Eksposisi Injil Matius
oleh: Pdt. Budi
Asali MDiv.
Ay 43-44: “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.
1) Terjemahan KJV yang berbeda.
Ay 43-44 (KJV): ‘Ye have heard that it hath been said, Thou shalt
love thy neighbour, and hate thine enemy. But I say unto you, Love your
enemies, bless them that curse you, do good to them that hate you, and
pray for them which despitefully use you, and persecute you’
(= Kamu telah mendengar bahwa dikatakan: Kasihilah sesamamu manusia, dan
bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu, berkatilah
mereka yang mengutuk kamu, berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu,
dan berdoalah untuk mereka yang dengan jahat menggunakan kamu, dan
menganiaya kamu).
Catatan: tambahan ini (bagian yang saya
garis-bawahi) berasal dari manuscripts yang berbeda, dan pada umumnya tidak dianggap
sebagai bagian asli dari Kitab Suci oleh para penafsir.
2) Kesalahan terjemahan Kitab Suci
Indonesia.
Ay 43-44: “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.
KJV: ‘Ye have heard that it hath been said’ (= Kamu telah mendengar bahwa dikatakan).
Seperti bagian yang sudah-sudah, kata ‘firman’ lagi-lagi merupakan terjemahan yang salah, dan terjemahan yang
salah ini menyebabkan seakan-akan Yesus menentang hukum Taurat / Perjanjian
Lama. Padahal Yesus bukannya menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama, tetapi
menentang ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum
Taurat / Perjanjian Lama.
3) Ajaran Perjanjian Lama dalam
persoalan ini:
a) Dalam Perjanjian Lama memang ada
ajaran ‘kasihilah sesamamu manusia’.
Bagian pertama dari ay 43 ini
diambil dari Im 19:18 - “Janganlah
engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu,
melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah
TUHAN”, tetapi
kata-kata ‘seperti dirimu sendiri’ dibuang.
Ul 22:1-4 juga menunjukkan bahwa
mereka harus mengasihi saudara mereka.
Ul 22:1-4 - “‘Apabila engkau melihat, bahwa lembu atau domba
saudaramu tersesat, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; haruslah engkau
benar-benar mengembalikannya kepada saudaramu itu. Dan apabila saudaramu itu
tidak tinggal dekat denganmu dan engkau tidak mengenalnya, maka haruslah engkau
membawa hewan itu ke dalam rumahmu dan haruslah itu tinggal padamu, sampai
saudaramu itu datang mencarinya; engkau harus mengembalikannya kepadanya.
Demikianlah harus kauperbuat dengan keledainya, demikianlah kauperbuat dengan
pakaiannya, demikianlah kauperbuat dengan setiap barang yang hilang dari
saudaramu dan yang kautemui; tidak boleh engkau pura-pura tidak tahu. Apabila
engkau melihat keledai saudaramu atau lembunya rebah di jalan, janganlah engkau
pura-pura tidak tahu; engkau harus benar-benar menolong membangunkannya
bersama-sama dengan saudaramu itu.’”.
b) Tetapi dalam Perjanjian Lama tidak
pernah ada ajaran / ayat yang berbunyi: ‘bencilah
musuhmu’.
Lalu dari mana mereka mendapatkan
kata-kata ‘bencilah musuhmu’ ini?
D. Martyn Lloyd-Jones: “Nowhere
in the Old Testament, I repeat, do we find ‘Love your neighbour and hate your
enemy’; but we do find many statements that may have encouraged people to
hate their enemies” (= Tidak
ada dalam Perjanjian Lama, saya ulangi, kita dapatkan kata-kata ‘Kasihilah sesamamu
manusia dan bencilah musuhmu’; tetapi kita mendapatkan banyak pernyataan
yang bisa mendorong orang untuk membenci musuh-musuh mereka) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 300.
1. Stott mengatakan (hal 115) bahwa
ahli-ahli Taurat mengatakan bahwa Im 19 ditujukan kepada ‘segenap jemaah Israel’ (Im 19:2). Dan Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh
dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.
Ini menyebabkan mereka berkata bahwa ‘sesama mereka adalah sesama orang-orang Yahudi’ atau
‘orang-orang yang sebangsa dan seagama dengan mereka’. Mereka beranggapan bahwa hukum ini
sama sekali tidak berbicara tentang orang asing atau musuh.
D. Martyn Lloyd-Jones: “They
said that the ‘neighbour’ meant only an Israelite; so they taught the Jews to
love the Jews, but they told them at the same time to regard everybody else not
only as an alien but as an enemy. Indeed they went so far as to suggest that it
was their business, almost their right and their duty, to hate all such people.
... Thus there were many amongst the zealous Pharisees and scribes who thought
they were honouring God by despising everybody who was not a Jew. They thought
it was their business to hate their enemies” (= Mereka berkata bahwa ‘sesama manusia’ berarti hanya
orang Israel; sehingga mereka mengajar orang Yahudi untuk mengasihi orang
Yahudi, tetapi pada saat yang sama mereka memberitahu mereka untuk menganggap
semua orang yang lain bukan hanya sebagai orang asing tetapi sebagai musuh.
Bahkan mereka berjalan begitu jauh sehingga mengusulkan bahwa hal itu adalah
urusan mereka, dan hampir merupakan hak dan kewajiban mereka, untuk membenci
orang-orang seperti itu. ... Karena itu ada banyak di antara orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat yang bersemangat, yang beranggapan bahwa mereka sedang
menghormati Allah dengan merendahkan setiap orang yang bukan orang Yahudi.
Mereka mengira adalah urusan mereka untuk membenci musuh mereka) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 299-300.
Bantahan:
John Stott: “The
reasoning is rational enough to convince those who wanted to be convinced, and
to confirm them in their own racial prejudice. ... They evidently ignored the
instruction earlier in the same chapter to leave the gleanings of field and
vineyard ‘for the poor and the sojourner’, who was not a Jew but a resident
alien, and the unequivocal statement against racial discrimination at the end
of the chapter: ‘the stranger who sojourns with you shall be to you as the
native among you, and you shall love him as yourself’ (34)” [= Pemikiran / pertimbangan ini cukup rasionil untuk
meyakinkan mereka yang mau untuk diyakinkan, dan menegaskan mereka dalam
prasangka rasial mereka. ... Mereka secara jelas mengabaikan instruksi / ajaran
pada bagian awal dari pasal yang sama untuk meninggalkan sisa-sisa dari ladang
dan kebun anggur ‘bagi orang miskin dan bagi orang asing’ (Im 19:10), yang
bukanlah orang Yahudi tetapi seorang asing yang menetap, dan pernyataan yang
tegas terhadap diskriminasi rasial pada akhir dari pasal: ‘Orang asing yang
tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu,
kasihilah dia seperti dirimu sendiri’ (Im 19:34)] - ‘The Message of the Sermon on The
Mount’, hal 114.
Im 19:10 - “Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk
kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut,
tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang
asing; Akulah TUHAN, Allahmu”.
Im 19:34 - “Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu
seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri,
karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu”.
Jadi, kalau kita melihat kontext dari
Im 19 itu, maka jelas tidak mungkin kita bisa menerima tafsiran dari
orang-orang Yahudi tentang Im 19:18 tersebut.
Jadi, arti dari ‘sesama manusia’ adalah
seperti yang dikatakan oleh Stott di bawah ini.
John Stott: “Our
‘neighbour’ in the vocabulary of God includes our enemy. What constitutes him
our neighbour is simply that he is a fellow human being in need, whose need we
know and are in a position in some measure to relieve” (= Sesama manusia kita dalam perbendaharaan kata dari
Allah mencakup musuh kita. Apa yang menyebabkannya menjadi sesama kita hanyalah
sekedar bahwa ia adalah sesama manusia kita yang ada dalam kebutuhan, yang
kebutuhannya kita ketahui, dan kita ada dalam keadaan untuk bisa meringankannya
sampai taraf tertentu)
- ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 118.
Bdk. Luk 10:25-37 - ‘perumpamaan
tentang orang Samaria yang murah hati’, yang juga mempersoalkan ‘siapakah
sesama manusia’ itu?
2. Text yang menyuruh Israel memusuhi
/ membasmi bangsa kafir / non Israel, seperti:
·
perintah
untuk membasmi orang Kanaan, seperti dalam Ul 7:2 dan sebagainya.
·
perintah
untuk membasmi orang Amalek dalam Ul 25:17-19 - “‘Ingatlah apa yang dilakukan orang Amalek kepadamu pada
waktu perjalananmu keluar dari Mesir; bahwa engkau didatangi mereka di jalan
dan semua orang lemah pada barisan belakangmu dihantam mereka, sedang engkau
lelah dan lesu. Mereka tidak takut akan Allah. Maka apabila TUHAN, Allahmu,
sudah mengaruniakan keamanan kepadamu dari pada segala musuhmu di sekeliling,
di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dimiliki sebagai milik
pusaka, maka haruslah engkau menghapuskan ingatan kepada Amalek dari kolong
langit. Janganlah lupa!’”.
·
ayat-ayat
seperti Bil 25:17-18
Bil 31:2-3,7-8
Ul 23:3-4 yang menyuruh mereka ‘sentimen’ terhadap orang Moab,
Midian, Amon.
Bantahan:
Ayat-ayat seperti ini jelas tidak
mungkin dijadikan dasar, karena:
¨ perang suci / kudus (holy war)
seperti itu hanya ada pada saat itu saja, dan merupakan perang Allah terhadap
berhala / penyembah berhala.
¨ dalam melaksanakan perintah Tuhan itu
bangsa Israel berfungsi sebagai algojo dari Allah yang melaksanakan hukumanNya
terhadap bangsa-bangsa kafir tersebut.
3. Mazmur-mazmur yang berisi kutukan terhadap
orang-orang jahat / doa supaya orang-orang jahat dibinasakan. Misalnya:
·
Maz 69:23-29
- “Biarlah jamuan yang di depan mereka
menjadi jerat, dan selamatan mereka menjadi perangkap. Biarlah mata mereka
menjadi gelap, sehingga mereka tidak melihat; buatlah pinggang mereka goyah
senantiasa! Tumpahkanlah amarahMu ke atas mereka, dan biarlah murkaMu yang
menyala-nyala menimpa mereka. Biarlah perkemahan mereka menjadi sunyi, dan
biarlah kemah-kemah mereka tidak ada penghuninya. Sebab mereka mengejar orang
yang Kaupukul, mereka menambah kesakitan orang-orang yang Kautikam.
Tambahkanlah salah kepada salah mereka, dan janganlah sampai Engkau membenarkan
mereka! Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka
tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.
·
Maz
109:1-31.
Bantahan:
Tentang mazmur-mazmur seperti ini Stott
mengatakan bahwa pemazmur tidak berbicara tentang kebencian pribadi tetapi
sebagai ia berbicara wakil dari bangsa pilihan Allah (Israel), yang menganggap
orang-orang jahat sebagai musuh Allah. Ia membenci mereka karena ia mengasihi
Allah.
D. Martyn Lloyd-Jones: “In
writing his Psalms, the Psalmist is not so much writing about himself as about
the Church; and his Psalms, you will find, are concerned in every single instance,
in every imprecatory Psalm, with the glory of God. As he talks about the things
that are being done to him, he is speaking of things that are being done to
God’s people and to God’s Church. It is the honour of God that he is concerned
about, it is his zeal for the house of God and for the Church of God that moves
him to write these things” (=
Dalam menuliskan mazmur-mazmurnya, sang pemazmur tidak menulis tentang dirinya
sendiri tetapi tentang Gereja; dan mazmur-mazmurnya, akan engkau dapati, dalam
setiap contoh, dalam setiap Mazmur kutukan, peduli dengan kemuliaan Allah. Pada
waktu ia berbicara tentang hal-hal yang sedang dilakukan terhadapnya, ia
berbicara tentang hal-hal yang sedang dilakukan terhadap umat Allah dan Gereja
Allah. Adalah kehormatan Allah yang ia pedulikan, adalah semangatnya bagi rumah
Allah dan untuk Gereja Allah yang menggerakkannya untuk menuliskan hal-hal ini) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 300-301.
John Stott: “The
truth is that evil men should be the object simultaneously of our ‘love’ and
our ‘hatred’, ... To ‘love’ them is ardently to desire that they will repent
and believe, and so be saved. To ‘hate’ them is to desire with equal ardour
that, if they stubbornly refuse to repent and believe, they will incur God’s judgment.
... So there is such a thing as perfect hatred, just as there is such a thing
as righteous anger. But it is a hatred for Gods’ enemies, not our own
enemies. It is entirely free of all spite, rancour and vindictiveness, and
is fired only by love of God’s honour and glory” (= Kebenarannya adalah bahwa orang-orang jahat harus
menjadi obyek secara bersamaan dari kasih kita dan kebencian kita, ...
Mengasihi mereka berarti menginginkan dengan bersemangat / sungguh-sungguh bahwa
mereka akan bertobat dan percaya, dan dengan demikian diselamatkan. Membenci
mereka adalah menginginkan dengan kesungguhan / semangat yang sama bahwa jika
mereka secara tegar tengkuk menolak untuk bertobat dan percaya, mereka akan
mendatangkan penghakiman Allah. ... Jadi, ada kebencian yang sempurna, sama
seperti ada kemarahan yang benar. Tetapi itu merupakan kebencian terhadap
musuh-musuh Allah, bukan musuh-musuh kita sendiri. Itu sepenuhnya bebas
dari semua dendam, kebencian, dan balas dendam, dan dibakar / dinyalakan hanya
oleh kasih terhadap kehormatan dan kemuliaan Allah) - ‘The Message of the Sermon on The
Mount’, hal 117.
Catatan: untuk kata-kata yang saya garis-bawahi
itu, bandingkan dengan Maz 139:21-22 - “Masakan
aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa
jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau? Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku”.
Bandingkan mazmur-mazmur kutukan itu
dengan:
·
Wah 6:10
- “Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai
yang kelima, aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh
oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan
mereka berseru dengan suara nyaring, katanya: ‘Berapa lamakah lagi, ya Penguasa
yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami
kepada mereka yang diam di bumi?’”.
·
Wah 19:1-4
- “Kemudian dari pada itu aku mendengar
seperti suara yang nyaring dari himpunan besar orang banyak di sorga, katanya:
‘Haleluya! Keselamatan dan kemuliaan dan kekuasaan adalah pada Allah kita,
sebab benar dan adil segala penghakimanNya, karena Ialah yang telah menghakimi
pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang
telah membalaskan darah hamba-hambaNya atas pelacur itu.’ Dan untuk kedua
kalinya mereka berkata: ‘Haleluya! Ya, asapnya naik sampai selama-lamanya.’ Dan
kedua puluh empat tua-tua dan keempat makhluk itu tersungkur dan menyembah
Allah yang duduk di atas takhta itu, dan mereka berkata: ‘Amin, Haleluya.’”.
Orang-orang ini sudah di surga, tetapi
masih menaikkan doa yang boleh dikatakan mirip dengan mazmur-mazmur kutukan
tersebut, dan orang-orang itu menginginkan penghakiman Allah, dan bersukacita
dan memuji Tuhan karena penghakimanNya yang adil terhadap orang-orang jahat.
c) Sebetulnya dalam Perjanjian Lama
bukan hanya sudah ada ajaran ‘Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, tetapi juga sudah ada ajaran ‘Kasihilah musuhmu’.
Ini terlihat dari:
·
Kel 23:4-5
- “Apabila engkau melihat lembu musuhmu
atau keledainya yang sesat, maka segeralah kaukembalikan binatang itu. Apabila
engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah
engkau enggan menolongnya. Haruslah engkau rela menolong dia dengan membongkar
muatan keledainya”.
Kalau keledai musuh rebah kita harus
menolong, lebih-lebih kalau musuh itu yang rebah.
·
Ayub 31:29
- “Apakah aku bersukacita karena
kecelakaan pembenciku, dan bersorak-sorai, bila ia ditimpa malapetaka”.
·
Amsal 24:17
- “Jangan bersukacita kalau musuhmu
jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok”.
·
Amsal 25:21
- “Jikalau seterumu lapar, berilah dia
makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan
menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu”. Bandingkan dengan tindakan Elisa
dalam 2Raja 6:21-23 yang melakukan hal ini terhadap orang Aram.
Karena itu kalau Yesus mengajarkan
untuk mengasihi musuh, itu bukan sesuatu yang aneh atau yang bertentangan
dengan Perjanjian Lama. Demikian juga adanya ayat-ayat Perjanjian Baru yang
mempunyai arah yang serupa, seperti:
¨ 1Kor 4:12b-13a - “Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya,
kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah”.
¨ Ro 12:14,17,19-21 - “(14) Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah
dan jangan mengutuk! ... (17) Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan;
lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! ... (19) Saudara-saudaraku yang
kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat
kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah
yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. (20) Tetapi, jika seterumu lapar,
berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian
kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah
terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.
4) Hubungan perintah kasih kepada
musuh (ay 44), dengan larangan untuk melawan orang yang berbuat jahat
kepada kita (ay 39).
John Stott: “The
last two antitheses of the series reveal a progression. The first is a negative
command: Do not resist one who is evil; the second is positive: Love your
enemies and seek their good. The first is a call to passive non-retaliation,
the second to active love. As Augustine put it, ‘Many have learned how to offer
the other cheek, but do not know how to love him by whom they were struck.’” (= Dua antithesis yang terakhir dari seri antithesis itu
menyatakan suatu kemajuan. Yang pertama merupakan suatu perintah negatif:
Jangan melawan orang yang jahat; yang kedua merupakan sesuatu yang positif:
Kasihilah musuhmu dan usahakanlah kebaikan untuk mereka. Yang pertama merupakan
panggilan pada sikap tidak membalas yang pasif, yang kedua pada kasih yang
aktif. Seperti dikatakan oleh Agustinus: ‘Banyak orang telah belajar bagaimana
memberikan pipi satunya, tetapi tidak tahu bagaimana mengasihi orang-orang oleh
siapa mereka dipukul’)
- ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 122.
5) Arti dari ‘mengasihi’.
a) Arti negatif / salah dari ‘mengasihi’.
Barclay: “It
is then quite obvious that the last thing agapē, Christian love, means is that
we allow people to do absolutely as they like, and that we leave them quite
unchecked. No one would say that a parent really loves his child if he lets the
child do as he likes. If we regard a person with invincible goodwill, it will
often mean that we must punish him, that we must restrain him, that we must
discipline him, that we must protect him against himself. But it will also mean
that we do not punish him to satisfy our desire for revenge, but in order to
make him a better man” (= Jelas
bahwa arti dari agapē, kasih Kristen, bukanlah kalau kita mengijinkan orang-orang
melakukan secara mutlak seperti yang mereka inginkan, dan bahwa kita membiarkan
mereka tanpa dikekang. Tidak seorangpun akan mengatakan bahwa seorang tua
sungguh-sungguh mengasihi anaknya jika ia membiarkan anak itu berbuat seperti
yang dikehendakinya. Jika kita melihat seseorang, dengan keinginan baik yang
tak terkalahkan, itu sering berarti bahwa kita harus menghukumnya, bahwa kita
harus mengekangnya, bahwa kita harus mendisiplin / menghajarnya, bahwa kita
harus melindunginya terhadap dirinya sendiri. Tetapi itu juga berarti bahwa
kita tidak menghukumnya untuk memuaskan keinginan kita untuk balas dendam,
tetapi untuk membuatnya menjadi seseorang yang lebih baik) - hal 174.
b) Kasih bukan perasaan tetapi
keputusan, dan ‘mengasihi’ berbeda dengan ‘menyenangi’.
Barclay: “Agapē
does not mean a feeling of the heart, which we cannot help, and which comes
unbidden and unsought; it means a determination of the mind, whereby we
achieve this unconquerable goodwill even to those who hurt and injure us” (= Agapē tidak berarti suatu perasaan dari hati,
terhadap mana kita tidak bisa berbuat apa-apa, dan yang datang tanpa diminta
dan dicari; itu berarti suatu keputusan / ketetapan dari pikiran, dengan
mana kita mencapai keinginan baik yang tidak bisa dikalahkan bahkan terhadap
mereka yang menyakiti dan melukai kita) - hal 174.
D. Martyn Lloyd-Jones: “we
must understand the difference between loving and liking. Christ said, ‘Love
your enemies,’ not ‘Like your enemies’. ... We are not called upon to like
everybody. We cannot do so. But we can be commanded to love. ... People have
stumbled at this. ‘Do you mean to say that it is right to love and not to
like?’ they ask. I do. What God commands is that we should love a man and treat
him as if we do like him. Love is much more than feeling or sentiment. Love in
the New Testament is very practical - ‘For this is the love of God, that we
keep his commandments.’ Love is active. If, therefore, we find we do not like
certain people, we need not be worried by that, so long as we are treating them
as if we did like them. That is loving, and it is the teaching of our Lord
everywhere” (= kita harus
mengerti perbedaan antara mengasihi dan menyenangi. Kristus berkata: ‘Kasihilah
musuhmu’, bukan ‘Senangilah musuhmu’. ... Kita tidak dipanggil untuk menyenangi
setiap orang. Kita tidak bisa berbuat demikian. Tetapi kita bisa diperintahkan
untuk mengasihi. ... Orang-orang tersandung pada hal ini. ‘Apakah kamu
bermaksud untuk mengatakan bahwa adalah benar untuk mengasihi dan tidak menyenangi?’,
mereka bertanya. Ya. Apa yang Allah perintahkan adalah bahwa kita harus
mengasihi seseorang dan memperlakukannya seakan-akan kita menyenanginya. Kasih
merupakan sesuatu yang jauh lebih dari perasaan atau sentimen. Kasih dalam
Perjanjian Baru adalah sangat praktis - ‘Karena inilah kasih Allah, bahwa kita
mentaati perintah-perintahNya’. Kasih itu aktif. Karena itu, jika kita
mendapati bahwa kita tidak menyenangi orang-orang tertentu, kita tidak perlu
menguatirkan hal itu, selama kita memperlakukan mereka seakan-akan kita
menyenangi mereka. Itulah mengasihi, dan itu merupakan ajaran dari Tuhan kita
di mana-mana) - ‘Studies
in the Sermon on the Mount’, hal 307-308.
Catatan: saya sendiri tidak yakin apakah
kata-kata / penafsiran dari Barclay dan Martin Lloyd-Jones dalam persoalan ini
bisa dibenarkan.
c) Meniru teladan Allah dalam
mengasihi kita yang adalah musuh-musuhNya.
John Stott: “Our
enemy is seeking our harm; we must seek his good. For this is how God has
treated us. It is ‘while we were enemies’ that Christ died for us to reconcile
us to God (Rom 5:10). If he gave himself for his enemies, we must give
ourselves for ours” [= Musuh kita
mengusahakan kerugian kita; kita harus mengusahakan kebaikannya. Karena inilah
bagaimana Allah telah memperlakukan kita. Adalah ‘pada saat kita masih seteru /
musuh’ Kristus mati untuk kita untuk memperdamaikan kita dengan Allah
(Ro 5:10). Jika Ia memberikan diriNya sendiri untuk musuh-musuhNya, kita
harus memberikan diri kita sendiri untuk musuh-musuh kita] - ‘The Message of the Sermon on The
Mount’, hal 118.
6) ‘berdoalah
bagi mereka yang menganiaya kamu’ (ay 44b).
Ini merupakan salah satu perwujudan
dari kasih kepada musuh.
a) Kita
harus meniru teladan Yesus dalam persoalan ini.
Bdk. Luk 23:34 - “Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat.’”.
John Stott: “If
the cruel torture of crucifixion could not silence our Lord’s prayer for his
enemies, what pain, pride, prejudice or sloth could justify the silencing of
ours?” [= Jika penyiksaan yang
kejam dari penyaliban tidak bisa membungkam doa Tuhan kita untuk
musuh-musuhNya, rasa sakit, kesombongan, prasangka, atau kemalasan apa yang
bisa membenarkan bungkamnya diri kita (sehingga tidak berdoa untuk orang yang
menganiaya kita)?] - ‘The
Message of the Sermon on The Mount’, hal 119.
b) Berdoa untuk musuh / orang yang
menganiaya kita, membuat kasih kita kepada orang itu bertumbuh.
John Stott: “‘This
is the supreme command,’ wrote Bonhoeffer. ‘Through the medium of prayer we go
to our enemy, stand by his side, and plead for him to God.’ Moreover, if
intercessory prayer is an expression of what love we have, it is a means to
increase our love as well. It is impossible to pray for someone without loving
him, and impossible to go on praying for him without discovering that our love
for him grows and matures. We must not, therefore, wait before praying for an
enemy until we feel some love for him in our heart. We must begin to pray for
him before we are conscious of loving him, and we shall find our love break
first into bud, then into blossom”
(= ‘Ini merupakan perintah yang tertinggi’, tulis Boenhoffer. ‘Melalui
perantaraan doa kita pergi kepada musuh kita, berdiri di sisinya, dan memohon
untuk dia kepada Allah’. Selanjutnya, jika doa syafaat merupakan perwujudan
dari kasih yang bagaimana yang kita miliki, itu juga merupakan suatu cara untuk
meningkatkan kasih kita. Adalah tidak mungkin untuk berdoa untuk seseorang
tanpa mengasihinya, dan tidak mungkin untuk terus berdoa untuk dia tanpa
mendapati bahwa kasih kita untuk dia bertumbuh dan menjadi matang. Karena itu,
kita tidak boleh menunggu sebelum berdoa untuk seorang musuh sampai kita merasa
ada kasih untuk dia dalam hati kita. Kita harus mulai berdoa untuk dia sebelum
kita sadar bahwa kita mengasihinya, dan kita akan mendapatkan bahwa kasih kita
mula-mula akan bersemi, dan lalu berbunga) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal
119.
Barclay: “We
are bidden to pray for them. No man can pray for another man and still hate
him. When he takes himself and the man whom he is tempted to hate to God,
something happens. We cannot go on hating another man in the presence of God.
The surest way of killing bitterness is to pray for the man we are tempted to
hate” (= Kita diminta untuk
berdoa bagi mereka. Tidak ada orang yang bisa berdoa untuk orang lain dan tetap
membencinya. Pada waktu ia membawa dirinya sendiri dan orang yang ia benci
kepada Allah, sesuatu terjadi. Kita tidak bisa terus membenci orang lain di hadapan
Allah. Jalan / cara yang paling pasti untuk membunuh kepahitan adalah dengan
berdoa untuk orang yang kita benci) - hal 175.
7) Mengapa kita harus mengasihi musuh?
a) Supaya
kita berbahagia.
Adam Clarke: “Jesus
Christ designs to make men happy. Now he is necessarily miserable who hates
another” (= Yesus Kristus
mendesign / merencanakan untuk membuat manusia bahagia. Ia yang membenci orang
lain pastilah sengsara)
- hal 77.
Catatan: saya berpendapat bahwa kebahagiaan
kita tidak boleh menjadi tujuan dari tindakan mengasihi musuh, tetapi merupakan
semacam effek samping yang pasti terjadi kalau kita mengasihi musuh.
b) Supaya
hidup kita tidak dikontrol oleh orang lain.
D. Martyn Lloyd-Jones: “our
treatment of others must never depend upon what they are, or upon what they do
to us. ... The whole secret of living this kind of life is that man should be
utterly detached. He must be detached from others in the sense that his
behaviour is not governed by what they do. ... one of the most tragic things
about us is that our lives are so much governed by other people and by what
they do to us and think about us. ... Think of the unkind and cruel thoughts
that have come into your mind and heart. What produced them? Somebody else! How
much of our thinking and acting and behaviour is entirely governed by other
people! It is one of the things that make life so wretched. You see a
particular person and your spirit is upset. If you had not seen that person you
would not have felt like that. Other people are controlling you. ... Your love
must become such that you will no longer be governed and controlled by what
people say. Your life must be governed by a new principle in yourself, a new
principle of love” (= perlakuan
kita terhadap orang-orang lain tidak pernah boleh tergantung pada bagaimana
keadaan mereka, atau pada apa yang mereka lakukan kepada kita. ... Seluruh
rahasia dari bagaimana kita hidup dalam kehidupan jenis ini adalah bahwa
manusia harus sama sekali terlepas. Ia harus terlepas dari orang-orang lain
dalam arti bahwa kelakuan / tindak-tanduknya tidak dikuasai oleh apa yang
mereka lakukan. ... salah satu hal yang paling tragis tentang kita adalah bahwa
kehidupan kita begitu dikuasai oleh orang-orang lain dan oleh apa yang mereka
lakukan terhadap kita dan pikirkan tentang kita. ... Pikirkan tentang pemikiran
yang tidak baik dan kejam yang masuk ke dalam pikiran dan hatimu. Apa yang
memproduksinya? Seseorang lain! Betapa banyak pikiran dan tindakan dan kelakuan
kita sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang lain! Itu adalah salah satu dari
hal-hal yang membuat kehidupan begitu buruk / sedih. Kamu melihat orang
tertentu, dan kamu menjadi kacau. Jika kamu tidak melihat orang itu, kamu tidak
akan merasa seperti itu. Orang-orang lain sedang menguasai kamu. ... Kasihmu
harus menjadi sedemikian rupa sehingga kamu tidak lagi dikuasai dan dikontrol
oleh apa yang orang-orang katakan. Kehidupanmu harus dikuasai / diperintah oleh
suatu prinsip yang baru dalam dirimu sendiri, suatu prinsip baru dari kasih) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 303,304-305.
c) Untuk
mengubah musuh menjadi teman.
John Stott mengutip kata-kata Martin
Luther King: “‘hate multiplies hate ... in a descending spiral of
violence’ and is ‘just as injurious to the person who hates’ as to the victim.
But above all ‘love is the only force capable of transforming an enemy into a
friend’ for it has ‘creative’ and ‘redemptive’ power” [= ‘kebencian melipatgandakan kebencian ... dalam suatu
spiral kekerasan yang menurun’ dan ‘merugikan secara sama bagi orang yang
membenci’ seperti bagi korbannya (orang yang dibenci). Tetapi di atas semua
‘kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu untuk mengubahkan seorang musuh
menjadi seorang teman’ karena kasih mempunyai kuasa ‘penciptaan’ dan
‘penebusan’] - ‘The
Message of the Sermon on The Mount’, hal 114.
D. Martyn Lloyd-Jones: “People
say we should do it in order to turn them into friends. ... They say: ‘If you
are nice to people they will become nice to you.’ ... but let us be realists,
not sentimentalists, because we know that that is not true and it does not
work. No, our action is not aimed at turning them into friends. No; it is not
because our action will somehow change these people psychologically and turn
them into what we want them to be, that we are to do these things. We must do
them for one reason only, not that we can ever redeem or make anything of them,
but that in this way we can display to them the love of God” (= Orang-orang mengatakan bahwa kita harus melakukan hal
itu untuk mengubah mereka menjadi teman-teman. ... Mereka berkata: ‘Jika kami
baik kepada orang-orang mereka akan menjadi baik kepada kamu’. ... tetapi
marilah kita menjadi realist, bukan sentimentalist, karena kita tahu bahwa itu
tidak benar dan itu tidak berhasil. Tidak, tindakan kita tidak ditujukan untuk
mengubah mereka menjadi teman-teman. Tidak; bukan karena tindakan kita entah
bagaimana akan mengubah orang-orang ini secara psikhologis dan mengubah mereka
menjadi apa yang kita inginkan, maka kita melakukan hal-hal ini. Kita harus
melakukan hal-hal itu hanya untuk satu alasan, bukan supaya kita bisa menebus
atau membuat mereka menjadi sesuatu apapun, tetapi karena dengan cara ini kita
bisa menunjukkan kepada mereka kasih Allah) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal
305-306.
Catatan: harus diakui
bahwa tidak selalu kasih kepada musuh bisa memenangkan orang dan mengubah
mereka dari musuh menjadi teman. Ada orang-orang yang begitu jahat sehingga
membalas kasih dengan kejahatan (bdk. Maz 109:4-5). Tetapi jelas tidak semua
orang seperti itu, dan karena itu saya berpendapat bahwa itu memang merupakan
salah satu tujuan yang memungkinkan dari kasih kepada musuh.
Bandingkan
dengan:
·
Ro 12:20-21
- “(20) Tetapi, jika seterumu lapar,
berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian
kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah
terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.
·
2Raja 6:21-23 - “Lalu
bertanyalah raja Israel kepada Elisa, tatkala melihat mereka: ‘Kubunuhkah
mereka, bapak?’ Tetapi jawabnya: ‘Jangan! Biasakah kaubunuh yang kautawan
dengan pedangmu dan dengan panahmu? Tetapi hidangkanlah makanan dan minuman di
depan mereka, supaya mereka makan dan minum, lalu pulang kepada tuan mereka.’
Disediakannyalah bagi mereka jamuan yang besar, maka makan dan minumlah mereka.
Sesudah itu dibiarkannyalah mereka pulang kepada tuan mereka. Sejak itu
tidak ada lagi gerombolan-gerombolan Aram memasuki negeri Israel”.
·
Amsal 15:1
- “Jawaban yang lemah lembut meredakan
kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah”.
·
Amsal 25:15
- “Dengan kesabaran seorang penguasa
dapat diyakinkan dan lidah lembut mematahkan tulang”.
d) Untuk membuktikan bahwa kita adalah
anak-anak Allah, dan untuk menunjukkan suatu kehidupan yang lebih baik dari
pemungut cukai / orang kafir (ay 45-48).
Ay 45-48: “(45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak
Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang
yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak
benar. (46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu?
Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya
memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada
perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat
demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di
sorga adalah sempurna.’”.
1. Ay 45,48: “(45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak
Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang
yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak
benar. ... (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di
sorga adalah sempurna.’”.
·
ini tidak
berarti bahwa kita harus meniru apapun yang Allah kerjakan.
Calvin: “It
ought to be observed that, when the example of God is held out for our
imitation, this does not imply, that it would be becoming in us to do whatever
God does. He frequently punishes the wicked, and drives the wicked out of the
world. In this respect, he does not desire us to imitate him: for the judgment
of the world, which is his prerogative, does not belong to us. But it is his will,
that we should imitate his fatherly goodness and liberality” (= Perlu diperhatikan bahwa pada waktu kita disuruh
meneladani Allah, ini tidak berarti bahwa kita harus meniru apapun yang Allah
lakukan. Ia seringkali menghukum orang jahat, dan menyingkirkan orang jahat
dari dunia ini. Dalam hal ini, Ia tidak menginginkan kita untuk meniruNya:
karena penghakiman dunia, yang merupakan hak khususNya, bukanlah hak kita.
Tetapi adalah kehendakNya, bahwa kita meniru kebaikan dan kemurahan hatiNya) - hal 306.
·
ay 48
tidak berarti bahwa kita / orang kristen bisa mencapai kesempurnaan dalam hidup
di dunia ini.
John Stott: “Some
holiness teachers have built upon this verse great dreams of the possibility of
reaching in this life a state of sinless perfection” (= Beberapa pengajar-pengajar kekudusan telah membangun
di atas ayat ini mimpi-mimpi / khayalan-khayalan yang besar tentang kemungkinan
untuk mencapai dalam hidup ini suatu keadaan kesempurnaan tanpa dosa) - ‘The Message of the Sermon on The
Mount’, hal 119.
Stott lalu mengatakan (hal 121-122)
bahwa ini merupakan penafsiran yang menentang kontext khotbah di bukit, karena:
*
dalam Mat
5:6 dibicarakan tentang orang yang ‘lapar
dan haus akan kebenaran’,
dan ini tidak mungkin ada kalau mereka sudah mencapai kesempurnaan.
*
dalam
Mat 6:12 Yesus mengajar untuk berdoa: ‘Ampunilah
kami akan kesalahan kami’.
Ini jelas juga menunjukkan ketidak-sempurnaan.
Kedua hal ini merupakan petunjuk yang
jelas bahwa Yesus tidak mengharapkan para pengikutNya untuk menjadi sempurna secara
moral dalam hidup ini.
·
ini tidak
berarti bahwa kita menjadi anak Allah kalau kita mengasihi musuh, tetapi
sebaliknya. Kalau kita mengasihi musuh, itu membuktikan bahwa kita adalah
anak-anak Allah.
Calvin: “you
are not to understand, that our liberality makes us the children of God: ...
Christ ... proves from the effect, that none are the children of God, but those
who resemble him in gentleness and kindness” (= engkau tidak boleh mengerti bahwa kemurahan hati kita
membuat kita menjadi anak-anak Allah: ... Kristus ... membuktikan dari
akibatnya / hasilnya, bahwa tidak ada yang adalah anak Allah, kecuali mereka
yang menyerupai Dia dalam kelembutan dan kebaikan) - hal 307.
Calvin: “The
statement amounts to this, ‘Whoever shall wish to be accounted a Christian, let
him love his enemies.’” (=
Pernyataan itu sama dengan ini: ‘Siapapun yang ingin untuk dianggap sebagai
orang Kristen, hendaklah ia mengasihi musuhnya’) - hal 306.
Barclay: “Hebrew
is not rich in adjectives; and for that reason Hebrew often uses ‘son of ...’
with an abstract noun, where we would use an adjective. For instance ‘a son of
peace’ is ‘a peaceful man’; ‘a son of consolation’ is ‘a consoling man’. So,
then, ‘a son of God’ is ‘a godlike man’” (= Bahasa Ibrani tidak kaya dengan kata sifat; dan
karena itu bahasa Ibrani sering menggunakan ‘anak dari ...’ dengan suatu kata
benda abstrak, di tempat kita menggunakan suatu kata sifat. Sebagai contoh
‘anak damai’ adalah ‘orang yang cinta damai’; ‘anak penghiburan’ adalah ‘orang
yang suka menghibur’. Maka, ‘anak Allah’ adalah ‘orang yang menyerupai Allah’) - hal 177.
Barnes’ Notes: “the
sons of your Father. The word ‘son’ has a variety of significations. ... In
this passage, the word is used because, in doing good to enemies, they resemble
God” (= anak-anak Bapamu. Kata
‘anak’ mempunyai bermacam-macam arti. ... Dalam text ini, kata itu digunakan
karena dalam melakukan yang baik kepada musuh-musuh, mereka menyerupai Allah) - hal 27.
2. Ay 46-47: “(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu,
apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila
kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya
dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun
berbuat demikian?”.
·
‘orang
yang tidak mengenal Allah’.
KJV: ‘the publicans’ (= pemungut cukai). Rupanya ini diambil dari manuscript
yang berbeda.
NIV: ‘pagans’ (= orang kafir).
RSV/NASB/Lit: ‘the
Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).
·
‘apakah lebihnya’.
Kekristenan kita dibuktikan oleh adanya
sesuatu yang khusus / spesial dalam hidup kita.
D. Martyn Lloyd-Jones: “Now
here there is real value in Dr. Moffatt’s translation, ‘If you only salute your
friends, what is special about that?’ ... The Christian is essentially a
unique and special kind of person. ... The question which we must ask
ourselves, then, if we want to know for certain whether we are truly Christian
or not, is this: Is there that about me which cannot be explained in natural
terms? Is there something special and unique about me and my life which is
never to be found in the non-Christian? ... As I examine my activities, and
look at my life in detail, can I claim for it that there is something about it
which cannot be explained in ordinary terms and which can only be explained in
terms of my relationship to the Lord Jesus Christ? Is there anything special
about it? ... If God is your Father, somewhere or another, in some form or
other, the family likeness will be there, the traces of your Parentage will
inevitably appear” (= Di sini ada
nilai yang nyata dari terjemahan Dr. Moffatt: ‘Jika engkau hanya memberi salam
kepada teman-temanmu, apa yang spesial tentang hal itu?’ ... Orang
Kristen secara hakiki adalah unik dan merupakan jenis orang yang spesial. ...
Maka pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri, jika kita
ingin tahu secara pasti apakah kita betul-betul orang Kristen atau tidak,
adalah ini: Apakah ada tentang aku dan hidupku yang tidak pernah ditemukan
dalam diri orang-orang yang non-Kristen? ... Pada saat aku memeriksa
aktivitas-aktivitasku, dan melihat pada kehidupanku secara terperinci, bisakah
aku mengclaim untuknya bahwa di sana ada sesuatu tentangnya yang tidak bisa
dijelaskan dalam kondisi biasa, dan yang hanya bisa dijelaskan dalam kondisi
dari hubunganku dengan Tuhan Yesus Kristus? Apakah ada hal yang spesial
tentangnya? ... Jika Allah adalah Bapamu, di suatu tempat atau yang lain, dalam
satu bentuk atau bentuk yang lain, kemiripan keluarga akan ada di sana,
jejak-jejak dari Orang Tuamu pasti akan muncul) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 312,314,320.
8) Apakah perintah ini menunjukkan
kesalahan kekristenan, atau sebaliknya justru menunjukkan benarnya kekristenan?
Perintah untuk mengasihi musuh ini
sering menyebabkan kekristenan diserang oleh orang-orang beragama lain, karena
dianggap tidak masuk akal, dsb. Tetapi tentang ‘kasihilah musuhmu’ ini Adam
Clarke justru berkata:
“This is the
most sublime precept ever delivered to man: a false religion durst not give a
precept of this nature, because, without supernatural influence, it must be for
ever impracticable” (= Ini adalah
perintah yang paling mulia / luhur yang pernah diberikan kepada manusia: agama
yang salah / palsu tidak berani memberikan perintah seperti ini, karena, tanpa
pengaruh supranatural, itu pasti tidak akan bisa dipraktekkan untuk
selama-lamanya) - hal
408.
John Stott: “Alfred
Plummer summed up the alternatives with admirable simplicity: ‘To return evil
for good is devilish; to return good for good is human; to return good for evil
is divine.’” (= Alfred Plummer
menyimpulkan pilihan-pilihan dengan kesederhanaan yang mengagumkan: ‘Membalas
kebaikan dengan kejahatan adalah seperti setan; membalas kebaikan dengan
kebaikan adalah manusiawi; membalas kejahatan dengan kebaikan adalah ilahi’) - ‘The Message of the Sermon on The
Mount’, hal 122.
Jelas bahwa tak seorangpun bisa mentaati perintah-perintah ini
secara sempurna. Ini menunjukkan adanya 2 hal yang harus kita lakukan:
1) Datang kepada Kristus untuk percaya
dan menerima Dia sebagai Juruselamat kita, supaya semua kekurangan / dosa kita
berkenaan dengan hukum ini, ataupun dengan hukum-hukum yang lain, bisa diampuni
dan disucikan.
2) Bersandar kepada Tuhan dengan
banyak berdoa supaya Ia memberikan kita kemauan dan kemampuan untuk mentaati
hukum-hukum ini.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com