcumenicity, and the argument is put forward that, because of
a certain common danger, it is not the time to be arguing about points of
doctrine; rather we should all be friendly and pull together. Not at all,
according to our Lord. The fact that the Roman Catholic and Greek Orthodox
Churches are called Christian is no reason why we should not expose the
corruptness and the dangerous errors of their systems” (= Kami berbicara tentang oikumene, dan diajukan suatu
argumentasi bahwa karena suatu bahaya umum tertentu, ini bukanlah waktu untuk
berdebat tentang doktrin; sebaliknya kita semua harus bersahabat dan bekerja
sama. Menurut Tuhan kita sama sekali tidak demikian. Fakta bahwa Gereja-gereja
Roma Katolik dan Orthodox Yunani disebut Kristen bukanlah alasan mengapa kita
tidak boleh menyingkapkan keburukan dan kesalahan-kesalahan yang berbahaya dari
ajaran mereka) - ‘Studies
in the Sermon on the Mount’, hal 182.
Catatan: Ia menyebutkan
Gereja Roma Katolik dan Gereja Orthodox Yunani sebagai contoh. Tentu saja ada
lebih banyak contoh, apalagi pada jaman ini, seperti: Saksi Yehovah, Mormon
(Gereja Yesus Kristus dari orang-orang suci jaman akhir), Liberalisme, Gereja
Orthodox Syrianya Bambang Noorsena / Jusuf Roni, Penginjilan terhadap orang
matinya Andereas Samudera, dan yang sekarang sedang ‘naik daun’, yaitu Pdt.
Yesaya Pariadji dari GBI Tiberias. Dari kesaksiannya jelas terlihat bahwa ia
menganut pandangan ‘keselamatan oleh perbuatan baik’, dan juga ia
menyalah-gunakan sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus untuk melakukan
kesembuhan.
2) Kebenaran kita harus melampaui
kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Ay 20: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari
pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.
Kata-kata ‘hidup keagamaan’ salah terjemahan, seharusnya adalah ‘kebenaran’.
KJV/RSV/NIV/NASB:
‘righteousness’ (= kebenaran).
Kata bahasa Yunani yang dipakai adalah
DIKAIOSUNE, yang artinya memang adalah ‘righteousness’
(= kebenaran).
Jadi, Yesus berkata bahwa kalau
kebenaran kita tidak lebih dari kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, kita tidak akan masuk surga.
Pada jaman itu ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi dianggap sebagai teladan, yang ketaatannya bahkan dianggap
terlalu tinggi untuk dicapai oleh orang awam. Tetapi di sini Yesus berkata
bahwa kebenaran kita harus lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi. Sebetulnya bagaimana kebenaran atau ketaatan dari ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi itu?
a) Ketaatan lahiriah.
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
adalah orang-orang yang sangat menekankan Hukum Taurat sampai sekecil-kecilnya,
tetapi hanya secara lahiriah. Kalau saudara membaca Mat 5:21-28, saudara akan
melihat dengan jelas bahwa Yesus menyalahkan penafsiran ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi tentang hukum-hukum tertentu dalam hukum Taurat, karena
mereka hanya memberikan penafsiran lahiriah saja. Jadi, seseorang dianggap
melanggar hukum ke 6 kalau ia betul-betul melakukan pembunuhan secara lahiriah;
demikian juga seseorang dianggap melanggar hukum ke 7 jika ia betul-betul
berzinah secara lahiriah. Yesus lalu mengatakan bahwa pelanggaran terhadap
kedua hukum itu bisa terjadi melalui pikiran / hati, bukan hanya secara
lahiriah.
D. Martyn Lloyd-Jones: “The
kingdom of God is concerned about the heart; it is not my external actions, but
what I am inside that is important. A man once said that the best definition of
religion was this: ‘Religion is that which a man does with his own solitude.’
In other words, if you want to know what you really are, you can find the
answer when you are alone with your thoughts and desires and imaginations. It
is what you say to yourself that matters. How careful we are in what we say to
others; but what do we say to ourselves? What a man does with his own solitude
is what ultimately counts. The things that are within, which we hide from the
outside world because we are ashamed of them, these proclaim finally what we
really are” (= Kerajaan Allah
mempersoalkan hati; yang penting bukan tindakan lahiriahku, tetapi apa yang ada
di dalamku. Seseorang pernah mengatakan bahwa definisi yang terbaik dari agama
adalah ini: ‘Agama adalah apa yang seseorang lakukan pada waktu ia seorang
diri’. Dengan kata lain, jika engkau ingin tahu apa sebenarnya dirimu, engkau
bisa mendapatkan jawaban pada waktu engkau sedang sendirian dengan pemikiranmu,
keinginanmu dan khayalanmu. Yang menjadi soal adalah apa yang engkau katakan
kepada dirimu sendiri. Alangkah hati-hatinya kita dalam apa yang kita katakan
kepada orang-orang lain; tetapi apa yang kita katakan kepada diri kita sendiri?
Yang pada akhirnya diperhitungkan adalah apa yang dilakukan seseorang pada
waktu ia seorang diri. Hal-hal yang ada di dalam, yang kita sembunyikan dari
dunia luar karena kita malu tentangnya, hal-hal inilah yang akhirnya menyatakan
diri kita yang sebenarnya)
- ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 204.
Ketaatan lahiriah dari
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini menimbulkan kemunafikan.
J. Sidlow Baxter: “First
they solemnly laboured to perform all the scribal enjoinments; then, failing in
this, they rested in mere outward compliance; then they excused outward
correctness only; then they masqueraded in an outward profession of piety while
covertly sinning; until finally, becoming used to this, they tolerated it, and
even practised it, thus becoming the worst of hypocrites” (= Mula-mula mereka berusaha untuk melakukan semua
perintah / larangan dari ahli Taurat; lalu setelah mereka gagal dalam hal ini,
mereka berhenti pada semata-mata penyesuaian lahiriah; lalu mereka mengabaikan
/ membiarkan / mengijinkan kebenaran lahiriah saja; lalu mereka menggunakan
topeng pengakuan kesalehan lahiriah, sementara mereka berbuat dosa secara
tersembunyi; sampai akhirnya, menjadi terbiasa dengan hal ini, mereka
mentoleransinya, dan bahkan mempraktekkannya, dan dengan demikian menjadi orang
munafik yang paling buruk)
- ‘Explore the Book’, vol 5, hal 51.
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
juga adalah orang-orang yang suka memamerkan ketaatannya pada hukum Taurat (Mat
6:2,5,16). Ini jelas merupakan sebagian dari kemunafikan mereka.
Kebenaran kita harus
melampaui kebenaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (ay 20),
artinya ketaatan kita tidak boleh hanya merupakan ketaatan lahiriah. Hati juga
harus taat!
Contoh ketaatan lahiriah:
·
Saudara
tidak mempunyai istri kedua ataupun melakukan perselingkuhan, tetapi saudara
tidak mencintai istri saudara.
·
Saudara
menolong orang tetapi saudara tidak mengasihinya.
·
Saudara
melayani / memberi persembahan, tetapi melakukannya bukan dengan sukacita
tetapi dengan terpaksa.
·
Saudara
hadir di gereja, tetapi pikiran saudara memikirkan pekerjaan dan bahkan
pekerjaan yang berdosa.
Amos 8:4-6 - “Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin,
dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini dan berpikir: ‘Bilakah bulan
baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu,
supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal,
berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang
dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?’”.
Lloyd-Jones mengatakan ada banyak orang
yang asal sudah pergi berbakti dan mengikuti Perjamuan Kudus pada hari Minggu,
merasa bahwa ia bebas menggunakan hari itu sesukanya.
D. Martyn Lloyd-Jones: “The
Lord’s day is a day that is meant to be given as much as possible to God.
We ought on this day to put everything aside as far as we can, that God
may be honoured and glorified and that His cause may prosper and flourish” (= Hari Tuhan adalah suatu hari yang dimaksudkan untuk diberikan
sebanyak mungkin kepada Allah. Pada hari ini kita harus mengesampingkan
segala sesuatu sejauh kita bisa, supaya Allah bisa dihormati dan dimuliakan
dan perkara / aktivitasNya bisa berhasil dan bertumbuh / maju) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 205.
Kita tidak boleh mempunyai ketaatan
yang hanya bersifat lahiriah, tetapi kita harus mempunyai ketaatan yang muncul
dari hati, dan ini hanya dimungkinkan kalau kita sudah dilahir-barukan.
b) Kepercayaan terhadap hal-hal
lahiriah.
‘Ketaatan lahiriah’ yang sudah kita
bahas pada point a) di atas berbeda dengan ‘kepercayaan terhadap hal-hal
lahiriah’ yang dibahas di sini. Kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah
berhubungan dengan faktor keturunan (keturunan Abraham), kebangsaan mereka
(bangsa pilihan), dan juga dengan sunat, yang merupakan tanda lahiriah bahwa
mereka adalah bangsa pilihan.
Fil 3:4-6 - “Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada
hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada
hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa
Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum
Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang
kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat”.
Mat 3:9 - “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam
hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat
menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!”.
Yoh 8:39-40 - “Jawab mereka kepadaNya: ‘Bapa kami ialah Abraham.’ Kata
Yesus kepada mereka: ‘Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu
mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan
ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu,
yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak
dikerjakan oleh Abraham”.
Kis 15:1 - “Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan
mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: ‘Jikalau kamu tidak disunat menurut
adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.’”.
Penerapan:
Kita juga bisa mempunyai kepercayaan
terhadap hal-hal lahiriah, seperti Baptisan, Perjamuan Kudus, kekristenan yang
turun temurun, suku bangsa yang kristen, dan sebagainya. Semua ini harus
dibuang dari diri kita!
c) Menekankan tradisi lebih dari
moral.
Hal lain tentang ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi ini adalah bahwa mereka lebih peduli dengan hal-hal yang
bersifat upacara keagamaan (seperti membasuh tangan sebelum makan -
Mat 15:2) dari pada hal-hal yang bersifat moral.
d) Menggunakan tradisi untuk
menghindari tuntutan hukum Taurat.
Lloyd-Jones juga mengatakan bahwa
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sering menggunakan tradisi untuk
menghindari tuntutan hukum Taurat.
Bdk.
Mat 15:3-6 - “Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Mengapa kamupun
melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah
berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya
atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada
bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk
pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak
wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu
nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
D. Martyn Lloyd-Jones: “They
worked by traditions, and most of these traditions were really nothing but very
clever and subtle ways of evading the demands of the law. ... You see that a
Roman Catholic who does not believe in divorce has obtained one. How has it
happened? It has probably been done by means of casuistry - some kind of
explanation on paper that seems to satisfy the letter of the law. But, again, I
am not simply concerned to denounce that Catholic type of religion. God knows
we are all experts at this. We can all rationalize our own sins and explain
them away, and excuse ourselves for the things we do and do not do. That was
typical of the Pharisees” (=
Mereka bekerja dengan tradisi, dan kebanyakan dari tradisi ini hanyalah cara
yang sangat pandai dan cerdik untuk menghindari tuntutan hukum Taurat. ...
Engkau melihat bahwa seorang Roma Katolik yang tidak percaya pada perceraian
bisa bercerai. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mungkin itu dilakukan dengan
cara mempermainkan hukum - sejenis penjelasan di atas kertas yang kelihatannya
memuaskan hukum secara hurufiah. Tetapi saya tidak sekedar mencela agama
Katolik. Allah tahu bahwa kita semua ahli dalam hal ini. Kita semua bisa
merasionalisasikan dosa-dosa kita sendiri dan menjelaskan dosa-dosa itu, dan
memaafkan diri kita sendiri untuk apa yang kita lakukan dan yang tidak kita
lakukan. Ini merupakan sesuatu yang khas dari orang-orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 205.
Pulpit Commentary: “Antinomianism
is unchristian. If Christianity is to be found in the teachings of Christ,
Christianity does not relax the moral Law. On the contrary, it elevates and
strengthens that Law. We cannot make a greater mistake than to suppose that the
grace of Christ means a certain easy treatment of men, any diminution of duty,
any release from the obligations of right. It is not a pardon of the past with
indifference as regards the future. It is forgiveness as a foundation and
preparation for a new and better life” [= Anti hukum merupakan sesuatu yang tidak kristen. Jika kekristenan
mau ditemukan dalam ajaran Kristus, kekristenan tidak melonggarkan hukum moral.
Sebaliknya, kekristenan meninggikan dan menguatkan hukum itu. Kita tidak bisa
membuat kesalahan yang lebih besar dari pada menganggap bahwa kasih karunia
Kristus berarti suatu tindakan mengentengkan manusia, suatu pengecilan dari
kewajiban, suatu pembebasan dari kewajiban-kewajiban dari hak (?). Itu bukan
merupakan pengampunan dari masa lalu dengan sikap acuh tak acuh berkenaan
dengan masa yang akan datang. Itu merupakan pengampunan sebagai suatu dasar dan
persiapan untuk suatu kehidupan yang baru dan lebih baik] - hal 181.
e) Hanya mengajar tetapi tidak
melakukan.
Mat 23:1-3 - “Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada
murid-muridNya, kataNya: ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah
menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang
mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan
mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”.
Kalau ahli-ahli Taurat itu (dan mungkin
banyak pendeta / penginjil) hanya mengajar tetapi tidak melakukan, maka di
kalangan jemaat banyak yang hanya mendengar dan bertumbuh dalam pengetahuan,
tetapi tidak melakukan (bdk. Yak 1:22).
Pulpit Commentary: “knowledge
is not to be despised; it is necessary, it is most interesting; but it is not
enough” (= pengetahuan tidak
boleh diremehkan / dipandang rendah; itu merupakan sesuatu yang perlu, itu
merupakan sesuatu yang paling menarik; tetapi itu tidak cukup) - hal 176.
f) Menekankan hal-hal yang kecil
tetapi mengabaikan hal-hal yang besar.
Mat 23:23-24 - “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas
manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu
abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Hai kamu pemimpin-pemimpin buta,
nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu
telan”.
g) Kebenaran mereka adalah kebenaran
karena perbuatan baik, bukan karena iman.
Ro 9:30-10:3 - “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini:
bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh kebenaran,
yaitu kebenaran karena iman. Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum
yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu. Mengapa
tidak? Karena Israel mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan.
Mereka tersandung pada batu sandungan, seperti ada tertulis: ‘Sesungguhnya, Aku
meletakkan di Sion sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa
yang percaya kepadaNya, tidak akan dipermalukan.’ Saudara-saudara, keinginan
hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. Sebab aku
dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk
Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. Sebab, oleh karena mereka tidak
mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan
kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Memang text ini tidak berbicara tentang
kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi Israel /
Yudaisme. Tetapi Israel / Yudaisme jelas mendapatkan itu dari ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi.
Fil 3:7-9 - “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku,
sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi,
karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya.
Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah,
supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku
sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena
kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan
kepercayaan”.
Kalau saudara adalah orang yang
berjuang untuk masuk surga dengan ketaatan / perbuatan baik saudara, maka
saudara tidak berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini.
Hendriksen mengatakan (hal 293) bahwa
ay 20-dst ini menunjukkan bahwa kebenaran yang dituntut oleh Yesus adalah
kebenaran yang sempurna, yang merupakan pemberian Allah. Ini hanya bisa
diterima dengan iman kepada Kristus.
3) Ancaman kalau tidak mempunyai kebenaran
yang lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Ay 20b: “sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga”.
Pulpit Commentary: “A
much stronger statement than that of ver. 19, though some would identify the
two. There Christ was comparing one disciple with another; here his disciples
with non-disciples” (= Suatu
pernyataan yang jauh lebih kuat dari apa yang ada dalam ay 19, sekalipun ada
yang menyamakan kedua hal itu. Di sana Kristus membandingkan satu murid dengan
yang lain; di sini Ia membandingkan murid-muridNya dengan yang bukan murid) - hal 158.
Pulpit Commentary: “Christians
who neglect part of the Law of God shall be called least in the kingdom of
heaven; but mere formalists shall not even enter therein” (= Orang-orang kristen yang mengabaikan sebagian dari
hukum Taurat Allah akan disebut yang terkecil dalam kerajaan surga; tetapi
orang-orang yang hanya mempraktekkan hal-hal lahiriah bahkan tidak akan masuk
ke dalamnya) - hal
176.
Yesus tidak membuang Perjanjian Lama, dan karena itu kita juga
tidak boleh membuang Perjanjian Lama, tetapi sebaliknya mengajarkannya dan
mentaatinya. Dan kita harus mempunyai kebenaran yang melebihi kebenaran
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, khususnya dalam persoalan:
·
kebenaran
yang didapatkan oleh iman kepada Kristus.
·
ketaatan
yang muncul dari hati yang sudah dilahir-barukan, dan bukan sekedar ketaatan
yang lahiriah saja.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com