Eksposisi Injil Matius
oleh: Pdt. Budi
Asali MDiv.
I) Perceraian pada jaman Yesus.
1) Yang diucapkan Yesus dalam
ay 31 lagi-lagi merupakan ajaran ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.
Ay 31: “Telah
difirmankan juga: Siapa yang
menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya”.
NASB: “And it was said, ‘Whoever sends his wife away, let him give her a
certificate of divorce’” (= Dan telah dikatakan: ‘Siapapun yang
menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya surat cerai’).
2) Text Perjanjian Lama yang
dipersoalkan.
Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan
menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan
itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat
cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia
pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi
dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian
ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan
menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya,
atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4)
maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh
mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab
hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa
atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.
Pada jaman itu ada kontroversi /
perdebatan antara Rabbi Shammai versus Rabbi Hillel. Mereka adalah 2 rabbi
Yahudi yang bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka
tafsirkan dari Ul 24:1-4.
Catatan:
·
perlu
dicamkan bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 sama sekali tidak memberikan ijin
cerai ataupun syarat perceraian. Ul 24:1-4 itu hanya menekankan bahwa
kalau seseorang menceraikan istrinya, dan istrinya itu lalu menjadi istri dari
laki-laki lain, dan lalu pernikahan kedua itu juga putus, maka laki-laki pertama
itu tidak boleh mengambil kembali perempuan itu menjadi istrinya lagi.
Secara implicit, bagian ini justru memperingatkan orang untuk tidak
gampang-gampang bercerai, karena kalau suatu hari ia menyesal dan ingin rujuk,
ia tidak bisa rujuk [kalau istri yang dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk
diijinkan (1Kor 7:11), tetapi ia kalau sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi
dimungkinkan].
·
kalaupun
dalam prakteknya, Musa menyuruh seorang suami yang menceraikan istrinya untuk
memberikan surat cerai, itu tidak berarti bahwa perceraian itu diijinkan.
Perceraian tetap dilarang, tetapi diberikan peraturan kalau hal itu terjadi.
Bandingkan dengan Ul 21:15-17 - “‘Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang
seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya [KJV/Lit:
‘hated’ (= dibenci)], dan
mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun
isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak
dicintai, maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada
anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak
dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang
adalah anak sulung. Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri
yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala
kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya
hak kesulungan.’”.
Apakah text ini mengijinkan polygamy,
dan lebih-lebih apakah text ini mengijinkan seorang yang melakukan polygamy itu
mencintai seorang istri dan membenci istri yang lain? Tentu saja tidak, tetapi
Tuhan tahu bahwa itu pasti akan terjadi, dan karena itu di sini Ia memberikan
peraturan kalau hal itu terjadi.
·
dalam hal
ini perlu diwaspadai terjemahan yang salah dari KJV yang berbunyi sebagai
berikut: ‘When a man hath
taken a wife, and married her, and it come to pass that she find no favour in
his eyes, because he hath found some uncleanness in her: then let him write
her a bill of divorcement, and give it in her hand, and send her out of his
house. And when she is departed out of his house, she may go and be
another man’s wife. And if the latter husband hate her, and write her a
bill of divorcement, and giveth it in her hand, and sendeth her out of his
house; or if the latter husband die, which took her to be his wife; Her former
husband, which sent her away, may not take her again to be his wife, after that
she is defiled; for that is abomination before the LORD: and thou shalt not
cause the land to sin, which the LORD thy God giveth thee for an inheritance’
(= Pada waktu seorang laki-laki telah mengambil seorang istri, dan menikah
dengan dia, dan terjadilah bahwa ia tidak menyenangkan dalam matanya, karena ia
telah menemukan suatu kenajisan dalam dia: maka hendaklah ia menuliskan
surat perceraian, dan memberikannya ke tangannya, dan menyuruhnya keluar dari
rumahnya. Dan pada waktu ia meninggalkan rumah itu, ia boleh pergi dan
menjadi istri orang laki-laki lain. Dan jika suami yang belakangan ini
membencinya, dan menulis baginya surat cerai, dan memberikannya kepadanya, dan
mengusirnya dari rumahnya; atau jika suami yang belakangan ini, yang
mengambilnya sebagai istri, mati; suaminya yang terdahulu, yang telah
mengusirnya, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi istrinya, setelah ia
dinajiskan; karena itu merupakan kekejian di hadapan TUHAN: dan engkau akan
menyebabkan negeri, yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu sebagai warisanmu
ini, berdosa).
Yang digaris-bawahi itu salah terjemahan.
Kesalahan penterjemahan ini menyebabkan dalam KJV ini kelihatannya memang
perceraian dan pernikahan lagi itu memang diijinkan, padahal dalam terjemahan.
yang seharusnya tidaklah demikian. Dalam terjemahan dari NKJV (New King James
Version) kesalahan ini sudah dibetulkan.
a) Rabbi Shammai menyoroti kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1.
KJV: ‘some
uncleanness’ (= suatu kenajisan).
RSV/NASB: ‘some
indecency’ (= ketidak-senonohan).
NIV: ‘something
indecent’ (= sesuatu yang tidak senonoh).
Kelihatannya Barclay menganggap bahwa
Rabbi Shammai berpendapat bahwa kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1 menunjuk pada
perzinahan. Jadi ia berkata bahwa menurut rabbi Shammai perceraian diijinkan
hanya kalau terjadi perzinahan.
Barclay tentang Mat 5:31-32: “Shammai
and his school defined ‘some indecency’ as meaning unchastity and
nothing but unchastity. ‘Let a wife be as mischievous as the wife of
Ahab,’ they said, ‘she cannot be divorced except for adultery.’” (= Shammai dan kelompoknya mendefinisikan ‘yang tidak
senonoh’ sebagai ‘ketidak-murnian’ / ‘perzinahan’ dan tidak ada
yang lain kecuali ‘perzinahan’. ‘Biarlah seorang istri sama jahatnya
seperti istri Ahab’, kata mereka, ‘ia tidak bisa diceraikan kecuali karena perzinahan) - hal 152.
Catatan: saya tidak terlalu mengerti pandangan
Barclay, karena kata ‘unchastity’ bisa diterjemahkan bermacam-macam.
Tetapi dari bagian akhir kutipan itu, terlihat bahwa Barclay menganggapnya
sebagai ‘perzinahan’. Yang ini tidak diragukan karena Barclay menggunakan kata ‘adultery’
yang memang berarti ‘perzinahan’.
Tasker kelihatannya mempunyai pandangan
yang sama dengan Barclay, karena ia mengatakan sebagai berikut:
Tasker (Tyndale): “Jesus
favoured the interpretation put on Deutronomy 24:1 by the stricter school of
Jewish intrepreters” [= Yesus
setuju / menyokong penafsiran tentang Ul 24:1 oleh kelompok / aliran yang lebih
ketat dari penafsir Yahudi (maksudnya tentu saja adalah Shammai)]
- hal 69.
Tetapi John Stott mempunyai pandangan
berbeda. Menurutnya, Rabbi Shammai tidak menganggap hal itu sebagai suatu
perzinahan, karena perzinahan diancam dengan hukuman mati, bukan dengan
perceraian. Jadi, istilah itu dianggap menunjuk pada pelanggaran sexual, tetapi
belum sampai pada perzinahan / persetubuhan.
John Stott: “‘something
shameful’ (NEB, RSV) or ‘something indecent’ (NIV) in his wife. This cannot
refer to adultery on her part, for this was punishable by death, not divorce.
So what was it? During the first century B. C. the rival pharisaic parties led
by Rabbi Shammai and Rabbi Hillel were debating this very thing. Shammai was
strict and understood ‘something indecent’ (whose Hebrew root alludes to
‘nakedness’ or ‘exposure’) as a sexual offence of some kind which, though left
undefined, fell short of adultery or promiscuity” [= ‘sesuatu yang memalukan’ (NEB, RSV) atau ‘sesuatu
yang tidak senonoh’ (NIV) dalam diri istrinya. Ini tidak bisa menunjuk pada
perzinahan karena perzinahan dijatuhi hukuman mati, bukan perceraian. Lalu itu
menunjuk pada apa? Selama abad pertama S. M. kelompok-kelompok Farisi yang
bersaingan dipimpin oleh Rabbi Shammai dan Rabbi Hillel memperdebatkan hal ini.
Shammai sangat ketat dan mengartikan ‘yang tidak senonoh’ (yang akar kata
bahasa Ibraninya menunjuk pada ‘ketelanjangan’ atau ‘pembukaan’) sebagai
pelanggaran sexual yang sekalipun tidak didefinisikan, tetapi tidak sampai pada
perzinahan atau persetubuhan] - ‘Involvement’, vol II, hal 164.
James Hurley mempunyai pandangan yang
sama dengan John Stott, tetapi ia juga secara explicit mengatakan bahwa ada
perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksudkan oleh rabbi Shammai.
James B. Hurley: “The
school of Shammai took a much stricter stand. They understood Moses to permit
divorce only for a ‘shameful thing’ or ‘indecency’ ... Scholars have debated
the precise meaning of Moses’ phrase and Shammai’s use of it” (= Kelompok Shammai mengambil arti yang jauh lebih
ketat. Mereka mengartikan Musa mengijinkan perceraian hanya karena ‘sesuatu
yang memalukan’ atau’ ketidak-senonohan’ ... Para penafsir berdebat tentang
arti yang tepat dari ungkapan yang digunakan oleh Musa, dan penggunaan oleh
Shammai terhadap ungkapan itu) - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 97-98.
James B. Hurley: “The
school of Shammai ... allowed divorce only for ‘ a shameful thing’ or ‘an
indecency’. It is difficult to tell what Shammai meant by the phrase. Many
scholars have translated it as ‘unchastity’. By ‘unchastity’ some scholars
meant ‘illicit sexual relations’; others meant ‘unbecoming behaviour’. The
Talmudic rabbis seem to have similar uncertainty. In some text ‘an indecency’
is left to stand in its ambiguity. Elsewhere the rabbis add further
explanations such as spinning in the street, going out ‘uncovered’, or not
wearing enough clothes ... These actions were regarded as flagrant violations
of marital propriety and as potentially seductive” [= Kelompok Shammai ... mengijinkan perceraian hanya
karena ‘hal yang memalukan’ atau ‘suatu ketidak-senonohan’. Adalah sukar untuk
mengatakan apa yang dimaksud Shammai dengan istilah ini. Banyak penafsir
menterjemahkannya sebagai ‘unchastity’. Ada penafsir yang mengartikan kata
‘unchastity’ ini sebagai ‘hubungan sex yang haram’; dan penafsir-penafsir yang
lain mengartikan ‘kelakuan yang tidak pantas’. Rabbi-rabbi dalam kitab Talmud
kelihatannya mempunyai ketidak-pastian yang mirip. Dalam sebagian text
kata-kata ‘an indecency’ / ‘suatu ketidak-senonohan’ itu dibiarkan dalam arti
gandanya. Di tempat lain rabbi-rabbi menambahkan penjelasan-penjelasan lebih
lanjut seperti berputar / pusing di jalan (?), pergi ke luar dengan telanjang,
atau tidak mengenakan pakaian yang cukup ... Tindakan-tindakan ini dianggap
sebagai pelanggaran yang menyolok dari kesopanan pernikahan dan sebagai sangat
memungkinkan untuk menggoda] - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 100.
b) Rabbi Hillel menyoroti kata-kata ‘ia tidak menyukai lagi perempuan itu’ dalam Ul 24:1 dan lalu
menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh
dijadikan alasan untuk menceraikan istri (termasuk tindakan yang remeh seperti
menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu keras sehingga terdengar oleh
tetangga dsb).
Adam Clarke: “Rabbi
Akiba said, ‘If any man saw a woman handsomer than his own wife, he might put
his wife away; because it is said in the law, ‘If she find not favour in his
eyes.’ Deut. 24:1” (= Rabbi Akiba
berkata: ‘Jika ada orang yang melihat seorang perempuan yang lebih cantik dari
istrinya sendiri, ia boleh menyingkirkan / menceraikan istrinya; karena
dikatakan dalam hukum Taurat: ‘Jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan
itu’. Ul 24:1) - hal
74.
Adam Clarke: “Josephus,
the celebrated Jewish historian, ‘in his Life’, tells us, with the utmost
coolness and indifference, ‘About this time I put away my wife, who had borne
me three children, not being pleased with her manners.’” (= Josephus, ahli sejarah Yahudi yang terkenal, ‘dalam
kehidupannya’, memberitahu kita, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh,
‘Kira-kira pada saat ini aku menyingkirkan / menceraikan istriku, yang telah
melahirkan bagiku 3 anak, karena aku tidak senang dengan kelakuannya’) - hal 74.
Jelas bahwa pandangan Hillel lebih
banyak diterima, khususnya oleh orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai!
Ini, ditambah dengan fakta bahwa proses perceraian merupakan suatu proses yang
sangat mudah, membuat pernikahan merupakan sesuatu yang sangat rawan / tidak
aman.
Barclay: “The
process of divorce was extremely simple. The bill of divorcement simply ran: ‘Let
this be from me thy writ of divorce and letter of dismissal and deed of
liberation, that thou mayest marry whatsoever man thou wilt.’ All that had to
be done was to hand that document to the woman in the presence of two witnesses
and she stood divorced” (= Proses
perceraian sangat sederhana. Surat perceraian hanya berbunyi: ‘Inilah surat
perceraianmu dariku dan surat pembebasan dan tindakan kemerdekaan, supaya
engkau bisa menikahi siapapun yang engkau kehendaki’. Semua yang harus
dilakukan adalah menyerahkan dokumen itu ke tangan perempuan itu di hadapan dua
saksi dan perempuan itu sudah diceraikan) - hal 151.
Barclay: “Human
nature being such as it is, it is easy to see which school would have the
greater influence. In the time of Jesus divorce had grown easier and easier, so
that a situation had arisen in
which girls were actually unwilling to marry, because marriage was so insecure” (= Melihat keadaan manusia, adalah mudah untuk
mengetahui pihak mana yang mempunyai pengaruh yang lebih besar. Pada jaman
Yesus perceraian telah menjadi makin lama makin mudah, sehingga muncul suatu
situasi dimana gadis-gadis betul-betul tidak mau menikah, karena pernikahan
begitu ‘tidak pasti / aman’) - hal 152.
II) Ajaran Yesus tentang perceraian.
Ay 32: “Tetapi
Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena
zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan
perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Bdk. Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah.’”.
1) “Setiap orang yang menceraikan isterinya”.
Matius hanya mempersoalkan suami yang
menceraikan istri, karena Matius menujukan Injilnya terutama untuk orang-orang
Yahudi, dimana yang banyak terjadi adalah kasus suami menceraikan istri, dan
tidak pernah terjadi sebaliknya. Tetapi Markus yang menuliskan Injilnya kepada
orang-orang non Yahudi, juga melarang istri menceraikan suaminya.
William Hendriksen: “Matthew
was writing primarily to Jews, among whom the rejection of a wife by her
husband was well-known, but not vice-versa. Mark, writing to Gentiles, includes
both possibilities (10:11,12). But naturally Matt. 5:32 applies to the wife who
‘puts away’ her husband as well as to the husband who does the same to his
wife” [= Matius menulis terutama
kepada orang-orang Yahudi, di antara siapa penolakan seorang istri oleh
suaminya merupakan sesuatu yang terkenal, tetapi tidak sebaliknya. Markus,
menulis kepada orang-orang non Yahudi, mencakup kedua kemungkinan (10:11,12).
Tetapi tentu saja Mat 5:32 berlaku bagi istri yang menceraikan suaminya sama
seperti bagi suami yang melakukan hal yang sama terhadap istrinya] - hal 305 (footnote).
Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan
isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan
laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
2) Kalimat
perkecualian: ‘kecuali karena zinah’.
Ada macam-macam pandangan tentang
bagian ini.
a) Ada yang menganggap kalimat
perkecualian ini sebagai tidak sah, karena Markus dan Lukas tidak mempunyainya.
Barclay: “It
is now that we are face to face with one of the most real and most acute
difficulties in the New Testament. ... The difficulty is - and there is no
escaping it - that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ...
both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with them there are
no exceptions whatsoever. But Matthew has one saving clause - divorce is
permitted on the ground of adultery. ... In the last analysis we must choose
between Matthew’s version of this saying and that of Mark and Luke. We think
there is little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s
saving clause is a later interpretation inserted in the light of the practice
of the Church when he wrote” (=
Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling
nyata dan paling akut dalam Perjanjian Baru. Kesukarannya adalah - dan tidak
ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan
kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan
perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius
mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan
perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius
dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak
diragukan bahwa versi dari Markus
dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran
belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia
menulis) - hal
200-202.
Catatan: ayat dalam Markus adalah
Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.
Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan
isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan
laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin
dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan
yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.
Tetapi perlu diketahui bahwa dalam
Mat 5:32 maupun Mat 19:9 tidak ada perbedaan manuscripts. Semua
manuscripts mempunyai kalimat perkecualian tersebut.
Komentar-komentar tentang ‘kalimat
perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32 yang tidak ada dalam Markus
dan Lukas:
John Stott:
·
“Because it does not
occur in the parallel sayings in Mark and Luke, many scholars have been too
ready to dismiss it. Some suggest that it was an early scribal interpolation
and no part of Matthew’s original text. But there is no manuscript evidence
that it was a gloss; even the alternative reading of Codex Vaticanus, retained
in the RSV margin, does not omit the clause. Other scholars attribute the
clause to Matthew himself, and / or to the church in which he was writing, but
deny that Jesus ever spoke it. But its omission by Mark and Luke is not in
itself a sufficient ground for rejecting it as an editorial invention or
interpretation by the first evangelist. It is perfectly possible to suppose
that Matthew included it for his Jewish readership who were very concerned
about the permissible grounds for divorce, whereas Mark and Luke, writing for
Gentile readers, did not have the same concern. Their silence is not
necessarily due to ignorance; it may equally well be that they took the clause
for granted. Pagan cultures regarded adultery as a ground for divorce. So
did both the Jewish schools of Hillel and Shammai, in spite of their
disagreements on other points. This was not in dispute” [= Karena itu (kalimat perkecualian) tidak ada dalam
kata-kata yang paralel dari Markus dan Lukas, banyak penafsir yang terlalu siap
untuk membuangnya. Sebagian mengusulkan bahwa itu merupakan suatu penyisipan
awal dari penyalin dan bukan bagian dari text orisinil Matius. Tetapi tidak ada
bukti manuscripts bahwa itu merupakan catatan / keterangan; bahkan dalam
pembacaan yang berbeda dari Codex Vaticanus, yang dipertahankan dalam catatan
tepi dari RSV, tidak membuang kalimat itu. Penafsir-penafsir lain menganggap
bahwa kalimat itu berasal dari Matius sendiri, dan / atau dari gereja kepada
siapa ia menulis, tetapi menyangkal bahwa Yesus pernah mengucapkannya. Tetapi
tidak adanya kalimat itu dalam Markus dan Lukas bukan merupakan alasan yang
cukup untuk menolaknya sebagai suatu ciptaan redaksi atau penafsiran oleh
penginjil pertama itu (Matius). Adalah mungkin untuk menganggap bahwa Matius
mencakupnya karena pembaca Yahudinya yang sangat memperhatikan tentang
dasar-dasar yang memungkinkan perceraian, sedangkan Markus dan Lukas, yang
menulis kepada pembaca-pembaca non Yahudi, tidak mempunyai perhatian yang sama.
Diamnya mereka tidak harus disebabkan oleh ketidak-tahuan; juga mungkin bahwa
mereka menganggap kalimat itu sudah jelas / pasti (sehingga tidak perlu
ditulis). Kebudayaan kafir menganggap perzinahan sebagai dasar perceraian.
Demikian juga kedua kelompok / aliran dari Hillel dan Shammai, sekalipun mereka
mempunyai ketidak-cocokan dalam hal-hal lain. Ini tidak diperdebatkan] - ‘Involvement’, vol II, hal
169-170.
·
“It seems far more
likely that its absence from Mark and Luke is due not to their ignorance of it
but to their acceptance of it as something taken for granted. After all, under
the Mosaic law adultery was punishable by death (although the death penalty for
this offence seems to have fallen into disuse by the time of Jesus); so nobody
would have questioned that marital unfaithfulness was a just ground for
divorce. Even the rival Rabbis Shammai and Hillel were agreed about this” [= Jauh lebih memungkinkan bahwa tidak adanya kalimat
perkecualian dalam Markus dan Lukas bukan disebabkan karena ketidak-tahuan
mereka tentang hal itu, tetapi karena mereka menerima hal itu sebagai sesuatu
yang sudah pasti / jelas. Dalam jaman Musa, perzinahan dihukum dengan hukuman
mati (sekalipun hukuman mati untuk pelanggaran ini kelihatannya sudah tidak
dilakukan pada jaman Yesus); sehingga tak seorangpun akan mempertanyakan bahwa
ketidak-setiaan pernikahan merupakan alasan yang benar untuk perceraian. Bahkan
Rabbi Shammai dan Hillel yang bersaingan setuju tentang hal ini] - ‘The Message of the Sermon on the
Mount’, hal 96,97.
Tasker (Tyndale): “There
is no manuscripts evidence for the omission of the exception-clause” (= Tidak ada bukti manuscripts untuk penghapusan dari
kalimat perkecualian)
- hal 96.
A. T. Robertson: “An unusual phrase that perhaps
means ‘except for a matter of unchastity.’ ... McNeile denies that Jesus made
this exception because Mark and Luke do not give it. He claims that the early
Christians made the exception to meet a pressing need, but one fails to see the
force of this charge against Matthew’s report of the words of Jesus” (= Suatu ungkapan yang tidak biasa, yang mungkin berarti ‘kecuali karena
persoalan ketidak-murnian / perzinahan’. ... McNeille menyangkal bahwa Yesus
membuat perkecualian ini karena Markus dan Lukas tidak memnberikannya. Ia
mengclaim bahwa orang-orang Kristen abad-abad awal membuat perkecualian untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak, tetapi seseorang gagal untuk melihat kekuatan
dari tuduhan terhadap laporan Matius tentang kata-kata Yesus) - ‘Word Pictures in the New Testament’,
vol I, hal 47.
A. T. Robertson
memberi komentar tambahan tentang kata-kata McNeile ini:
“That in my opinion is gratuitous
criticism which is unwilling to accept Matthew’s report because it disagrees
with one’s views on the subject of divorce. He adds: ‘It cannot be supposed
that Matthew wished to represent Jesus as siding with the school of Shammai.’
Why not, if Shammai on this point agreed with Jesus?” (= Dalam pandangan saya merupakan suatu kritik yang serampangan / tidak
beralasan / tidak pada tempatnya jika seseorang tidak mau menerima laporan
Matius karena laporan itu tidak cocok dengan pandangannya tentang pokok
perceraian. Ia menambahkan: ‘Tidak bisa dianggap bahwa Matius ingin
menggambarkan Yesus sebagai berpihak kepada kelompok / aliran Shammai’. Mengapa
tidak, jika Shammai dalam hal ini setuju dengan Yesus?) - ‘Word Pictures in the New Testament’,
vol I, hal 155.
Catatan: dari kata-kata
yang terakhir ini kelihatannya A. T. Robertson menganggap bahwa Shammai
mengijinkan perceraian hanya kalau terjadi perzinahan (sama seperti pandangan
Barclay tentang Shammai).
b) Kata yang diterjemahkan ‘zinah’
adalah PORNEIA, dan kata PORNEIA ini biasanya diterjemahkan ‘fornication’
(= percabulan), dan ini biasanya dibedakan dengan kata Yunani MOICHEIA, yang
biasanya diartikan ‘adultery’ (= perzinahan).
Biasanya ‘adultery’ (=
perzinahan) dianggap menunjuk pada tindakan orang yang sudah menikah, sedangkan
‘fornication’ (= percabulan) menunjuk pada tindakan orang yang belum
menikah.
Ini menyebabkan ada yang menafsirkan
bahwa yang Yesus maksudkan adalah:
1. Perzinahan yang dilakukan sebelum
pernikahan, dan baru diketahui sesudah pernikahan. Bandingkan dengan
Ul 22:13-21 - orang kawin tetapi tidak didapati tanda keperawanan.
John Stott: “The
Greek word is PORNEIA. It is normally translated ‘fornication’, denoting the
immorality of the unmarried, and is often distinguished from MOICHEIA
(‘adultery’), the immorality of the married. For this reason some have
argued that the exceptive clause permits divorce if some pre-marital sexual sin
is later discovered” [= Kata
Yunaninya adalah PORNEIA. Biasanya kata itu diterjemahkan ‘percabulan’,
menunjuk pada tindakan tidak bermoral dari orang yang belum menikah, dan kata
itu sering dibedakan dari MOICHEIA (‘perzinahan’), tindakan tidak bermoral dari
orang yang sudah menikah. Karena alasan ini beberapa orang berargumentasi
bahwa kalimat perkecualian mengijinkan perceraian jika dosa sexual yang terjadi
sebelum pernikahan ditemukan / diketahui belakangan] - ‘The Message of the Sermon on the
Mount’, hal 97.
Matthew Henry
tentang Mat 19:9: “Dr. Whitby
understands this, not of adultery, but (because our Saviour uses the word porneia - fornication) of uncleanness committed before marriage,
but discovered afterward; because if it were committed after, it was a capital
crime, and there needed no divorce” [= Dr. Whitby mengerti ini, bukan sebagai
perzinahan, tetapi (karena Juruselamat kita menggunakan kata porneia / PORNEIA - percabulan) kenajisan yang
dilakukan sebelum pernikahan, tetapi baru diketemukan kemudian; karena jika itu
dilakukan setelah pernikahan, itu harus dihukum mati, dan tidak perlu ada
perceraian] - hal 270.
2. Perzinahan yang dilakukan pada masa
pertunangan tingkat dua dalam adat Yahudi.
Dalam tradisi mereka ada beberapa tahap
menuju pernikahan:
a. Pertunangan I (engagement).
Pertunangan I ini terjadi pada waktu
dua orang yang dipertunangkan itu masih kecil, dimana mereka dipertunangkan
oleh orang tua mereka, dan mereka belum saling kenal. Pertunangan I ini bisa
dibatalkan.
b. Pertunangan II (bethrotal).
Pertunangan II ini terjadi setelah dua
orang tadi sudah cukup umur. Pada saat pertunangan II ini mereka sudah
disebut ‘suami
istri’ (bdk.
Ul 22:23-24; dalam ay 23nya disebutkan ‘bertunangan’ tetapi dalam ay 24nya disebut
sebagai ‘istri’) tetapi mereka belum tinggal bersama
dan mereka belum boleh melakukan hubungan sex. Dalam tradisi Yahudi saat itu,
pemutusan pertunangan II ini dianggap sebagai perceraian dan dianggap sebagai
dosa. Pertunangan II ini hanya berlangsung 1 tahun.
c. Pernikahan.
Pandangan ini menganggap bahwa
perzinahan itu terjadi pada masa pertunangan tingkat dua. Bandingkan dengan
kasus Yusuf yang hendak menceraikan Maria, karena ia mengira bahwa Maria
mengandung dari perzinahan.
The Wycliffe Bible Commentary tentang
Mat 19:9: “If fornication be regarded as a general term including
adultery (an identification most uncertain in the New Testament), then our Lord
allowed divorce only for the cause of infidelity by the wife. ... However, if
fornication be viewed in its usual meaning, and referred here to unchastity by
the bride during betrothal (cf. Joseph’s suspicious, Mt 1:18,19), then Christ
allowed no grounds what ever for divorce of married persons. Thus he agreed
neither with Shammai nor Hillel” [= Jika percabulan dianggap sebagai suatu
istilah umum yang mencakup perzinahan (suatu identifikasi yang sangat tidak
pasti dalam Perjanjian Baru), maka Tuhan kita mengijinkan perceraian hanya
karena ketidak-setiaan oleh istri. ... Tetapi, jika percabulan dipandang dalam
artinya yang biasa, dan di sini menunjuk pada perzinahan oleh mempelai
perempuan pada masa pertunangan (bdk. kecurigaan Yusuf, Mat 1:18-19), maka
Kristus tidak mengijinkan dasar apapun untuk perceraian dari orang-orang yang
menikah. Dengan demikian Ia tidak setuju baik dengan Shammai ataupun Hillel] - hal 963.
Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5a - “Adultery or fornication committed after a contract,
being detected before marriage, giveth just occasion to the innocent party to
dissolve the contract” (= Perzinahan atau percabulan yang dilakukan setelah
suatu kontrak / perjanjian, yang dideteksi sebelum pernikahan, memberikan alasan
yang benar kepada pihak yang tidak bersalah untuk membubarkan kontrak /
perjanjian).
Catatan: kata-kata dari Westminster
Confession of Faith di sini tidak berarti bahwa Westminster Confession
of Faith menyetujui penafsiran ini. Ini terlihat dari pasal 24 ayat 5b yang
nanti saya kutip di bawah. Westminster Confession of Faith hanya
menganggap bahwa dalam kasus seperti itu, perceraian diijinkan. Dasar yang
dipakai adalah kasus Yusuf dan Maria (Mat 1:18-19).
Keberatan terhadap pandangan ini:
a. Dalam Mat 19, Yesus dan
orang-orang Farisi tidak sedang berbicara tentang pertunangan, tetapi tentang
pernikahan. Dan dalam Mat 19, text-text Kitab Suci yang dipersoalkan,
yaitu Ul 24:1-4 dan Kej 2:24, semua berbicara tentang pernikahan, bukan pertunangan.
Mat 19:3-10 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk
mencobai Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca,
bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
(6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka
kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan
surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada
mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu,
tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata kepadamu:
Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-murid itu berkata kepadaNya:
‘Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan
kawin.’”.
b. Arti dan penggunaan dari kata
PORNEIA.
·
Kata
PORNEIA tidak hanya menunjuk pada dosa sexual dari orang yang belum menikah,
tetapi kata ini merupakan istilah umum yang artinya luas, dan mencakup hal-hal
seperti:
*
incest
(1Kor 5:1).
*
homosex
(Yudas 7).
*
perzinahan
(Yer 3:2,6 versi LXX).
·
Ada
penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan dalam Sirakh 23:23 (salah
satu kitab dari kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika) dan menunjuk pada dosa
dari seorang pezinah perempuan, yang jelas-jelas sudah menikah.
Pulpit Commentary
(tentang Mat 19:9): “it is not correct to say that porneia
denotes solely the sin of unmarried people. All illicit connection is described
by this term, and it cannot be limited to one particular kind of transgression.
In Ecclus. 23:23 it is used expressly of the sin of an adulteress” (= tidak benar untuk mengatakan bahwa PORNEIA hanya menunjuk pada dosa
dari orang yang belum menikah. Semua hubungan gelap / haram digambarkan oleh
istilah ini, dan itu tidak bisa dibatasi pada satu jenis pelanggaran tertentu.
Dalam Sirakh 23:23 kata itu digunakan secara jelas tentang dosa dari
seorang perzinah perempuan) - hal 244-245.
Catatan:
*
jangan mencampur-adukkan kitab yang dalam bahasa Inggris
disebut ‘Ecclesiastes’ (= kitab Pengkhotbah) dengan ‘Ecclesiasticus’.
Yang terakhir ini menunjuk kepada salah satu dari kitab-kitab Apocrypha /
Deutrokanonika, yang dalam bahasa Indonesia (Kitab Suci Katolik) disebut ‘kitab
Sirakh’.
*
Sirakh 23:22-23 - “Demikianlah halnya seorang istri yang
meninggalkan suaminya dan dari orang lain melahirkan waris. Sebab pertama-tama ia tidak taat kepada hukum dari
Yang Mahatinggi, keduanya ia bersalah terhadap suaminya, ketiganya ia berzinah
dengan melacur, dan akhirnya melahirkan anak dari laki-laki lain”.
·
John
Stott: “PORNEIA was, in fact, a generic word for sexual
infidelity or ‘marital unfaithfulness’ (NIV) and included, ‘every kind of
unlawful sexual intercourse’ (Arndt-Gingrich)” [= dalam faktanya, PORNEIA merupakan kata umum untuk
ketidak-setiaan sexual atau ‘ketidak-setiaan pernikahan’ (NIV) dan mencakup
‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ (Arndt-Gingrich)] - ‘Involvement’, vol II, hal
170.
Catatan: Arndt-Gingrich adalah nama-nama dari 2
penulis suatu lexicon / kamus Yunani yang sangat tebal, dan merupakan lexicon /
kamus standard.
·
W. E.
Vine: “PORNEIA (porneia) is used (a) of illicit
sexual intercourse, ... in Matt. 5:32 and 19:9 it stands for, or includes, adultery;
it is distinguished from it in 15:19 and Mark 7:21” [= PORNEIA (porneia) digunakan (a) tentang
hubungan sexual yang tidak sah, ... dalam Mat 5:32 dan 19:9 kata itu berarti,
atau mencakup, perzinahan; kata itu dibedakan dari perzinahan dalam (Mat) 15:19 dan Mark 7:21] - ‘An Expository Dictionary of New Testament Words’,
hal 455.
·
Knox Chamblin: “The meaning of PORNEIA. The
fundamental meaning of the term is ‘prostitution,’ in keeping with its nominal
counterpart PORNE, ‘prostitute, harlot.’ Yet it also denotes ‘fornication’ and
indeed can be used to comprehend ‘every kind of unlawful sexual intercourse’
... Thus the term is more comprehensive than MOICHEIA, ‘adultery.’” (= Arti dari kata PORNEIA.
Arti dasar dari istilah ini adalah ‘pelacuran’, sesuai dengan kata benda
pasangannya yaitu PORNE, ‘pelacur’. Tetapi kata itu juga menunjuk pada
‘percabulan’ dan bisa digunakan untuk mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang
tidak sah’ ... Jadi istilah ini mempunyai arti yang lebih luas dari pada
MOICHEIA, ‘perzinahan’) - hal 150.
·
John
Stott: “PORNEIA is derived from PORNE, a prostitute, without
specifying whether she (or her client) is married or unmarried. Further, it is
used in the Septuagint for the unfaithfulness of Israel, Yahweh’s bride, as
exemplified in Hosea’s wife Gomer. It seems, therefore, that we must agree with
R. V. G. Tasker’s conclusion that PORNEIA is ‘a comprehensive word, including
adultery, fornication and unnatural vice’” [= PORNEIA diturunkan dari PORNE, ‘seorang pelacur’,
tanpa menyatakan apakah ia (atau langganannya) menikah atau tidak menikah.
Selanjutnya, kata itu digunakan dalam Septuaginta untuk ketidak-setiaan dari
Israel, mempelai perempuan dari Yahweh, seperti ditunjukkan dalam diri dari
istri Hosea yaitu Gomer. Karena itu, kelihatannya kita harus setuju dengan
kesimpulan dari R. V. G. Tasker bahwa PORNEIA merupakan kata yang luas /
meliputi banyak hal, termasuk perzinahan, percabulan dan kejahatan sexual yang
tidak alamiah] - ‘The
Message of the Sermon on the Mount’, hal 97.
Catatan: pada footnotenya John Stott
menyebutkan bahwa ayat dalam Hosea yang dimaksudkan adalah:
*
Hos 1:2,3
- “Ketika TUHAN mulai berbicara dengan
perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: ‘Pergilah, kawinilah seorang
perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini
bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN.’ Maka pergilah ia dan mengawini
Gomer binti Diblaim, lalu mengandunglah perempuan itu dan melahirkan baginya
seorang anak laki-laki”.
*
Hos 2:1,3
- “‘Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia
bukan isteriKu, dan Aku ini bukan suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya dari
mukanya, dan zinahnya dari antara buah dadanya, ... Tentang anak-anaknya, Aku
tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah anak-anak sundal”.
Catatan: dalam Kitab
Suci Inggris Hos 2:2,4.
·
Kata
PORNEIA dan MOICHEIA digunakan secara interchangeable (= bisa
dibolak-balik) dalam Wah 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan
PORNEIA, sedangkan Wah 2:22 menggunakan MOICHEIA, padahal semua
membicarakan satu hal yang sama.
Wah 2:20-22 - “(20) Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan
wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan
hamba-hambaKu supaya berbuat zinah (porneusai / PORNEUSAI) dan makan persembahan-persembahan berhala. (21)
Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat
dari zinahnya (porneiaj / PORNEIAS). (22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke
atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah (moiceuontaj / MOICHEUONTAS) dengan dia akan Kulemparkan ke dalam
kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan
itu”.
Kesimpulan: adalah salah untuk memberikan garis
pemisah yang tegas antara PORNEIA dan MOICHEIA, dan mengartikan PORNEIA sebagai
dosa sexual dari orang yang belum menikah sedangkan MOICHEIA adalah dosa sexual
dari orang yang sudah menikah.
c) Kalimat ini dianggap sebagai suatu
perkecualian. Jadi, Yesus melarang perceraian, kecuali terjadi perzinahan. Ini
merupakan pandangan dari hampir semua penafsir. Jadi, kata-kata banyak
orang bahwa pada umumnya pandangan yang diterima adalah bahwa orang
kristen tidak boleh bercerai, sekalipun terjadi perzinahan, adalah kata-kata
yang salah. Ini akan saya buktikan nanti dengan memberikan banyak kutipan di
bawah.
Tetapi, perzinahan itu haruslah
perzinahan fisik, bukan perzinahan dalam hati seperti dalam Mat 5:28. Mengapa?
·
karena
kalau cerai diijinkan pada saat terjadi perzinahan pikiran, maka semua
perempuan boleh mencerikan suaminya. Mana ada orang laki-laki yang tidak pernah
melanggar Mat 5:28?
·
Mat 19:9
dan Mat 5:31-32 mengatakan ‘perzinahan’ bukan ‘perzinahan dalam hati’
seperti yang dikatakan Mat 5:28.
·
perzinahan
dalam hati tidak bisa dibuktikan, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan
dasar untuk menceraikan pasangannya.
·
ada
penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan karena memang kata itu lebih
menekankan sifat fisik dari perzinahan yang dilakukan dibandingkan dengan kata
MOICHEIA.
Pulpit Commentary
tentang Mat 5:32: “‘Fornication.’ The reference is to sin after marriage. ... The more
general word (porneia) is used, because it lays more
stress on the physical character of the sin than moiceia would have laid” [= ‘Percabulan’. Yang
ditunjuk adalah dosa setelah pernikahan. ... Kata yang lebih umum (porneia - PORNEIA)
digunakan, karena kata itu lebih menekankan sifat fisik dari dosa tersebut
dari pada kata moiceia / MOICHEIA] - hal 164.
John Stott: “PORNEIA
means physical sexual immorality; the reason why Jesus made it the sole permissible
ground for divorce must be that it violates the ‘one flesh’ principle which is
foundational to marriage as divinely ordained and biblically defined” (= PORNEIA berarti ketidak-bermoralan sexual secara
fisik; alasan mengapa Yesus membuatnya sebagai satu-satunya dasar yang
mengijinkan perceraian haruslah karena hal itu melanggar prinsip ‘satu daging’
yang merupakan dasar dari pernikahan sebagai sesuatu yang ditetapkan Allah dan
didefinisikan oleh Alkitab) - ‘Involvement’, vol II, hal 170.
Beberapa penafsir menganggap bahwa
tindakan penyimpangan sexual seperti homosex, lesbianisme, bestiality (=
hubungan sex dengan binatang) juga tercakup di sini, karena kata PORNEIA memang
mencakup hal-hal tersebut.
Mengapa saya mengambil pandangan ini?
1. Arti
dan penggunaan kata PORNEIA yang sudah dibahas di atas.
2. Yer 3:1-8, khususnya
ay 8nya, yang berbunyi: “Dilihatnya,
bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu,
dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang
tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
mempraktekkan prinsip yang Yesus ajarkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu. Pada
waktu Israel bersundal / berzinah / tidak setia kepada Allah, maka Allah
menceraikan Israel dan memberikan surat cerai kepadanya! Memang perzinahan yang
dilakukan oleh Israel, adalah perzinahan rohani, dimana mereka tidak
setia kepada Allah dan lalu menyembah berhala / allah lain, tetapi prinsipnya
sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka perceraian diijinkan!
3. 1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan
dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah
kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”.
Ini menunjukkan bahwa perzinahan
menghancurkan ikatan pernikahan.
G. I. Williamson: “If
a man becomes one flesh with an harlot, it is hard to see how he can yet be one
flesh with his wife. Unless such be repented of and forgiven, we do not see how
it can be denied that the adultery necessitates the dissolution of the
marriage” (= Jika seorang
laki-laki menjadi satu daging dengan seorang pelacur, sukar untuk melihat
bagaimana ia bisa tetap satu daging dengan istrinya. Kecuali ia bertobat dan
diampuni, kami tidak melihat bagaimana bisa disangkal bahwa perzinahan itu
mengharuskan pembubaran / terputusnya pernikahan) - ‘The Westminster Confession of
Faith’, hal 185.
Banyak orang menyoroti pandangan ini
secara negatif, karena mengijinkan perceraian. Tetapi sebetulnya pandangan ini
bisa disoroti secara positif, karena dengan adanya pandangan ini, maka orang
akan agak takut untuk berzinah.
Keberatan terhadap pandangan ini:
a. Apakah
itu berarti tidak ada pengampunan?
Jawab:
Merupakan sesuatu yang menarik bahwa
persis sebelum text dari Mat 19:1-12 terdapat text Mat 18:21-35
(perumpamaan tentang orang yang berhutang 10.000 talenta) yang menekankan
pengampunan. Karena itu jelas bahwa ‘menceraikan pasangan yang berzinah’
tidak boleh diartikan ‘tidak mengampuni’. Orang itu harus diampuni, tetapi
tidak diterima kembali sebagai pasangan hidup! Ini sama seperti kasus pendeta
yang jatuh dalam perzinahan, sehingga dipecat dari jabatannya. Kalau ia
bertobat, ia diampuni, tetapi tetap tidak diterima kembali sebagai pendeta,
karena ia tidak lagi memenuhi syarat penatua dalam 1Tim 3:7 - ‘mempunyai nama baik’.
Saya tidak setuju dengan Jay E. Adams (‘Marriage,
Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 56-57) yang mengharuskan
pihak yang tidak bersalah untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan
yang berzinah, jika pasangan yang berzinah tersebut bertobat. Saya berpendapat
bahwa ia memang harus mengampuni pasangannya tersebut tetapi ia tidak harus
(tetapi boleh) menerimanya kembali sebagai pasangan hidup. Ia berhak
menceraikannya dan menikah lagi dengan orang lain.
Pada waktu Yusuf mengira bahwa Maria
telah berzinah dengan laki-laki lain, ia tidak menegur ataupun berusaha
mempertobatkan Maria, supaya ia bisa menerimanya kembali, tetapi ia berusaha
menceraikannya. Dan ia disebut sebagai ‘seorang
yang tulus hati’ (Lit:
‘seorang
yang benar’) - Mat 1:18-19.
b. Mat 19:7-8 - “(7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah
sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang
menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran
hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak
semula tidaklah demikian”.
Kata-kata ‘karena ketegaran hatimu’ disoroti dan ditafsirkan bahwa
perceraian karena perzinahan itupun diijinkan karena ketegaran hati manusia.
Jadi sebetulnya tetap tidak boleh cerai sekalipun ada perzinahan.
Jawab:
Dalam Mat 19:7 itu orang-orang
Farisi menggunakan istilah ‘memerintahkan’. Sekalipun memang mereka berkata bahwa
‘Musa memerintahkan untuk memberikan
surat cerai’, tetapi
orang bisa menerima secara salah, seolah-olah Musa memerintahkan perceraian.
Karena itu, pada waktu Yesus menjawab dalam Mat 19:8, Ia tidak mau
menggunakan istilah ‘memerintahkan’, tetapi Ia menggunakan istilah ‘mengijinkan’.
Padahal, tadi di atas sudah kita lihat
bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 tidak mengijinkan perceraian / pernikahan lagi
ataupun memberikan syarat perceraian; lalu mengapa dalam Mat 19:8 Yesus
mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian? Ada 2 kemungkinan jawaban:
·
Karena
Musa tidak melarang perceraian secara tegas, maka itu dianggap mengijinkan.
·
Waktu
Yesus berkata ‘Musa mengijinkan’, Ia tidak memaksudkan Ul 24:1-4,
tetapi dalam praktek / kenyataannya, dimana Musa memang mengijinkan perceraian.
Itupun tidak berarti bahwa Musa
menghalalkan perceraian itu atau menganggapnya tidak dosa. Karena itu Yesus
berkata ‘karena ketegaran hatimu
maka Musa mengijinkan hal itu’. Jadi, supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti istri
dipukuli, tidak diberi makan dsb, maka Musa akhirnya mengijinkan perceraian. Tetapi
perceraian yang dimaksud di sini bukanlah perceraian yang terjadi karena
perzinahan / dosa sexual yang hebat.
Kata-kata ‘tetapi sejak semula tidaklah demikian’ mungkin menunjuk pada keadaan ideal
(pada saat tidak ada dosa, pada saat pernikahan itu pertama-tama diadakan oleh
Allah). Memang pernikahan diadakan bukan supaya ada perceraian.
Penafsiran ini tidak bertentangan
dengan kontex. Coba perhatikan: dalam Mat 19:3 orang-orang itu bertanya: ‘Apakah diperbolehkah orang menceraikan istrinya dengan
alasan apa saja?’.
Dalam Mat 19:4-6 Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka,
tetapi Ia lebih dulu membicarakan peraturan umum atau keadaan
idealnya, yaitu orang tidak boleh bercerai. Lalu dalam Mat 19:7 mereka
bertanya: ‘Mengapa Musa menyuruh memberi surat cerai?’. Dan Yesus menjawab
dalam Mat 19:8: ‘Karena ketegaran hatimu’. Lalu dalam Mat 19:9 Ia
menekankan lagi bahwa orang tidak boleh bercerai, tetapi sekarang ini Ia
memberikan perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan. Baru dalam
Mat 19:9 ini Ia menjawab pertanyaan mereka dalam Mat 19:3. Dengan
demikian kesimpulan seluruhnya adalah sebagai berikut: Terhadap pertanyaan:
apakah boleh seseorang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Yesus
menjawab: Tidak, orang hanya boleh bercerai kalau terjadi perzinahan!
Komentar-komentar dari para penafsir:
Tasker (Tyndale) tentang
Mat 19:3-9: “Their question ‘Is it lawful for a man to put away his
wife for every cause?’ is not immediately or very directly answered; but the
subsequent narrative implies that in effect the answer of Jesus is ‘If you mean
for any cause, My answer is Yes; if you mean for every cause, My answer is No’” (= Pertanyaan mereka: ‘Apakah diperbolehkan orang
menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’ tidak dijawab secara langsung;
tetapi cerita selanjutnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebetulnya
jawaban Yesus adalah: ‘Jika engkau memaksudkan untuk sesuatu alasan, jawabanKu
adalah Ya; jika engkau memaksudkan untuk setiap alasan / alasan apa saja,
jawabanKu adalah Tidak’)
- hal 179.
Tasker (Tyndale): “The
word PORNEIA translated ‘fornication’ is a comprehensive word, including
adultery, fornication and unnatural vice. ... Jesus does not insist that there
must be divorce in these cases, ...
but that these, and not trivial considerations, are the kind of things
for which divorce may rightly be granted” (= Kata PORNEIA yang diterjemahkan ‘percabulan’
merupakan suatu kata yang mempunyai banyak arti, termasuk perzinahan,
percabulan, and kejahatan yang tidak alamiah. ... Yesus tidak berkeras bahwa
harus ada perceraian dalam kasus-kasus ini, ... tetapi bahwa hal-hal ini, dan
bukannya pertimbangan-pertimbangan yang remeh, merupakan jenis hal-hal untuk
mana perceraian bisa diberikan secara benar) - hal 184.
Knox Chamblin tentang Mat 19:3-9: “It is now to be emphasizes that Jesus’ ‘except clause in
v. 9 does not represent a reversal or even an exception to the principle
enunciated in vv. 4-6. For where PORNEIA has occurred, the marital union has
already been severed. In this case a divorce does not cause the rift but
witnesses to a rift that has already occurred. Jesus legitimizes ‘a kind of
divorce that consists solely in the formalization of a break that has already
occurred through sexual infidelity’” (= Sekarang harus ditekankan bahwa kalimat
perkecualian Yesus dalam ay 9 tidak menggambarkan suatu pembalikan atau
bahkan suatu perkecualian terhadap prinsip yang diucapkan dalam ay 4-6.
Karena dimana PORNEIA telah terjadi, persatuan pernikahan telah terpotong /
terputus. Dalam kasus ini perceraian tidak menyebabkan keretakan itu tetapi
memberi kesaksian tentang suatu keretakan yang telah terjadi. Yesus mengesahkan
‘suatu jenis perceraian yang semata-mata merupakan peresmian dari suatu
keretakan / perpecahan yang sudah terjadi melalui ketidak-setiaan sexual’) - hal 150.
Barnes’ Notes
tentang Mat 5:32: “Our Saviour brought marriage back to its original institution, and
declared that whosoever put away his wife henceforward should be guilty of
adultery. But one offence, he declared, could justify divorce. ... Nor has any
man, or set of men, a right to interfere and declare that divorces may be
granted for any other cause. Whosoever, therefore, are divorced for any cause
except the single one of adultery, if they marry again, are, according to the
Scriptures, living in adultery” (= Juruselamat kita
membawa pernikahan kembali kepada pendirian orisinilnya, dan menyatakan bahwa
siapapun yang menceraikan istrinya mulai saat itu bersalah dalam persoalan
perzinahan. Tetapi satu pelanggaran, Ia menyatakan, bisa membenarkan
perceraian. ... Tidak ada siapapun, baik seseorang maupun sekelompok orang,
yang berhak untuk mencampuri dan menyatakan bahwa perceraian diijinkan untuk
alasan lain apapun juga. Karena itu siapapun yang diceraikan karena alasan lain
kecuali perzinahan, jika mereka menikah lagi, menurut Kitab Suci, hidup dalam
perzinahan) - hal 25.
Barnes’ Notes
tentang Mat 19:9: “Only one offence was to make divorce lawful. This is the law of God. And
by the same law, all marriages which take place after divorce, where adultery
is not the cause of divorce, are adulterous. Legislatures have no right to say
that men may put away their wives for any other cause; and where they do, and
where there is marriage afterwards, by the law of God such marriages are
adulterous” (= Hanya satu pelanggaran yang
membuat perceraian menjadi sah. Ini adalah hukum Allah. Dan oleh hukum yang
sama, semua pernikahan yang terjadi setelah perceraian, dimana perzinahan
bukanlah alasan dari perceraian tersebut, adalah perzinahan. Pembuat
undang-undang tidak mempunyai hak untuk mengatakan bahwa orang boleh
menceraikan istri mereka untuk alasan lain apapaun juga; dan dimana mereka
melakukannya, dan dimana ada pernikahan setelahnya, oleh hukum Allah pernikahan
seperti itu dianggap sebagai perzinahan) - hal 87.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “In
verse 32 Jesus proceeds to propound the principle that to put away or dismiss a
wife for any reason but that of sexual infidelity is sin” (= Dalam ay 32
Yesus melanjutkan dengan mengemukakakan prinsip bahwa menceraikan atau memecat
seorang istri untuk alasan lain selain alasan ketidak-setiaan sexual adalah
dosa) - ‘Divorce’, hal 20.
William
Hendriksen tentang Mat 5:31-32: “The exception to which Jesus refers in Matt. 5:32
(‘except on the ground of infidelity’) permits divorce only when one of the
contracting parties, here the wife, by means of marital unfaithfulness
(‘fornication’) rises in rebellion against the very essence of the marriage
bond” [= Perkecualian yang ditunjukkan
oleh Yesus dalam Mat 5:32 (‘kecuali karena percabulan’) mengijinkan
perceraian hanya pada waktu satu dari pihak-pihak yang menikah, di sini si
istri, oleh ketidak-setiaan pernikahan (‘percabulan’) memberontak terhadap inti
/ hakekat dari ikatan pernikahan] - hal 305.
Matthew Henry
tentang Mat 5:32: “divorce is not
to be allowed, except in case of adultery, which breaks the marriage covenant” (= perceraian
tidak diijinkan, kecuali dalam kasus perzinahan, yang menghancurkan perjanjian
pernikahan) - hal 62.
Pulpit Commentary
tentang Mat 5:32: “The popular school, that of Hillel, allowed divorce ‘for every cause’
(ch. 19:3); the Lord allows it only ‘for the cause of fornication.’” (= Kelompok / aliran yang poupler,
yaitu kelompok / aliran dari Hillel, mengijinkan perceraian ‘karena alasan apa
saja’ (pasal 19:3); Tuhan mengijinkannya hanya ‘karena percabulan’) - hal 177.
Calvin (tentang Mat 5:31): “Though
the husband and the wife are united by mutual consent, yet God binds them by an
indissoluble tie, so that they are not afterwards at liberty to separate. An
exception is added, ‘except on account of fornication’: for the woman, who has
basely violated the marriage-vow, is justly cast off; because it was by her
fault that the tie was broken, and the husband set at liberty” (= Sekalipun
suami dan istri idpersatukan oleh persetujuan bersama, Allah mengikat mereka
dengan ikatan yang tidak bisa diputuskan, sehingga setelah itu mereka tidak
bebas untuk berpisah / bercerai. Suatu perkecualian ditambahkan, ‘kecuali
karena percabulan’: karena perempuan, yang secara hina telah melanggar janji
pernikahan, secara benar dibuang; karena kesalahannya menyebabkan ikatan itu
hancur dan suami itu menjadi bebas) - hal 293.
Calvin tentang Mat 19:9: “But
an exception is added; for the woman, by fornication, cuts herself off, as a
rotten member, from her husband, and sets him at liberty. Those who search for
other reasons ought justly to be set at nought, because they choose to be wise
above the heavenly teacher. ... the husband, who convicts his wife of
uncleanness, is here freed by Christ from the bond” [= Tetapi
suatu perkecualian ditambahkan; karena perempuan itu, oleh percabulan, membuang
/ memotong dirinya sendiri, sebagai anggota yang membusuk, dari suaminya, dan
membuat suaminya bebas. Mereka yang mencari alasan-alasan lain, secara benar
harus ditolak, karena mereka memilih untuk menjadi lebih bijaksana di atas guru
surgawi. ... sang suami, yang membuktikan kenajisan istrinya, di sini
dibebaskan oleh Kristus dari ikatan tersebut] - hal 383,384.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “Fornication
is unequivocally stated to be the only legitimate ground for which a man may
put away his wife. The word used here is the more generic term for sexual
uncleanness, namely, fornication (porneia). This term may
be used of all kinds of illicit sexual intercourse and may apply to such on the
part of unmarried persons, in whose case the sin would not be in the specific
sense of adultery. But though it is the generic word that is used here (cf.
also Matt. 19:9), it is not to be supposed that the sense is perplexed thereby.
What Jesus sets in the forefront is the sin of illicit sexual intercourse. It
is, of course, implied that such on the part of a married woman is not only
fornication but also adultery in the specific sense, for the simple reason that
it constitutes sexual infidelity to her spouse. And this is the only case in
which, according to Christ’s unambiguous assertion, a man may dismiss his wife
without being involved in the sin which Jesus proceeds to characterise as
making his wife to be an adulteress” [= Percabulan dengan tegas dinyatakan
sebagai satu-satunya dasar yang sah dengan mana seorang boleh menceraikan
istrinya. Kata yang digunakan di sini merupakan istilah yang lebih umum untuk
kenajisan sexual, yaitu percabulan (porneia - PORNEIA).
Istilah ini bisa digunakan untuk semua jenis hubungan sex yang gelap / haram
dan bisa diterapkan hal-hal itu pada orang-orang yang belum menikah, sehingga
dosanya bukanlah perzinahan dalam arti spesifik / khusus. Tetapi sekalipun kata
yang umum yang digunakan di sini (bdk. juga Mat 19:9), tidak boleh
dianggap bahwa dengan demikian artinya dibingungkan / dikaburkan. Apa yang
diajukan oleh Yesus adalah dosa dari hubungan sex yang haram / gelap. Tentu
saja secara tidak langsung itu menunjuk pada hal-hal dari perempuan yang sudah
menikah, yang bukan hanya merupakan percabulan tetapi juga perzinahan dalam
arti spesifik / khusus, karena alasan yang sederhana bahwa itu merupakan
ketidak-setiaan sexual terhadap pasangannya. Dan ini adalah satu-satunya kasus
dalam mana, menurut penegasan Kristus yang jelas, seseorang boleh menceraikan
istrinya tanpa terlibat dalam dosa yang Yesus gambarkan sebagai membuat istrinya
menjadi pezinah] - ‘Divorce’, hal 20-21.
John Murray tentang Mat 5:31-32: “the
Old Testament law did not provide for divorce in the case of adultery. The law
was more stringent; it required death for such sexual infidelity. The marriage
was indeed thereby dissolved but this was effected through the death of the
guilty party. The law enunciated by our Lord, on the other hand, institutes
divorce as the means of relief for the husband in the case of adultery on the
part of the wife. Here then is something novel and it implies that the
requirement of death for adultery is abrogated in the economy Jesus himself
inaugurated. ... He abrogated the Mosaic penalty for adultery and he
legitimated divorce for adultery” (= hukum Perjanjian Lama tidak menyediakan
perceraian dalam kasus perzinahan. Hukumnya lebih keras; hukum itu mengharuskan
kematian untuk ketidak-setiaan sexual seperti itu. Pernikahan itu memang bubar
tetapi ini terjadi melalui kematian dari pihak yang bersalah. Di sisi lain,
hukum yang diucapkan oleh Tuhan kita, menegakkan / menetapkan perceraian
sebagai jalan pembebasan untuk suami dalam kasus perzinahan yang dilakukan oleh
istri. Maka di sini ada sesuatu yang baru dan secara tidak langsung hal itu
menunjukkan bahwa hukuman mati untuk perzinahan dibatalkan dalam pengaturan /
sistim yang diresmikan oleh Yesus sendiri. ... Ia membatalkan hukuman
dari hukum Taurat Musa untuk perzinahan dan ia mengesahkan perceraian untuk
perzinahan) - ‘Divorce’, hal 27.
A. T. Robertson: “it is plain that Matthew represents
Jesus in both places as allowing divorce for fornication as a general term
(porneia) which is technically adultery (moicheia from moichao or moicheuo)” [= adalah jelas bahwa Matius menggambarkan Yesus di kedua tempat sebagai
mengijinkan perceraian untuk percabulan sebagai suatu istilah umum (PORNEIA)
yang secara tehnis adalah perzinahan (moicheia
dari moichao atau moicheuo)] - ‘Word Pictures in the New Testament’,
vol I, hal 155.
John Stott: “Only
sexual infidelity could be admitted as a ground for breaking the marriage bond.
This had been clearly recognised in the Old Testament because it was punishable
by death. But the death sentence for adultery had fallen into disuse, and in
any case the Romans did not permit the Jews to administer it. So when Joseph
suspected Mary of unfaithfulness, he thought of divorce, not death (Matthew
1:18f). And Jesus refused to be trapped by those who asked if the woman caught
in adultery should be stoned (John 8:3ff). It seems, then, that he abrogated
the death penalty for sexual infidelity, and made this the only legitimate
ground for dissolving the marriage bond, by divorce not death, and then only as
a permission” [= Hanya
ketidak-setiaan sexual bisa diterima sebagai suatu dasar untuk menghancurkan
ikatan pernikahan. Ini telah secara jelas dikenali dalam Perjanjian Lama karena
hal itu dijatuhi dengan hukuman mati. Tetapi hukuman mati untuk perzinahan
telah tidak digunakan, dan bagaimanapun juga orang Romawi tidak mengijinkan
orang-orang Yahudi untuk melaksanakannya. Jadi pada saat Yusuf mencurigai Maria
tentang ketidak-setiaan, ia memikirkan perceraian, bukan kematian
(Matius 1:18-dst). Dan Yesus menolak untuk dijebak oleh mereka yang
bertanya apakah perempuan yang tertangkap dalam perzinahan harus dirajam (Yoh
8:3-dst). Jadi kelihatannya Ia membatalkan hukuman mati untuk ketidak-setiaan
sexual, dan membuat hal ini sebagai satu-satunya dasar yang sah untuk
mengancurkan ikatan pernikahan, oleh perceraian bukan oleh kematian, dan itu
hanya merupakan ijin]
- ‘Involvement’, vol II, hal 172.
James B. Hurley: “If
we take PORNEIA at its common face value, as illicit intercourse, Jesus’
response rejects both rabbinic views. We can now see why the disciples were
surprised at Jesus’ teaching. He was far stricter than the rabbis. ... He
permitted it only for sexual violations of the marriage bond, violations which,
under the Old Testament, would have meant a death sentence. According to
Jesus only illicit sexual relations (PORNEIA: adultery, homosexuality,
bestiality) provide reason to terminate a marriage” [= Jika kita menerima PORNEIA sesuai dengan artinya yang
umum, sebagai hubungan gelap / haram, maka tanggapan Yesus menolak pandangan
dari kedua rabbi. Sekarang kita bisa melihat mengapa murid-murid terkejut
mendengar ajaran Yesus. Ia jauh lebih ketat dari rabbi-rabbi itu. ... Ia
mengijinkannya hanya karena pelanggaran sexual terhadap ikatan pernikahan,
pelanggaran mana, di bawah Perjanjian Lama, berarti hukuman mati. Menurut
Yesus hanya hubungan sexual yang gelap / haram (PORNEIA: perzinahan, homosex,
bestiality / hubungan sex dengan binatang) memberikan alasan untuk mengakhiri
suatu pernikahan]
- ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 103.
Jay E. Adams: “That
there is confusion about the word ‘fornication’ is understandable. In American
law, the word ‘fornication’ has come to mean sexual sin by unmarried persons,
over against ‘adultery’ which means sexual sin involving a married person.
However, that distinction must not be read back into the Bible as many
unwittingly do. It was not the biblical distinction. Indeed, Scripture writers
used the word ‘fornication’ (PORNEIA) to describe ‘sexual sin in general’, and
in the Bible it referred to cases of incest (1Cor. 5:1), homosexuality (Jude 7)
and even adultery (Jeremiah 3:1,2,6,8 - here a married adulteress is divorced
because of her fornication; cf. vv.2,6 in the LXX) as fornication” [= Bahwa di sana ada kebingungan tentang kata
‘percabulan’ merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. Dalam hukum Amerika, kata
‘percabulan’ berarti dosa sexual yang dilakukan oleh orang-orang yang belum
menikah, sedangkan ‘perzinahan’ berarti dosa sexual yang menyangkut orang-orang
yang sudah menikah. Tetapi pembedaan itu tidak boleh dimasukkan ke dalam
Alkitab seperti yang dilakukan oleh banyak orang tanpa disadari. Itu bukan
merupakan pembedaan yang alkitabiah. Bahkan penulis-penulis Kitab Suci
menggunakan kata ‘percabulan’ (PORNEIA) untuk menggambarkan ‘dosa sexual secara
umum’, dan dalam Alkitab kata itu menunjuk pada kasus-kasus incest (1Kor 5:1),
homosex (Yudas 7) dan bahkan perzinahan (Yeremia 3:1,2,6,8 - di sini
seorang pezinah yang telah menikah diceraikan karena percabulannya; bdk.
ay 2,6 dalam LXX / Septuaginta) sebagai percabulan] - ‘Marriage, Divorce, and
Remarriage in the Bible’, hal 53-54.
Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya,
lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan
kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu
sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali
kepadaKu? demikianlah firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit
gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir
jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang
gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu.
(3) Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang.
Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. (4)
Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak kecil!
(5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk seterusnya?
Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan kejahatan.’ (6)
TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah engkau melihat apa
yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik ke atas setiap
bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk
bersundal di sana? (7) PikirKu: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali
kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda,
saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh karena
zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan
kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu
tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.
Jay E. Adams: “fornication
covers incest, bestiality, homosexuality and lesbianism as well as adultery. To
speak of adultery only, might tend to narrow the focus too much” (= percabulan mencakup incest / perzinahan dalam
keluarga, bestiality / hubungan sex dengan binatang, homosex dan lesbian maupun
perzinahan. Hanya mengatakan perzinahan, bisa cenderung terlalu menyempitkan
fokusnya) - ‘Marriage,
Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 54-55.
Matthew Poole: “He
(Jesus) here opposeth the Pharisees in two points.
1. Asserting that all divorces are unlawful except in case of adultery.
2. Asserting that whosoever married her that was put away committed
adultery” [= di sini Ia (Yesus) menentang orang-orang Farisi dalam dua hal.
1. Menegaskan bahwa semua perceraian tidak sah kecuali dalam kasus
perzinahan. 2. Menegaskan bahwa siapapun yang menikahi dia yang
diceraikan, melakukan perzinahan] - hal 24.
Matthew Poole: “it
is unlawful in any case but that of adultery, which dissolves the marriage knot
and covenant” [= itu (perceraian) tidak sah dalam kasus apapun kecuali kasus perzinahan,
yang membubarkan ikatan dan perjanjian pernikahan] - hal 25.
D. Martyn Lloyd-Jones: “There
is only one legitimate cause and reason for divorce - that which is here called
‘fornication’. ... There is only one cause for divorce. There is one; but there
is only one. And that is unfaithfulness by one party” (= Hanya ada satu sebab dan alasan yang sah untuk
perceraian - yaitu apa yang di sini disebut ‘percabulan’. ... Hanya ada satu
alasan untuk perceraian. Ada satu, tetapi hanya ada satu. Dan itu adalah
ketidak-setiaan oleh satu pihak) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 250.
Matthew Henry
tentang Mat 19:9: “He allows
divorce, in case of adultery; the reason of the law against divorce being this,
‘They two shall be one flesh.’ If the wife play the harlot, and make herself
one flesh with an adulterer, the reason of the law ceases, and so does the law.
By the law of Moses adultery was punished with death, Deut. 22:22. Now our Lord
mitigates the rigour of that, and appoints divorce to be the penalty” (= Ia
mengijinkan perceraian, dalam kasus perzinahan; alasan dari hukum yang
menentang perceraian adalah ini: ‘Keduanya itu menjadi satu daging’ ... Jika
sang istri bersundal dan membuat dirinya sendiri satu daging dengan seorang
pezinah, alasan dari hukum itu berhenti, dan demikian juga dengan hukumnya.
Oleh hukum Taurat Musa perzinahan dihukum dengan hukuman mati, Ul 22:22.
Sekarang Tuhan mengurangi kekerasan dari hukuman itu, dan menetapkan perceraian
sebagai hukumannya) -
hal 270.
Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5b - “In the case of adultery after marriage, it is lawful
for the innocent party to sue out a divorce and, after the divorce, to marry
another, as if the offending party were dead” (= Dalam kasus
perzinahan setelah pernikahan, adalah sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk
menuntut suatu perceraian, dan setelah perceraian, untuk menikah dengan orang
lain, seakan-akan pihak yang bersalah itu mati).
Penafsir-penafsir yang termasuk dalam
kelompok ke 3 ini (yang mengijinkan perceraian kalau terjadi perzinahan),
terbagi dalam 2 kelompok lagi:
1. Yang tidak mengijinkan pernikahan
lagi bahkan bagi pihak yang tidak bersalah.
Penafsir yang mengambil pandangan ini
berpendapat bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu hanya berlaku
untuk ‘perceraian’, tetapi tidak berlaku untuk ‘pernikahan lagi’ (re-marriage).
Pulpit Commentary
tentang Mat 19:9: “Our Lord seems to have introduced the exceptional clause in order to
answer what were virtually two questions of the Pharisees, viz. whether it was
lawful to ‘put away a wife for every cause,’ and whether, when a man had
legally divorced his wife, he might marry again. To the former Christ replies
that separation was allowable only in the case of fornication; in response to
the second, he rules that even in that case remarriage was wholly barred” (= Tuhan kita kelihatannya memberikan kalimat perkecualian untuk
menjawab apa yang sebetulnya merupakan dua pertanyaan dari orang-orang Farisi,
yaitu apakah diperbolehkan untuk ‘menceraikan istrinya karena alasan apa saja’,
dan apakah, pada waktu seseorang secara sah telah menceraikan istrinya, ia
boleh menikah lagi. Kepada pertanyaan yang pertama Kristus menjawab bahwa
perpisahan diijinkan hanya dalam kasus percabulan; dan terhadap pertanyaan yang
kedua, ia memberi peraturan bahwa bahkan dalam kasus seperti itu pernikahan
lagi sepenuhnya dilarang) - hal 245.
Pulpit Commentary
tentang Mat 19:9: “The Lord distinctly forbids divorce, ‘except it be for fornication.’ He
does not sanction remarriage even in that case” (= Tuhan secara jelas melarang perceraian, ‘kecuali karena percabulan’.
Ia tidak menyetujui pernikahan lagi bahkan dalam kasus itu) - hal 254.
Sepanjang apa yang saya baca dari
buku-buku tafsiran saya, hanya penafsir ini saja yang tetap melarang pernikahan
lagi sekalipun perceraiannya terjadi karena pasangannya berzinah.
2. Yang
mengijinkan pernikahan lagi dari pihak yang tidak bersalah.
Kelompok kedua ini menganggap bahwa
‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu berlaku baik untuk perceraian
maupun untuk pernikahan lagi. Hampir semua penafsir memegang pandangan ini.
Knox Chamblin: “The ‘except clause’ must be related to both the divorce
and the remarriage” (= ‘Kalimat perkecualian’ harus dihubungkan baik dengan ‘perceraian’
maupun dengan ‘pernikahan lagi’) - hal 150.
John Murray tentang Mat 19:9: “Matthew
informs us of two things: (a) a man may put away his wife for adultery; (b) he
may marry another when such divorce is consummated” [= Matius
menginformasikan kita dua hal: (a) seseorang boleh menceraikan istrinya
karena perzinahan; (b) ia boleh menikah dengan orang lain pada waktu
perceraian seperti itu terjadi] - ‘Divorce’, hal 52.
William
Hendriksen tentang Mat 19:9: “As far as the record goes, this is the only ground
Jesus ever mentioned for giving the innocent person - in the present case the
husband, ... - the right to divorce his wife and marry again” (= Sejauh terlihat dari catatannya, ini adalah satu-satunya dasar yang
pernah disebutkan oleh Yesus yang memberikan kepada orang yang tidak bersalah -
dalam kasus ini adalah sang suami, ... - hak untuk menceraikan istrinya dan
menikah lagi) - hal 717.
A. T. Robertson: “Jesus by implication, as in 5:31,
does allow remarriage of the innocent party, but not of the guilty one” (= Yesus, secara implicit, seperti dalam 5:31, memang mengijinkan
pernikahan lagi, tetapi bukan oleh pihak / orang yang bersalah) - ‘Word Pictures in the New Testament’,
vol I, hal 155.
Calvin tentang Mat 19:9: “‘And
whosoever shall marry her that is divorced.’ This clause has been very ill
explained by many commentators; for they have thought that generally, and
without exception, celibacy is enjoined in all cases when a divorce has taken
place; and, therefore, if a husband should put away an adulteress, both would
be lain under the necessity of remaining unmarried. ... It was therefore a
gross error; for, though Christ condemns as an adulterer the man who shall
marry a wife that has been divorced, this is undoubtedly restricted to unlawful
and frivolous divorces” (= ‘Dan siapapun yang menikah dengan ia yang
diceraikan’. Kalimat ini dijelaskan secara buruk oleh banyak penafsir; karena
mereka berpikir secara umum, dan tanpa perkecualian, bahwa dalam semua kasus
dimana terjadi perceraian orangnya diharuskan hidup celibat / tidak menikah;
dan karena itu, jika seorang suami menceraikan seorang pezinah, keduanya tidak
boleh menikah lagi. ... Karena itu, itu merupakan suatu kesalahan yang besar /
menyolok; karena sekalipun Kristus mengecam sebagai seorang pezinah orang yang
menikahi seorang istri yang telah diceraikan, tidak diragukan bahwa ini
dibatasi pada perceraian-perceraian yang tidak sah dan sembrono) - hal 384.
Catatan: Mat 19:9 (KJV): - “And I say
unto you, Whosoever shall put away his wife, except it be for fornication, and
shall marry another, committeth adultery: and whoso marrieth her which is
put away doth commit adultery” (= Dan Aku berkata kepadamu: Siapapun
yang menceraikan istrinya, kecuali karena percabulan, dan menikah dengan orang
lain, ia melakukan perzinahan: dan siapapun menikah dengan perempuan yang
diceraikan, ia melakukan perzinahan).
Terjemahan KJV agak berbeda, karena
bagian akhir dari KJV (yang saya garis-bawahi) tidak ada dalam Kitab Suci yang
lain (mungkin ini dari manuscripts yang berbeda). Dan Calvin mengomentari
bagian ini.
John Stott: “with
only one exception, he called all remarriage after divorce adultery” (= dengan hanya satu perkecualian, Ia menyebut semua
pernikahan lagi setelah perceraian sebagai perzinahan) - ‘The Message of the Sermon on the
Mount’, hal 95.
John Stott: “The
only situation in which divorce and remmariage are possible without breaking
the seventh commandment is when it has already been broken by some serious
sexual sin” (= Satu-satunya
situasi dalam mana perceraian dan pernikahan lagi dimungkinkan tanpa melanggar
hukum ketujuh adalah pada saat pernikahan itu telah dihancurkan oleh dosa
sexual yang serius) - ‘The
Message of the Sermon on the Mount’, hal 97-98.
Matthew Poole: “Some
have upon these words made a question whether it be lawful for the husband or
the wife separated for adultery to marry again while each other liveth. As to
the offending party, it may be a question; but as to the innocent person
offended, it is no question, for the adultery of the person offending hath
dissolved the knot of marriage by the Divine law. ... it seemeth against reason
that both persons should have the like liberty to a second marriage. ... It is
unreasonable that she should make an advantage of her own sin and error. ...
But for the innocent person, it is an unreasonable that he or she should be
punished for the sin of another”
(= Beberapa orang berdasarkan kata-kata ini mempertanyakan apakah diperbolehkan
untuk suami atau istri yang bercerai karena perzinahan untuk menikah lagi
sementara mereka sama-sama masih hidup. Berkenaan dengan pihak yang bersalah,
itu memang merupakan suatu pertanyaan; tetapi berkenaan dengan pribadi yang
tidak bersalah, tidak perlu dipertanyakan, karena perzinahan dari pihak yang
bersalah telah membubarkan ikatan pernikahan oleh hukum Ilahi. ... kelihatannya
bertentangan dengan akal bahwa kedua orang mempunyai kebebasan yang sama untuk
menikah lagi. ... Adalah tidak masuk akal bahwa ia mendapatkan keuntungan dari
dosa dan kesalahannya sendiri. ... Tetapi untuk pribadi yang tidak bersalah,
adalah tidak masuk akal bahwa ia harus dihukum karena kesalahan dari pihak yang
lain) - hal 88-89.
D. Martyn Lloyd-Jones: “We
can say not only that a person who thus has divorced his wife because of her
adultery is entitled to do so. We can go further and say that the divorce has
ended the marriage, and that this man is now free and as a free man he is
entitled to re-marriage. ... His relationship to that woman is the same as if
she were dead; and this innocent man is therefore entitled to re-marriage” (= Kita bisa mengatakan bukan hanya bahwa seseorang yang
telah menceraikan istrinya karena perzinahannya berhak melakukan hal itu. Kita
bisa melanjutkan dan berkata bahwa perceraian itu telah mengakhiri pernikahan,
dan bahwa orang ini sekarang bebas dan sebagai seorang yang bebas ia berhak
untuk menikah lagi. ... Hubungannya dengan perempuan itu adalah sama
seakan-akan perempuan itu sudah mati; dan karena itu orang yang tidak bersalah
ini berhak untuk menikah lagi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 252.
Barclay: “Jesus’s
answer was to take things back to the very beginning, back to the ideal of
creation. ... Jesus was laying down the principle that all divorce is wrong.
Thus early we must note that it is not a law; it is a principle, which is a
very different thing. ... Here, at once, the Pharisees saw a point of attack.
... They could now say to Jesus, ‘Are you saying Moses was wrong? Are you seeking
to abrogate the divine law which was given to Moses? Are you setting yourself
above Moses as a law-giver?’ Jesus’s answer was that what Moses said was not in
fact a law, but nothing more than a concession. Moses did not command a
divorce; at the best he only permitted it in order to regulate a situation
which would have become chaotically promiscuous. ... The Mosaic regulation was
only a concession to fallen human nature. ... It is now that we are face to
face with one of the most real and most acute difficulties in the New
Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and
Matthew report the words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the
prohibition of divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever.
But Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of
adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s version of
this saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt that the
version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving clause is a later
interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he
wrote” (= Jawaban Yesus membawa
semua kembali pada keadaan semula, kembali pada keadaan ideal dari penciptaan.
... Yesus sedang menetapkan suatu prinsip bahwa semua perceraian adalah salah.
Kita harus memperhatikan bahwa ini bukanlah suatu hukum; ini adalah suatu
prinsip, yang merupakan sesuatu yang sangat berbeda. ... Di sini, segera
orang-orang Farisi melihat suatu titik untuk melakukan penyerangan. ...
Sekarang mereka bisa berkata kepada Yesus: ‘Apakah Engkau berkata bahwa Musa
itu salah? Apakah Engkau berusaha membatalkan hukum ilahi yang diberikan kepada
Musa? Apakah Engkau menempatkan diriMu sendiri di atas Musa sebagai pemberi
hukum?’. Jawaban Yesus adalah bahwa apa yang Musa katakan dalam faktanya
bukanlah suatu hukum, tetapi tidak lebih dari suatu kelonggaran. Musa tidak
memerintahkan perceraian; paling-paling ia hanya mengijinkannya untuk mengatur
suatu keadaan yang bisa menjadi kacau balau. ... Peraturan Musa hanya merupakan
suatu kelonggaran bagi manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. ... Sekarang
kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata
dan paling akut dalam Perjanjian Baru. ... Kesukarannya adalah - dan tidak ada
jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan
kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan
perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius
mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan
perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius
dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak
diragukan bahwa versi dari Markus
dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran
belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia
menulis) - hal
200-202.
Catatan: ayat dalam Markus adalah
Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.
·
Mark 10:11-12
- “Lalu kataNya kepada mereka:
‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan
suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
·
Luk 16:18
- “Setiap orang yang menceraikan
isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa
kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.
Barclay: “It
would be wrong to leave this matter without some attempt to see what it
actually means for the question of divorce at the present time. ... What Jesus
laid down was a principle and not a law” (= Adalah salah untuk meninggalkan persoalan ini tanpa
suatu usaha untuk melihat apa arti sebenarnya untuk pertanyaan tentang
perceraian pada jaman sekarang. ... Apa yang Yesus tetapkan adalah suatu
prinsip dan bukan suatu hukum) - hal 208.
Dan ia lalu mengatakan (hal 209) bahwa
seandainya ada suatu pernikahan yang menjadi kacau sehingga menjadi seperti
neraka di dunia, dan seandainya sudah diusahakan semua cara untuk
memperbaikinya tetapi pernikahan tersebut tetap kacau, apakah dua orang itu
harus tetap mempertahankan pernikahan tersebut?
Barclay: “are
then these two people to be for ever fettered together in a situation which
cannot do other than bring a lifetime of misery to both? It is extremely
difficult to see how such reasoning can be called Christian; it is extremely
hard to see Jesus legalistically condemning two people to any such situation.
This is not to say that divorce should be made easy, but it is to say that when
all the physical and mental and spiritual resources have been brought to bear
on such situation, and the situation remains incurable and even dangerous, then
the situation should be ended” (=
maka apakah kedua orang ini harus diikat bersama-sama selama-lamanya dalam
suatu keadaan yang hanya bisa memberikan kesengsaraan seumur hidup kepada
mereka berdua? Adalah sangat sukar untuk melihat bagaimana pemikiran / pertimbangan
seperti itu bisa disebut Kristen; adalah sangat sukar untuk melihat Yesus
secara legalistik mengecam / menghukum dua orang pada keadaan seperti itu. Ini
bukan berarti bahwa perceraian harus dibuat menjadi mudah, tetapi maksudnya
adalah bahwa pada saat semua sumber-sumber fisik, mental dan rohani telah
dibawa untuk diarahkan pada keadaan itu, dan keadaan itu tetap tidak bisa
disembuhkan dan bahkan berbahaya, maka keadaan itu harus diakhiri) - hal 209.
Catatan: bagi saya seluruh pemikiran Barclay
di sini menunjukkan kesesatannya. Saya tidak mengerti bagaimana ia memisahkan /
membedakan ‘prinsip’ dan ‘hukum’. Juga aneh bahwa ia menyalahkan Matius karena
memberikan kalimat perkecualian, tetapi pada akhirnya ia tetap mengijinkan
perceraian kalau pernikahan itu memburuk dan memang tidak bisa diperbaiki lagi.
Saya sendiri mengambil pandangan kedua
ini. Saya beranggapan bahwa kalimat perkecualian dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9
berlaku baik bagi perceraian maupun pernikahan lagi.
Contoh kasus: kalau seorang suami menceraikan
istrinya, sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua tidak boleh
menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu melanggar larangan tersebut, dan
ia menikah lagi? Saya tidak menemukan buku tafsiran yang membahas kasus seperti
ini. Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu sebetulnya
tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi, maka di hadapan Allah
pernikahan itu merupakan perzinahan. Dengan demikian ditinjau dari sudut istri
yang diceraikan, suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi berhak
menikah lagi.
3) “Ia menjadikan istrinya berzinah”.
Tentang kata-kata ‘ia menjadikan isterinya berzinah’ dalam ay 32b, Calvin berkata:
“the man who, unjustly and unlawfully, abandons the wife
whom God had given him, is justly condemned for having prostituted his wife to
others” (= orang yang secara
tidak benar dan tidak sah meninggalkan istri yang telah Allah berikan
kepadanya, secara benar dikecam sebagai telah melacurkan istrinya kepada
orang-orang lain) -
hal 293.
William Hendriksen: “she
is called an adulteresses because she may easily become one. ... Far better, it
would seem to me, is therefore the translation, ‘Whoever divorces his wife
except on the basis of infidelity exposes her to adultery,’ or something
similar. What Jesus is saying, then, is this: Whoever divorces his wife except
on the ground of infidelity must bear the chief responsibility if as a result
she, in her deserted state, should immediately yield to the temptation of
becoming married to someone else”
(= ia disebut sebagai pezinah karena ia dengan mudah menjadi seorang pezinah.
... Karena itu, bagi saya jauh lebih baik terjemahan: ‘Siapapun menceraikan
istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan membukakan dia kepada perzinahan’,
atau terjemahan lain yang serupa. Jadi, apa yang dimaksud oleh Yesus adalah
ini: Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan harus
memikul tanggung jawab utama jika sebagai akibatnya perempuan itu, dalam
keadaan ditinggalkan, menyerah pada pencobaan untuk menjadi istri dari orang
lain) - hal 305,306.
4) “dan
siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Ini tentu saja berlaku kalau perceraian
itu merupakan perceraian yang tidak sah.
Penerapan:
Karena itu jangan terlalu cepat
berpikir negatif kalau ada janda / duda yang mau menikah lagi. Kita harus
mengetahui lebih dulu apa sebabnya ia menjadi janda / duda. Kalau itu
disebabkan karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang
berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com