Eksposisi Injil Matius
oleh: Pdt. Budi
Asali MDiv.
I)
Yesus bukan menentang Firman Tuhan / Perjanjian Lama, tetapi menentang
penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang Perjanjian Lama.
1) Terjemahan yang salah dari Kitab
Suci Indonesia.
Ay 21: “Kamu telah mendengar yang difirmankan
kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”.
KJV/RSV/NIV/Lit: ‘it was said’ (= dikatakan).
Kitab Suci
Indonesia menterjemahkan ‘difirmankan’. Penggunaan kata ‘firman’ menunjukkan bahwa itu merupakan kata-kata
Allah / Perjanjian Lama, dan ini salah.
Kalau Yesus mengutip Perjanjian Lama, maka istilah yang biasa digunakan
adalah:
·
‘Ada tertulis’ (It is written / It has been
written), seperti dalam Mat 4:4,7,10.
·
‘Tidakkah kamu baca’, seperti dalam Mat 12:3,5
Mat 19:4 Mat 22:31.
Sebetulnya
terjemahannya adalah ‘it was said’ (= dikatakan), seperti dalam Kitab
Suci bahasa Inggris, dan ini tidak menunjuk pada kata-kata Allah, tetapi pada
kata-kata / ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hal yang sama terjadi pada ay 27,31,33,38,43.
2) Dalam ay 21-48 Yesus
memberikan exposisi / penafsiranNya tentang hukum Taurat, dan mengkontraskannya
dengan penafsiran / ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Perbedaan utama adalah bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi selalu memberikan
penafsiran hurufiah, dan hanya memperhatikan tindakan lahiriah,
sedangkan Yesus memberikan arti sebenarnya dan menekankan juga hati, pikiran,
motivasi dan keinginan seseorang. Tetapi ada juga bagian dimana ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi itu menggunakan tradisi mereka yang sama sekali
tidak ada dalam Kitab Suci (seperti dalam ay 43), atau memberikan
penerapan yang salah tentang Perjanjian Lama (seperti dalam ay 31,33,38).
II) Yesus membahas hukum ke 6: jangan
membunuh.
Ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi menafsirkan hukum ke 6, sebagai larangan terhadap
pembunuhan secara fisik / lahiriah saja, tetapi dalam ay 21-26 ini Yesus
menerapkannya pada hal-hal lain, yaitu:
1) Marah (ay 22a).
a) Tidak semua kemarahan adalah dosa.
Ay 22a
(KJV): ‘But I
say unto you, That whosoever is angry with his brother without a cause
shall be in danger of the judgment’ (= Tetapi Aku
berkata kepadamu: Bahwa siapapun yang marah kepada saudaranya tanpa alasan
akan ada dalam bahaya penghakiman).
Kata-kata ‘without a cause’ (=
tanpa alasan) hanya ada dalam manuscripts tertentu.
Stott mengatakan
(hal 83) bahwa sekalipun kata-kata ‘without a cause’ itu mungkin sekali
tidak orisinil, tetapi kata-kata itu memberikan penafsiran yang benar tentang
apa yang Yesus maksudkan, karena jelas bahwa tidak semua kemarahan merupakan
dosa. Terlepas dari asli atau tidaknya, atau benar atau tidaknya, kata-kata ‘without
a cause’ itu dalam terjemahan KJV ini, Kitab Suci jelas tidak menganggap
semua kemarahan sebagai dosa. Ini terlihat dari:
·
Yesus berulangkali marah (Mark 3:5 Yoh 2:13-17), tetapi dikatakan
tidak berdosa (Ibr 4:15).
·
kemarahan jemaat Efesus terhadap rasul-rasul palsu
dipuji (Wah 2:2), dan sebaliknya ke‘sabar’an jemaat Korintus terhadap
rasul-rasul palsu justru dikecam (2Kor 11:4).
·
Ef 4:26 yang berbunyi: ‘Apabila kamu menjadi marah,
janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam
amarahmu’, jelas menunjukkan bahwa ‘marah’ tidak selalu identik dengan ‘dosa’, dan
bahwa kita bisa marah tetapi tidak berdosa.
Kemarahan yang
benar biasanya adalah kemarahan yang dilandasi oleh kasih, dan ditujukan
terhadap dosa, ketidak-adilan, penindasan, dan kesesatan.
Contoh:
¨
orang tua yang marah kepada anak yang nakal.
¨
orang kristen yang marah karena adanya ajaran sesat atau
karena adanya korupsi dalam gereja.
¨
kita marah karena adanya terorisme.
¨
kita marah mendengar orang yang bersalah dibebaskan /
orang yang tidak bersalah dihukum oleh pengadilan.
Perlu dicamkan
bahwa sekalipun kemarahan seperti ini merupakan kemarahan yang benar, tetapi
kalau perwujudannya kelewat batas maka itu menjadi salah / dosa. Misalnya kalau
kemarahan terhadap anak diwujudkan dengan memaki anak atau memukul sehingga
mencederai anak tersebut.
b) Tetapi jelas ada banyak kemarahan
yang memang merupakan dosa, dan mungkin sebagian besar kemarahan kita, tidak
bisa disebut sebagai ‘holy anger’ (= kemarahan yang suci), dan memang
merupakan dosa. Dan ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum ke 6 (ay 21).
Jadi, kemarahan seperti itu merupakan pembunuhan dalam hati / pikiran.
c) Kata ‘saudara’ dalam ay 22
kelihatannya harus diartikan bukan sebagai ‘saudara seiman’, tetapi sebagai
‘sesama manusia’, atau ‘siapapun yang mempunyai hubungan dengan kita’.
2) Mencaci-maki / mengeluarkan
kata-kata yang bersifat menghina (ay 22b,c).
a) Mengatakan ‘kafir’ (ay 22b).
1. Arti kata ini sebenarnya.
RSV: ‘whoever
insults his brother’ (= siapapun menghina saudaranya).
KJV/NIV/NASB
tidak menterjemahkan kata ini, tetapi hanya mentransliterasikan (mengganti
huruf-huruf Yunaninya dengan huruf Latin) sebagai ‘Raca’.
D. Martyn Lloyd-Jones: “‘Raca’
means ‘worthless fellow’” (= ‘Raca’ berarti ‘orang yang
tidak berharga’) - ‘Studies in the
Sermon on the Mount’, hal 224.
John Stott mengatakan
(hal 84) bahwa kata ‘Raca’ itu mungkin sama dengan kata Aram yang berarti ‘empty’ (=
kosong).
Tasker (Tyndale)
mengatakan bahwa kata ‘Raca’ tidak terlalu berbeda dengan MORE (yang digunakan
dalam ay 22c) yang artinya ‘bodoh / tolol’ (dalam Kitab Suci Indonesia
diterjemahkan ‘jahil’).
Barclay: “Raca
is an almost untranslatable word, because it describes a tone of voice more
than anything else. Its whole accent is the accent of contempt. To call a man
Raca was to call him a brainless idiot, a silly fool, an empty-headed
blunderer. It is the word of one who despises another with an arrogant
contempt” (= Raca hampir tidak bisa diterjemahkan, karena
kata itu lebih menggambarkan nada suara dari pada apapun yang lain. Seluruh
penekanannya merupakan penekanan penghinaan / kejijikan. Menyebut seseorang
sebagai Raca berarti menyebutnya sebagai seorang idiot yang tidak mempunyai
otak, seorang tolol, seorang pembuat kesalahan yang kepalanya kosong) - hal 139.
2. Orang yang mengatakan Raca lebih
bersalah dari pada orang yang marah (point no 1 di atas).
Sama seperti kemarahan, mengatakan Raca juga dinyatakan oleh Yesus
sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6. Tetapi kalau ay 22a mengatakan
bahwa orang yang marah ‘harus dihukum’ [NASB: ‘liable to the court’ (= bisa dihadapkan ke pengadilan)],
maka ay 22b mengatakan bahwa orang yang mengatakan ‘Raca’ harus ‘dihadapkan ke Mahkamah Agama (Sanhedrin)’.
Saya setuju dengan William Barclay yang mengatakan (hal 140) bahwa ini tidak
boleh diartikan secara hurufiah. Artinya hanyalah bahwa tindakan yang kedua ini
(ay 22b) merupakan dosa yang lebih besar dari pada tindakan pertama (ay
22a).
Penerapan:
Sekalipun pada
waktu saudara marah secara salah saudara sudah berdosa, tetapi kalau bisa tetap
tahanlah mulut saudara supaya tidak mengeluarkan kata-kata hinaan, karena ini
akan membuat saudara jatuh ke dalam dosa yang lebih besar.
b) Mengatakan ‘jahil’ (ay 22c).
1. Kata ‘jahil’ ini jelas merupakan
terjemahan yang salah.
KJV/RSV/NIV/NASB:
‘fool’ (= bodoh / tolol).
Kata Yunani yang
dipakai adalah MORE, dan Adam Clarke mengatakan (hal 71) bahwa mungkin itu
berasal dari kata bahasa Ibrani MARAH, yang berarti ‘memberontak’ atau
‘murtad’. Jadi mungkin bisa diartikan sebagai ‘sesat’. Tetapi Clarke mengatakan
bahwa ini hanya bersalah, kalau si penuduh / pemaki itu tidak bisa membuktikan
tuduhan / makiannya tersebut.
Barclay
mengatakan (hal 140) bahwa sekalipun kata Yunaninya bisa diartikan ‘bodoh’ /
‘tolol’, tetapi kalau kita menyebut seseorang dengan kata ini, maka artinya
adalah bahwa orang itu ‘bodoh secara moral’. Ini berarti kita mencap orang
tersebut sebagai orang yang tidak bermoral, dan dengan demikian merusak
reputasi orang tersebut.
2. Mengatakan seseorang sebagai bodoh
/ tolol, tidak selalu merupakan dosa.
Dalam
Mat 23:17 Yesus sendiri berkata kepada / tentang ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi dengan kata-kata sebagai berikut: “Hai kamu orang-orang bodoh
dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang
menguduskan emas itu?”.
Kata Yunani yang
digunakan dalam Mat 23:17 ini sama dengan yang digunakan dalam
Mat 5:22, hanya saja dalam Mat 23:17 ini digunakan bentuk jamak.
Bandingkan juga
dengan Luk 11:40 24:25 Ro 1:22 1Kor 15:36
2Kor 11:19
Gal 3:1 1Pet 2:15
dimana Yesus / rasul-rasul juga mengatakan seseorang sebagai ‘bodoh’. Tetapi
dalam semua ayat-ayat ini, kata bahasa Yunaninya berbeda dengan yang digunakan
dalam Mat 5:22 dan Mat 23:17.
Dari semua ini
harus disimpulkan bahwa sama seperti marah, maka mengatakan ‘bodoh’ / ‘tolol’
hanya salah, kalau hal itu dilandasi kebencian atau emosi yang tidak
terkendali.
3. Tindakan ini lebih berat lagi
dosanya dari pada tindakan pertama (marah) dan kedua (mengatakan Raca), dan itu
ditunjukkan oleh kata-kata ‘harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala’ (ay 22c).
Lagi-lagi saya
setuju dengan Barclay yang mengatakan (hal 141) bahwa ini tidak boleh
ditafsirkan secara hurufiah. Ini hanya menunjukkan bahwa tindakan mengatakan
‘bodoh’ ini merupakan dosa yang lebih besar dari pada mengatakan ‘Raca’.
Barclay: “Long-lasting anger is bad;
contemptuous speaking is worse, and the careless or the malicious talk which
destroys a man’s good name is worst of all” (= Kemarahan yang bertahan lama
merupakan sesuatu yang buruk; mengucapkan sesuatu yang menghina merupakan
sesuatu yang lebih buruk, dan kata-kata yang sembrono atau jahat yang
menghancurkan nama baik seseorang adalah yang terburuk dari semua) - hal 141.
3) Adanya ‘ganjelan’ yang belum
dibereskan dalam hati saudara kita terhadap kita (ay 23-24).
a) Apa yang dimaksud dengan ‘ganjelan’
itu?
William
Hendriksen beranggapan (hal 300) bahwa ‘ganjelan’ itu tidak mungkin merupakan
sesuatu yang remeh / kecil, karena kalau demikian, alangkah sedikitnya orang
yang bisa berbakti kepada Allah. Jadi ia beranggapan bahwa ‘ganjelan’ itu
haruslah sesuatu yang cukup
penting / besar. Tetapi saya berpendapat bahwa kata-kata ini sukar
dipraktekkan, karena besar atau kecil merupakan sesuatu yang relatif.
Selanjutnya
Hendriksen membahas apakah orang yang mempunyai ganjelan terhadap kita itu
harus benar, baru kita wajib melakukan ay 23-24 ini? Atau apakah sekalipun
ia tidak benar, tetapi ia menyangka bahwa ia benar, kita tetap wajib melakukan
ay 23-24 ini?
Hendriksen
mengatakan bahwa Lenski berpendapat bahwa orang yang mempunyai ganjelan itu
harus benar. Matthew Poole juga mengatakan (hal 23) bahwa orang itu harus
mempunyai ‘just reason’ (= alasan yang benar).
Tetapi Hendriksen
sendiri beranggapan bahwa kalaupun saudara kita itu salah, tetapi kalau ia
mengira dirinya benar, sehingga ia mempunyai ganjelan terhadap kita, maka kita
tetap harus mengusahakan perdamaian dengan dia (bukan minta maaf, tetapi
menjelaskan / memberi pengertian kepadanya). Dan kelihatannya Pulpit Commentary
mempunyai pandangan yang sama dengan Hendriksen.
Pulpit Commentary: “It is noteworthy that our Lord in
this verse does not define on whose side the cause of the quarrel lies” (= Perlu diperhatikan bahwa Tuhan
kita dalam ayat ini tidak mendefinisikan pada sisi siapa penyebab pertengkaran
ini terletak) - hal 162.
Satu hal lain
yang ingin saya tambahkan adalah: kalau kita disuruh berinisiatif untuk
membereskan suatu ‘ganjelan’ yang ada dalam diri saudara kita, apalagi kalau
‘ganjelan’ itu ada dalam diri kita sendiri! Adakah saudara seiman / orang di
sekitar saudara terhadap siapa saudara mempunyai ‘ganjelan’? Bawa itu kepada
Tuhan, dan bereskan! Bahkan mungkin sekali untuk membereskan hal itu, saudara
harus datang kepada orang tersebut, dan membicarakannya!
b) Mengapa hal seperti ini dihubungkan
oleh Yesus dengan hukum ke 6?
D. Martyn Lloyd-Jones: “the
commandment not to kill really means we should take positive steps to put
ourselves right with our brother” (= perintah untuk tidak
membunuh berarti bahwa kita harus mengambil langkah-langkah yang positif untuk
meluruskan / memperbaiki hubungan kita dengan saudara kita) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 227.
c) Kata ‘persembahan’ / ‘memberikan
persembahan’ (ay 23,24).
Calvin beranggapan (hal
287) bahwa kata ‘persembahan’ merupakan suatu synecdoche (= gaya bahasa dimana
‘sebagian’ mewakili ‘seluruhnya’), dan menunjuk pada ibadah / kebaktian yang
kita lakukan terhadap Allah.
Matthew Poole: “It
is a text usually applied with reference to communion with God in the Lord’s
supper, but equally extensive to any other part of worship, hearing the word,
James 1:21, and prayer, 1Tim 2:8” (= Ini merupakan text yang
biasanya diterapkan berkenaan dengan persekutuan dengan Allah dalam Perjamuan
Kudus, tetapi juga mencakup lebih luas pada bagian lain dari ibadah /
kebaktian, mendengar firman, Yak 1:21, dan doa, 1Tim 2:8) - hal 23.
Yak 1:19-21 - “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang
hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga
lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan
Allah. Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu
banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam
hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu”.
1Tim 2:8 - “Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa
dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan”.
Bandingkan juga dengan
ayat-ayat di bawah ini:
·
Yes 1:15 - “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan
mukaKu, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan
mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah”.
·
Yes 58:3-4 - “‘Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa
kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?’ Sesungguhnya,
pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak
semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta
memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti
sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi”.
D. Martyn Lloyd-Jones: “In
the sight of God there is no value whatsoever in an act of worship if we
harbour a known sin. ... If I, in the presence of God, and while trying to
worship God actively, know there is sin in my heart which I have not dealt with
and confessed, my worship is useless. There is no value in it at all” (=
Dalam pandangan Allah ibadah itu tidak mempunyai nilai apapun jika kita
mempunyai / menyembunyikan dosa yang diketahui. ... Jika saya, di hadapan
Allah, sedang berusaha untuk menyembah / berbakti kepada Allah secara aktif, tahu
bahwa ada dosa dalam hati saya yang belum saya tangani dan akui, ibadah saya
tidak berguna. Itu sama sekali tidak mempunyai nilai) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.
D. Martyn Lloyd-Jones: “If
you are in a state of conscious enmity against another, if you are not speaking
to another person, or if you are harbouring these unkind thoughts and are a
hindrance and an obstacle to that other, God’s Word assures you that there is
no value in your attempted act of worship” (=
Jika engkau ada dalam keadaan permusuhan yang disadari terhadap orang lain,
jika engkau tidak mau berbicara dengan seorang yang lain, atau jika engkau
mempunyai / menyembunyikan pikiran-pikiran yang tidak baik ini dan hal itu
merupakan suatu halangan dan rintangan terhadap orang lain itu, Firman Allah
meyakinkanmu bahwa tidak ada nilai dalam usahamu untuk beribadah / berbakti) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.
D. Martyn Lloyd-Jones: “There
is no value or purpose in praying to God if you know in your own heart that you
are not right with your brother. It is impossible for God to have any dealings
with sin and iniquity. He is of such a pure countenance that He cannot even
look upon it. According to our Lord the matter is so vital that you must even
interrupt your prayer, you must, as it were even keep God waiting. Go and put
it right, He says; you cannot be right with God until you put yourself right
with man” (= Tidak ada nilai atau kegunaan dalam berdoa
kepada Allah jika engkau tahu dalam hatimu sendiri bahwa engkau tidak benar /
beres dengan saudaramu. Adalah mustahil bagi Allah untuk mempunyai hubungan /
urusan dengan dosa dan kejahatan. Ia mempunyai wajah yang begitu murni sehingga
Ia bahkan tidak bisa memandangnya. Menurut Tuhan kita persoalan itu begitu
penting sehingga engkau harus menginterupsi doamu, bahkan engkau seakan-akan
harus membiarkan Allah menunggu. Pergilah dan bereskanlah, kataNya; engkau
tidak bisa beres dengan Allah kecuali engkau membereskan dirimu sendiri dengan
manusia) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’,
hal 228-229.
Calvin: “But
if the worship, which men render to God, is polluted and corrupted by their
resentments, this enables us to conclude, in what estimation he holds mutual
agreement among ourselves” (= Tetapi jika ibadah /
kebaktian, yang dilakukan manusia kepada Allah, dikotori dan dirusak oleh
kebencian / kemarahan / kesebalan / ketidak-senangan, ini menyebabkan kita bisa
menyimpulkan bagaimana Ia menilai persetujuan / persesuaian satu sama lain di
antara kita sendiri) - hal 286.
d) Ini tidak berarti bahwa hubungan
dengan manusia lebih penting dari pada hubungan dengan Allah.
Knox Chamblin: “The
point is not that human relationships are more important than the worship of
God, but that these two are inextricably bound together (the one inevitably
affects the other)” [= Maksudnya bukan bahwa hubungan
dengan manusia lebih penting dari pada ibadah / kebaktian kepada Allah, tetapi
bahwa kedua hal ini terikat menjadi satu secara tak terpisahkan (yang satu
secara tak terhindarkan mempengaruhi yang lain)] - hal 41.
e) Inisiatif untuk membereskan
ganjelan ini jelas bukan hal yang gampang. Ini membutuhkan kerendahan hati dan
penyangkalan diri!
f) Bagaimana kalau kita sudah
mengusahakan perdamaian secara benar, tetapi orang tersebut tidak mau berdamai?
Pulpit Commentary: “The
Christian can never excuse himself by saying, ‘My brother will not be
reconciled to me.’ He must be; and the Christian must not rest until he is. The
burden of right relations rests on him” (=
Orang kristen tidak pernah bisa beralasan dengan berkata: ‘Saudaraku tidak mau
diperdamaikan dengan aku’. Ia harus; dan orang kristen itu tidak boleh berhenti
sampai ia mau. Beban dari hubungan yang benar ada pada orang kristen itu) - hal 225.
Saya berpendapat bahwa
kata-kata ini salah. Clarke mengatakan (hal 72) bahwa kalau kita sudah berusaha
untuk berdamai, tetapi orang itu tidak mau, maka itu tidak akan menghalangi
ibadah kita kepada Allah. Bdk. Ro 12:18 - “Sedapat-dapatnya,
kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua
orang!”.
Calvin: “so
long as a difference with our neighbour is kept up by our fault, we have
no access to God” (= selama suatu perbedaan dengan
sesama kita dipelihara / dipertahankan oleh kesalahan kita, kita tidak
mempunyai akses kepada Allah) - hal 286.
4) Ada hutang yang belum dibayar (ay 25-26).
a) Gambaran
yang mustahil?
Mungkin orang-orang yang
suka mencari-cari kesalahan Kitab
Suci untuk menyerang Kitab Suci, akan menyerang bagian ini sebagai sesuatu yang
tidak masuk akal. Mana ada 2 orang yang mau ‘bertempur’ dalam pengadilan lalu
berjalan ke pengadilan bersama-sama? Memang ini kelihatannya tidak masuk akal
untuk kita pada jaman ini, tetapi pada jaman itu di sana, hal itu merupakan sesuatu
yang bisa terjadi.
Barclay: “The
picture of two opponents on the way to court together seems to us very strange,
and indeed rather improbable. But in the ancient world it often happened. Under
Greek law there was a process of arrest called APAGOGE, which means ‘summary
arrest’. In it the plaintiff himself arrested the defendant. He caught him by
his robe at the throat, and held the robe in such a way that, if the man
struggled, he would strangle himself” (= Gambaran tentang dua lawan
dalam perjalanan ke pengadilan bersama-sama kelihatan sangat aneh bagi kita,
dan bahkan mustahil. Tetapi dalam dunia kuno itu sering terjadi. Di bawah hukum
Yunani ada suatu proses penangkapan yang disebut APAGOGE, yang berarti
‘penangkapan cepat’. Dalam penangkapan ini sang penuntut sendiri menangkap
terdakwa. Ia menangkapnya di bagian leher dari jubahnya, dan memegang jubah itu
sedemikian rupa sehingga jika orang itu berontak, ia akan mencekik dirinya
sendiri) - hal 144.
Bdk. Mat 18:28-30 - “Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain
yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu,
katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya:
Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan
menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”.
b) Penafsiran
rohani atau hurufiah?
Calvin mengatakan bahwa
bagian ini sering ditafsirkan secara rohani, dimana ‘hakim’ diartikan menunjuk kepada ‘Allah’.
Calvin juga mengatakan
(hal 288-289) bahwa Gereja Roma Katolik menafsirkan ‘penjara’ sebagai ‘api penyucian’, dan orang tak akan
keluar dari penjara / api penyucian sampai ia membayar lunas dosa-dosanya. Yang
dimaksud dengan ‘lawan’ adalah ‘setan’, dan Calvin lalu mengatakan bahwa kalau bagian ini mau ditafsirkan
demikian, maka karena ayat ini menyuruh kita berdamai dengan lawan kita, maka
itu harus diartikan bahwa kita harus berdamai dan menjadi teman dengan setan.
Calvin sendiri tidak
setuju dengan penafsiran yang merohanikan seperti itu, dan mengatakan bahwa
bagian ini harus ditafsirkan secara hurufiah, dan jelas bahwa pandangan Calvin
ini benar.
c) Kontras dan persamaan.
Ada kontras antara
ay 22-24 dengan ay 25-26. Yang pertama berurusan dengan ‘saudaranya’ (ay 22) / ‘saudaramu’ (ay 23), dan yang
kedua berurusan dengan ‘lawanmu’ (ay 25).
Tetapi juga ada persamaan
antara ay 23-24 dengan ay 25-26, yaitu ada ganjelan dalam diri orang
tersebut terhadap kita, dan ini harus dibereskan. Persamaan yang lain adalah
bahwa dalam kedua kasus, persoalannya harus dibereskan dengan secepatnya.
Barclay: “When
personal relations go wrong, in nine cases out of ten immediate action will
mend them; but if that immediate action is not taken, they will continue to
deteriorate, and the bitterness will spread in an ever-widening circle” (=
Pada waktu hubungan pribadi rusak, dalam 9 dari 10 kasus, tindakan langsung /
segera akan memperbaikinya; tetapi jika tindakan langsung / segera itu tidak
dilakukan, hubungan itu akan terus memburuk, dan kepahitan akan menyebar makin
lama makin luas) - hal 145.
d) Hutang yang tidak dibayar jelas
akan merupakan suatu ganjelan dalam diri orang yang memberi hutang, dan karena
itu orang kristen harus secepatnya membereskan hutangnya.
Sebetulnya berhutang saja
sudah merupakan sesuatu yang memalukan, apalagi kalau berhutang dan tidak
membayar hutangnya. Kitab Suci menggambarkan orang yang berhutang dan tidak
membayar kembali sebagai orang fasik.
Maz 37:21a - “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali”.
e) Jangan menggunakan
text ini sebagai dasar untuk membolehkan orang kristen membereskan perkara pidana
di luar sidang.
Ingat bahwa yang
dipersoalkan dalam ay 25-26 adalah persoalan hutang, yang jelas merupakan
suatu persoalan perdata. Jadi, yang boleh / harus dibereskan di luar
sidang / sebelum sidang ini hanyalah perkara perdata. Perkara pidana
tidak boleh didamaikan seperti itu.
Tuhan
menghendaki kita mempunyai hubungan yang baik dengan sesama, dan juga pemberesan
semua ganjelan. Memang ini tidak mudah, tetapi akan menjadi lebih mudah jika
semua pihak mau berusaha melaksanakan kehendak Tuhan ini. Maukah saudara? Tuhan
memberkati saudara.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com