Eksposisi Wahyu kepada Yohanes
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Dalam
Wah 2-3 Yohanes menulis surat kepada 7 gereja, yaitu: Efesus, Smirna,
Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia. Ada beberapa penafsiran
tentang ketujuh gereja ini.
1) Ketujuh gereja ini merupakan
simbol.
‘The New Scoffield Study Bible’ (hal 1528) mengatakan bahwa:
a) Efesus menggambarkan gereja abad pertama.
Steve Gregg: “Among historicists and some futurists, Ephesus is said to
represent the condition of the church of the apostolic age, until the end of
the first century” (= Di antara historicist dan sebagian futurist, Efesus
dikatakan melambangkan kondisi gereja pada jaman rasul sampai akhir abad
pertama)
- hal 66.
b) Smirna menggambarkan gereja yang dianiaya pada tahun
100-316 M.
Steve Gregg: “Among historicists and some futurists, Smyrna is believed to
represent the church during the period of persecution under the Roman emperors.
This began with the brief but severe persecution under Nero in A.D. 64, but
became more focused and deliberate under Domitian and many of his successors,
from about 95 till 313. The tenth of these, it is said, began under Diocletian
and lasted ten years (303-313). The year-for-a-day interpreters (historicists)
believe that the ten days (v. 10) of tribulation promised to the Smyrnian
Christians correspond to the ten years of this final persecution” [= Di
antara historicist dan sebagian futurist, Smirna dipercaya melambangkan gereja
selama masa penganiayaan dibawah kaisar-kaisar Romawi. Ini dimulai dengan
penganiayaan yang singkat tetapi hebat dibawah Nero pada tahun 64 M,
tetapi menjadi lebih terfokus dan sengaja dibawah Domitian dan banyak
penggantinya, mulai tahun 95 M sampai 313 M. Yang kesepuluh dari ini
dikatakan dimulai dibawah Diocletian dan berlangsung selama 10 tahun
(303-313 M). Para penafsir yang menganggap satu hari sama dengan satu
tahun (historicist) percaya bahwa 10 hari (ay 10) kesusahan yang
dijanjikan kepada orang Kristen Smirna sesuai dengan penganiayaan akhir selama
10 tahun ini]
- hal 68.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan kata-kata ‘kesusahan selama 10 hari’ yang dibicarakan dalam Wah 2:10.
c) Pergamus menggambarkan gereja yang
bercampur dengan dunia pada abad pertengahan.
Steve Gregg: “Among the historicists and some futurists, Pergamos is seen as
representing the imperial church after Constantine (313-606), wherein the
church ceased to be officially persecuted and obtained access to the portals of
political power. Pergamos, it is alleged, means ‘married to power.’ It was
during this time that the institution of the papacy had its inception. In 313,
the Decree of Coronation made Rome (‘where Satan’s throne is’) the center of
Christendom. Like Israel in the days of Balaam, the church of this period was
being seduced into immorality and the worship of idols through the rise of the
papal system. Some who take this approach have suggested that Antipas does not
refer to an individual, but to a class of men opposed (‘anti’) to the popes
(‘papas’), which men were martyred in great numbers in Rome and Constantinople.
Christ threatens to fight this institution with the sword out of His mouth -
e.g., His Word” [= Di antara historicist dan sebagian futurist, Pergamus
dilihat sebagai lambang dari gereja kekaisaran setelah Constantine (313-606),
dimana secara resmi gereja tidak lagi dianiaya dan gereja mendapatkan jalan
masuk kepada pintu gerbang kekuasaan politik. Pergamus, dinyatakan berarti
‘menikah dengan kuasa’, tetapi ini adalah pernyataan tanpa bukti. Pada masa
inilah lembaga kepausan dilahirkan. Dalam tahun 313 M, Ketetapan / dekrit
Coronation membuat Roma (‘dimana takhta Setan berada’) sebagai pusat
kekristenan. Seperti Israel pada jaman Bileam, gereja pada masa ini dibujuk
kepada ketidak-bermoralan dan penyembahan berhala melalui munculnya sistim
kepausan. Sebagian dari orang-orang yang mengambil arti ini mengusulkan bahwa
Antipas tidak menunjuk kepada seorang individu, tetapi kepada segolongan orang
yang menentang (‘anti’) Paus (‘papas’), yaitu orang-orang yang mati syahid
dalam jumlah besar di Roma dan Constantinople. Kristus mengancam untuk memerangi
lembaga ini dengan pedang yang keluar dari mulutNya - yaitu FirmanNya] - hal 70.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan kata-kata ‘dimana takhta Iblis’, ‘Antipas’, dan ‘dimana Iblis diam’ dalam Wah 2:13. Juga berhubungan dengan ‘pedang yang
tajam dan bermata dua’ dalam Wah 2:12.
d) Tiatira menggambarkan kemajuan
kejahatan dan penyembahan berhala dalam gereja.
Steve Gregg: “In the view of historicists and some futurists, Thyatira
represents the church of the period of papal triumph and persecution
(606-1517). ‘It is the middle church of the seven, and likewise covers the
Middle Ages.’ Thyatira (says Caringola) means ‘to be ruled by a woman.’ In this
case, the woman is likened to Jezebel in the days of Ahab and Elijah. This
woman made immorality and idolatry official policy for the society. Uriah Smith
wrote: ‘A more striking figure could not have been used to denote the papal
abominations.’ As Jezebel caused Israel to worship the mother goddess Ashtaroth
(called the ‘Queen of Heaven’ in Jer. 44:17,18,25), so the church in the Middle
Ages introduced the worship of Mary, ‘the Queen of Heaven.’ Jesus threatens to
‘kill her children with death.’ Some say that refers to the terrible plagues,
including the Black Death (beginning 1347), that decimated the European
population in the Middle Ages” [= Dalam pandangan dari
historicist dan sebagian futurist, Tiatira melambangkan gereja pada masa
kemenangan kepausan dan penganiayaan (606-1517). ‘Ini adalah gereja yang
ditengah dari 7 gereja, dan juga mencakup Abad pertengahan’. Tiatira (kata
Caringola) berarti ‘diperintah oleh seorang perempuan’. Dalam kasus ini
perempuan itu disamakan dengan Izebel pada jaman Ahab dan Elia. Perempuan ini
menjadikan ketidakbermoralan dan penyembahan berhala sebagai politik resmi
untuk masyarakat. Uriah Smith menulis: ‘Tidak ada tokoh lain yang lebih
menyolok yang bisa dipakai untuk menunjuk pada hal-hal yang menjijikkan dari
kepausan’. Sebagaimana Izebel menyebabkan Israel menyembah ibu dewi Astarot (disebut
‘Ratu Surga’ dalam Yer 44:17,18,25), demikian juga gereja pada Abad Pertengahan
memperkenalkan penyembahan terhadap Maria, ‘sang Ratu Surga’. Yesus mengancam
untuk ‘membunuh anak-anaknya’. Beberapa orang mengatakan bahwa itu menunjuk
pada wabah yang mengerikan, termasuk Kematian Hitam (dimulai tahun 1347), yang
membinasakan sebagian besar penduduk Eropa pada Abad Pertengahan] - hal 72.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan kata-kata ‘wanita Izebel’ dalam Wah 2:20, dan ‘anak-anaknya akan Kumatikan’ dalam Wah 2:23.
e) Sardis menggambarkan gereja yang
mati tetapi masih mempunyai sedikit orang yang saleh, pada jaman Reformasi.
Steve Gregg: “The historicists and some futurists see Sardis as representing
the church of the Reformations (1517-1793). This extends from the time of
Luther to that of Wesley. This movement ended the Dark Ages and brought
refreshing signs of life to the church, though, it is said, Jesus did not find
its works perfect before God. The Reformation went a certain distance in
discarding unscriptural traditions and in restoring biblical authority in the
church, but, in the opinion of some (e.g., the Anabaptists), they did not go
far enough” [= Para historicist dan sebagian futurist melihat Sardis
sebagai lambang dari gereja pada jaman Reformasi (1517-1793). Ini mencakup mulai
jaman Luther sampai Wesley. Gerakan ini mengakhiri Abad Kegelapan dan membawa
tanda kehidupan yang menyegarkan kepada gereja, sekalipun dikatakan bahwa Yesus
tidak menemukan pekerjaannya sempurna di hadapan Allah. Reformasi melakukan
hal-hal tertentu dalam membuang tradisi-tradisi yang tidak alkitabiah dan dalam
mengembalikan otoritas Kitab Suci dalam gereja, tetapi dalam pandangan beberapa
orang (misalnya golongan AnaBaptist), mereka tidak berjalan cukup jauh] - hal 74.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan kata-kata ‘tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan
AllahKu’
dalam Wah 3:2b.
f) Filadelfia menggambarkan
gereja yang bangkit kembali dan bahkan mencapai kemajuan rohani.
Steve Gregg: “In the systems of the historicists and some futurists,
Philadelphia is taken to be the church at the time of the Great Awakening (from
1793) and beyond. This began with the era of Wesley, Whitefield, Edwards,
Finney, and Moody, whose activities ranged from the early 18th to the late 19th
centuries. The ‘open door’ that Christ had placed before this church refers to
the great opportunity for evangelistic harvesting. This period will continue
until the return of Christ, overlapped in the latter days by the Laodicean
period” [= Dalam sistim dari historicist dan sebagian futurist,
Filadelfia adalah gereja pada masa Kesadaran Besar (sejak 1793) dan setelahnya.
Ini dimulai dengan masa Wesley, Whitefield, Edwards, Finney, dan Moody, yang
aktivitasnya dimulai pada awal abad ke 18 sampai pada akhir abad ke 19. ‘Pintu
terbuka’ yang diletakkan oleh Kristus di depan gereja ini menunjuk pada
kesempatan besar untuk penuaian penginjilan. Masa ini akan terus ber-langsung
sampai kembalinya Kristus, bertumpukan / overlap pada hari-hari terakhir dengan
masa Laodikia]
- hal 77.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan ‘pintu yang dibuka oleh Kristus, yang tidak dapat ditutup oleh
siapapun’
dalam Wah 3:8.
g) Laodikia menggambarkan penyesatan /
kemurtadan akhir yang dialami oleh gereja pada akhir jaman.
Steve Gregg: “Among historicists and some futurists, it is generally argued
that Laodicea represents the lukewarm sector of the church in the end of times
(possibly beginning near the end of the nineteenth century). The scholarly
assault on the Bible, epitomized and exacerbated by the publication of Darwin’s
Origin of Species (1859), put tremendous pressure upon the church to conform to
modern thought or lose academic respectability. Many theologians succumbed to
this pressure and began subjecting the Bible to ‘scientific methods’ of
analysis. Such analysis, though far from objective and conclusive, became
fashionable in many seminaries and denominations, resulting in a loss of
respect for the Bible as a genuine revelation from God. In many cases, secular
psychology, sociology, anthropology, philosophy, and whatever social trend
became popular in secular thinking (e.g., the breakdown of biblical models of
marriage and sexuality), have displaced the Bible in its authority to dictate
norms for the church. Modern churches that have gone this route are said to be
represented by this Laodicean church. They are lukewarm, and Christ says that
they nauseate him. Those applying the seven church letters to eras of church
history believe that both the Philadelphian and the Laodicean types of church
will exist together until the coming of Christ” [= Di
antara historicist dan sebagian futurist pada umumnya dianjurkan secara kuat bahwa
Laodikia melambangkan sektor suam-suam kuku dari gereja pada akhir jaman
(mungkin dimulai sekitar akhir abad ke 19). Serangan para ahli ilmu pengetahuan
terhadap Alkitab, diwakili dan dipertajam oleh publikasi dari buku Darwin yang
berjudul ‘Origin of Species’ (1859), memberikan tekanan yang dahsyat terhadap
gereja untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran modern atau kehormatan akademis
yang longgar. Banyak ahli theologia tunduk pada tekanan ini dan mulai
menundukkan Alkitab kepada analisa ‘metode ilmiah’. Analisa ini, sekalipun
tidak obyektif ataupun meyakinkan, menjadi populer dalam banyak seminari dan
aliran, menghasilkan hilangnya rasa hormat terhadap Alkitab sebagai wahyu yang
asli dari Allah. Dalam banyak kasus, psikologi dunia, sosiologi, anthropologi,
filsafat, dan kecenderungan sosial apapun menjadi populer dalam pemikiran dunia
(misalnya kerusakan contoh alkitab tentang pernikahan dan sex), telah
menggantikan Alkitab dalam otoritasnya untuk mendikte norma-norma untuk gereja.
Dikatakan bahwa gereja-gereja modern yang telah mengambil jalan ini,
dilambangkan oleh gereja Laodikia ini. Mereka suam-suam kuku, dan Kristus
berkata bahwa mereka memuakkan Dia. Mereka yang menerapkan ketujuh surat gereja
kepada masa-masa dari sejarah gereja percaya bahwa type gereja Filadelfia dan
type gereja Laodikia akan ada bersama-sama sampai kedatangan Kristus] - hal 80-81.
Catatan: pandangan dalam kutipan
ini berhubungan dengan kata-kata ‘suam-suam kuku’ dan ‘Aku akan memuntahkan Engkau dari mulutKu’ dalam Wah 3:15-16.
2) Banyak
penafsir yang menolak secara keras pandangan pertama di atas ini, dan mereka
beranggapan bahwa ketujuh gereja itu adalah gereja yang nyata /
sungguh-sungguh, bukan lambang. Tetapi surat yang ditulis oleh Yohanes ini
Bukan hanya berguna / relevan untuk ketujuh gereja yang merupakan tujuan
orisinil dari rasul Yohanes, tetapi tetap berguna / relevan untuk semua gereja
di sepanjang jaman dan di segala tempat.
William Hendriksen: “The notion that these seven churches describe seven successive
periods of Church history hardly needs refutation” (=
Gagasan bahwa ketujuh gereja ini menggambarkan tujuh masa berturut-turut dalam
sejarah Gereja hampir tidak membutuhkan bantahan) - hal 60.
Maksud Hendriksen adalah: saking jeleknya pandangan ini,
sampai hampir-hampir tidak membutuhkan bantahan.
Adam Clarke: “I consider the Churches as real; and that their spiritual state
is here really and literally pointed out; and that they have no reference to
the state of the Church of Christ in all ages of the world, as has been
imagined; and that the notion of what has been termed the Ephesian state, the
Smyrnian state, the Pergamenian state, the Thyatirian state, &c., &c.,
is unfounded, absurd, and dangerous; and such expositions should not be
entertained by any who wish to arrive at a sober and rational knowledge of the
Holy Scriptures” (= Saya menganggap gereja-gereja ini sebagai gereja-gereja yang
nyata / sungguh-sungguh; dan bahwa di sini keadaan rohani mereka ditunjukkan
secara sungguh-sungguh dan secara hurufiah; dan bahwa mereka tidak mempunyai
hubungan dengan keadaan Gereja Kristus dalam sepanjang jaman dunia ini, seperti
yang telah dibayangkan / dikhayalkan; dan bahwa gagasan tentang apa yang
diistilahkan keadaan Efesus, keadaan Smirna, keadaan Pergamus, keadaan Tiatira,
dsb, dsb, adalah tidak berdasar, menggelikan, dan berbahaya; dan exposisi
seperti itu tidak boleh diterima oleh siapapun yang ingin mencapai pengetahuan
Kitab Suci yang sehat dan rasionil) - hal 975.
Leon Morris (Tyndale): “Others take the churches to stand for periods in history,
Ephesus representing the first century, Smyrna the period of persecution,
Pergamum the age of Constantine, Thyatira the Middle Ages, Sardis the
Reformation era, Philadelphia the time of modern missionary movement, and
Laodicea the apostasy of the last days (see Smith). Such view is unlikely.
It seems much more probable that the letters are letters to real churches, all
the more so since each of the messages has relevance to what we know of
conditions in the city named. ... John has addressed himself to the needs of
the little churches but has dealt with topics which have relevance to God’s
people at all times and in all places” [= Orang-orang lain menganggap
gereja-gereja ini sebagai lambang dari masa-masa dalam sejarah, Efesus
melambangkan abad pertama, Smirna melambangkan masa penganiayaan, Pergamus
melambangkan jaman Constantine, Tiatira melambangkan Abad Pertengahan, Sardis
melambangkan jaman Reformasi, Filadelfia melambangkan masa gerakan misionaris
modern, dan Laodikia melambangkan kemurtadan pada akhir jaman (lihat Smith). Pandangan
seperti itu tidak mungkin / tidak dapat dipercaya. Adalah jauh lebih
mungkin bahwa surat-surat itu adalah surat-surat kepada gereja-gereja yang
sungguh-sungguh, lebih-lebih karena setiap berita mempunyai relevansi dengan
apa yang kita ketahui tentang kondisi dalam kota yang disebutkan. ... Yohanes
telah menujukan dirinya pada kebutuhan dari gereja-gereja kecil itu tetapi
telah menangani topik-topik yang mempunyai relevansi / hubungan dengan umat
Allah dalam semua jaman dan di segala tempat] - hal 57-58.
3) Pandangan ketiga ini merupakan
semacam pandangan gabungan antara pandangan pertama dan kedua di atas.
Herman Hoeksema: “They were really existing churches at the time when John is
commissioned to write to them; but at the same time they present a seven-fold
picture of the church on earth throughout this dispensation. They were not the
only churches existing at the time, but they are selected because in them was
found the clearest and the most complete picture of the church in all ages” (=
Mereka merupakan gereja-gereja yang betul-betul ada pada saat Yohanes
ditugaskan untuk menulis kepada mereka; tetapi pada saat yang sama mereka
mengajukan gambaran tujuh lipat dari gereja di bumi dalam sepanjang jaman ini.
Pada saat itu, gereja-gereja yang ada bukan hanya mereka saja, tetapi mereka
dipilih karena dalam mereka ditemukan gambaran yang paling jelas dan paling
lengkap tentang gereja-gereja dalam semua jaman) - hal 48.
Herman Hoeksema lalu
mengatakan bahwa ada 2 pandangan yang bertentangan dalam penafsiran tentang ke
tujuh gereja dalam Wah 2-3.
Herman Hoeksema: “Do these seven churches represent the church on earth as she
exists at any period of this dispensation, or must we see in them seven phases
in the development of the church in history?” (=
Apakah ketujuh gereja ini melambangkan gereja di bumi pada sembarang jaman,
atau haruskah kita melihat dalam mereka tujuh fase dalam perkembangan gereja
dalam sejarah?)
- hal 48.
Ia lalu mengatakan: fakta
bahwa Yohanes menuliskan surat-surat ini kepada ketujuh gereja menunjukkan
bahwa ketujuh gereja itu ada secara bersamaan / pada waktu yang sama.
Tetapi ia lalu
menambahkan bahwa sekalipun ciri-ciri ketujuh gereja itu akan ada dalam setiap saat,
tetapi tidak semuanya sama-sama menonjol. Jadi ada jaman tertentu dimana ciri
yang menonjol adalah ciri dari gereja Efesus, dan ada jaman yang lain dimana
yang menonjol adalah ciri dari gereja Smirna, dst (hal 49).
Herman Hoeksema: “we may well assume that in the order in which these churches
are mentioned, though it is, indeed, the geographical order, there is also an
indication of the course of development the church will follow: the direction
of this development will be from Ephesus to Laodicea. At the end of this
dispensation the church will present the likeness of the church of Laodicea.
Maintaining, therefore, that these seven churches are representative of the
whole church as she is in the world at any period of history, and rejecting the
view that each of them represents a limited period in the history of the church
of the new dispensation, we nevertheless believe that in a general way there is
in the order in which these seven churches are addressed as indication of the
trend of development the church in the world will follow” (= Kita
boleh menganggap bahwa dalam urut-urutan dalam mana gereja-gereja ini
disebutkan, sekalipun itu juga merupakan urut-urutan geografis, di situ juga
ada petunjuk tentang jalan perkembangan yang akan diikuti gereja: arah dari
perkembangan ini adalah dari Efesus sampai Laodikia. Pada akhir dari jaman ini
gereja akan seperti gereja di Laodikia. Karena itu, sekalipun kami
mempertahankan bahwa ketujuh gereja ini merupakan wakil dari seluruh gereja
yang ada di dunia pada sembarang jaman dari sejarah, dan kami menolak pandangan
yang berkata bahwa setiap gereja melambangkan suatu masa yang terbatas dalam
sejarah gereja dalam jaman Perjanjian Baru, tetapi kami juga percaya bahwa
secara umum urut-urutan dalam mana ketujuh gereja ini disebutkan merupakan
petunjuk tentang kecenderungan yang akan diikuti oleh perkembangan gereja di
dunia)
- hal 49.
Saya sendiri paling condong pada pandangan kedua.
Urut-urutan ketujuh gereja itu sesuai dengan urut-urutan geografis, dan rasanya
terlalu sangat kebetulan kalau itu juga merupakan urut-urutan model gereja
(pandangan pertama) atau urut-urutan kecenderungan gereja (pandangan ketiga)
dalam sepanjang jaman. Disamping itu sukar terbayangkan bahwa semua / mayoritas
gereja-gereja pada abad pertama adalah gereja yang kehilangan kasih yang
semula.
-AMIN-
email
us at : gkri_exodus@lycos.com