Eksposisi Injil Matius
oleh: Pdt. Budi
Asali MDiv.
1) Ay 38-39a: “(38) Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata
dan gigi ganti gigi. (39) Tetapi Aku berkata kepadamu: ...”.
Kata ‘firman’ lagi-lagi merupakan terjemahan yang
salah, dan terjemahan yang salah ini menyebabkan seakan-akan Yesus menentang
hukum Taurat / Perjanjian Lama.
KJV: ‘Ye have heard that it hath been said,
An eye for an eye, and a tooth for a tooth: But I say unto you, ...’ (= Kamu telah mendengar bahwa telah
dikatakan: Satu mata untuk satu mata, dan satu gigi untuk satu gigi: Tetapi
Aku berkata kepadamu: ...).
Jadi, lagi-lagi di sini Yesus bukannya
menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama, tetapi menentang ajaran dari
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum Taurat / Perjanjian Lama.
2) Prinsip ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’ berlaku untuk pengadilan, bukan dalam
urusan pribadi.
a) Dalam hukum Taurat / Perjanjian
Lama memang ada hukum-hukum seperti itu, yaitu dalam:
·
Im 24:20
- “patah ganti patah, mata ganti mata,
gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat
kepadanya”.
·
Kel 21:23-25
- “Tetapi jika perempuan itu mendapat
kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa,
mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur
ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak”.
·
Ul 19:21
- “Janganlah engkau merasa sayang
kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi,
tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.
b) Tetapi semua ini diberikan dalam
kontex hukum pengadilan (baca ketiga ayat ini dan perhatikan kontexnya).
Karena itu artinya adalah: pengadilan
harus memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahan orang yang diadili. Tujuan
dari hukum ini justru adalah supaya tidak terjadi balas dendam pribadi.
c) Tetapi para ahli Taurat
menafsirkannya sebagai hukum pribadi (boleh membalas dendam secara
pribadi). Padahal dalam Perjanjian Lama ada ayat-ayat yang jelas bertentangan
dengan balas dendam pribadi, seperti:
·
Im 19:18
- “Janganlah engkau menuntut balas, dan
janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.
·
Amsal 20:22
- “Janganlah engkau berkata: ‘Aku akan
membalas kejahatan,’ nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau”.
·
Amsal 24:29
- “Janganlah berkata: ‘Sebagaimana ia
memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia. Aku membalas orang menurut
perbuatannya.’”.
Penafsiran salah dari ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi inilah yang dikoreksi oleh Yesus.
Calvin: “Here
another error is corrected. God had enjoined, by his law, (Lev. 24:20,) that
judges and magistrates should punish those who had done injuries, by making
them endure as much as they had inflicted. The consequence was, that every one
seized on this as a pretext for taking private revenge. They thought that they
did no wrong, provided they were not the first to make the attack, but only,
when injured, returned like for like” [= Di sini kesalahan yang lain dikoreksi.
Allah telah memerintahkan melalui hukumNya (Im 24:20), bahwa hakim harus
menghukum mereka yang telah melukai, dengan membuat mereka merasakan sama
banyaknya dengan apa yang mereka timbulkan. Akibatnya adalah, bahwa setiap
orang menggunakan ini sebagai alasan / dasar untuk melakukan pembalasan dendam
pribadi. Mereka mengira bahwa mereka tidak melakukan hal yang salah, asalkan
mereka tidak menyerang lebih dulu, tetapi hanya membalas secara sama pada waktu
mereka dilukai / disakiti]
- hal 297.
Barnes’ Notes: “In
these places it was given as a rule to regulate the decisions of judges. ...
But, instead of confining it to magistrates, the Jews had extended it to
private conduct, and made it the rule by which to take revenge” [= Di
tempat-tempat ini (maksudnya
Kel 21:23-25
Im 24:20
Ul 19:21) itu diberikan sebagai peraturan untuk mengatur keputusan
dari hakim. ... Tetapi orang-orang Yahudi bukannya membatasi hal itu bagi hakim,
melainkan memperluasnya untuk tingkah laku pribadi, dan membuatnya sebagai
peraturan untuk membalas dendam] - hal 26.
Pulpit Commentary: “The
words of the Law of Moses relate to punishment inflicted by a court of justice;
the Jews probably understood them as permitting private revenge. Holy Scripture
does not forbid the infliction of judicial punishment (comp. Rom. 13:4). It
forbids the revengeful temper, and it forbids private revenge altogether” [= Kata-kata dari Hukum Musa berhubungan dengan hukuman
yang diberikan oleh pengadilan; orang-orang Yahudi mungkin mengartikan
hukum-hukum itu sebagai ijin untuk pembalasan dendam pribadi. Kitab Suci yang
kudus tidak melarang pemberian hukuman pengadilan (bdk. Ro 13:4). Tetapi
Kitab Suci melarang sifat suka balas dendam, dan Kitab Suci melarang balas
dendam pribadi secara total] - hal 177.
William Hendriksen: “This
was a law for the civil courts, laid down in order that the practice of seeking
private revenge might be discouraged. The Old Testament passages do not mean,
‘Take personal revenge whenever you are wronged,’ They mean the exact opposite,
‘Do not avenge yourself but let justice be administered publicly.’ ... The
Pharisees, however, appealed to this law to justify personal retribution and
revenge” (= Ini adalah hukum
untuk pengadilan, diberikan supaya orang tidak terdorong untuk melakukan
praktek balas dendam pribadi. Text-text Perjanjian Lama ini tidak berarti:
‘Lakukanlah balas dendam pribadi jika ada orang yang berbuat salah kepadamu’.
Artinya justru adalah sebaliknya: ‘Jangan membalas dendam sendiri, tetapi
biarkanlah keadilan dilakukan di depan umum’. ... Tetapi orang-orang
Farisi menggunakan hukum ini untuk
membenarkan balas dendam pribadi) - hal 310.
John Stott: “The
context makes it clear beyond question that this was an instruction to the
judges of Israel. Indeed, they are mentioned in Deuteronomy 19:17,18” (= Kontextnya membuat jelas dan tanpa keraguan bahwa ini
merupakan instruksi bagi hakim-hakim dari Israel. Dan memang mereka disebutkan
dalam Ul 19:17-18)
- ‘The Message of the Sermon of the Mount’, hal 104.
Ul 19:16-21 - “(16) Apabila seorang saksi jahat menggugat seseorang
untuk menuduh dia mengenai suatu pelanggaran, (17) maka kedua orang yang
mempunyai perkara itu haruslah berdiri di hadapan TUHAN, di hadapan imam-imam
dan hakim-hakim yang ada pada waktu itu. (18) Maka hakim-hakim itu harus
memeriksanya baik-baik, dan apabila ternyata, bahwa saksi itu seorang saksi
dusta dan bahwa ia telah memberi tuduhan dusta terhadap saudaranya, (19) maka
kamu harus memperlakukannya sebagaimana ia bermaksud memperlakukan saudaranya.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (20) Maka
orang-orang lain akan mendengar dan menjadi takut, sehingga mereka tidak akan
melakukan lagi perbuatan jahat seperti itu di tengah-tengahmu. (21) Janganlah
engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti
mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.
d) Latar
belakang munculnya hukum ini, dan pelaksanaannya.
Barclay: “Jesus
begins by citing the oldest law in the world - an eye for an eye, and a tooth
for a tooth. That law is known as the Lex Talionis, ... These laws are often
quoted as amongst the blood thirsty, savage and merciless laws of the Old Testament;
but before we begin to criticise certain things must be noted. (i) The Lex
Talionis, ... so far from being a savage and bloodthirsty law, is in fact the
beginning of mercy. Its original aim was definitely the limitation of
vengeance. In the very earliest days the vendetta and the blood feud were
characteristic of tribal society. If a man of one tribe injured a man of
another tribe, then at once all the members of the tribe of the injured
man were out to take vengeance on all the members of the tribe of the
man who committed the injury; and the vengeance desired was nothing less than
death. This law deliberately limits vengeance. It lays it down that only the
man who committed the injury must be punished, and his punishment must be no
more than the equivalent of the injury he has inflicted and the damage he has
done. Seen against its historical setting this is not a savage law, but a law
of mercy. (ii) Further, this was never a law which gave a private individual
the right to extract vengeance; it was always a law which laid down how a judge
in the law court must assess punishment and penalty (cp. Deuteronomy 19:18).
... (iii) Still Further, this law was never, at least in any even
semi-civilized society, carried out literally. The Jewish jurists argued rightly
that to carry it out literally might in fact be the reverse of justice, because
it obviously might involve the displacement of a good eye or a good tooth for a
bad eye or a bad tooth. And very soon the injury does was assessed at a money
value; and the Jewish law in the tractate Baba Kamma carefully lays down how
the damage is to be assessed. If a man has injured another, he is liable on
five counts - for injury, for pain, for healing, for loss of time, for
indignity suffered. In regard to injury, the injured man is looked on as a
slave to be sold in a market place. His value before and after the injury was
assessed, and the man responsible for the injury had to pay the difference. He
was responsible for the loss in value of the man injured. In regard to pain, it
was estimated how much money a man would accept to be willing to undergo the
pain of the injury inflicted, and the man responsible for the injury had to pay
that sum. In regard to healing, the injurer had to pay all the expenses of the
necessary medical attention, until a complete cure had been effected. In regard
to loss of time, the injurer had to pay compensation for the wages lost while
the injured man was unable to work, and he had also to pay compensation if the
injured man had held a well paid position, and was now, in consequence of the
injury, fit for less well rewarded work. In regard to indignity, the injurer
had to pay damages for the humiliation and indignity which the injury had
inflicted. ... (iv) And most important of all, it must be remembered that the
Lex Talionis is by no means the whole Old Testament ethics. There are glimpses
and even splendours of mercy in the Old Testament” [= Yesus mulai dengan mengutip hukum tertua di dunia -
mata ganti mata, dan gigi ganti gigi. Hukum itu dikenal sebagai Lex Talionis,
... Hukum-hukum ini sering dikutip sebagai hukum-hukum yang haus darah, kejam /
ganas dan tidak berbelas kasihan dari Perjanjian Lama; tetapi sebelum kita
mulai mengkritik, ada hal-hal tertentu yang harus diperhatikan. (i) Lex
Talionis, ... sama sekali bukan merupakan hukum yang kejam / ganas dan haus
darah, tetapi dalam faktanya justru merupakan permulaan dari belas kasihan.
Tujuan orisinilnya jelas adalah untuk membatasi balas dendam. Pada jaman kuno /
dahulu, dendam keluarga dan permusuhan yang turun temurun merupakan ciri dari
masyarakat suku. Jika seseorang dari satu suku dilukai oleh seseorang dari suku
yang lain, maka segera semua anggota dari suku yang dilukai keluar untuk
membalas dendam kepada semua anggota dari suku dari orang yang melakukan
hal itu; dan balas dendam yang diinginkan tidak kurang dari kematian. Hukum
ini secara sengaja membatasi balas dendam. Hukum ini menetapkan bahwa hanya
orang yang melakukan hal itu yang harus dihukum, dan hukumannya tidak boleh lebih
dari luka yang telah ia lakukan dan kerusakan yang telah ia perbuat. Dilihat
dari keadaan sejarahnya, maka hukum ini bukanlah hukum yang kejam / ganas,
tetapi hukum belas kasihan. (ii) Selanjutnya, ini tidak pernah merupakan hukum
yang memberi hak individual / pribadi untuk memaksakan balas dendam; tetapi
hukum ini selalu merupakan hukum yang menetapkan bagaimana seorang hakim dalam
pengadilan harus memperkirakan / membebankan hukuman (bdk. Ul 19:18). ...
(iii) Lebih jauh lagi, setidaknya dalam masyarakat yang cukup beradab, hukum
ini tidak pernah dilaksanakan secara hurufiah. Juri-juri / hakim-hakim Yahudi
secara benar berargumentasi bahwa melaksanakan hukum ini secara hurufiah dalam
faktanya bisa membalikkan keadilan, karena itu jelas bisa melibatkan
penggantian mata yang baik atau gigi yang baik untuk mata yang buruk dan gigi
yang buruk. Karena itu luka yang dilakukan lalu ditaksir dengan uang; dan hukum
Yahudi dalam traktat Baba Kamma secara teliti menetapkan bagaimana caranya
kerusakan itu harus ditaksir. Jika seseorang melukai orang lain, ia dapat
dikenakan lima hitungan, yaitu untuk luka, untuk rasa sakit, untuk penyembuhan
/ pengobatan, untuk waktu yang hilang / terbuang, dan untuk penghinaan yang
diderita. Berkenaan dengan luka, orang yang terluka dipandang sebagai budak
yang akan dijual di pasar. Harganya sebelum dan sesudah luka itu terjadi,
ditaksir, dan orang yang bertanggung jawab untuk luka itu harus membayar
perbedaan harga tersebut. Ia bertanggung jawab untuk kerugian harga dari orang
yang dilukai. Berkenaan dengan rasa sakit, ditaksir berapa uang yang mau
diterima oleh seseorang untuk mengalami rasa sakit dari luka tersebut, dan
orang yang bertanggung jawab untuk luka itu harus membayar jumlah itu.
Berkenaan dengan penyembuhan / pengobatan, orang yang melukai harus membayar
semua pengeluaran untuk pengobatan yang dibutuhkan, sampai kesembuhan yang
sempurna telah terjadi. Berkenaan dengan kehilangan / kerugian waktu, orang
yang melukai harus membayar kompensasi untuk upah yang hilang sementara orang
yang terluka tidak bisa bekerja, dan ia juga harus membayar kompensasi jika
orang yang terluka itu tadinya mempunyai kedudukan yang baik, dan sekarang,
karena luka itu, hanya cocok untuk pekerjaan yang lebih buruk / rendah.
Berkenaan dengan penghinaan, orang yang melukai harus membayar kerusakan untuk
perendahan dan penghinaan yang diberikan oleh luka tersebut. ... (iv) Dan yang
terpenting dari semua, harus diingat bahwa Lex Talionis sama sekali bukan merupakan seluruh etika
Perjanjian Lama. Ada kilasan-kilasan dan bahkan kemegahan-kemegahan dari belas
kasihan dalam Perjanjian Lama] - hal
163.
Barclay lalu menyebutkan beberapa ayat
yaitu:
·
Im 19:18
- “Janganlah engkau menuntut balas, dan
janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.
·
Amsal 25:21
- “Jikalau seterumu lapar, berilah dia
makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air”.
·
Amsal 24:29
- “Janganlah berkata: ‘Sebagaimana ia
memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia. Aku membalas orang menurut
perbuatannya.’”.
·
Ratapan 3:30
- “Biarlah ia memberikan pipi kepada yang
menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan”.
3) Ajaran Yesus dalam persoalan
pribadi.
Dalam persoalan pengadilan Yesus tidak
mengubah Perjanjian Lama. Jadi prinsip ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’,
yang artinya pengadilan harus menjatuhkan hukuman yang adil sesuai dengan
kesalahan orang yang diadili, tetap berlaku. Tetapi dalam persoalan pribadi,
Yesus memberikan ajaran dalam Mat 5:39-dst.
Barclay: “Few
passages of the New Testament have more of the essence of the Christian ethic
in them than this one. Here is the characteristic ethic of the Christian life,
and the conduct which should distinguish the Christian from other men” (= Sedikit text-text dari Perjanjian Baru yang mempunyai
lebih banyak hakekat dari etika Kristen di dalamnya dari pada yang satu ini. Di
sinilah ciri etika dari kehidupan Kristen, dan tingkah laku yang seharusnya
membedakan orang Kristen dari orang-orang lain) - hal 163.
Sekarang mari kita membahas ay 39-42
satu per satu:
a) Ay 39: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan
orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi
kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”.
1. ‘Janganlah
melawan orang yang berbuat jahat kepadamu’.
John Stott: “we
cannot take Jesus’ command, ‘Resist not evil,’ as an absolute prohibition of
the use of all force (including the police) unless we are prepared to say that
the Bible contradicts itself and the apostles misunderstood Jesus. For the New
Testament teaches that the state is a divine institution, commissioned (through
its executive office-bearers) both to punish the wrongdoer (i.e., to ‘resist
one who is evil’ to the point of making him bear the penalty of his evil) and
to reward those who do good” [=
kita tidak bisa menerima perintah Yesus ‘janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu’ sebagai suatu larangan mutlak untuk menggunakan semua
kekuatan (termasuk polisi) kecuali kita siap untuk mengatakan bahwa Alkitab
bertentangan dengan dirinya sendiri dan rasul-rasul salah mengerti Yesus.
Karena Perjanjian Baru mengajarkan bahwa pemerintah merupakan lembaga ilahi,
yang ditugaskan (melalui pejabat-pejabatnya) untuk menghukum orang yang berbuat
salah / jahat (yaitu, untuk ‘melawan orang yang jahat’ dengan membuat ia
memikul hukuman dari kejahatannya) dan untuk memberi upah kepada mereka yang
berbuat baik] - ‘The
Message of the Sermon of the Mount’, hal 110.
Bdk. Ro 13:1-4 - “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di
atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan
pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa
melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya,
akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia
tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu
hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan
beroleh pujian dari padanya. Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk
kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak
percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk
membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.
John Stott: “I
think Luther’s distinction between ‘person’ and office’, or as we might say,
between individual and institution, holds. The Christian is to be wholly free
from revenge, not only in action, but in his heart as well; as an office-bearer
in either state or church, however, he may find himself entrusted with
authority from God to resist evil and to punish it” (= Saya kira pembedaan yang dilakukan oleh Luther antara
‘pribadi’ dan ‘jabatan’, atau seperti bisa kami katakan antara individu dan
lembaga, berlaku. Orang kristen harus sepenuhnya bebas dari balas dendam, bukan
hanya dalam tindakan, tetapi juga dalam hatinya; tetapi sebagai seorang pejabat
negara atau gereja, ia mendapati bahwa dirinya dipercayai dengan otoritas dari
Allah untuk melawan kejahatan dan menghukumnya) - ‘The Message of the Sermon of the
Mount’, hal 113.
2. Tamparan merupakan suatu serangan
yang tidak membahayakan jiwa.
Perlu diingat bahwa ‘menampar’
merupakan serangan yang tidak membahayakan jiwa. Pada waktu mendapatkan
serangan yang tidak membahayakan jiwa, kita tidak boleh membalas. Tetapi, kalau
serangan itu membahayakan jiwa, orang kristen boleh membela diri, karena kita
juga harus mengasihi diri kita sendiri (Mat 22:39), sehingga kita tidak
boleh membiarkan begitu saja diri kita sendiri dibunuh orang. Bdk. Ester 9 Neh 4.
Barnes’ Notes: “The
general principle which he laid down was, that we are not to resist evil; ...
But even this general direction is not to be pressed too strictly. Christ did
not intend to teach that we are to see our families murdered, or to be murdered
ourselves, rather than to make resistance. The law of nature, and all laws,
human and Divine, have justified self-defence, when life is in danger” (= Prinsip
umum yang Ia tetapkan adalah bahwa kita tidak boleh melawan kejahatan; Tetapi
bahkan pengarahan umum ini tidak boleh ditekankan secara terlalu ketat. Kristus
tidak bermaksud untuk mengajar bahwa kita harus membiarkan keluarga kita atau
diri kita dibunuh, dan bukannya melakukan perlawanan. Hukum alam, dan semua
hukum, baik hukum manusia maupun hukum ilahi, membenar-kan pembelaan diri, pada
waktu jiwa ada dalam bahaya) - hal 26.
Barnes’ Notes: “Had
he intended to refer it to a case where life in danger, he would most surely
have mentioned it. ... Instead of doing this, however, he confines himself to
smaller matters, to things of comparatively trivial interest, and says, that in
these we had better take wrong than to enter into strife and lawsuits. The
first case is, where we are smitten on the cheek” (= Seandainya ia bermaksud untuk menunjuk pada suatu
kasus dimana jiwa ada dalam bahaya, Ia pasti telah menyebutkannya. ...
Sebaliknya dari melakukan hal ini, Ia membatasi diriNya pada hal-hal kecil,
pada hal-hal yang relatif remeh, dan berkata bahwa dalam hal-hal ini kita lebih
baik menerima hal yang salah dari pada masuk ke dalam pertengkaran dan
pengadilan. Kasus pertama adalah pada waktu kita ditampar pada pipi) - hal 26.
3. Tamparan pada pipi kanan, sekalipun
tidak membahayakan jiwa, tetapi merupakan suatu penghinaan yang besar.
Orang yang tidak kidal, untuk memukul /
menampar pipi kanan lawannya menggunakan tangan kanannya, harus memukul dengan
punggung tangan, dan menurut Barclay ini merupakan penghinaan dobel
dibandingkan dengan tamparan menggunakan telapak tangan.
Barclay: “Now
according to Jewish Rabbinic law to hit a man with the back of the hand was
twice as insulting as to hit him with the flat of the hand” (= Menurut hukum rabi Yahudi, memukul seseorang dengan
punggung tangan merupakan penghinaan dobel dibandingkan dengan memukul dengan
telapak tangan) - hal
166.
4. Kata-kata ‘berilah juga kepadanya pipi kirimu’ tidak boleh diartikan secara hurufiah.
Barnes’ Notes: “The
first case is, where we are smitten on the cheek. Rather than contend and
fight, we should take it patiently, and turn the other cheek. This does not,
however, prevent our remonstrating firmly, yet mildly, on the injustice of the
thing, and insisting that justice should be done to us, as is evident from the
example of the Saviour himself. See John 18:32” (= Kasus pertama adalah pada waktu kita ditampar pada
pipi. Dari pada menantang dan berkelahi, kita harus menerimanya dengan sabar,
dan memberikan pipi satunya. Tetapi ini tidak menghalangi kita untuk memprotes
dengan tegas, tetapi lembut, ketidak-adilan dari hal itu, dan berkeras bahwa
keadilan harus dilakukan kepada kita, seperti jelas dari teladan sang
Juruselamat sendiri. Lihat Yoh 18:23) - hal 26.
A. T. Robertson: “Sticklers
for extreme literalism find trouble with the conduct of Jesus in John 18:22f.
where Jesus, on receiving a slap in the face, protested against it” (= Orang-orang
yang berpegang teguh pada penghurufiahan yang extrim akan mendapatkan problem
dengan tingkah laku Yesus dalam Yoh 18:22-dst dimana Yesus, pada waktu
menerima tamparan di wajahNya, memprotes hal itu) - hal 90.
Yoh 18:22-23 - “Ketika Ia mengatakan hal itu, seorang penjaga yang
berdiri di situ, menampar mukaNya sambil berkata: ‘Begitukah jawabMu kepada
Imam Besar?’. Jawab Yesus kepadanya: ‘Jikalau kataKu itu salah, tunjukkanlah
salahnya, tetapi jikalau kataKu itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?’”.
Calvin beranggapan bahwa penafsiran
hurufiah justru merupakan sesuatu yang mendorong kejahatan dari si pemukul.
Calvin: “Unquestionably,
Christ did not intend to exhort his people to whet the malice of those, whose
propensity to injure others is sufficiently strong: and if they were to turn to
them the other cheek, what would it be but holding out such an encouragement?” (= Tidak diragukan, Kristus tidak bermaksud untuk
mendesak umatNya untuk merangsang kejahatan dari mereka, yang mempunyai
kecenderungan kuat untuk melukai orang lain: dan jika mereka harus memberikan
pipi satunya, apakah itu selain memberikan dorongan seperti itu?) - hal 299.
Calvin berpendapat bahwa sekalipun kita
tidak boleh membalas, tetapi kita boleh menghindar.
Calvin: “There
are two ways of resisting: the one, by warding off injuries through inoffensive
conduct; the other, by retaliation. Though Christ does not permit his people to
repel violence by violence, yet he does not forbid them to endeavour to avoid
an unjust attack” (= Ada 2 jalan
untuk menahan / melawan: yang satu dengan menghindari luka melalui tindakan
bertahan; yang lain dengan membalas. Sekalipun Kristus tidak mengijinkan
umatNya untuk melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi Ia tidak melarang
mereka untuk berusaha menghindari serangan yang tidak adil / benar) - hal 298.
Calvin: “I
admit that Christ restrains our hands, as well as our minds, from revenge: but
when any one has it in his power to protect himself and his property from
injury, without exercising revenge, the words of Christ do not prevent him from
turning aside gently and inoffensively to avoid the threatened attack” (= Saya mengakui bahwa Kristus menahan tangan kita
maupun pikiran kita dari balas dendam: tetapi pada saat seseorang mempunyai
kuasa untuk melindungi dirinya sendiri dan miliknya dari luka / kerugian, tanpa
melakukan balas dendam, kata-kata Kristus tidak menghalanginya / melarangnya
untuk menghindar ke samping secara lembut dan bertahan untuk menghindari
serangan yang mengancam)
- hal 299.
5. Ini mengajar kita untuk sabar dalam
menghadapi tindakan yang menyakitkan.
Calvin: “Christ
informs them, on the contrary, that, though judges were entrusted with the
defence on the community, and were invested with authority to restrain the
wicked and repress their violence, yet it is the duty of every man to bear
patiently the injuries which he receives” [= Sebaliknya Kristus memberi tahu mereka
bahwa sekalipun hakim dipercaya untuk membela masyarakat, dan diberi otoritas
untuk mengekang orang jahat dan menekan kekerasan / kekejaman mereka, tetapi
merupakan kewajiban dari setiap orang untuk menanggung dengan sabar tindakan
menyakitkan yang ia terima] - hal 297.
Calvin: “The
amount of the whole admonition is, that believers should learn to forget the
wrongs that have been done to them, - that they should not, when injured, break
out into hatred or ill-will, or wish to commit an injury on their part, - but
that, the more the obstinacy and rage of wicked men was excited and inflamed,
they should be the more fully disposed to exercise patience” (= Arti dari seluruh nasehat ini adalah bahwa
orang-orang percaya harus belajar untuk melupakan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan terhadap mereka, - bahwa pada waktu mereka dilukai mereka tidak boleh
meledak dalam kebencian atau keinginan jahat, atau keinginan untuk melukai, -
tetapi bahwa makin kekeras-kepalaan dan kemarahan dari orang-orang jahat
bangkit dan berkobar, makin mereka harus cenderung untuk menggunakan kesabaran) - hal 298.
Penerapan:
·
Adakah
orang yang berbuat jahat kepada saudara / menyakiti saudara, kepada siapa
saudara sekarang sedang jengkel, dendam, siap meledak, dan ingin membalas?
Yesus menghendaki saudara untuk menahan dengan sabar. Maukah saudara?
·
Mungkin
ada teman sekerja / sekolah yang sentimen / benci kepada saudara, dan selalu
mengejek saudara. Bagaimana sikap saudara?
·
Pada
waktu di jalanan pasti sering ada orang yang memotong / menyerobot jalan
saudara, atau becak / bemo yang berhenti seenaknya, atau orang menyeberang
tanpa melihat dan sengaja berjalan pelan-pelan, atau orang yang menyetir dengan
kecepatan rendah tetapi tidak mau minggir pada waktu diklakson, atau mobil yang
lampunya ‘ngedim’ sehingga menyilaukan saudara. Ini semua pasti masih jauh
lebih remeh dari pada ditampar pada pipi. Bagaimana reaksi saudara?
b) Ay 40: “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena
mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu”.
1. Sekarang Kristus mempersoalkan
gangguan yang lain, yaitu tentang orang yang menuntut kita melalui pengadilan.
2. Kata ‘jubah’ menunjuk pada ‘outer garment’ (= pakaian luar);
sedangkan kata ‘baju’ menunjuk pada ‘tunic
/ under garment’ (= pakaian dalam).
a. Ay 40 ini berkebalikan dengan
Luk 6:29, yang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarlah ia
juga mengambil bajumu. Mungkin Yesus mengucapkan keduanya, Lukas menulis yang
satu, Matius menulis yang lain. Jadi Matius dan Lukas bukannya bertentangan
tetapi saling melengkapi.
b. Ada penafsir-penafsir yang
kelihatannya mengartikan bagian ini secara hurufiah.
Barnes’ Notes: “The
second evil mentioned is, where a man is litigious, and determined to take all
the advantage the law can give him: following us with vexatious and expensive
lawsuits. Our Saviour directs us, rather than imitate him - rather than to
contend with a revengeful spirit in courts of justice, and to perpetual broils
- to take trifling injury, and yield to him. This is merely question about
property, and not about conscience and life” (= Kejahatan yang kedua yang disebutkan adalah, dimana
seseorang suka bertengkar / berperkara, dan memutuskan untuk mengambil semua
keuntungan yang bisa diberikan oleh hukum kepadanya: mengikuti kita dengan
perkara hukum / pengadilan yang menjengkelkan dan mahal. Juruselamat kita
mengarahkan kita, dari pada meniru dia - dari pada melawan dengan roh balas
dendam dalam pengadilan, dan kemarahan yang terus menerus - untuk menerima kerugian
yang remeh, dan menyerah kepadanya. Ini hanya persoalan tentang harta
milik, dan bukan tentang hati nurani dan nyawa) - hal 26.
Catatan: ia mengatakan ‘kerugian yang remeh’.
Bagaimana kalau kerugiannya bukan sesuatu yang remeh, tetapi sangat besar?
William Barclay: “So,
then, what Jesus is saying is this: ‘The Christian never stands upon his
rights; he never disputes about his legal rights; he does not consider himself
to have any legal right at all.’ There are people who are for ever standing on
their rights, who clutch their privileges to them and who will not be pried
loose from them, who will militantly go to law rather than suffer what they
regard as the slightest infringement of them. Churches are tragically full of
people like that, ... People like that have not even begun to see what
Christianity is. The Christian thinks not of his rights, but of his duties; not
of his privileges, but of his responsibilities. The Christian is a man who has
forgotten that he has any right at all; and the man who will fight to the legal
death for his right, inside or outside the Church, is far from the Christian
way” (= Jadi, yang dikatakan
Yesus adalah ini: ‘Orang Kristen tidak pernah berpegang pada hak-haknya; ia
tidak pernah bertengkar tentang hak-hak hukumnya; ia menganggap dirinya tidak
mempunyai hak hukum apapun sama sekali’. Ada orang-orang yang selalu berpegang
pada hak-hak mereka, yang menggenggam hak-hak mereka, dan yang tidak mau
melepaskannya, yang mau secara agresif pergi kepada hukum dari pada menderita /
mengalami apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran yang paling kecil terhadap
hak-hak mereka. Gereja-gereja secara tragis penuh dengan orang-orang seperti
itu, ... Orang-orang seperti itu bahkan belum pernah mulai melihat apa
kekristenan itu. Orang Kristen tidak berpikir tentang haknya, tetapi tentang
kewajibannya; bukan tentang hak-haknya, tetapi tanggung jawabnya. Orang Kristen
adalah orang yang telah melupakan bahwa ia mempunyai hak; dan orang yang mau
bertengkar sampai mati secara hukum untuk hak-haknya, di dalam atau di luar
Gereja, adalah orang yang jauh dari jalan Kristen) - hal 167.
Catatan:
·
kalau
kata-kata Barclay ini dimutlakkan, saya jelas tidak setuju. Pada waktu Paulus
naik banding kepada kaisar (Kis 25:11), atau pada waktu ia memprotes
penyesahan terhadap dirinya sebagai seorang warga negara Romawi
(Kis 22:25), atau pada waktu ia secara implicit menuntut orang yang
mencambukinya meminta maaf kepadanya (Kis 16:35-39), jelas bahwa ia
menggunakan haknya.
·
sekalipun
saya tidak setuju secara mutlak kata-kata Barclay ini, tetapi saya berpendapat
bahwa kata-kata ini perlu saudara renungkan, khususnya kalau saudara adalah orang
yang terlalu mempertahankan hak saudara, sehingga rela bertengkar hanya karena
hak saudara yang remeh dilanggar.
c. Saya sendiri berpendapat, bahwa
sama seperti dengan ay 39 (ditampar pipi kanan, berikan pipi kiri),
ay 40 ini juga tidak boleh diartikan secara hurufiah, tetapi harus
diartikan hanya bahwa kita tidak boleh membalas perlakuan jahat kepada kita.
Jadi, kalau seseorang menuntut mobil saudara, dan saudara bukan hanya
memberikan mobil itu kepadanya, tetapi juga lalu pulang dan mengambil sertifikat
rumah dan memberikannya kepada si penuntut itu, saudara sudah melakukan suatu
kegilaan / ketololan, yang sama sekali tidak pernah dimaksudkan oleh ayat ini.
Calvin: “None
but a fool will stand upon the words, so as to maintain, that we must yield to
our opponents what they demand, before coming into a court of law: for such
compliance would more strongly inflame the minds of wicked men to robbery and
extortion; and we know, that nothing was farther from the design of Christ” (= Tidak ada orang kecuali orang tolol yang berpegang
pada kata-kata, sehingga menganggap bahwa kita harus menyerahkan kepada lawan
kita apa yang mereka tuntut, sebelum sampai pada pengadilan: karena pemenuhan
tuntutan seperti itu akan membakar dengan lebih kuat pikiran dari orang-orang
jahat kepada perampokan dan pemerasan; dan kita tahu, bahwa tidak ada yang
lebih jauh dari tujuan Kristus dari hal itu) - hal 299.
Calvin: “If
a man, oppressed by an unjust decision, loses what is his own, and yet is
prepared, when it shall be found necessary, to part with the remainder, he
deserves not less to be commended for patience, than the man who allows himself
to be twice robbed before coming into court. In short, when Christians meet
with one who endeavours to wrench them a part of their property, they ought to
be prepared to lose the whole” [=
Jika seseorang, ditindas oleh suatu keputusan yang tidak adil (dari pengadilan), dan kehilangan miliknya, tetapi ia siap, jika perlu,
untuk berpisah dengan sisa miliknya, ia layak mendapat pujian untuk kesabarannya,
yang tidak kurang dari pada orang yang mengijinkan dirinya sendiri untuk
dirampok 2 x sebelum sampai ke pengadilan. Singkatnya, pada waktu
orang-orang Kristen bertemu dengan orang yang berusaha untuk merenggut sebagian
dari milik mereka, mereka harus siap untuk kehilangan seluruhnya] - hal 300.
Calvin: “Hence
we conclude, that Christians are not entirely prohibited from engaging in
law-suits, provided they have a just defence to offer” (= Jadi, kami menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen
tidak sepenuhnya dilarang untuk berurusan di pengadilan, asal mereka mempunyai
pembelaan yang adil / benar untuk diberikan) - hal 300.
Dari ketiga komentar Calvin di atas,
bisa disimpulkan bahwa Calvin tidak mau menghurufiahkan kata-kata Yesus di
atas, sehingga seakan-akan berarti bahwa kita harus menyerahkan apapun yang
dituntut oleh lawan kita sebelum sampai ke pengadilan. Menurutnya, sikap
seperti itu hanya akan memicu kejahatan yang lebih kuat dalam diri orang-orang
jahat itu. Jadi, kita boleh maju ke pengadilan, tetapi kalau toh secara tidak
adil kita dikalahkan, sehingga kita kehilangan sebagian milik kita, kita bahkan
harus mempunyai sikap rela kehilangan semua milik kita, kalau hal itu memang
perlu.
Pulpit Commentary: “To
insist upon the literal meaning of these words would be to apply the method of
the Pharisees to the interpretation of the New Testament; a literal obedience
under all circumstances would destroy the very framework of society, and let
loose all that is evil in human nature. But the Lord is laying down general
principles. Cases will often arise in which the application of those principles
must be modified by other rules of Holy Scripture. ... a literal obedience is
not always possible; it would not be always right; it would sometimes do harm
rather than good. The Lord himself, the gentlest and the meekest, expostulated
with those who struck him wrongfully (John 18:23). Neither when he bids us,
‘Give to him that asketh thee,’ are his words to be taken literally, as
commanding indiscriminate almsgiving. ... St. Paul would not have us give to
the idle (2Thess. 3:10). We must understand our Lord’s words as interpreted by
his own example and by other parts of Holy Scripture. We must forgive injuries,
we must not resist evil, we must give freely; but in all these things we must
be guided by the wisdom which is from above” [= Berkeras pada arti hurufiah dari kata-kata ini adalah
sama dengan menerapkan metode dari orang-orang Farisi pada penafsiran dari
Perjanjian Baru; suatu ketaatan hurufiah dalam segala keadaan akan
menghancurkan kerangka dari masyarakat, dan melepaskan semua yang jahat dalam
diri manusia. Tetapi Tuhan sedang menetapkan prinsip-prinsip umum. Sering akan
muncul kasus-kasus dalam mana penerapan dari prinsip-prinsip itu harus dimodifikasi
oleh peraturan-peraturan lain dari Kitab Suci yang kudus. ... suatu ketaatan
hurufiah tidak selalu memungkinkan; itu tidak selalu benar; itu kadang-kadang
mengakibatkan kerugian / keburukan / kejahatan dari pada kebaikan. Tuhan
sendiri, orang yang paling lembut, memprotes mereka yang memukulNya secara
salah (Yoh 18:23). Juga pada waktu Ia memerintah kita ‘Berilah kepada
orang yang meminta kepadamu’, kata-kataNya tidak boleh diartikan secara
hurufiah, seakan-akan kita diperintahkan untuk memberi sedekah tanpa
membeda-bedakan / tanpa pandang bulu. ... Santo Paulus tidak menghendaki kita
memberi kepada orang yang malas / menganggur (2Tes 3:10). Kita harus
mengerti kata-kata Tuhan kita seperti yang ditafsirkan oleh teladanNya sendiri
dan oleh bagian-bagian lain dari Kitab Suci yang kudus. Kita harus mengampuni
suatu luka / kerugian, kita tidak boleh melawan kejahatan, kita harus memberi
dengan bebas; tetapi dalam semua hal-hal ini kita harus dipimpin oleh hikmat
yang dari atas] - hal
177-178.
William Hendriksen: “In
summary: we have no right to hate the person who tries to deprive us of our
possessions” (= Singkatnya: kita
tidak mempunyai hak untuk membenci orang yang mencoba untuk mengambil milik
kita) - hal 310.
c) Ay 41: “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu
mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil”.
William Hendriksen: “The
first verb in ‘Whoever forces you to go on one mile ...’ refers to the
authority to requisition, to press into service. ... the verb gradually
acquired the more general meaning of compelling someone to render any kind of
service. It is used in connection with Simon of Cyrene who was compelled to
carry Christ’s cross (Matt. 27:32; Mark 15:21). Now what Jesus is saying is
that rather than to reveal a spirit of bitterness or annoyance toward the one
who forces a burden upon a person, the latter should take this position with a
smile. Did someone ask you to go with him, carrying his load for the distance
of one mile? Then go with him two miles!” [= Kata kerja yang pertama dalam ‘Siapapun yang memaksa
engkau berjalan sejauh satu mil ...’ menunjuk pada otoritas pada tuntutan untuk
bekerja, menekan kepada pelayanan. ... kata kerjanya secara perlahan-lahan
mendapatkan arti yang lebih umum yaitu memaksa seseorang untuk melakukan
pelayanan jenis apapun. ... Kata itu digunakan dalam hubungan dengan Simon dari
Kirene yang dipaksa untuk memikul salib Kristus (Mat 27:32;
Mark 15:21). Apa yang dikatakan oleh Yesus adalah bahwa dari pada
menyatakan suatu roh / semangat kepahitan atau kejengkelan terhadap orang yang
memaksakan suatu beban pada seseorang, maka orang yang terakhir ini harus
mengambil posisi ini dengan suatu senyuman. Apakah seseorang memintamu untuk
pergi dengan dia, membawa bebannya untuk jarak satu mil? Maka pergilah dengan
dia sejauh 2 mil!] -
hal 311.
William Barclay: “There
are always two ways of doing things. A man can do the irreducible minimum and
not a stroke more; he can do it in such a way as to make it clear that he hates
the whole thing; he can do it with the barest minimum of efficiency and no
more; or he can do it with a smile, with a gracious courtesy, with a
determination, not only to do this thing, but to do it well and graciously. He
can do it, not simply as well as he has to, but far better than anyone has any
right to expect him to. The inefficient workman, the resentful servant, the
ungracious helper have not even begun to have the right idea of the Christian
life. The Christian life is not concerned to do as he likes; he is concerned
only to help, even when the demand for help is discourteous, unreasonable and
tyrannical” (= Selalu ada 2 cara
untuk melakukan hal-hal. Seseorang bisa melakukan hal yang paling minim yang
tidak bisa dikurangi lagi, dan tidak lebih sedikitpun; ia bisa melakukannya
sedemikian rupa sehingga jelas terlihat bahwa ia membenci seluruh hal itu; ia
bisa melakukannya dengan kemampuan / kwalitet yang paling minim, dan tidak
lebih dari itu; atau ia bisa melakukannya dengan suatu senyuman, dengan
persetujuan yang murah hati, dengan suatu ketetapan hati, bukan hanya melakukan
hal ini, tetapi melakukannya dengan baik dan dengan murah hati. Ia bisa
melakukannya, bukan sekedar sebaik yang harus ia lakukan, tetapi jauh lebih
baik dari pada yang diharapkan oleh siapapun darinya. Pekerja yang tidak
efisien, pelayan yang jengkel, penolong yang tidak murah hati bahkan belum
mulai mendapatkan gagasan yang benar tentang kehidupan Kristen. Kehidupan
Kristen tidak berkenaan dengan melakukan seperti yang ia senangi; ia hanya
memperhatikan untuk menolong, bahkan pada waktu tuntutan untuk pertolongan itu
merupakan sesuatu yang kurang ajar / tidak sopan, tidak masuk akal dan bersifat
lalim / kejam) - hal
169.
Catatan: kata-kata Barclay di sini bisa
diterapkan pada pelayanan maupun pemberian persembahan!
d) Ay 42: “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah
menolak orang yang mau meminjam dari padamu”.
1. ‘Berilah
kepada orang yang meminta kepadamu’.
a. Yang membingungkan dari bagian ini
adalah: apakah si peminta ini seorang musuh yang meminta secara paksa /
setengah memaksa, atau ia adalah peminta biasa?
·
Kontexnya
menunjukkan bahwa peminta ini adalah musuh, dalam arti ia adalah orang yang
meminta secara paksa / setengah memaksa.
Kalau ini memang adalah musuh, maka
artinya adalah: dari pada gegeran / berkelahi untuk mempertahankan hak, lebih
baik memberikan apa yang ia minta.
·
Kebanyakan
penafsir mengartikan orang ini sebagai peminta biasa.
Kalau kita menerima penafsiran yang
kedua ini, maka kita harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:
*
Sekalipun
ay 42 ini kelihatannya berlaku mutlak, tetapi tidak boleh diartikan secara
mutlak. Mengapa? Karena Kitab Suci mengajar bahwa hanya orang yang miskin dan
yang berhak ditolong, yang perlu diberi.
Ul 15:7-8 - “Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin,
salah seorang saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan
kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati ataupun
menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu, tetapi engkau
harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan
limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan”.
Amsal 3:27-28 - “Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang
berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau
berkata kepada sesamamu: ‘Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,’
sedangkan yang diminta ada padamu”.
Kalau kita menafsirkan ay 42 ini
secara mutlak, dalam arti kita harus memberi kepada seadanya orang yang meminta
kepada kita, maka kita akan bertentangan dengan Ul 15:7-8 dan Amsal
3:27-28 ini.
*
Sekalipun
memberi itu merupakan kebiasaan yang baik, tetapi ada hal-hal lain yang harus
dipertimbangkan.
Calvin: “Though
the words of Christ, which are related by Matthew, appear to command us to give
to all without discrimination, ... it is certain, that it was the design of
Christ to make his disciples generous, but not prodigals: and it would be a
foolish prodigality to scatter at random what the Lord has given us. ... Let us
therefore hold, first, that Christ exhorts his disciples to be liberal and
generous; and next, that the way of doing it is, not to think that they have
discharged their duty when they have aided a few persons, but to study to be
kind to all, and not to be weary of giving, so long as they have the means” (= Sekalipun kata-kata Kristus, yang diceritakan oleh
Matius kelihatannya memerintahkan kita untuk memberi kepada semua orang tanpa
pandang bulu, ... adalah jelas bahwa tujuan Kristus adalah untuk membuat
murid-muridNya dermawan, tetapi tidak boros / royal: dan merupakan keroyalan
yang tolol untuk menyebarkan secara sembarangan apa yang Tuhan berikan kepada
kita. ... Karena itu hendaknya kita pertama-tama memegang / mempercayai bahwa
Kristus mendesak murid-muridNya untuk menjadi dermawan dan murah hati; dan
selanjutnya, bahwa cara melakukannya adalah, bukan dengan berpikir bahwa mereka
telah melaksanakan kewajiban mereka pada waktu mereka telah menolong beberapa
orang, tetapi dengan belajar untuk menjadi baik kepada semua orang, dan tidak
jemu-jemu dalam memberi, selama mereka mempunyai kekayaan / cara) - hal 301.
Barnes’ Notes: “It
is good to be in the habit of giving. At the same time, the rule must be
interpreted so as to be consistent with our duty to our families, (1Tim 5:8) and
with other objects of justice and charity. It is seldom, perhaps never, good to
give to a man that is able to work, 2Tes 3:10. To give to such is to encourage
laziness, and to support the idle at the expense of the industrious” [= Adalah baik
untuk terbiasa memberi. Pada saat yang sama, perintah ini harus ditafsirkan
sedemikian rupa sehingga konsisten dengan kewajiban kita terhadap keluarga kita
(1Tim 5:8), dan dengan obyek-obyek keadilan dan kasih yang lain. Jarang,
mungkin tidak pernah, merupakan hal yang baik untuk memberi kepada orang yang
bisa bekerja (2Tes 3:10). Memberi kepada orang seperti itu sama dengan
menganjurkan kemalasan, dan menyokong orang malas dengan mengorbankan orang
rajin] - hal 27.
William Barclay: “It
is clear that the effect of the giving on the receiver must be taken into
account. Giving must never be such as to encourage him in laziness and in
shiftlessness, for such giving can only hurt” (= Adalah jelas bahwa akibat dari pemberian itu pada si
penerima harus diperhitungkan. Memberi tidak pernah boleh dilakukan sehingga
mendorong-nya dalam kemalasan dan dalam keseganan untuk bekerja, karena
pemberian seperti itu hanya bisa merugikan) - hal 172.
Matthew Poole: “These
precepts of our Saviour must be interpreted, not according to the strict sense
of the words, as if every man were by them obliged, without regard to his own
abilities, or the circumstances of the persons begging or asking of him, to
give to every one that hath the confidence to ask of him; but as obliging us to
liberality and charity according to our abilities, and the true needs and
circumstances of our poor brethren, and in that order which God’s word hath
directed us; first providing for our own families, then doing good to the
household of faith, then also to others, as we are able, and see any of them
true objects of our charity” (= Perintah-perintah Juruselamat kita ini harus
ditafsirkan, bukan menurut arti kata yang ketat, seakan-akan setiap orang
diwajibkan oleh perintah-perintah ini untuk memberi kepada setiap orang yang
mempunyai keberanian untuk meminta kepadanya, tanpa memandang kemampuannya
sendiri, atau keadaan dari orang yang mengemis atau meminta kepadanya; tetapi
mewajibkan kita kepada kedermawanan dan kasih sesuai dengan kemampuan kita, dan
kebutuhan yang sungguh-sungguh dan keadaan dari saudara-saudara kita yang
miskin, dan dalam urut-urutan sesuai dengan pengarahan Firman Allah;
pertama-tama pemeliharaan terhadap keluarga kita sendiri, lalu berbuat baik
kepada saudara-saudara seiman, lalu juga kepada orang-orang lain, sesuai dengan
kemampuan kita, dan memastikan setiap dari mereka sebagai obyek yang benar dari
kasih kita) - hal 213.
Pulpit Commentary: “beneficence
must be with discretion (Ps. 112:5), else the idle and worthless may carry away
what should have been reseved for the worthy” [= kemurahan hati harus dilakukan dengan kebijaksanaan
(Maz 112:5), atau orang-orang yang malas dan tidak layak akan mengangkut
apa yang seharusnya disediakan untuk orang yang layak mendapatkannya] - hal 220.
Maz 112:5 - “Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi
pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya”.
KJV: ‘with
discretion’ (= dengan kebijaksanaan).
RSV/NIV: ‘with
justice’ (= dengan keadilan).
NASB: ‘in judgment’ (= dalam
penghakiman / penilaian).
Leon Morris (Tyndale): “it
is the spirit of the saying that is important. If Christians took this one
absolutely literally there would soon be a class of saintly paupers, owning
nothing, and another of prosperous idlers and thieves. It is not this that
Jesus is seeking, but a readiness among His followers to give and give and
give. The Christian should never refrain from giving out of a love for his
possessions. Love must be ready to be deprived of everything if need be. Of
course, in a given case it may not be the way of love to give. But it is
love that must decide whether we give or withhold, not a regard for our
possessions” (= arti dari kata-kata inilah yang penting. Jika orang
kristen menerima / menuruti perintah ini dalam arti hurufiah sepenuhnya, maka
segera akan ada segolongan orang kudus yang miskin, yang tidak mempunyai
apa-apa, dan golongan lain yang makmur yang terdiri dari orang-orang malas dan
pencuri-pencuri. Bukan ini yang dicari oleh Yesus, tetapi suatu kesediaan di
antara para pengikutNya untuk memberi dan memberi dan memberi. Orang kristen
seharusnya tidak pernah menahan diri dari memberi karena cinta kepada
miliknya. Kasih harus siap untuk kehilangan segala sesuatu jika itu
diperlukan. Tentu saja, dalam kasus tertentu, memberi bukanlah merupakan jalan
kasih. Tetapi adalah kasih, dan bukannya perhatian / penilaian terhadap
milik kita, yang harus menentukan apakah kita memberi atau menahan) - hal 130.
Jadi ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam memberi, yaitu:
Þ
kita
tidak boleh memberi secara royal dan sembarangan / ngawur.
Þ
kewajiban
untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau kita terus memberi kepada seadanya
orang yang meminta sehingga keluarga kita sendiri tidak tercukupi, maka ini
salah. Bdk. 1Tim 5:8 - “Tetapi jika ada
seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya,
orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman”.
Þ
adanya
orang-orang lain yang juga harus diberi / berhak untuk diberi. Kalau kita terus
memberi kepada seseorang yang tidak tahu diri dalam meminta dan yang sebetulnya
tidak layak untuk diberi, maka akhirnya kita tidak bisa memberi kepada orang
lain yang sebetulnya lebih berhak. Ini jelas salah.
Þ
kasih
kepada manusia, dan bukannya kasih kepada milik / uang kita, yang menentukan
apakah harus memberi atau tidak. Kalau pemberian itu menjadikannya makin malas
maka ini justru tidak kasih.
*
dalam
dunia hukum dikenal suatu semboyan: lebih baik membebaskan 1000 orang yang
bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kedua penafsir di
bawah ini kelihatannya menerapkan hal itu dalam persoalan memberi.
William Barclay: “it
must also be remembered that it is better to help a score of fraudulent beggars
than to risk turning away the one man in real need” (= juga harus diingat bahwa adalah lebih baik untuk
menolong 20 pengemis yang curang dari pada beresiko menolak satu orang yang
betul-betul dalam kebutuhan) - hal 172.
Barnes’ Notes: “This
is the general rule. It is better to give sometimes to an undeserved person,
than to turn away one really necessitous” (= Ini adalah peraturan umum. Adalah lebih baik untuk
kadang-kadang memberi kepada orang yang tidak layak mendapatkan, dari pada
menolak orang yang betul-betul membutuhkan) - hal 27.
b. Bdk. Luk 6:30 - “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah
meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu”.
Calvin: “we
must remember what I have already hinted, that we ought not to quibble about
words, as if a good man were not permitted to recover what is his own, when God
gives him the lawful means. We are only enjoined to exercise patience, that we
may not be unduly distressed by the loss of our property, but calmly wait, till
the Lord himself shall call the robbers to account” (= kita harus mengingat apa yang baru saya tunjukkan,
bahwa kita tidak boleh bertengkar tentang kata-kata, seakan-akan seorang yang
baik / saleh tidak diijinkan untuk mendapatkan kembali miliknya, pada saat
Allah memberinya cara / jalan yang sah menurut hukum. Kita hanya diperintahkan
untuk bersabar, supaya kita tidak menjadi terlalu sedih oleh kehilangan milik
kita, tetapi dengan tenang menunggu, sampai Tuhan sendiri memintai pertanggung-jawaban
dari para perampok itu)
- hal 301.
Matthew Poole: “Nor
must the second part of the verse be interpreted, as if it were a restraint of
Christians from pursuing of thieves or oppressors, but as a precept prohibiting
us private revenge, or too great contending for little things, &c.” [= Juga bagian
kedua dari ayat ini (Luk 6:30) tidak boleh
diartikan seakan-akan itu merupakan pengekangan terhadap orang-orang kristen
untuk tidak melakukan pengejaran / penangkapan terhadap pencuri atau penindas,
tetapi sebagai larangan yang melarang kita untuk melakukan balas dendam
pribadi, atau untuk bercekcok untuk hal-hal kecil, dsb.] - hal 213.
Pulpit Commentary: “This
verse has been often adduced by unbelievers to prove the incompatibility of our
Lord’s utterances with the conditions of modern society. Wrongly. Because our
Lord is inculcating the proper spirit of Christian life, not giving rules to be
literally carried out irrespective of circumstances” (= Ayat ini sering dikemukakan oleh orang-orang yang
tidak percaya untuk membuktikan ketidak-cocokan dari ucapan-ucapan Tuhan kita
dengan keadaan dari masyarakat modern. Salah. Karena Tuhan kita sedang
menanamkan roh / semangat yang benar dari kehidupan Kristen, bukan memberikan
peraturan-peraturan untuk dilaksanakan secara hurufiah tak peduli bagaimana /
apa keadaannya) - hal
167.
2. ‘dan
janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu’.
Sama seperti potongan sebelumnya, maka
bagian inipun pasti tidak bisa diartikan secara mutlak.
John Stott:
“Christ’s illustrations are not to be
taken as the charter for any unscrupulous tyrant, ruffian, beggar, or thug. His
purpose was to forbid revenge, not to encourage injustice, dishonesty or vice.
How can those who seek as their first priority the extension of God’s righteous
rule at the same time contribute to the spread of unrighteousness? True love,
caring for both the individual and society, takes action to deter evil and to
promote good. And Christ’s command was
‘precept of love, not folly’. He teaches not the irresponsibility which
encourages evil but the forbearance which renounces revenge” (= Illustrasi Kristus tidak boleh dianggap sebagai hak /
ijin untuk tiran yang jahat / tidak bermoral, bajingan, pengemis, atau penjahat
yang kejam. TujuanNya adalah untuk melarang balas dendam, bukan untuk mendorong
ketidak-adilan, ketidak-jujuran atau kejahatan. Bagaimana mereka yang mencari
perluasan dari pemerintahan yang benar dari Allah sebagai prioritas pertama,
bisa pada saat yang sama memberikan sumbangsih pada tersebarnya
ketidak-benaran? Kasih yang benar, yang memperhatikan / mempedulikan individu
maupun masyarakat, melakukan tindakan untuk menghalangi kejahatan dan memajukan
kebaikan. Dan perintah Kristus merupakan ‘ajaran / perintah kasih, bukan ajaran
/ perintah tolol’. Ia bukan mengajarkan sikap tidak bertanggung jawab yang
mendorong kejahatan tetapi kesabaran yang membuang balas dendam) - ‘The Message of the Sermon of the
Mount’, hal 108.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com