Eksposisi Wahyu kepada Yohanes
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Ay 14: “Dan
tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi
yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah”.
1) Kota Laodikia.
a) Kota
Laodikia adalah kota kaya yang merupakan kota per-bank-an.
Robert H. Mounce (NICNT): “In Roman times Laodicea became the wealthiest city in Phrygia” (= Dalam jaman Romawi
Laodikia menjadi kota terkaya di Phrygia)
- hal 123.
Steve Gregg menambahkan bahwa kota Laodikia merupakan ‘banking center, which is
obviously related to its general wealth’ (= pusat per-bank-an, yang
jelas berhubungan dengan kekayaannya secara umum) - hal 78.
Pada tahun 60 M. kota ini hancur karena gempa bumi,
tetapi dibangun kembali tanpa pertolongan pihak luar, karena kayanya kota ini.
b) Kota
Laodikia menghasilkan wol.
Tanahnya yang subur menyebabkan banyak rumput untuk
domba, dan ini menghasilkan wol, khususnya wol hitam. Di kota ini ada pabrik
pakaian yang memproduksi pakaian dari wol hitam ini.
c) Kota
Laodikia terkenal karena sekolah medis, dan ahli-ahli pengobatannya menemukan
obat-obatan yang hebat, khususnya obat untuk mata.
Robert H. Mounce (NICNT): “Two of the most famous were an ointment from spice nard for the
ears, and an eye-salve made from ‘Phrygian powder’ mixed with oil” (= Dua yang paling terkenal
adalah salep dari sejenis tanaman untuk telinga, dan salep mata yang dibuat
dari ‘bubuk Phrygia’ yang dicampur dengan minyak) - hal 123.
Kecaman Yesus bahwa mereka miskin, buta dan telanjang (ay
17b) merupakan kebalikan dari hal-hal untuk mana Laodikia ini terkenal! Ini
menunjukkan bahwa kondisi seseorang secara rohani / di hadapan Tuhan bisa
bertentangan / berkebalikan dengan kondisi seseorang secara duniawi / jasmani /
di hadapan manusia!
Misalnya:
·
dalam pandangan manusia
kita menang, pandai, untung, kuat, hebat, dan sebagainya, tetapi dalam
pandangan Tuhan kita jelek. Contoh: Lot, orang kaya dalam cerita Lazarus dan
orang kaya, atau orang kaya dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh.
·
dalam pandangan manusia
kita dianggap kalah, bodoh, rugi, lemah, dan sebagainya, tetapi dalam pandangan
Tuhan kita sukses. Contoh: Abraham yang mengalah terhadap Lot (Kej 13), para
murid yang meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus.
Karena itu dari pada memikirkan penilaian manusia
terhadap diri saudara, sebaiknya saudara memikirkan penilaian Tuhan terhadap
diri saudara.
1Kor 4:3-5 - “Bagiku
sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan
manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi. Sebab memang aku tidak sadar
akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi
aku, ialah Tuhan. Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu
sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam
kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka
tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah”. Dalam bagian ini, khususnya pada
ay 3nya Kitab Suci Indonesia terjemahannya kacau. Bandingkan dengan
terjemahan NIV di bawah ini.
NIV: “I care very little if I am judged by you or by
any human court; indeed, I do not even judge myself. My conscience is clear,
but that does not make me innocent. It is the Lord who judges me. Therefore
judge nothing before the appointed time; wait till the Lord comes. He will
bring to light what is hidden in darkness and will expose the motives of men’s
hearts. At that time each will receive his praise from God” (= Aku bahkan
tidak menghakimi diriku sendiri. Hati nuraniku bersih, tetapi itu tidak membuat
aku tak berdosa. Tuhanlah yang menghakimi aku. Karena itu jangan menghakimi
apapun sebelum waktu yang ditetapkan; tunggulah sampai Tuhan datang. Ia akan
menerangi apa yang tersembunyi dalam kegelapan dan menyingkapkan motivasi dari
hati manusia. Pada saat itu setiap orang akan menerima pujiannya dari Allah).
2) Gereja Laodikia.
a) Pendirian
gereja Laodikia dan hubungannya dengan Paulus.
John Stott: “... nobody knows when the
seeds of the gospel were sown in it or how the Christian Church took root
there. St. Paul probably never visited the cities of the Lycus valley, and it
is possible that Epaphras founded the church. But Paul wrote a letter to the
Laodicean church at the same time as he wrote his epistle to the Colossians.
Indeed, most contemporary scholars think that the Laodicean letter is none
other than our so-called ‘Epistle to the Ephesians’ since three of the best and
earliest manuscripts of that epistle omit at its beginning the words, ‘at
Ephesus’. It may therefore have been a circular letter sent in the first
instance to Laodicea (Col. 1:7; 2:1; 4:12-16)” [= ... tak seorangpun tahu
kapan benih injil disebarkan di kota ini atau bagaimana gereja Kristen berakar
di sana. Mungkin Santo Paulus tidak pernah mengunjungi kota-kota dari lembah
Lycus, dan adalah mungkin bahwa Epafras yang mendirikan gereja ini. Tetapi
Paulus menulis surat kepada gereja Laodikia pada saat yang sama dengan
penulisan surat Kolose. Kebanyakan penafsir jaman ini beranggapan bahwa surat
Laodikia ini tidak lain dari pada surat Efesus karena tiga dari manuscripts
yang terbaik dan terkuno dari surat ini membuang kata-kata ‘di Efesus’ pada
bagian awalnya. Karena itu mungkin surat ini merupakan surat edaran yang pertama-tama
dikirim ke Laodikia (Kol 1:7; 2:1; 4:12-16)]
- hal 115.
Robert H. Mounce (NICNT): “The church was probably founded during the time Paul spent at
Ephesus on his third missionary journey (Acts 19:10), perhaps by Epaphras (Col
4:12). There is no evidence that Paul visited the church, although he wrote
them a letter (Col 4:16) which was subsequently lost” [= Gereja ini mungkin
didirikan pada saat Paulus ada di Efesus pada perjalanan misionarisnya yang
ketiga (Kis 19:10), mungkin oleh Epafras (Kol 4:12). Tidak ada bukti bahwa
Paulus mengunjungi gereja ini, sekalipun ia menulis surat kepada mereka (Kol
4:16) yang lalu hilang] - hal 124.
Catatan: jelas
bahwa ada pertentangan antara pandangan John Stott dan pandangan Robert H.
Mounce ini. Kalau John Stott mengatakan bahwa surat Paulus kepada gereja
Laodikia itu mungkin adalah surat Efesus, maka Robert H. Mounce ini memastikan
bahwa surat itu hilang, dan dengan demikian itu bukanlah surat Efesus.
b) Gereja
Laodikia memburuk pada jaman Yohanes menulis kitab Wahyu.
Leon Morris (Tyndale):
“In
John’s day the condition of the church in this city had deteriorated sadly.
This church receives the severest condemnation of all the seven to whom letters
are sent” (= Dalam jaman Yohanes kondisi gereja di kota ini memburuk
secara menyedihkan. Gereja ini menerima kecaman yang paling keras dari ketujuh
gereja kepada siapa surat-surat ini ditujukan) - hal 82.
Penerapan:
Kondisi gereja memang mudah memburuk. Karena itu kita
semua harus mempunyai rasa ‘ikut memiliki’ dan harus ikut berjuang untuk
menjaga supaya gereja tidak memburuk. Perjuangan itu meliputi banyak hal
seperti:
·
doa.
·
pelayanan.
·
kehadiran kita dalam acara
gereja.
·
persembahan.
3) ‘Inilah
firman dari Amin’.
a) Ini adalah satu-satunya tempat dimana
Kristus disebut dengan gelar ‘Amin’.
Kata ‘Amin’ muncul 9 x
dalam kitab Wahyu dan banyak kali dalam bagian Kitab Suci yang lain, tetapi di
sini adalah satu-satunya dimana kata itu digunakan sebagai gelar bagi Kristus.
b) Apa artinya gelar ‘Amin’ ini bagi Kristus?
Dalam kamus Alkitab
Indonesia kata ini diartikan sebagai ‘sungguh’, ‘benar’, atau ‘pasti’. Sekarang
apa artinya kalau kata ini dijadikan gelar bagi Kristus?
·
Pulpit
mengatakan bahwa gelar ini menunjukkan Kristus sebagai ‘the true One’ (= Yang benar).
·
Beasley-Murray
mengatakan bahwa ini menunjukkan kesetiaan Kristus.
G. R. Beasley-Murray: “The idea involved in the expression is not that God is the true
God in contrast to false gods, but that God is the faithful one, the reliable
and trustworthy one, who can be trusted to keep his covenant with his people” (=
Gagasan yang dimaksud dalam ungkapan ini bukanlah bahwa Allah adalah Allah yang
benar sebagai kontras dari allah-allah palsu, tetapi bahwa Allah adalah Allah
yang setia, dapat diandalkan dan dapat dipercaya, yang bisa dipercaya untuk
memegang perjanjianNya dengan umatNya) - hal 64-65.
·
William
R. Newell menghubungkan kata / nama ‘Amin’ untuk Yesus di sini dengan
2Kor 1:20 - “Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua
janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan
Allah”.
KJV: ‘For all the promises of God in him are yea, and
in him Amen, unto the glory of God by us’ (= Karena semua janji-janji Allah
dalam Dia adalah ya, dan dalam Dia Amin, bagi kemuliaan Allah oleh kita).
Newell lalu berkata:
“This
is a great announcement, for in ourselves we are worse than failures, but in
Christ all God’s plans are made good” (= Ini merupakan suatu
pengumuman yang besar, karena dalam diri kita sendiri kita lebih buruk dari
kegagalan, tetapi dalam Kristus semua rencana Allah sukses / berhasil) - hal 75.
4) ‘Saksi
yang setia dan benar’.
Robert H. Mounce (NICNT): “... it was added to clarify for the non-Hebrew-speaking
audience the meaning of ‘amen’ (p. 418). It presents the trustworthiness of
Christ in sharp contrast to the unfaithfulness of the Laodicean church” (= ... ini ditambahkan
untuk menjelaskan arti ‘amin’ untuk pendengar yang tidak berbahasa Ibrani. Ini
menyajikan sifat dapat dipercaya dari Kristus yang dikontraskan secara menyolok
dengan ketidak-setiaan gereja Laodikia)
- hal 124.
Herman Hoeksema: “Just because the Lord is the Amen in Himself, He is also such
in His testimony. His witness is true and faithful. He never makes a mistake.
... And the result is that his testimony is perfectly in harmony with the
condition of the church in Laodicea. The members of the church may certainly
rely upon it, that if His testimony cencerning them clashes with their own opinion
of self, it is because the latter, and not the former, is erroneous.” (=
Karena Tuhan itu adalah Amin itu sendiri, maka Ia juga demikian dalam
kesaksianNya. KesaksianNya benar dan setia. Ia tidak pernah membuat kesalahan.
... Dan akibatnya adalah bahwa kesaksianNya cocok secara sempurna dengan
kondisi gereja di Laodikia. Anggota-anggota gereja ini bisa dengan pasti
bersandar pada kesaksian itu, dan jika kesaksianNya tentang mereka bertentangan
dengan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, itu disebabkan karena
pandangan mereka tentang diri mereka sendiri adalah salah) - hal 143-144.
5) ‘permulaan
dari ciptaan Allah’.
a) Penafsiran sesat dari Arianisme:
Yesus adalah ciptaan pertama dari Bapa.
Robert H. Mounce (NICNT): “The Arian meaning, ‘the first thing created,’ is at variance
with the Colossian passage that declares that ‘in ... through ... and for him’
all things were created (Col 1:16)” [= Arti yang diambil oleh Arianisme ‘hal
pertama yang diciptakan’ bertentangan dengan text dalam surat Kolose yang
menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan ‘dalam ... melalui ... dan untuk
Dia’ (Kol 1:16)] - hal 125.
Kol 1:16 - “karena
di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan
yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana,
maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh
Dia dan untuk Dia”.
Steve Gregg mengatakan (hal 79) bahwa karena Paulus
menginstruksi-kan gereja Kolose untuk menyampaikan suratnya kepada gereja Laodikia
(Kol 4:16), maka gereja Laodikia pasti tahu tentang surat Kolose, yang
mempunyai ayat yang berbunyi: “Ia
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala
yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang
ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan,
baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala
sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala
sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat.
Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia
yang lebih utama dalam segala sesuatu” (Kol 1:15-18).
Catatan: ada beberapa kesalahan penterjemahan
dari text ini, dan akan saya bahas di bawah nanti (point b).
Tahunya gereja Laodikia tentang
text Kolose ini, tidak memungkinkan mereka salah mengerti tentang maksud dari
kata-kata Kristus di sini, dan lalu menafsirkannya bahwa Yesus adalah ciptaan
pertama dari Bapa.
b) Penafsiran yang benar tentang kata-kata ini.
·
Bagian
ini berhubungan dengan Kol 1:15-18.
Robert H. Mounce (NICNT): “‘the beginning of the creation of God,’ is undoubtedly linked
to Paul’s great christological passage in Colossians 1:15 ff, where Christ is
designated ‘the beginning’ (vs. 18) and ‘the firstborn of all creation’ (vs.
15)”
[= kata-kata ‘permulaan dari ciptaan Allah’ tak diragukan lagi berhubungan
dengan text kristologi yang besar dari Paulus dalam Kol 1:15-dst., dimana
Kristus digambarkan sebagai ‘permulaan’ (ay 18) dan ‘yang sulung dari
semua ciptaan’ (ay 15)] - hal 124.
Kol 1:15 - “Ia
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari
segala yang diciptakan”. Ini terjemahannya salah, dan TB2-LAI tidak memperbaikinya.
NASB: ‘And He is the image of the invisible God, the
firstborn of all creation’ (= Dan Ia adalah gambar Allah yang tidak
kelihatan, yang sulung dari semua ciptaan).
Kol 1:18 - “Ialah
kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari
antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu”. Ini terjemahannya juga salah, dan
TB2-LAI juga tidak memperbaikinya.
NASB: ‘He is also head of the body, the church; and
He is the beginning, the first-born from the dead; so that He Himself might
come to have first place in everything’ (= Ia juga adalah kepala tubuh,
gereja; dan Ia adalah permulaan, yang sulung dari orang mati; sehingga
Ia sendiri bisa datang untuk mendapat tempat pertama dalam segala sesuatu).
·
Bagian
ini tidak boleh diartikan sehingga bertentangan dengan bagian-bagian lain dari
Kitab Suci.
John Stott: “He is the beginning of
God’s creation. If we adopt the fundamental principle of Biblical
interpretation that each Scripture must be understood in the light of all and
that no passage may be so expounded ‘that it be repugnant to another’ ... ,
then this title of Christ means ‘the originator of the creation of God’” (= Ia adalah permulaan
dari ciptaan Allah. Jika kita menyetujui prinsip dasar dari penafsiran Alkitab
bahwa setiap bagian Kitab Suci harus dimengerti dalam terang dari semua dan
tidak ada text yang boleh dijelaskan ‘sehingga itu menjadi menjijikkan bagi
yang lain’ ..., maka gelar Kristus ini berarti ‘yang memulai ciptaan /
penciptaan Allah’) - hal 121.
·
kita harus memilih arti
yang benar dari 2 arti yang ada.
William Barclay: “This phrase, as it stands
in English, is ambiguous. It could mean, either, that Jesus was the first
person to be created or that he began the process of creation .... It is the
second meaning which is intended here. The word for beginning is ARCHE. In
early Christian writings we read that Satan is the arche of death, that is to say, death takes its origin in
him; and that God is the arche of
all things, that is, all things find their beginning in him” (= Ungkapan ini dalam
bahasa Inggris mempunyai arti ganda. Ungkapan ini bisa diartikan bahwa Yesus
adalah pribadi pertama yang diciptakan, atau bahwa Ia memulai proses
penciptaan. ... Adalah arti kedua yang dimaksudkan di sini. Kata untuk
‘permulaan’ adalah ARCHE. Dalam tulisan kristen kuno kita membaca bahwa Setan
adalah ARCHE dari kematian, artinya, kematian punya asal mula di dalam dia;
dan bahwa Allah adalah ARCHE dari segala sesuatu, artinya, segala sesuatu
mendapatkan permulaannya dalam Dia) -
hal 140-141.
·
komentar-komentar lain
tentang bagian ini.
Barnes’ Notes: “he is ‘the beginning of
the creation of God,’ in the sense that he is the head or prince of the
creation. ... Having this rank, it was proper that he should speak with
authority to the church at Laodicea” (= Ia adalah ‘permulaan dari ciptaan Allah’,
dalam arti bahwa Ia adalah kepala atau pangeran dari ciptaan / penciptaan. ...
Karena adanya pangkat / kedudukan ini, maka tepatlah kalau Ia berbicara dengan
otoritas kepada gereja di Laodikia) -
hal 1569.
G. R. Beasley-Murray: “NEB renders the phrase, ‘the prime source of all God’s
creation’. The concept is the same as ‘alpha’ in the title ‘alpha and omega’.” (= NEB
menterjemahkan ungkapan ini ‘sumber utama dari semua ciptaan Allah’. Konsepnya
sama seperti ‘alfa’ dalam gelar ‘alfa dan omega’.) - hal 104.
Robert H. Mounce (NICNT): “Moffat calls this ‘the most explicit allusion to the
pre-existence of Jesus in the Apocalypse’ (p. 370)” [= Moffat menyebut ini
‘kiasan yang paling explicit terhadap ke-pra-ada-an Yesus dalam kitab Wahyu’
(hal 370)] - hal 125.
Ay 15-16: “Aku
tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya
jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak
dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu”.
1) ‘Aku tahu segala pekerjaanmu:
engkau tidak dingin dan tidak panas. ... Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan
tidak dingin atau panas, ...’ (ay 15a,16a).
Ada bermacam-macam
penafsiran tentang bagian ini / tentang kata-kata ‘dingin’, ‘panas’, dan
‘suam-suam kuku’ ini:
a) Harus ditafsirkan secara
keseluruhan, dan sekedar berarti bahwa Tuhan muak dengan keadaan mereka.
Herman Hoeksema (hal 139-140)
mengatakan bahwa ia tidak setuju untuk menafsirkan bahwa ‘panas’ berarti orang
yang betul-betul hidup secara rohani dan bersemangat dalam pelayanan dan
pekerjaan Tuhan, sedangkan ‘dingin’ berarti kondisi mati rohani yang mutlak.
Alasannya, kalau diartikan seperti itu maka tidak mungkin Yesus lebih
menginginkan ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’. Karena itu ia tidak mau
menafsirkan ay 15 ini bagian perbagian atau kata per kata. Ia menafsirkannya
secara keseluruhan dan artinya adalah: Tuhan muak dengan keadaan mereka. Tetapi
boleh dikatakan semua penafsir berpandangan berbeda dengan Hoeksema.
b) Ini dilatar-belakangi oleh sebuah
mata air panas yang berkhasiat untuk mengobati, dan air dingin dari Kolose.
Robert H. Mounce (NICNT): “Six miles north across the Lycus was the city of Hierapolis,
famous for its hot springs which, rising within the city, flowed across a wide
plateau and spilled over a broad escarpment directly opposite Laodicea. ...
Blaiklock is representative of those who see this as the background for
picturing the lukewarmness of the Laodicean church and Christ’s reaction to it.
... Rudwick and Green argue that the adjectives ‘hot,’ ‘cold,’ and ‘lukewarm’
are not to be taken as describing the spiritual fervor (or lack of it) of
people. The contrast is between the hot medicinal waters of Hierapolis and the
cold, pure waters of Colossae. Thus the church in Laodicea ‘was providing
neither refreshment for the spiritual weary, nor healing for the spiritually
sick. It was totally ineffective, and thus distasteful to its Lord’ (p. 178).
... Among the several advantages of this interpretation is the fact that it is
no longer necessary to wonder why Christ prefer the church to be ‘cold’ rather
than ‘lukewarm.’” [= Enam mil di Utara Lycus ada kota Hierapolis, yang terkenal
karena mata air panasnya, yang muncul di dalam kota, mengalir melewati dataran
tinggi yang luas dan meluap ke suatu lereng gunung yang curam langsung
berhadapan dengan Laodikia. Blaiklock adalah wakil dari mereka yang melihat ini
sebagai latar belakang untuk penggambaran kesuaman dari gereja Laodikia dan
reaksi Kristus terhadapnya. ... Rudwick dan Green berargumentasi bahwa
kata-kata sifat ‘panas’, ‘dingin’, dan ‘suam-suam kuku’ tidak boleh dianggap
menunjukkan semangat rohani (atau tidak adanya semangat rohani) dari
orang-orang Laodikia. Kontrasnya adalah antara air panas yang bersifat sebagai
obat dari Hierapolis dan air dingin yang murni dari Kolose. Jadi gereja di
Laodikia ‘tidak memberikan penyegaran untuk orang yang lelah secara rohani (seperti air dingin dari
Kolose), maupun penyembuhan untuk orang yang sakit secara rohani (seperti
mata air panas dari Hierapolis). Gereja ini sama sekali tidak efektif,
sehingga tidak disukai oleh Tuhannya’ (hal 178). ... Di antara beberapa keuntungan
dari penafsiran ini adalah fakta bahwa kita tidak lagi perlu untuk bingung
mengapa Kristus lebih menginginkan gereja itu untuk menjadi ‘dingin’ dari pada
‘suam-suam kuku’.] - hal 125-126.
c) Mayoritas penafsir menganggap bahwa
‘panas’ berarti orang kristen yang sungguh-sungguh bagi Tuhan, ‘dingin’ berarti
orang kafir, sedangkan ‘suam-suam kuku’ adalah orang kristen yang tidak
bersemangat bagi Tuhan.
Homer Hailey: “Hot, ZESTOS (from ZEO) occurs only here and means to boil, be
hot, fervent. Apollos is spoken of as being ‘fervent (ZEO) in spirit’ (Acts
18:25), and in a like use of the word Paul urges the Roman saints to be
‘fervent (ZEO) in spirit serving the Lord’ (Rom. 12:11)” [=
Panas, ZESTOS (dari ZEO) muncul hanya di sini dan berarti ‘mendidih’, ‘panas’,
‘sungguh-sungguh’. Apolos dikatakan sebagai ‘bersungguh-sungguh (ZEO) dalam
roh’ (Kis 18:25), dan dalam penggunaan yang sama tentang kata itu Paulus
mendesak orang-orang kudus Roma untuk ‘bersungguh-sungguh (ZEO) dalam roh
melayani Tuhan’ (Ro 12:11)] - hal 158.
Catatan: kedua ayat di atas
diambil dari terjemahan NASB.
Tentang orang yang suam-suam kuku ini Adam Clarke berkata:
“Ye are neither heathens
nor Christians - neither good nor evil - neither led away by false doctrine,
nor thoroughly addicted to that which is true. In a word, they were
listless and indifferent, and seemed to care little whether heathenism or
Christianity prevailed” (= Kamu bukannya orang kafir ataupun Kristen - bukannya baik
atau jahat - tidak disesatkan oleh ajaran palsu maupun sepenuhnya ketagihan
/ kecanduan terhadap apa yang benar. Singkatnya, mereka itu tidak bergairah
dan acuh tak acuh, dan kelihatannya tak terlalu peduli apakah kekafiran atau
kekristenan yang menang) - hal 985.
Renungkan:
Apakah saudara begitu rindu terhadap kebenaran, sampai
bisa disebut sebagai ‘ketagihan / kecanduan’?
Adam Clarke: “If ever the words of Mr.
Erskine, in his Gospel Sonnets, were true, they were true of this Church: ‘To
good and evil equal bent, I’m both a devil and a saint’” (= Seandainya kata-kata
dari Mr. Erskine, dalam Soneta Injilnya, adalah benar, maka kata-kata itu benar
untuk gereja ini: ‘Condong secara sama pada kebaikan dan kejahatan, aku adalah
baik setan maupun orang kudus’) - hal
985.
John Stott: “the church in Laodicea had
now fallen on evil days, and Jesus Christ sends to it the sternest of the seven
letters, containing much censure and no praise. The church had not been
infected with the poison of any special sin or error. We read neither of heretics
nor persecutors. But the Christians in Laodicea were neither cold not hot (v.
15)”
[= gereja di Laodikia telah jatuh pada hari-hari yang jahat, dan Yesus Kristus
mengirimkan kepada gereja ini surat yang paling keras dari ketujuh surat, yang
berisikan banyak kritikan dan tidak ada pujian. Gereja ini tidak terpengaruh
oleh racun dari dosa atau kesalahan yang khusus. Kita tidak membaca tentang
ajaran sesat ataupun penganiaya. Tetapi orang-orang Kristen di Laodikia tidak
dingin atau panas (ay 15)] - hal 115.
Sebetulnya di gereja Laodikia pernah ada ajaran sesat,
seperti yang dikatakan oleh Pulpit Commentary di bawah ini.
Pulpit Commentary:
“The
Christian Church there may have been founded by Epaphras through whom St. Paul
probably learned of the existence of false doctrine there (Col. 2:4,8 and 1:8),
for the Epistle to the Colossians seems to be equally addressed to the
Laodiceans (Col. 4:16)” [= Gereja Kristen di sana mungkin didirikan oleh Epafras, dan
mungkin melalui dia Santo Paulus mengetahui adanya ajaran sesat di sana
(Kol 2:4,8 dan 1:8), karena surat Kolose kelihatannya juga ditujukan
kepada gereja Laodikia (Kol 4:16)]
- hal 114.
Tetapi Herman Hoeksema (hal 138) mengatakan bahwa
ajaran-ajaran sesat ada di Laodikia pada saat Paulus menulis surat Kolose, tetapi
pada jaman rasul Yohanes menuliskan kitab Wahyu, keadaannya berbeda. Sekarang
tidak ada ajaran-ajaran sesat, tetapi mereka dikuasai oleh kepuasan rohani yang
palsu dan keduniawian.
Steve Gregg: “the command to be zealous and repent (v. 19) suggests that the
lukewarmness represents a deficiency in zeal for Christ” [=
perintah untuk menjadi bersemangat dan bertobat (ay 19) menunjukkan bahwa
kesuaman menunjukkan kurangnya semangat bagi Kristus] - hal 79.
Catatan:
ay 19 dari Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, dan nanti akan dibahas
dalam pembahasan ay 19.
Penerapan:
Kurang semangat ini bisa
terjadi dalam macam-macam hal, seperti dalam mencari / belajar Firman Tuhan,
dalam bersaat teduh / berdoa, dalam melayani Tuhan / memberitakan Injil, dalam
memberi persembahan, dalam berusaha menguduskan diri / memajukan kerohanian,
dan sebagainya. Jangan puas dengan satu atau dua hal dimana saudara
bersemangat, tetapi bereskanlah hal-hal dimana saudara tidak bersemangat.
Theodore H. Epp: “Seorang
yang merasa puas akan dirinya sendiri, cukup panas (puas?) untuk merasa
senang dalam sifat acuh tak acuhnya terhadap perkara-perkara Allah, dan yang
memandang enteng peringatan-peringatan Tuhan, orang-orang itulah yang disebut
sebagai suam-suam kuku” - hal 118-119.
2) ‘Alangkah
baiknya jika engkau dingin atau panas!’.
a) Tuhan
lebih senang melihat seseorang itu ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’.
Kalau Tuhan lebih menginginkan seseorang ‘panas’ dari
pada ‘suam-suam kuku’, maka itu tidak mengherankan. Tetapi mengapa Ia lebih
senang seseorang ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’? Ada bermacam-macam alasan
yang dikemukakan oleh para penafsir, yaitu:
1. Karena
sikap dingin seperti itu lebih jujur dari pada sikap suam-suam kuku. Tidak ada
kepura-puraan, penyamaran, kemunafikan dan penipuan diri sendiri (bdk. ay 17).
2. Orang
suam-suam kuku itu biasanya sombong.
3. William
Hendriksen: “With the heathen, that is with those who have never come into
contact with the gospel and who are therefore ‘cold’ with respect to it, you
can do something. With sincere, humble Christians you can work with joy. But
with these ‘we’re-all-such-very-good-folks-here-in-Laodicea’ people you can do
nothing. Even Christ Himself cannot stand them. An emotion, a feeling is here
ascribed to the Lord which is not predicated of Him anywhere else in the Good
Book. We do not read that He is grieved with them. Neither do we read that He
is angry with them. No, He is disgusted with these straddlers. And not
just slightly disgusted but thoroughly nauseated” (= Dengan orang kafir,
yaitu dengan mereka yang tidak pernah berhubungan dengan injil dan karena itu
bisa disebut ‘dingin’, engkau bisa berbuat sesuatu. Dengan orang-orang Kristen
yang sungguh-sungguh dan rendah hati, engkau bisa bekerja / melayani dengan
sukacita. Tetapi dengan orang-orang Laodikia yang menganggap diri baik ini,
engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Kristus sendiri tidak tahan
menghadapi mereka. Suatu emosi, suatu perasaan di sini digambarkan ada pada
Tuhan, yang tidak pernah digambarkan tentang Dia di tempat lain dari Buku yang
Baik ini. Kita tidak membaca bahwa Ia sedih karena mereka. Juga kita tidak
membaca bahwa Ia marah kepada mereka. Tidak, Ia jijik / muak terhadap orang-orang
yang ada di tengah-tengah ini. Dan bukan hanya agak jijik / muak tetapi
sepenuhnya muak) - hal 77.
Catatan: kata ‘straddler’
berarti orang yang di tengah-tengah / tidak memihak. Dalam suatu perdebatan,
orang ini tidak memilih pandangan yang manapun. Ini tentu dimaksudkan oleh Hendriksen
untuk menunjuk kepada orang yang suam-suam kuku, yang tidak dingin dan tidak
panas.
4. Lebih
ada harapan untuk bertobat bagi orang yang dingin dari pada yang suam-suam
kuku.
Barnes’ Notes: “The most hopeless of all
persons, in regard to salvation, are those who are members of the church
without any evidence or personal piety; who are content with a name to live” (= Orang yang paling tidak
ada harapan dalam persoalan keselamatan adalah mereka yang adalah
anggota-anggota gereja tanpa bukti apapun atau kesalehan pribadi; yang puas
untuk hidup dengan sebuah nama) - hal
1570.
Catatan: mungkin
kata-kata ‘yang
puas untuk hidup dengan sebuah nama’
maksudnya adalah bahwa orang itu sudah cukup puas untuk disebut sebagai orang
kristen, sekalipun sebutan itu tidak punya bukti apapun.
Pulpit Commentary:
“Some
understand ‘cold’ to mean ‘untouched by the power of grace,’ and ‘lukewarm’ to
denote those who, having received the grace of God, had not allowed it full
scope in bringing forth works meet for repentance (Matt. 3:8). And just as
there was more hope of the real conversion of the ‘cold’ publicans and harlots,
who ‘went into heaven’ (Matt. 21:31) before the self-satisfied, ‘lukewarm’
Pharisees, so there is more hope of an unconverted sinner than of him who,
having once been roused to a sense of God’s will, has relapsed into a state of
self-satisfied indolence and carelessness” [= Sebagian orang
mengartikan ‘dingin’ sebagai ‘tidak disentuh oleh kuasa kasih karunia’, dan
‘suam-suam kuku’ menunjukkan mereka yang setelah menerima kasih karunia Allah,
tidak mememberi keleluasaan pada kasih karunia itu untuk menghasilkan perbuatan
baik yang cocok untuk pertobatan (Mat 3:8). Dan sama seperti ada lebih banyak
harapan untuk pertobatan sejati dari pemungut cukai dan pelacur yang ‘dingin’,
yang ‘pergi ke surga’ (Mat 21:31) di depan orang-orang Farisi yang suam-suam
kuku dan puas dengan dirinya sendiri, demikian juga ada lebih banyak harapan
bagi orang berdosa yang belum bertobat dari pada ia, yang pernah dibangunkan pada
suatu kesadaran akan kehendak Allah tetapi yang lalu jatuh lagi ke dalam suatu
keadaan kelambanan yang puas diri dan ketidakpedulian] - hal 115.
Pulpit Commentary:
“Spiritual
indifferentism is a most incorrigible condition. Theoretical infidelity we may break
down by argument, but moral indifferentism cannot be touched by logic. The
spiritually indifferent man shouts out his Creed every Sunday, damns the
atheist, and yet himself is ‘without God in the world.’” (= Sikap acuh tak acuh
secara rohani merupakan kondisi yang paling tidak bisa diperbaiki. Kekafiran
teoretis bisa dihancurkan oleh argumentasi, tetapi sikap acuh tak acuh secara
moral tidak bisa disentuh oleh logika. Orang yang acuh tak acuh secara rohani
mengucapkan Pengakuan Imannya dengan keras setiap hari Minggu, mengecam orang
atheis, tetapi ia sendiri ‘tanpa Allah di dunia ini’) - hal 142.
Leon Morris (Tyndale):
“‘There
is no one farther from the truth in Christ than the one who make an idle
profession without real faith’ (Walvoord)” [= Tidak ada orang yang
lebih jauh dari kebenaran dalam Kristus dari pada orang yang membuat pengakuan
yang tak berarti tanpa iman yang sejati (Walvoord)] - hal 82-83.
G. R. Beasley-Murray: “So alien to the spirit of Christ is the religious profession of
the Laodiceans, John declares that the Lord would prefer them to be outright
pagans. ... An honest atheist is more acceptable to the Lord than a
self-satisfied religious man, for such a man’s religion has blunted his
conscience and blinded him to his need for repentance. The road to the cross
has always been easier for the publican than for the Pharisee” (=
Pengakuan agamawi dari orang-orang Laodikia begitu asing bagi Roh Kristus,
sehingga Yohanes menyatakan bahwa Tuhan lebih menginginkan mereka untuk menjadi
kafir secara total. ... Seorang atheis yang jujur lebih bisa diterima oleh
Tuhan dari pada seorang beragama yang puas dengan dirinya sendiri, karena agama
dari orang seperti itu telah menumpulkan hati nuraninya dan membutakannya
terhadap kebutuhan pertobatan. Jalan kepada salib selalu lebih mudah bagi
pemungut cukai dari pada bagi orang Farisi) - hal 105.
Theodore H. Epp: “Seorang
yang suam-suam kuku mempunyai indikasi kuat bahwa ia belum diselamatkan, tetapi
juga bahwa ia merasa puas dengan dirinya sendiri dan sukar untuk beralih dari
keadaan rohaninya yang acuh tak acuh. Masih lebih banyak harapan untuk
keselamatan seorang yang sungguh-sungguh atheist, yang sama sekali tidak
percaya akan Allah, daripada seorang yang mengaku beragama, yang merasa tinggi
hati dan menipu dirinya sendiri. Para pemungut cukai dan orang sundal dapat
lebih mudah dibawa masuk ke dalam kerajaan sorga daripada orang Farisi yang
merasa dirinya suci dan tinggi hati” - hal 118.
5. Matthew
Poole menambahkan bahwa alasannya adalah: lebih baik tidak pernah mengenal
kebenaran dari pada mengenal kebenaran tetapi hidup menentangnya (bdk.
Luk 12:48 Ibr 6:4-6 Ibr 10:26-29 2Pet 2:21-22).
Sejalan dengan itu, William Barclay berkata:
“Hard as it may sound, the
meaning of this terrible threat of the Risen Christ is that it is better not
even to start on the Christian way than to start and then to drift into a
conventional and meaningless Christianity. The fire must be kept burning” (= Sekalipun kedengarannya
keras, arti dari ancaman yang menakutkan dari Kristus yang telah bangkit ini
adalah bahwa lebih baik tidak pernah memulai pada jalan Kristen dari pada
memulai dan lalu hanyut kepada kekristenan yang bersifat tradisi dan tak
berarti. Api harus dijaga untuk terus menyala) - hal 142.
Bandingkan dengan ayat-ayat di
bawah ini:
·
2Pet 2:20-22
- “Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan
dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari
kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya
keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula. Karena itu bagi mereka adalah
lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada
mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan
kepada mereka. Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini:
‘Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke
kubangannya.’”.
·
Ibr 6:4-6
- “Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah
mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan
yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan
datang, namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian,
hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri
mereka dan menghinaNya di muka umum”.
·
Ibr 10:26-29
- “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah
memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk
menghapus dosa itu. Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan
penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka.
Jika ada orang yang menolak hukum Musa, ia dihukum mati tanpa belas kasihan
atas keterangan dua atau tiga orang saksi. Betapa lebih beratnya hukuman yang
harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak Anak Allah, yang menganggap
najis darah perjanjian yang menguduskannya, dan yang menghina Roh kasih
karunia?”.
b) Dari
3 keadaan itu, tentu saja Tuhan paling senang melihat seseorang itu ‘panas’.
John Stott: “The idea of being on fire
for Christ will strike some people as dangerous emotionalism. ‘Surely’, they
will say, ‘we are not meant to go to extremes? You are not asking us to become
hot-gospel fanatics?’ Well, wait a minute. It depends what you mean. If by
‘fanaticism’ you really mean ‘wholeheartedness’ then Christianity is a
fanatical religion and every Christian should be a fanatic. But fanaticism is
not wholeheartedness, nor is wholeheartedness fanaticism. Fanaticism is an
unreasoning and unintelligent wholeheartedness. It is the running away of the
heart with the head. ... ‘Commitment without reflexion is fanaticism in action;
but reflexion without commitment is the paralysis of all action.’ What Jesus
Christ desires and deserves is the reflexion which leads to commitment and the
commitment which is born of reflexion. This is the meaning of wholeheartedness,
or being aflame for God” (= Gagasan untuk ‘terbakar’ untuk Kristus akan dianggap oleh
sebagian orang sebagai emosionalisme yang berbahaya. Mereka akan berkata:
‘Tentu saja kita tidak dimaksudkan untuk menjadi extrim, bukan? Engkau tidak
meminta kita untuk menjadi orang yang fanatik terhadap injil?’ Nah, tunggu
sebentar. Itu tergantung pada apa yang engkau maksudkan. Jika dengan
‘fanatisme’ engkau memaksudkan ‘ke-sepenuh-hati-an’ maka kekristenan adalah
agama yang fanatik, dan setiap orang kristen harus menjadi seorang yang
fanatik. Tetapi fanatisme bukanlah ‘ke-sepenuh-hati-an’ dan
‘ke-sepenuh-hati-an’ bukanlah fanatisme. Fanatisme merupakan
‘ke-sepenuh-hati-an yang tanpa akal’. Itu adalah hati yang terpisah dari
kepala. ... ‘Komitmen tanpa pemikiran adalah fanatisme yang sedang beraksi;
tetapi pemikiran tanpa komitmen merupakan pelumpuhan semua tindakan / aksi’. Apa
yang diinginkan dan layak didapatkan oleh Yesus Kristus adalah pemikiran yang
membawa kepada komitmen dan komitmen yang dilahirkan oleh pemikiran. Ini
merupakan arti dari ke-sepenuh-hati-an, atau menyala bagi Allah) - hal 116-117.
Saudara mungkin bukanlah orang yang fanatik tanpa akal. Tetapi
mungkin saudara adalah orang yang mempunyai pemikiran tetapi tidak disertai
komitmen. Ingat bahwa Yesus menginginkan ‘pemikiran yang membawa kepada komitmen dan
komitmen yang dilahirkan oleh pemikiran’.
3) ‘Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu’.
a) Kata-kata
dari ancaman ini menunjukkan adanya perasaan jijik.
William R. Newell: “Either a hot drink on a cold day, or a cool one on a hot day,
is acceptable and refreshing; lukewarm is neither, and disgusts” (= Atau
minuman yang panas pada hari yang dingin, atau minuman yang dingin pada hari
yang panas, bisa diterima dan menyegarkan; minuman yang suam-suam kuku tidak
demikian, dan memuakkan) - hal 76.
Pulpit Commentary:
“Nothing
is so offensive to him as a corpse in religion’s cloak” (= Tidak ada yang begitu
menjijikkan bagiNya seperti mayat yang berjubahkan agama) - hal 124.
b) Sekalipun
ini adalah ancaman yang keras, tetapi ini bukan suatu keputusan yang terakhir
yang tidak bisa berubah.
James B. Ramsey: “The worst feature of such a condition is, that it so
effectually conceals itself. ‘Thou knowest not.’ ... It seems to itself on the
very threshold of heaven when ready to fall into the lowest hell. Such a
church, with all its self-complacency and confidence, has less of the marks of
a true church than any other that Christ acknowledges. It is on the very point
of utter rejection, and that with abhorrence: ‘I will spew thee out of My
mouth.’ As thus translated, these words seem to express the fixed and
unchanging purpose or decision to reject it. This is too strong. The precise
meaning is, ‘I am about’ to do this; implying still a brief interval allowed
for repentance, before it is thus with loathing and violence rejected” (= Ciri
yang terburuk dari kondisi seperti itu adalah bahwa kondisi itu menyembunyikan
dirinya sendiri secara begitu efektif. ‘Engkau tidak tahu’. ... Bagi dirinya
sendiri ia terlihat seperti ada di ambang pintu surga padahal sebetulnya ia
siap untuk masuk ke dalam neraka yang paling rendah. Gereja seperti itu, dengan
seluruh kepuasan dan keyakinannya mempunyai lebih sedikit tanda-tanda dari
gereja yang benar dari pada gereja-gereja lain yang diakui Kristus. Gereja ini
ada pada titik dimana mereka akan ditolak secara total, dan penolakan itu
dilakukan dengan perasaan jijik. ‘Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu’. Diterjemahkan
seperti itu, kata-kata ini kelihatannya menunjukkan tujuan atau keputusan yang
tetap dan tidak berubah untuk menolak gereja itu. Tetapi ini terlalu kuat /
keras. Arti yang tepat adalah, ‘Aku akan’ melakukan hal ini, menunjukkan secara
tidak langsung bahwa tetap diberikan suatu jangka waktu yang singkat untuk
pertobatan, sebelum gereja itu ditolak dengan rasa jijik dan dengan kekerasan) - hal 180.
Catatan: bagian
yang saya garis-bawahi rupanya ditujukan untuk menentang pandangan orang-orang
yang mempunyai pandangan seperti Hoeksema, yang mengatakan bahwa ay 16 ini
menunjukkan kepastian penghakiman / penghukuman Tuhan, dalam arti mereka tidak
diberi kesempatan untuk bertobat lagi. Kebanyakan penafsir tidak setuju dengan
Hoeksema, karena adanya ay 18-20 menunjukkan bahwa mereka masih tetap
diberi kesempatan untuk bertobat. Bandingkan dengan ancaman yang diberikan oleh
Tuhan melalui Yunus kepada orang Niniwe (Yunus 3:4), yang juga tidak
merupakan keputusan terakhir / pasti dari Allah untuk menghancurkan Niniwe.
c) Akhirnya ancaman ini menjadi kenyataan.
John Stott: “Whether or not the
Laodicean church heeded this warning we cannot say. Certainly the city, once
prosperous and complacent, is now a miserable waste. ‘Nothing can exceed the
desolation and melancholy appearance of the site of Laodicea’, says a recent
traveller ... Archbishop Trench vividly portrays the scene: ‘All has perished
now. He who removed the candlestick of Ephesus, has rejected Laodicea out of
His mouth. The fragments of aqueducts and theatres spread over a vast extent of
country tell of the former magnificence of this city; but of this once famous
church nothing survives’” (= Apakah gereja Laodikia memperhatikan peringatan ini atau
tidak, kita tidak bisa mengatakan. Yang jelas kota yang dahulu pernah makmur
dan puas dengan diri sendiri ini, sekarang merupakan reruntuhan yang
menyedihkan. ‘Tidak ada yang melebihi penampilan yang sunyi dan sedih dari
peninggalan Laodikia’, kata seorang pelancong baru-baru ini ... Uskup besar
Trench menggambarkan pemandangan itu secara hidup: ‘Sekarang semua telah
binasa. Ia yang mengambil kaki dian dari Efesus, telah memuntahkan Laodikia
dari mulutNya. Fragmen / pecahan-pecahan dari saluran-saluran air dan
teater-teater tersebar di daerah yang luas menceritakan tentang kemegahan kota
ini dahulu, tetapi tentang gereja yang pernah termasyhur ini, tidak ada apapun
yang tertinggal’) - hal 120.
Pulpit Commentary:
“The
importance of this Church continued for some time, the celebrated Council of
Laodicea being held there in A.D. 361, and a century later its bishop held a
prominent position (Labbe, iv. p. 82, etc.). But its influence gradually waned,
and the Turks pressed hardly upon it; so that at the present time it is little
more than a heap of ruins. The warnings of the Apostles SS. Paul and John, if
heeded at all for a time, were forgotten, and her candlestick was removed” [= Gereja ini tetap
penting untuk waktu tertentu, dan ini ditunjukkan dengan penyelenggaraan Sidang
gereja Laodikia di sini pada tahun 361 M., dan satu abad setelahnya uskup
dari Laodikia memegang posisi yang menonjol (Labbe, iv. hal 82, dst.). Tetapi
pengaruh gereja ini perlahan-lahan menyusut, dan orang-orang Turki menekannya
dengan keras, sehingga pada saat ini itu hanya sedikit lebih dari setumpuk
reruntuhan. Peringatan-peringatan dari rasul-rasul Paulus dan Yohanes, jika
diperhatikan untuk sementara waktu, akhirnya dilupakan, dan kaki diannya
disingkirkan] - hal 114.
d) Ini
juga merupakan peringatan bagi semua gereja / orang kristen yang suam-suam
kuku.
Barnes’ Notes: “It may be remarked, also,
that what was threatened to that church may be expected to occur to all
churches, if they are in the same condition; and that all professing
Christians, and Christian churches, that are lukewarm, have special reason to
dread the indignation of the Saviour” (= Perlu diperhatikan juga bahwa apa yang
diancamkan kepada gereja itu bisa diharapkan terjadi pada semua gereja, jika
mereka ada dalam kondisi yang sama; dan bahwa semua orang yang mengaku sebagai
orang Kristen dan gereja-gereja Kristen yang adalah suam-suam kuku, mempunyai
alasan yang khusus untuk takut pada kemarahan Sang Juruselamat) - hal 1570.
Ay 17: “Karena
engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak
kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan
malang, miskin, buta dan telanjang”.
1) ‘Karena engkau berkata: Aku kaya
dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa’.
a) ‘Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan
diriku’.
Barnes mengatakan bahwa
kata-kata ini bisa diartikan secara jasmani maupun secara rohani.
·
Ada
penafsir yang mengambil pandangan pertama (kaya jasmani), dan ini tentu saja
masuk akal, karena Laodikia memang merupakan kota kaya.
·
Tetapi
ada penafsir yang mengambil pandangan kedua (kaya rohani).
Robert H. Mounce (NICNT): “The ‘wealth’ claimed by the Laodicean church, however, was not
material but spiritual” (= Tetapi kekayaan yang diclaim oleh Gereja Laodikia bukanlah
kekayaan materi tetapi rohani) - hal
126.
Saya berpendapat ini tidak masuk akal. Tidak mungkin
mereka tidak membicarakan kekayaan jasmaninya sama sekali.
Barnes sendiri (dan juga
beberapa penafsir lain yang saya kutip di bawah) mengambil kedua-duanya, dan
saya setuju dengan ini.
Barnes’ Notes: “It is not easy to
determine which is the true sense; but may it not have been that there was an allusion
to both, and that, in every respect, they boasted that they had enough? May it
not have been so much the characteristic of that people to boast of their
wealth, that they carried the spirit into everything, and manifested it even in
regard to religion? Is it not true that they who have much of this world’s
goods, when they make a profession of religion, are very apt to suppose that
they are well off in everything, and to feel self-complacent and happy? And is
not the possession of much wealth by an individual Christian, or Christian
church, likely to produce just the lukewarmness which it is said existed in the
church of Laodicea? ... the possession of great wealth tends to make a
professed Christian self-complacent and satisfied in every respect; to make him
feel that, although he may not have much religion, yet he is on the whole well
off; and to produce, in religion, a state of just such lukewarmness as the
Saviour here says was loathsome and odious” (= Tidak mudah untuk
menentukan yang mana arti yang benar; tetapi tidakkah mungkin bahwa di sini ada
suatu sindiran pada keduanya, dan bahwa dalam segala hal mereka membanggakan
bahwa mereka telah cukup? Tidakkah mungkin bahwa orang-orang yang membanggakan
kekayaannya membawa semangat itu pada segala sesuatu, dan bahkan mewujudkannya
dalam persoalan agama? Tidakkah benar bahwa mereka yang mempunyai banyak harta
benda dunia ini, pada waktu membuat pengakuan agama, cenderung untuk
beranggapan bahwa mereka kaya dalam segala sesuatu, dan merasa puas diri dan
senang? Dan bukankah pemilikan dari kekayaan yang besar oleh seorang individu
Kristen, atau gereja Kristen, sangat mungkin untuk menyebabkan kesuaman persis
seperti yang ada dalam gereja Laodikia? ... pemilikan kekayaan yang besar
cenderung untuk menyebabkan seorang yang mengaku Kristen merasa puas dalam
segala hal; menyebabkan ia merasa bahwa sekalipun ia tidak terlalu religius,
tetapi secara keseluruhan ia kaya / beruntung; dan menghasilkan, dalam agama,
suatu keadaan kesuaman yang dikatakan oleh Sang Juruselamat di sini sebagai
memuakkan dan menjijikkan) - hal 1570.
George Eldon Ladd: “No doubt part of her problem was the inability to distinguish
between material and spiritual prosperity. The church that is prospering
materially and outwardly can easily fall into the self-deception that her
outward prosperity is the measure of her spiritual prosperity” (=
Tidak diragukan bahwa sebagian problem gereja ini adalah ketidak-mampuan untuk
membedakan antara kemakmuran materi dan kemakmuran rohani. Gereja yang makmur
secara materi dan lahiriah bisa dengan mudah jatuh ke dalam penipuan diri
sendiri dengan mengira bahwa kemakmuran lahiriahnya merupakan ukuran dari
kemakmuran rohaninya) - hal 66.
William Hendriksen:
“Laodicea
was especially famous for its wealth. ... Perhaps they imagined that their
wealth was a sign of God’s special favour. ... They boasted of their spiritual
riches. ... It is easy to see that these people were not troubled with any
consciousness of sin” (= Laodikia termasyhur khususnya karena kekayaannya. ...
Mungkin mereka berkhayal bahwa kekayaan mereka merupakan suatu tanda perkenan
yang khusus dari Allah. ... Mereka membanggakan kekayaan rohani mereka. ...
Adalah mudah untuk melihat bahwa orang-orang ini tidak diganggu dengan
kesadaran dosa apapun) - hal 76.
b) ‘dan aku tidak kekurangan apa-apa’.
Saya berpendapat bahwa
kata-kata ini tidak boleh diartikan bahwa mereka adalah orang yang puas dengan
kekayaan jasmaninya. Mengapa? Karena itu merupakan sesuatu yang baik
(1Tim 6:6-8), sedangkan bagian ini ditulis sebagai suatu kritik.
Lalu apa arti kata-kata
ini? Perhatikan kutipan-kutipan di bawah ini.
William R. Newell: “‘Need of nothing’: the loss of a sense of need, as the
drowsiness that besets a freezing man, is fatal” (=
‘Tidak kekurangan apa-apa’: kehilangan perasaan membutuhkan, seperti perasaan
mengantuk yang menimpa seseorang yang membeku, adalah fatal) - hal 77.
Barnes’ Notes: “It is almost unavoidable
that those who are rich in this world’s goods should feel that they have need
of nothing. There is no more common illusion among men than the feeling that if
one has wealth, he has everything; that there is no want of his nature which
cannot be satisfied with that; and that he may now sit down in contentment and
ease. ... Comp. Luke 12:19” (= Hampir tidak terhindarkan bahwa mereka yang kaya dalam harta
benda dunia ini merasa bahwa mereka tidak membutuhkan apapun. Tidak ada
khayalan yang lebih umum di antara manusia dari pada perasaan bahwa jika
seseorang memiliki kekayaan, ia mempunyai segala sesuatu; dan bahwa tidak ada
kebutuhan yang tidak bisa dipuaskan dengan kekayaan itu; dan bahwa sekarang ia
boleh duduk dalam kepuasan dan kesenangan / ketenteraman. ... Bdk. Luk 12:19) - hal 1570.
Luk 12:19 - “Sesudah itu aku akan
berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk
bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan
bersenang-senanglah!”.
Steve Gregg: “Wealth has a way of imparting a false sense of self-sufficiency
- the very antithesis of the beggarliness of spirit commended in the Sermon of
the Mount (Matt. 5:3)” [= Kekayaan mempunyai cara untuk memberikan / menanamkan
perasaan puas diri yang palsu - lawannya, yaitu kemiskinan roh dipuji /
dihargai dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:3)] - hal 79.
Mat 5:3 - “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.
NIV: ‘Blessed are the poor in spirit, for
theirs is the kingdom of heaven’ (= Berbahagialah / diberkatilah mereka yang
miskin dalam roh, karena merekalah yang empunya kerajaan surga).
Kalau saudara adalah orang kaya yang merasa puas dengan
keadaan saudara, dan saudara merasa bahwa dengan uang itu saudara bisa
mendapatkan apapun, maka renungkan kata-kata di bawah ini.
What money cannot buy.
“Money will buy a bed but
not sleep; books but not brains; food but not appetite; finery but not beauty;
a house but not a home; medicine but not health; luxuries but not culture;
amusements but not happiness; religion but not salvation; a passport to
everywhere but heaven” (= Uang bisa membeli ranjang tetapi tidak bisa membeli tidur;
buku-buku tetapi tidak otak; makanan tetapi tidak nafsu makan; pakaian bagus /
perhiasan tetapi tidak kecantikan; rumah tetapi tidak suasana rumah yang
menyenangkan; obat tetapi tidak kesehatan; barang-barang lux / kemewahan tetapi
tidak kebudayaan; hiburan tetapi tidak kebahagiaan; agama tetapi tidak
keselamatan; sebuah paspor kemana saja kecuali ke surga).
G. R. Beasley-Murray: “Laodicea was much like Sardis: an example of nominal,
self-satisfied Christianity. One major difference is that at Sardis there
remained a nucleus who had preserved a vital faith (3:4), while the entire
Laodicean church was permeated by complacency” [=
Laodikia sangat mirip dengan Sardis: suatu contoh dari ke-kristen-KTP-an yang
puas diri. Satu perbedaan besar adalah bahwa di Sardis masih tersisa suatu inti
yang masih memelihara iman yang hidup (3:4), sementara seluruh Gereja Laodikia
diresapi oleh rasa puas diri] - hal 64.
Kekayaan gereja Laodikia
yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu, mirip dengan Israel pada jaman
dahulu, seperti yang dikatakan dalam Ul 32:15,18 di bawah ini.
Ul 32:15,18 - “Lalu
menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, - bertambah gemuk engkau,
gendut dan tambun - dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia
memandang rendah gunung batu keselamatannya. ... Gunung batu yang memperanakkan
engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau”.
Karena itu, janganlah
mengejar kekayaan, dan naikkanlah doa yang ada dalam Amsal 30:8b-9 ini.
Amsal 30:8b-9 - “Jangan
berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan
yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalMu dan
berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan
nama Allahku”.
2) ‘dan karena engkau tidak tahu,
bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang’.
a) ‘engkau tidak tahu’.
·
Merupakan
suatu kondisi yang sangat menyedihkan, atau mungkin paling menyedihkan, dimana
seseorang ada dalam kondisi rohani yang sangat jelek, tetapi ia sendiri tidak
mengetahuinya.
Robert H. Mounce (NICNT): “And saddest of all, they did not realize their wretched
condition” (= Dan yang paling menyedihkan dari semua, mereka tidak
menyadari kondisi mereka yang malang / sangat buruk) - hal 126.
James B. Ramsey: “The worst feature of such
a condition is, that it so effectually conceals itself. ‘Thou knowest not.’ ...
It seems to itself on the very threshold of heaven when ready to fall into the
lowest hell” (= Ciri terburuk dari kondisi seperti itu adalah bahwa kondisi
itu menyembunyikan dirinya sendiri secara begitu efektif. ‘Engkau tidak tahu’.
... Gereja ini melihat dirinya sendiri pada ambang pintu surga pada waktu ia
sebetulnya siap untuk jatuh ke dalam neraka yang terdalam) - hal 180.
Herman Hoeksema: “it was exactly this awful contrast between their actual condition
and the opinion which they had of themselves that made them perfectly
nauseating and that at the same time made their condition so hopeless. For
indeed, the publican, who knows and confesses his wretchedness, is justified;
but what hope is there for the miserable Pharisee, who thanks God for his own
goodness?” (= kontras yang jelek / mengerikan antara keadaan mereka yang
sebetulnya dan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri inilah yang membuat
mereka benar-benar memuakkan dan yang pada saat yang sama membuat kondisi
mereka begitu tanpa harapan. Karena memang, pemungut cukai yang mengetahui dan
mengakui kemalangan / keburukannya, dibenarkan; tetapi harapan apa yang ada
untuk orang Farisi yang sangat buruk / menyedihkan, yang bersyukur kepada Allah
untuk kebaikannya sendiri?) - hal 142.
·
Sekarang mari kita
bandingkan ay 17a dengan ay 17b (‘engkau berkata .... engkau tidak tahu’). Memang orang yang tidak tahu, seringkali berani
berkata-kata dan bahkan terlalu berani berkata-kata, seakan-akan ia adalah
orang yang mempunyai banyak pengetahuan. Dan ini biasanya ada dalam diri orang
yang kaya seperti orang-orang Laodikia, tetapi tidak jarang juga ada dalam diri
orang yang tidak kaya!
Kalau saudara adalah orang seperti
itu, sebaiknya baca dan renungkan beberapa ayat Kitab Suci di bawah ini.
*
Amsal 10:19
- “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi
siapa yang menahan bibirnya, berakal budi”.
*
Amsal 12:23
- “Orang yang bijak menyembunyikan pengetahuan-nya, tetapi
hati orang bebal menyeru-nyerukan kebodohan”.
*
Amsal 17:28
- “Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam
diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya”.
*
Amsal 18:12
- “Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka
membeberkan isi hatinya”.
*
Amsal 26:12
- “Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya
bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu”.
*
Amsal 29:20
- “Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan
lebih banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang itu”.
b) Penggambaran Yesus tentang orang kristen Laodikia.
Sekalipun mereka
menganggap diri mereka sendiri kaya dan tidak kekurangan apa-apa, tetapi Yesus
menggambarkan mereka sebagai ‘melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang’.
Steve Gregg: “Each descriptive word was ironic, in view of the local medical
school, the banks, the eye salve, the textile industry for which the city was
famed” (= Setiap kata yang menggambarkan keadaan mereka merupakan
sesuatu yang bersifat ironi / ejekan, mengingat akan sekolah medis, bank-bank,
salep mata, industri textil tentang mana kota itu termasyhur) - hal 79.
1. ‘melarat’. Ini salah terjemahan!
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘wretched’ (= sangat buruk / malang).
Hoeksema (hal 140) mengatakan bahwa kata yang
diterjemahkan ‘wretched’ ini dalam bahasa Yunaninya sama dengan kata
yang dipakai oleh Paulus dalam Ro 7:24 - “Aku,
manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”.
NIV: ‘What a wretched man I am! Who will rescue
me from this body of death?’ (= Aku betul-betul seorang manusia yang malang!
Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?).
2. ‘malang’.
KJV/NASB: ‘miserable’ (= menyedihkan / miskin).
RSV: ‘pitiable’ (= menyedihkan / yang menimbulkan belas kasihan).
NIV: ‘pitiful’ (= menyedihkan / yang menimbulkan belas kasihan).
Kata Yunani yang sama digunakan oleh Paulus dalam
1Kor 15:19 - “Jikalau kita hanya dalam
hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang
yang paling malang dari segala manusia”.
Barnes’ Notes: “There is no more pitiable
condition than that where one has great property, and is self-complacent and
proud, and who has nevertheless no God, no Saviour, no hope of heaven, and who
perhaps that very day may ‘lift up his eyes in hell, being in torments.’” (= Tidak ada kondisi yang
lebih menyedihkan / menimbulkan belas kasihan dari pada kondisi dimana
seseorang mempunyai banyak kekayaan, dan merasa puas diri dan bangga, tetapi
yang sebetulnya tidak mempunyai Allah, Juruselamat, pengharapan tentang surga,
dan yang mungkin pada hari itu akan ‘mengangkat matanya / pandangannya dalam
neraka, sementara ia ada dalam siksaan’)
- hal 1571.
Catatan: bagian terakhir itu
merupakan kutipan dari Luk 16:23a versi KJV, dan menunjukkan sikap /
tindakan orang kaya pada waktu ada dalam neraka, dimana ia memandang ke surga
dan melihat Abraham dan Lazarus dalam pelukan Abraham.
William Hendriksen: “Who
is more to be pitied than an individual who imagines that he is a fine
Christian, whereas in reality the Christ Himself is utterly disgusted with
him?” (= Siapa yang lebih harus dikasihani dari pada seseorang yang membayangkan bahwa ia
adalah seorang Kristen yang baik, padahal dalam kenyataannya Kristus sendiri
sama sekali muak terhadapnya?) - hal 77.
3. ‘miskin’.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘poor’ (= miskin).
·
Kata
Yunani yang digunakan adalah PTOCHOS, yang menunjukkan ‘miskin tanpa punya
apa-apa sama sekali’. Ini tentu digunakan di sini dalam arti rohani. Ini
berbeda dan bahkan bertentangan dengan miskin rohani yang dibicarakan oleh Mat
5:3. Dalam Mat 5:3 itu orang yang miskin secara rohani disebut ‘berbahagia
/ diberkati’ dan dikatakan sebagai pemilik kerajaan surga, karena miskin rohani
di sana berarti bahwa orangnya sadar bahwa dirinya penuh dengan dosa (jemaat
Laodikia jelas tidak seperti ini). Tetapi miskin rohani yang dibicarakan di
sini, adalah dalam arti bahwa di surga mereka tidak mempunyai apa-apa. Ini sama
seperti ‘tidak kaya di hadapan Allah’ dalam Luk 12:21b.
·
Barnes’ Notes: “men may think themselves to be rich, and yet, in fact, be
miserably poor. They may have the wealth of this world in abundance, and yet
have nothing that really will meet their wants in disappointment, bereavement,
sickness, death; the wants of the never-dying soul; their wants in eternity” (= manusia bisa mengira
diri mereka kaya, tetapi dalam faktanya mereka sangat miskin. Mereka mungkin
mempunyai kekayaan dunia ini secara berlimpah-limpah, tetapi tidak mempunyai
apapun yang betul-betul memenuhi kebutuhan mereka pada waktu mereka kecewa, kehilangan,
sakit, mati; kebutuhan dari jiwa yang tidak pernah mati; kebutuhan mereka dalam
kekekalan) - hal 1571. Bandingkan dengan
ayat-ayat di bawah ini:
*
Luk 12:15 - “KataNya lagi kepada mereka: ‘Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala
ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah
tergantung dari pada kekayaannya itu.’”.
*
Luk 12:21 - “Demikianlah jadinya
dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak
kaya di hadapan Allah”.
*
Amsal 11:4
- “Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi
kebenaran melepaskan orang dari maut”.
·
Herman
Hoeksema: “Spiritual
poverty and spiritual pride went together” (= Kemiskinan rohani dan
kesombongan rohani berjalan bersama-sama) - hal 142.
·
Gereja
Laodikia ini bertentangan dengan gereja Smirna yang dalam Wah 2:9
dikatakan miskin (secara jasmani), tetapi kaya (secara rohani).
4. ‘buta’.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘blind’ (= buta).
·
Ini juga dalam arti rohani.
Kebutaan inilah yang menyebabkan
semua dugaan / anggapan mereka tentang diri mereka sendiri begitu salah, dan
bahkan terbalik. Bandingkan dengan Yoh 9:39-41 - “Kata Yesus: ‘Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya
barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang
dapat melihat, menjadi buta.’ Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi
yang berada di situ dan mereka berkata kepadaNya: ‘Apakah itu berarti bahwa
kami juga buta?’ Jawab Yesus kepada mereka: ‘Sekiranya kamu buta, kamu tidak
berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.’”.
·
kebutaan
rohani bisa ada karena 2 hal, yaitu:
*
tidak
adanya kelahiran baru. Sebetulnya inilah kebutaan yang sungguh-sungguh.
*
ketidak-mengertian
terhadap Firman Tuhan. Kalau seseorang sudah dilahirbarukan, sebetulnya ia
tidak lagi buta. Tetapi kalau ia tidak mempunyai pengetahuan Firman Tuhan, maka
ia seperti orang melek yang ada dalam gelap, sehingga secara praktis sama
dengan buta.
Penerapan:
Karena itu rajin dan
tekunlah belajar Firman Tuhan.
5. ‘telanjang’.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘naked’ (= telanjang).
Ini juga dalam arti
rohani.
Barnes’ Notes: “Salvation is often
represented as a garment, (Matt. 22:11,12; Rev. 6:11; 7:9,13,14;) and the
declaration here is equivalent to saying that they had no religion” [= Keselamatan sering
digambarkan sebagai pakaian (Mat 22:11,12; Wah 6:11; 7:9,13,14) dan
pernyataan di sini sama dengan mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai agama] - hal 1571.
G. R. Beasley-Murray: “Despite their overflowing banks they are poor; despite their
physicians and medicaments they are blind; despite their clothing factories,
they are naked. They are in truth wretched and pitiable” (=
Sekalipun mereka mempunyai bank-bank yang melimpah mereka miskin; sekalipun
mereka mempunyai dokter-dokter dan obat-obat mereka buta; sekalipun mereka
mempunyai pabrik-pabrik pakaian, mereka telanjang. Sebenarnya mereka malang dan
perlu dikasihani) - hal 106.
c) Mengapa jemaat Laodikia bisa ada
dalam kondisi seperti itu? Salah satu penyebabnya, yang sudah kita bahas di
depan, adalah kekayaan jasmani / duniawi. Tetapi Hoeksema memberikan
kemungkinan penyebab yang lain, yaitu pendeta yang brengsek dari gereja
Laodikia.
Herman Hoeksema: “The development of the church is often thus, that the leader,
the angel, the minister of the church, becomes lax dan unfaithful and falls
away first of all; and the congregation gradually follows. I imagine that the
angel of Laodicea was a well-satisfied, easy going, good-for-nothing sort of
man. He must have been a man who always spoke of peace where there was no
peace. He lacked the courage to lay his finger on the sore spots. He was no
fighter. He attempted to find out what the opinion of his people was before he
expressed his own. And so he gradually flattered them into their self-satisfied
condition. He preached no sin and condemnation; or, if he did, he knew how to
do it in such a way that nobody could possibly be offended. He left the people
blind and poor and naked; and he told them that they were rich and that their
goods increased. Thus, I imagine, did the angel of the church in Laodicea
behave. Small wonder, then, that the congregation followed!” (=
Perkembangan dari gereja seringkali demikian, dimana sang pemimpin, sang
malaikat, sang pendeta dari gereja itu yang pertama-tama menjadi lalai dan
tidak setia dan melemah; dan jemaat mengikuti secara bertahap. Saya
membayangkan bahwa sang malaikat dari gereja Laodikia adalah seorang yang puas
diri, orang santai / orang yang tidak mau repot, orang yang tidak baik untuk
apapun. Ia pasti adalah orang yang selalu mengatakan damai sejahtera pada saat
di sana tidak ada damai sejahtera (bdk.
Yer 6:14 Yer 8:11 Yeh 13:10). Ia tidak mempunyai keberanian untuk menunjuk pada titik yang sakit.
Ia bukan seorang petarung. Ia berusaha untuk mengetahui pandangan dari
jemaatnya sebelum ia menyatakan pandangannya sendiri. Dan dengan demikian ia
secara bertahap menjilat mereka sehingga menjadikan mereka masuk ke dalam
kondisi puas diri. Ia tidak berkhotbah tentang dosa dan hukuman / kutukan;
atau, jika ia melakukannya, ia tahu bagaimana melakukannya sedemikian rupa
sehingga tidak seorangpun yang bisa tersinggung. Ia membiarkan jemaatnya buta
dan miskin dan telanjang; dan ia memberitahu mereka bahwa mereka kaya dan bahwa
harta mereka bertambah. Demikianlah saya membayangkan kelakuan dari malaikat
gereja Laodikia. Karena itu, tidak heran bahwa jemaat mengikuti!) - hal 142.
Ay 18: “maka
Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari padaKu emas yang telah dimurnikan
dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau
memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi
minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat”.
Pulpit mengatakan (hal 116) bahwa ada yang
menghubungkan ay 18 dengan ay 17, dan ada yang menghubungkan ay 18
dengan ay 16. Saya memilih yang pertama.
1) ‘maka Aku menasihatkan engkau,
supaya engkau membeli dari padaKu’.
a) ‘Aku menasihatkan engkau’.
Dalam setiap keadaan,
apalagi dalam keadaan rohani yang buruk, kita membutuhkan nasihat Tuhan.
Lagi-lagi ini merupakan sesuatu yang seharusnya mendorong kita untuk makin
banyak belajar Firman Tuhan!
b) ‘membeli.
Ada beberapa penafsiran
yang perlu diperhatikan tentang kata ‘membeli’ ini:
·
kata
‘membeli’ tidak menunjuk pada ‘keselamatan karena usaha kita’.
Kata ‘membeli’ di sini,
dan demikian juga dalam Mat 13:44-46, tidak boleh diartikan bahwa
keselamatan didapatkan dengan usaha kita, karena ini akan bertentangan dengan
Ro 3:24 (‘dengan cuma-cuma’) dan Yes 55:1 (‘tanpa uang pembeli ... tanpa bayaran’).
John Stott: “But why does He recommend the Laodiceans to buy from Him? Can
salvation be bought? No. Certainly not. It is a free gift to us because it was
purchased by Christ on the cross. His invitation ‘buy from me’ should not be
pressed. He is doubtless using language appropriate to the commercially-minded
Laodiceans. He likens Himself to a merchant who visits the city to sell his
wares and goes into competition with other salesmen. ... Perhaps also He is
thinking of Jehovah’s appeal: ‘Ho, every one who thirsts, come to the
waters; and he who has no money, come, buy and eat! Come, buy wine and milk
without money and without price’ (Is. 55:1)” [=
Tetapi mengapa Ia menasihatkan jemaat Laodikia untuk membeli dari padaNya?
Bisakah keselamatan dibeli? Tidak. Pasti tidak. Itu merupakan karunia cuma-cuma
bagi kita karena itu dibeli oleh Kristus pada kayu salib. UndanganNya ‘belilah
dari padaKu’ tidak boleh ditekankan. Tidak diragukan bahwa Ia menggunakan bahasa
yang cocok dengan jemaat Laodikia yang mempunyai pikiran dagang. Ia menyamakan
diriNya sendiri dengan seorang pedagang yang mengunjungi kota itu untuk menjual
barang-barangnya dan bersaing dengan penjual-penjual yang lain. ... Mungkin ia
juga memikirkan seruan Yehovah: ‘Hai, setiap orang yang haus, datanglah kepada
air; dan ia yang tidak mempunyai uang, datanglah dan makanlah! Datanglah,
belilah anggur dan susu tanpa uang dan tanpa harga’ (Yes 55:1)] - hal 122.
Catatan: Yes 55:1 ini diambil
dari RSV dan saya terjemahkan dari RSV.
Bdk. Yes 55:1 versi Kitab Suci Indonesia: “Ayo, hai semua orang yang
haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang,
marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu
tanpa bayaran”.
William R. Newell: “Grace is ever free. We buy it ‘without money and without
price,’ although it cost Christ the fire of God’s judgment to get it for us” (=
Kasih karunia selalu cuma-cuma. Kita membelinya ‘tanpa uang dan tanpa harga’,
sekalipun Kristus harus menanggung api penghakiman Allah untuk mendapatkannya
bagi kita)
- hal 77.
·
sekalipun keselamatan itu
cuma-cuma, tetapi kata ‘membeli’ menunjukkan bahwa kita harus rela berkorban
demi keselamatan tersebut.
Pulpit Commentary:
“Yet it
was to be bought, and would entail the sacrifice of something which, though
perhaps dear to them, would be nothing in comparison with the return they would
obtain”
(= Tetapi itu harus dibeli, dan akan memerlukan pengorbanan sesuatu, yang
sekalipun mereka cintai, tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang akan
mereka dapatkan sebagai gantinya) - hal
116.
Bandingkan dengan:
*
Mat 13:44 - “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang
ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia
menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu”.
*
Mat
13:45-46 - “Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang
pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang
sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”.
*
Mark
9:43-48 - “Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah,
karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada
dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak
terpadamkan; (di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan
padam.) Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik
engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu
dicampakkan ke dalam neraka; (di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya
tidak akan padam.) Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih
baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada dengan
bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, di mana ulat-ulat bangkai tidak mati
dan api tidak padam”.
·
‘membeli’ menunjuk pada
hati yang remuk / sedih / menyesal.
Pulpit Commentary:
“He bids
them ‘buy of me.’ But if they were so poor, how could they buy? ‘The sacrifices
of God are a broken spirit: a broken and a contrite heart, O God, thou wilt not
despise.’ This is the money wherewith they must buy” (= Ia meminta mereka
‘belilah dari padaKu’. Tetapi jika mereka begitu miskin, bagaimana mereka bisa
membeli? ‘Korban Allah adalah roh yang patah / hancur: hati yang patah dan
menyesal, ya Allah, tidak akan Engkau pandang hina’) - hal 133.
Catatan: ayat
dalam kutipan di atas diambil dari Maz 51:19 / Psalm 51:17 versi KJV.
c) ‘dari padaKu’.
John Stott: “We must not miss the emphasis which is laid on the words ‘from
me’. It was this above all that the Laodiceans had to learn. They considered
themselves self-sufficient; they must humbly find their sufficiency in Christ.
They were saying ‘I need nothing’; they must come to admit that their
need was great and that only Christ could supply it. They said, ‘I am
rich, I have prospered, and I need nothing’. Jesus Christ had to
humble that boastful personal pronoun and lay it in the dust, and say ‘it is from
Me that your salvation comes’.” [= Kita harus melihat penekanan
yang diberikan pada kata-kata ‘dari padaKu’. Diatas segala-galanya inilah yang
harus dipelajari oleh jemaat Laodikia. Mereka menganggap diri mereka sendiri
cukup; mereka harus dengan rendah hati mendapatkan kecukupan mereka dalam
Kristus. Mereka berkata: ‘Aku tidak membutuhkan / kekurangan apa-apa’;
mereka harus mengakui bahwa mereka mempunyai kebutuhan yang besar dan bahwa
hanya Kristus yang bisa memberikannya / menyuplainya. Mereka berkata: ‘Aku
kaya dan aku telah memperkayakan diriku, dan aku tidak
membutuhkan / kekurangan apa-apa’. Yesus Kristus harus merendahkan kata ganti
orang yang sombong (maksudnya
kata ‘aku’ dalam ay 17a) dan
meletakkannya di tanah dan berkata: ‘dari padaKulah keselamatanmu datang’] - hal 121-122.
2) ‘emas yang telah
dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih,
supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan;
dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat’.
Herman Hoeksema: “gold and eyesalve and garments here represent the riches of
grace as they are all in Christ Jesus our Lord. They represent those riches
which the church of Laodicea so sorely needed and lacked. And they are
blessings of grace in the most absolute sense of the word. The sinner has
nothing wherewith he would be able to buy them” (= emas
dan salep mata dan pakaian di sini menggambarkan kekayaan kasih karunia
sebagaimana mereka semua ada dalam Kristus Yesus Tuhan kita. Hal-hal itu mewakili
kekayaan yang sangat dibutuhkan dan yang tidak dimiliki oleh gereja Laodikia.
Dan hal-hal itu adalah berkat dari kasih karunia dalam arti yang paling mutlak
dari kata itu. Orang berdosa tidak mempunyai apapun dengan mana ia bisa
membelinya)
- hal 145.
William Hendriksen:
“‘People
of Laodicea, you need to become new creatures: you need new hearts. Turn to me,
therefore, that ye may be saved.’ ... Christ counsels this church to buy of Him
- ‘of me’ is very emphatic - gold refined by fire, white garments, and
eyesalve. In brief: ‘buy of me salvation’, for salvation is gold because it
makes rich (2Cor. 8:9); it is white robes because it covers the nakedness of
our guilt and clothes us with righteousness, holiness, and joy in the Lord; it
is eyesalve because when we possess it we are no longer spiritually blind” (= ‘Jemaat Laodikia, kamu
harus menjadi ciptaan baru: kamu membutuhkan hati yang baru. Karena itu,
berbaliklah kepadaKu, supaya kamu diselamatkan’. ... Kristus menasehati gereja
ini untuk membeli dari Dia - kata ‘dariKu’ sangat ditekankan - emas yang
dimurnikan oleh api, pakaian putih, dan salep mata. Singkatnya: ‘belilah dari Aku keselamatan’, karena keselamatan adalah
emas karena itu membuat kaya (2Kor 8:9); keselamatan adalah pakaian putih karena
itu menutupi ketelanjangan dari kesalahan
kita dan memakaiani kita dengan kebenaran, kekudusan, dan sukacita dalam
Tuhan; keselamatan adalah salep mata karena pada waktu kita memilikinya kita
tidak lagi buta secara rohani) -
hal 77-78.
Kata-kata ini menunjukkan
bahwa Hendriksen menganggap mereka belum bertobat dan hanya Kristen KTP.
a) Emas yang telah dimurnikan dalam api.
Ada yang menganggap bahwa ‘emas yang telah dimurnikan
dalam api’ menunjuk pada iman. Ini didasarkan pada 1Pet 1:7 yang berbunyi: “Maksud semuanya itu
ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi
nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -
sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari
Yesus Kristus menyatakan diriNya”.
Tetapi saya sependapat dengan
Beasley-Murray yang mengatakan bahwa di sini ‘iman’ disimbolkan dengan
‘tindakan membeli’, sedangkan ‘emas’ menyimbolkan ‘kekayaan rohani’ yang
diberikan oleh Allah kepada orang yang beriman.
G. R. Beasley-Murray: “The wealth of faith is often mentioned in the New Testament
(Lk. 12:21, Jas 2:5, 1Pet. 1:7), but since the ‘purchase’ of these desirable
possessions itself represents the exercise of faith in God (see Isa. 55:1 - the
purchase is ‘without money and without price’), the symbolism points rather to
the riches bestowed by God to men of faith” [= Kekayaan dari iman sering
disebutkan dalam Perjanjian Baru (Luk 12:21 Yak 2:5
1Pet 1:7), tetapi karena ‘pembelian’ dari milik yang diinginkan ini
sendiri menggambarkan iman kepada Allah (lihat Yes 55:1 - pembelian adalah
‘tanpa uang dan tanpa harga’), maka simbolisme ini (emas) lebih menunjuk
pada kekayaan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya] - hal 106.
Wilson membandingkan emas ini dengan 2Kor 8:9, sedangkan
Homer Hailey membandingkannya dengan Kol 2:3.
2Kor 8:9 - “Karena
kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh
karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh
karena kemiskinanNya”.
Kol 2:3 - “sebab
di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan”.
b) Pakaian
putih.
William Barclay: “Laodicea prides itself on
the magnificent garments it produces but spiritually it is naked and nakedness is
shame. ... There is little point in a man adorning his body, if he has nothing
to adorn his soul. Not all the clothes in the world will beautify a person
whose nature is twisted and whose character is ugly” (= Laodikia membanggakan
dirinya sendiri karena pakaian yang sangat indah yang mereka produksi, tetapi
secara rohani mereka telanjang dan ketelanjangan merupakan sesuatu yang
memalukan. ... Tidak terlalu ada artinya bagi seseorang untuk menghiasi /
memperindah tubuhnya, jika ia tidak mempunyai apa-apa untuk menghiasi /
memperindah jiwanya. Semua pakaian di dunia inipun tidak bisa mempercantik
seseorang yang secara alamiah berbelat-belit dan yang karakternya jelek) - hal 144.
Robert H. Mounce (NICNT): “The Laodiceans need white garments as well to cover the shame
of their nakedness. A contrast with the black woolen fabric for which the city
was famous could be intended, but the figure of white garments as symbolic of
righteousness is so widely used in Revelation (3:4,5; 4:4; 6:11; 7:9,13-14;
19:14) that no local allusion is necessary. In the Biblical world nakedness was
a symbol of judgment and humiliation” [= Jemaat Laodikia juga membutuhkan pakaian
putih untuk menutupi ketelanjangan mereka yang memalukan. Memang memungkinkan
untuk memaksudkan suatu kontras dengan kain wol hitam untuk mana kota ini
terkenal, tetapi pakaian putih sebagai simbol kebenaran begitu banyak digunakan
dalam kitab Wahyu (3:4,5; 4:4; 6:11; 7:9,13-14; 19:14) sehingga tidak
diperlukan kiasan lokal. Dalam dunia Alkitab ketelanjangan merupakan simbol
dari penghakiman dan perendahan] - hal
127.
Geoffrey B. Wilson menghubungkan ‘pakaian putih’ ini
dengan Yes 61:10 - “Aku
bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia
mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah
kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan
seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya”.
Wilson juga menghubungkan ‘pakaian putih’ ini dengan
dengan kata-kata dari lagu ‘Rock of Ages, cleft for
me’, yang pada bait ke 3nya
mempunyai kalimat yang berbunyi: ‘Naked, come to Thee for dress’ (= Telanjang, datang
kepadaMu untuk pakaian).
‘Rock of Ages, cleft for me’.
Rock of Ages, cleft for me, (= Batu karang jaman, celah
bagiku,)
Let me hide myself in Thee; (= Biarlah aku
menyembunyikan diriku di dalamMu,)
Let the water and the
blood,
(= Biarlah
air dan darah,)
From Thy riven side which
flowed,
(= yang mengalir dari rusuk / sisiMu yang terluka,)
Be of sin the double cure, (= menjadi penyembuhan /
pengobatan ganda bagi dosa,)
Cleanse me from its guilt
and power (= mencuci aku dari kesalahan dan kuasanya).
Not the labors of my hands, (= bukan pekerjaan
tanganku,)
Can fulfill Thy law’s
demands;
(= Dapat memenuhi tuntutan hukumMu;)
Could my zeal no respite
know,
(= Andaikata semangatku tidak mengenal istirahat,)
Could my tears forever
flow,
(= Andaikata airmataku mengalir selama-lamanya,)
All for sin could not
atone;
(= Semua itu tidak bisa menebus dosa;)
Thou must save, and Thou alone. (= Engkau harus
menyelamatkan, dan Engkau saja).
Nothing in my hand I bring, (= Tidak ada yang kubawa
dalam tanganku,)
Simply to Thy cross I
cling;
(= Hanya kepada salib aku berpegang;)
Naked, come to Thee for
dress, (= Telanjang, datang kepadaMu untuk pakaian,)
Helpless, look to Thee for
grace;
(= Tak berdaya, memandangMu untuk kasih karunia;)
Foul, I to the fountain
fly,
(= Kotor, Aku terbang kepada air mancur,)
Wash me, Saviour, or I die! (= Cucilah aku,
Juruselamat, atau aku mati).
While I draw this fleeting
breath,
(= Sementara waktu aku menarik nafas penghabisan,)
When mine eyes shall close
in death,
(= Ketika mataku tertutup dalam kematian,)
When I soar to worlds
unknown,
(= Ketika aku terbang ke dunia tak dikenal,)
See Thee on Thy judgment
throne,
(= melihatMu pada tahta penghakimanMu,)
Rock of Ages, cleft for me, (= Batu karang jaman, celah
bagiku,)
Let me hide myself in Thee; (= Biarlah aku
menyembunyikan diriku di dalamMu,)
c) Minyak
untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
Ini tentu dihubungkan dengan kebutaan mereka dalam ay 17.
Barnes’ Notes: “the
grace of the gospel enables men who were before blind to see clearly the
character of God, the beauty of the way of salvation, the loveliness of the
person and work of Christ, etc.” (= kasih karunia injil
memampukan manusia yang tadinya buta untuk melihat dengan jelas karakter Allah,
keindahan jalan keselamatan, keindahan pribadi dan pekerjaan Kristus dsb.) - hal 1571.
Ay 19: “Barangsiapa
Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”.
1) Robert
H. Mounce (NICNT) mengatakan bahwa ada orang (Ramsay) yang menganggap
ay 19-22 bukan sebagai bagian / konklusi dari surat kepada gereja
Laodikia, tetapi sebagai: “an epilogue to all seven letters” (= bagian akhir /
kesimpulan / penutup dari ketujuh surat)
- hal 127. Tetapi Mounce menambahkan (hal 128) bahwa jarang ada orang yang
mengikuti pandangan Ramsay dalam persoalan ini.
2) Hendriksen (hal 78) mengatakan
bahwa tidak ada yang lebih indah di seluruh Kitab Suci dari pada pemberian
kata-kata yang penuh kasih dalam ay 19-20 kepada orang-orang yang
suam-suam kuku, yang memuakkan bagi Yesus.
Leon Morris juga
mengatakan hal yang serupa.
Leon Morris (Tyndale):
“Chastening
is the lot of all whom God loves (cf. Pr. 3:12). On the use of the verb ‘love’
Charles comments, ‘It is a touching and unexpected manifestation of love to
those who deserve it least among the Seven Churches.’ The ‘I’ is emphatic, for
chastening comes not from hostile forces but from the Lord of the church
Himself” [= Hajaran merupakan bagian / nasib dari semua yang dikasihi
Allah (bdk. Amsal 3:12). Tentang penggunaan kata kerja ‘kasih’ Charles memberi
komentar: ‘Ini merupakan manifestasi kasih yang mengharukan dan tak diharapkan
kepada mereka yang paling tidak layak mendapatkannya di antara ke Tujuh
Gereja’. Kata ‘Ku’ ditekankan, karena hajaran tidak datang dari kekuatan yang
bermusuhan tetapi dari Tuhan dari gereja itu sendiri] - hal 84.
3) ‘Barangsiapa
Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar’.
KJV: ‘As many as I love, I rebuke and chasten’ (= Sebanyak yang
Kukasihi, Kuhardik dan Kuhajar).
RSV: ‘Those whom I love, I reprove and chasten’ (= Mereka yang Kukasihi,
Kutegur dan Kuhajar).
NIV: ‘Those whom I love I rebuke and discipline’ (= Mereka yang Kukasihi
Kuhardik dan Kudisiplin).
NASB: ‘Those whom I love, I reprove and
discipline’ (= Mereka yang Kukasihi, Kutegur dan Kudisiplin).
Berdasarkan ay 19
ini ada beberapa penafsir yang menafsirkan bahwa orang-orang Laodikia ini
betul-betul sudah kristen, tetapi lalu menjadi suam-suam kuku.
Matthew Poole: “‘I rebuke and chasten’:
... By these words Christ lets this angel know, that although he had in this
epistle dealt smartly with him, yet he had done it from a principle of love, as
a father to a child, Heb. 12:7. ‘Be zealous therefore, and repent’; he
adviseth him therefore to quit himself of his lukewarmness, and to recover
a warmth and zeal for God, repenting of his former coldness and negligence in
his duty” (= ‘Kuhardik dan Kuhajar’: ... Dengan kata-kata ini Kristus
memberitahu malaikat jemaat Laodikia bahwa sekalipun dalam surat ini Ia
memperlakukannya secara menyakitkan, tetapi Ia melakukan ini karena kasih, seperti
seorang bapa kepada anak, Ibr 12:7. ‘Karena itu bersungguh-sungguhlah
dan bertobatlah’; karena itu Ia menasehatinya untuk meninggalkan kesuamannya,
dan memulihkan suatu sikap panas dan semangat bagi Allah, bertobat dari
sikapnya yang dingin dahulu dan pengabaian kewajibannya) - hal 959.
Geoffrey B. Wilson: “chastening is not the mark of rejection but an evidence of
adoption (Prov. 3:11,12; Heb. 12:5,6)” [= hajaran bukanlah tanda
penolakan tetapi suatu bukti pengadopsian (Amsal 3:11,12; Ibr 12:5,6)] - hal 51.
Amsal 3:11-12 - “Hai
anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan
peringatanNya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihiNya, seperti
seorang ayah kepada anak yang disayangi”.
Catatan: saya berpendapat kata ‘ajaran’
sebaiknya diganti dengan ‘hajaran’.
Ibr 12:5-6 - “Dan sudah
lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak:
‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa
apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya,
dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.’”.
Dan Geoffrey B. Wilson
lalu menambahkan dengan mengutip kata-kata Lenski: “The Lord is no soft Eli to his children” (=
Tuhan bukanlah Eli yang lunak terhadap anak-anakNya) - hal 51.
Kita juga harus meniru
sikap kasih yang berani menegur ini, baik terhadap anak, murid, maupun jemaat.
William R. Newell: “How many preachers love the saints enough to risk their
resentment by obeying 2Tim. 4:2: ‘reprove, rebuke’? I fear that we who preach
are rarely as faithful in our love as our Lord” (=
Berapa banyak pengkhotbah yang cukup mengasihi orang-orang kudus untuk
menanggung resiko kemarahan mereka dengan mentaati 2Tim 4:2: ‘tegurlah,
hardiklah’? Saya kuatir bahwa kita yang berkhotbah jarang setia pada kasih kita
seperti Tuhan kita) - hal 78.
4) ‘sebab
itu relakanlah hatimu dan bertobatlah’.
a) ‘sebab itu relakanlah hatimu’. Ini terjemahannya
ngawur!
KJV/NASB: ‘be zealous therefore’ (= karena itu
jadilah bersemangat).
RSV: ‘so be zealous’ (= jadi, jadilah bersemangat).
NIV: ‘So be earnest’ (= jadi, bersungguh-sungguhlah).
Kata
‘bersungguh-sungguhlah’ ini dalam bahasa Yunaninya ada dalam bentuk present imperative (= kata perintah
bentuk present), yang menunjukkan
bahwa Tuhan menginginkan supaya perintah ini dilakukan terus-menerus.
Sekarang, apa saja yang
harus kita lakukan untuk bisa menjadi panas / bersungguh-sungguh bagi Tuhan?
1. Untuk orang yang termasuk kristen
KTP, tentu saja langkah pertama adalah datang kepada Kristus, percaya dan
menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat. Ini yang ditekankan dalam
ay 18. Tanpa langkah pertama ini tidak mungkin seseorang bisa panas /
bersungguh-sungguh bagi Tuhan!
2. Mengintrospeksi dosa apa yang ada
dalam hidup kita, dan bertobat dari dosa itu.
Dosa, apalagi yang disadari dan disengaja, merupakan
sesuatu yang paling cepat membuat seseorang menjadi suam. Dosa ini bisa
merupakan dosa aktif, dimana kita melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan,
seperti berdusta, berzinah, dan sebagainya, tetapi bisa juga merupakan dosa
pasif dimana kita tidak melakukan / lalai melakukan apa yang diperintahkan oleh
Tuhan, seperti malas melayani, tidak memberi persembahan persepuluhan, membolos
dari kebaktian, tidak belajar Firman Tuhan, lalai dalam bersaat teduh, malas
berdoa, dan sebagainya.
3. Memaksakan
diri untuk mulai berdoa, belajar Firman Tuhan, bersaat teduh, dan bahkan
melayani.
Sama seperti orang sakit yang kehilangan nafsu makan,
seringkali harus memaksakan diri untuk makan, atau orang yang terkena sesak
nafas harus tetap memaksakan diri untuk bernafas, demikian juga pada saat kita
malas berdoa atau malas belajar Firman Tuhan, kita justru harus memaksakan diri
untuk melakukan hal-hal itu. Ada satu hal yang perlu dicamkan, yaitu: kalau ada
dosa yang masih terus dipegangi, maka langkah no 3 ini akan sia-sia belaka.
Jadi point no 2 di atas harus dilakukan lebih dulu dari no 3 ini.
b) ‘bertobatlah’.
Kata ‘bertobatlah’ ada dalam aorist imperative (=
kata perintah bentuk lampau), yang digunakan kalau yang memberi perintah
menginginkan perintahnya dilakukan hanya satu kali saja! Karena itu, saya
berpendapat bahwa perintah bertobat seperti ini bisa diartikan bahwa mereka
diperintahkan untuk datang dan percaya kepada Yesus, seperti penggunaan kata
ini oleh Petrus dalam Kis 2:38. Tetapi tidak ada penafsir yang mempunyai
pandangan seperti ini, dan mungkin ini disebabkan karena:
·
perintah untuk datang dan
percaya kepada Kristus sudah diberikan dalam ay 18.
·
perintah ‘bertobat’ di sini
diberikan setelah perintah untuk bersungguh-sungguh, padahal seseorang seharusnya
datang kepada Kristus dahulu baru bisa bersungguh-sungguh bagi Dia.
Kebanyakan penafsir menafsirkan bahwa ini berarti suatu
perintah untuk melakukan tindakan pertobatan yang tegas (tidak plin-plan, tidak
kembali kepada dosa lalu bertobat lagi, dsb).
Leon Morris (Tyndale):
“a
decisive act of repentance (repent is aorist of once-for-all action)” [= suatu tindakan
pertobatan yang tegas (bertobatlah ada dalam bentuk aorist / lampau dan
menunjukkan tindakan tegas / sekali untuk selamanya)] - hal 84.
Penerapan:
Apakah saudara sering plin-plan dalam melakukan
pertobatan?
Ay 20: “Lihat,
Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suaraKu
dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama
dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku”.
1) Bolehkah
Wah 3:20 digunakan sebagai text untuk penginjilan?
Steve Gregg: “Familiar as an evangelistic text for sinners, this verse, in
context, actually expresses Christ’s feeling of being an outsiders from His own
church, desiring to be invited back in” (= Terkenal sebagai ayat
penginjilan untuk orang-orang berdosa, dalam kontextnya ayat ini sebetulnya
menyatakan perasaan Kristus sebagai orang luar dari gerejaNya sendiri, yang
menginginkan untuk diundang masuk kembali) - hal 80.
Kata-kata ini menunjukkan
bahwa Gregg tidak terlalu menyetujui penggunaan Wah 3:20 sebagai ayat
penginjilan.
Hoeksema (hal 146-147)
mengatakan bahwa gereja Laodikia sudah begitu bejat sehingga yang Yesus berikan
hanyalah pengumuman akan penghakiman / penghukumannya. Bandingkan dengan
ay 16. Sedangkan panggilan untuk bertobat dan janji jika mereka bertobat,
ditujukan kepada individu-individu tertentu dalam gereja Laodikia, yang
merupakan ‘remnant’ (= sisa). Tetapi
Hoeksema beranggapan bahwa bahkan ‘remnant’
(= sisa) ini juga tertidur, dikalahkan oleh atmosfir yang mematikan dalam
gereja Laodikia. Dan Tuhan ingin mempertobatkan remnant / sisa ini, bukan seluruh gereja Laodikia. Ay 20
ditujukan kepada ‘remnant’ ini.
Karena itu maka Hoeksema juga tidak setuju kalau Wah 3:20 ini dipakai
sebagai text penginjilan.
Herman Hoeksema: “There certainly is no need to change the manner and object of
the address here, as if Jesus was now standing at the door of the heart of the
sinner. We are undoubtedly well aware as to how this interpretation is quite
popular. Jesus is presented here as standing at the door of the sinner’s heart,
begging that the sinner may open the door, to let Jesus in. But this
representation of the matter finds no support in the text. Evidently Jesus is
standing not at the door of the heart, but at the door of the church in
Laodicea” (= Jelas tidak dibutuhkan perubahan tentang cara dan obyek dari
kata-kata ini, seakan-akan Yesus sekarang sedang berdiri pada pintu hati orang
berdosa. Tidak diragukan bahwa kita menyadari bagaimana populernya penafsiran
ini. Di sini Yesus digambarkan berdiri pada pintu hati orang berdosa, memohon
supaya orang berdosa itu membukakan pintu dan membiarkan Yesus masuk. Tetapi
gambaran ini tidak mendapat dukungan dalam Text ini. Jelas bahwa Yesus sedang
berdiri bukan pada pintu hati, tetapi pada pintu gereja Laodikia) - hal 147.
Robert H. Mounce (NICNT): “Verse 20 is often quoted as an invitation and promise to the
person outside the community of faith. That it can be pressed into the service
of evangelism in this way seems evident. ... In the context of the Laodicean
letter, however, it is self-deluded members of the church who are being
addressed. To the church Christ says, ‘Behold, I stand at the door and
knock.’ In their blind self-sufficiency they had, as it were, excommunicated
the risen Lord from their congregation. In an act of unbelievable condescension
he requests permission to enter and re-establish fellowship” (= Ayat 20 sering dikutip
sebagai suatu undangan dan janji bagi orang yang ada di luar masyarakat orang
beriman. Bahwa ayat ini bisa ditekankan ke dalam pelayanan penginjilan dengan
cara ini terlihat dengan jelas. ... Tetapi dalam kontext surat Laodikia, ini
ditujukan kepada anggota-anggota gereja yang menipu diri sendiri. Kepada gereja
Kristus berkata: ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok’. Dalam
kecukupan diri sendiri mereka yang buta, boleh dikatakan mereka telah
mengucilkan Tuhan dari jemaat mereka. Dalam suatu tindakan perendahan yang luar
biasa Ia meminta ijin untuk masuk dan menegakkan persekutuan kembali) - hal 128-129.
Saya menganggap
penafsiran ini tak masuk akal karena kalau ay 20 ini memang ditujukan
kepada orang kristen sejati, maka menggunakannya dalam penginjilan menunjukkan
penggunaan yang ‘out of context’ (=
menyimpang dari kontexnya), dan itu jelas salah. Saya berpendapat bahwa kalau
mau konsisten, kita harus mengambil salah satu pandangan di bawah ini:
·
jemaat
Laodikia hanyalah orang kristen KTP, dan ay 20 diucapkan supaya mereka
mengundang Yesus. Dengan demikian ay 20 ini boleh digunakan untuk
Pemberitaan Injil.
·
jemaat
Laodikia adalah orang kristen sejati, sekalipun kerohaniannya berantakan.
Dengan demikian ay 20 tidak boleh digunakan secara ‘out of context’ (= menyimpang dari kontexnya) untuk mengundang
orang non kristen datang kepada Yesus.
Jadi, boleh tidaknya
Wah 3:20 digunakan sebagai ayat penginjilan sebetulnya tergantung dari
apakah jemaat gereja Laodikia itu adalah orang kristen KTP atau orang kristen
sejati yang mundur. Kalau mereka adalah orang kristen KTP, maka ayat ini boleh
digunakan sebagai ayat penginjilan. Sebaliknya kalau mereka adalah orang
kristen sejati yang mundur, maka penggunaan Wah 3:20 sebagai ayat
penginjilan merupakan penggunaan yang ‘out
of context’ (= menyimpang dari kontexnya).
Padahal untuk menentukan
apakah jemaat Laodikia adalah orang kristen KTP atau kristen sejati yang
mundur, bukanlah hal yang mudah. Tetapi kelihatannya lebih banyak dasar untuk
mengatakan bahwa mereka adalah orang kristen KTP. Ini terlihat dari:
¨
ay
17b - kata-kata ‘miskin’, ‘buta’, dan ‘telanjang’ yang ditujukan kepada jemaat
Laodikia.
¨
ay 18
- jemaat Laodikia dinasehatkan untuk membeli emas, pakaian putih, dan minyak
dari Yesus, yang semuanya jelas merupakan simbol keselamatan.
¨
ay 20
sendiri yang menggambarkan Kristus ada di luar pintu hati mereka.
Sedangkan dasar untuk
mengatakan bahwa jemaat gereja Laodikia adalah orang kristen sejati yang mundur
hanyalah kata ‘hajar’ / ‘chastened’ dalam
ay 19 yang boleh dikatakan selalu digunakan terhadap anak Tuhan. Untuk
orang yang bukan anak Tuhan biasanya digunakan kata ‘menghukum’ (seperti dalam
Kel 12:13) atau ‘memukul’ / ‘strike’
(seperti dalam 1Sam 4:8).
Catatan: dalam terjemahan Kitab
Suci Indonesia untuk 1Sam 4:8 digunakan kata ‘menghajar’, tetapi ini salah
terjemahan.
Saya berpendapat bahwa
kata ‘hajar’ ini bisa ditafsirkan sebagai berikut: dalam Kitab Suci kita sering
melihat bahwa orang yang mengaku sebagai orang percaya (sekalipun ia sebetulnya
tidak percaya) diperlakukan seakan-akan mereka adalah orang percaya, dan Kitab
Suci bahkan menggunakan istilah-istilah yang seakan-akan menunjukkan bahwa
orang itu adalah orang kristen.
Contoh: kalau kita membaca
seluruh 2Pet 2, maka kita pasti akan melihat dengan jelas bahwa para nabi
palsu yang dibicarakan oleh Petrus itu bukanlah orang percaya yang sejati,
bahkan bisa dikatakan sebagai ‘reprobate’
(= orang yang ditentukan untuk binasa). Tetapi perhatikan 2Pet 2:1 - “Sebagaimana
nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di
antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran
sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah
menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka”.
Yang dimaksud dengan
‘Penguasa’ tentu adalah Tuhan Yesus. Dan dikatakan bahwa Penguasa itu ‘menebus
mereka’
(nabi-nabi palsu itu). Kita mempercayai doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan terbatas), yang menyatakan bahwa
Kristus hanya mati untuk menebus orang-orang pilihan saja. Lalu mengapa
2Pet 2:1 ini menunjukkan bahwa Kristus menebus para nabi palsu yang
termasuk golongan ‘reprobate’ (=
orang yang ditetapkan untuk binasa) itu? Jawabannya adalah bahwa sebetulnya
Kristus tidak menebus mereka. Di sini mereka diperlakukan seakan-akan mereka
adalah orang kristen karena mereka mengaku sebagai kristen.
Contoh lain: dalam Kitab Suci kata
‘murid’ biasanya digunakan untuk menunjuk kepada orang kristen. Tetapi dalam
Yoh 6:66 dikatakan bahwa ada banyak murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi
mengikut Yesus. Apakah ini mengajarkan bahwa seseorang bisa murtad dan bahwa
keselamatan bisa hilang? Saya berpendapat tidak. Alasannya sama seperti di
atas. Mereka disebut ‘murid’ karena mereka mengaku sebagai orang kristen /
pengikut Kristus.
Sekarang kita kembali
kepada kata ‘hajar’ dalam ay 19 ini. Jemaat Laodikia ini sebetulnya adalah
kristen KTP, dan seharusnya bagi mereka digunakan kata ‘hukum’, bukan ‘hajar’.
Tetapi karena mereka mengaku sebagai kristen, maka mereka diperlakukan
seakan-akan mereka adalah orang kristen, dan Kitab Suci menggunakan ‘bahasa
kristen’ untuk mereka.
Dari semua ini saya
mempunyai kecondongan kuat untuk menganggap bahwa jemaat Laodikia hanyalah
kristen KTP, dan dengan demikian Wah 3:20 boleh dipakai sebagai ayat
penginjilan.
2) ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok’.
Ini menunjukkan bahwa Allah / Yesus mencari manusia, dan
bahwa keselamatan bisa terjadi karena inisiatif Allah.
Barnes’ Notes: “this expression proves
that the attempt at reconciliation begins with the Saviour. It is not that the
sinner goes out to meet him, or to seek for him; it is that the Saviour
presents himself at the door of the heart as if he were desirous to enjoy the
friendship of man. ... Salvation, in the Scriptures, is never represented as
originated by man” (= ungkapan ini membuktikan bahwa usaha perdamaian dimulai
dengan Sang Juruselamat. Bukan orang berdosa yang keluar untuk menemui Dia atau
mencari Dia, tetapi adalah Sang Juruselamat yang menunjukkan diriNya sendiri
pada pintu hati, seakan-akan Ia ingin menikmati persahabatan manusia. ...
Keselamatan, dalam Kitab Suci, tidak pernah digambarkan dimulai oleh manusia) - hal 1571-1572.
William Barclay: “We see the pleading of
Christ. He stands at the door of the human heart and knocks. The unique new
fact that Christianity brought into this world is that God is the seeker of
men. No other religion has the vision of s seeking God” (= Kita melihat permohonan
Kristus. Ia berdiri di pintu hati manusia dan mengetok. Fakta unik yang baru
yang dibawakan kekristenan ke dalam dunia ini adalah bahwa Allah adalah pencari
manusia) - hal 147.
William Barclay: “Here is the picture of
Christ searching for sinful men who did not want him. Surely love can go no
further than that” (= Di sinilah gambar dari Kristus mencari manusia berdosa yang
tidak menginginkan Dia. Pasti kasih tidak bisa berjalan lebih jauh dari itu) - hal 147.
3) ‘jikalau
ada orang yang mendengarkan suaraKu’.
a) Ini bersifat pribadi.
William Hendriksen:
“Notice it
is ‘if any one ...’ The Lord addresses Himself to individuals. Salvation is a
very personal matter” (= Perhatikan bahwa dikatakan ‘jika ada orang ...’. Tuhan
menunjukkan diriNya sendiri kepada individu-individu. Keselamatan merupakan
suatu persoalan yang sangat bersifat pribadi) - hal 78.
John Stott: “this is a personal appeal. These words are addressed not to the
church but to the individual” (= ini merupakan seruan /
permohonan yang bersifat pribadi. Kata-kata ini tidak ditujukan kepada gereja
tetapi kepada setiap individu) - hal 123.
Penerapan:
Jangan pernah mimpi bisa
nunut pada keselamatan orang lain, bahkan orang tua saudara. Atau saudara sendiri
mendengarkan suara Tuhan Yesus dan beriman kepadaNya, atau saudara akan masuk
ke neraka selama-lamanya.
b) Ketukan Yesus tidak boleh dibedakan dengan suara Yesus.
Seorang penafsir dari
Pulpit Commentary menafsirkan bahwa ketukan Yesus berbeda dengan suara Yesus.
Ketukan menunjuk pada penderitaan dari manusia yang dipakai oleh Tuhan untuk
mempertobatkannya, sedangkan suara menunjuk pada Firman Tuhan yang membuat
orang itu mengerti apa arti penderitaannya tersebut. Tetapi saya lebih setuju
dengan pandangan yang menyamakan kedua hal tersebut, seperti pandangan Homer
Hailey di bawah ini.
Homer Hailey: “The knocking expresses His effort through the Word to be
admitted. The knocking is not one thing and His voice another; this is clear
from what follows. ‘If any man hear my voice and open the door, I will come in
to him, and will sup with him, and he with me.’” (=
Ketukan menyatakan usahaNya melalui Firman untuk diterima. Jadi bukannya bahwa
ketukan harus dibedakan dari suaraNya; ini jelas dari kalimat selanjutnya.
‘Jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk
mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama
dengan Aku’)
- hal 162.
4) ‘dan membukakan pintu’.
Ada banyak penafsiran-penafsiran yang salah tentang
bagian ini, seperti:
a) Pembedaan
antara ‘percaya’ dan ‘menerima’ Yesus.
Banyak orang dalam memberitakan Injil membedakan ‘percaya
kepada Yesus’ dan ‘penerimaan Yesus ke dalam hati kita’. Menurut saya ini
salah, karena tidak pernah ada dalam Kitab Suci dimana seseorang yang sudah
percaya lalu disuruh menerima Yesus ke dalam hatinya. Jadi kedua hal ini adalah
sama, dan kita tidak boleh membedakannya pada waktu kita memberitakan Injil.
b) Penafsiran-penafsiran yang berbau
Arminianisme, yang menekankan:
·
kebebasan
kehendak.
·
manusia
bisa menerima atau menolak keselamatan yang ditawarkan Kristus.
·
keselamatan
hanya tergantung manusia dan tidak tergantung Allah.
Mari kita melihat beberapa kutipan yang berbau
Arminianisme.
1. William
Barclay: “We see human responsibility. Christ knocks and a man can answer
or refuse to answer. Christ does not break in; he must be invited in. ...
Holman Hunt was right when in his famous picture ‘The Light of the World’ he
painted the door of the human heart with no handle on the outside, for it can
be opened only from within” (= Kita melihat tanggung jawab manusia. Kristus mengetok dan
manusia bisa menjawab atau menolak untuk menjawab. Kristus tidak mendobrak; Ia
harus diundang masuk. ... Holman Hunt benar ketika dalam foto / gambarnya yang
terkenal ‘Terang Dunia’ ia melukis pintu dari hati manusia tanpa gagang pintu
di luarnya, karena itu hanya bisa dibuka dari dalam) - hal 148.
Ini bau Arminianisme,
dimana pertobatan hanya tergantung orangnya dan bukan tergantung Allah! Memang
benar bahwa dalam ayat ini Kristus tidak digambarkan mendobrak pintu hati kita,
tetapi dari bagian-bagian Kitab Suci yang lain dikatakan bahwa melalui Roh
KudusNya Ia melahirbarukan kita (Yoh 3:5-8), dan bahkan memberikan
pengertian tentang Injil (Luk 24:45
Mat 11:25-27 Mat
13:11), dan memberikan iman / pertobatan kepada orang-orang pilihanNya sehingga
orang-orang pilihanNya itu tidak bisa tidak percaya (Kis 13:48 Fil 1:29 Kis 11:18b)!
2. Pulpit
Commentary: “(1) The soul can do this. It is part of its great
prerogative. It could not say, ‘Yes,’ if it could not say, ‘No;’ but because it
can say, ‘No,’ it can also say, ‘Yes.’ (2) And the opening the door
depends upon its saying, ‘Yes.’ This is no contradiction to the truth that the
Holy Spirit must open the heart. Both are essential; neither can be done
without. It is a co-operative work, as consciousness and Scripture alike teach.
But the Spirit ever does his part of the work; it is we only who fail in ours.
May we be kept herefrom!” [= (1) Jiwa bisa melakukan ini. Itu merupakan bagian dari
hak istimewanya yang besar. Jiwa itu tidak bisa berkata ‘Ya’, jika ia tidak
bisa berkata ‘Tidak’; tetapi karena ia bisa berkata ‘Tidak’, ia juga bisa
berkata ‘Ya’. (2) Dan pembukaan pintu tergantung dari kata ‘Ya’ yang ia
ucapkan. Ini tidak bertentangan dengan kebenaran bahwa Roh Kudus harus membukakan
hati. Keduanya penting; yang manapun dari kedua hal itu tidak bisa dilakukan
tanpa yang satunya. Itu merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan kerja
sama, seperti yang diajarkan oleh kesadaran maupun Kitab Suci. Tetapi Roh
selalu melakukan bagianNya; adalah kita saja yang gagal dalam melakukan bagian
kita. Semoga kita dicegah dari kegagalan ini!] - hal 135.
Tanggapan saya:
·
kalimat
terakhir dari kutipan di atas merupakan suatu doa, dan bertentangan dengan
kalimat sebelumnya. Kalau Tuhan / Roh Kudus memang selalu melakukan bagianNya,
untuk apa ia berdoa lagi supaya Tuhan mencegah kita dari kegagalan untuk
melakukan bagian kita?
·
Ajaran
Arminianisme dari kutipan ini persis seperti pandangan Pdt. Yusuf B. S., yang
mengatakan bahwa karena Tuhan selalu mau mengerjakan bagianNya, dan karena itu
keselamatan hanya tergantung diri kita sendiri, apakah kita mau percaya atau
tidak. Bahwa Tuhan tidak selalu melakukan bagianNya terlihat jelas dari ayat
seperti:
*
Mat 11:25-27
- “Pada waktu itu berkatalah Yesus:
‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu
Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau
nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. Semua telah
diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa,
dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak
itu berkenan menyatakannya’.”.
*
Mat 13:10-15
- “Maka datanglah
murid-muridNya dan bertanya kepadaNya: ‘Mengapa Engkau berkata-kata kepada
mereka dalam perumpamaan?’ Jawab Yesus: ‘Kepadamu diberi karunia untuk
mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak. Karena siapa
yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa
yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Itulah
sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun
melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar
dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi:
Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan
melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan
telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan
mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti
dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.”.
*
Yoh 12:39-40
- “Karena itu mereka tidak dapat percaya, sebab Yesaya
telah berkata juga: ‘Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka,
supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu
berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka’”.
3. Barnes’
Notes: “this
also recognises the freedom of man. It is submitted to him whether he will hear
the voice of the Redeemer or not; and whether he will open the door and admit
him or not. He speaks loud enough, and distinctly enough, to be heard, but he
does not force the door if it is not voluntarily opened. ... It may be added,
that this is an easy thing. Nothing is more easy than to open the door when one
knocks; ... the ease of the terms of salvation, represented by ‘hearing his
voice,’ and ‘opening the door;’” (= ini juga mengakui kebebasan manusia.
Diserahkan kepada dia apakah ia akan mendengar suara Sang Penebus atau tidak;
dan apakah ia akan membuka pintu dan menerimaNya atau tidak. Ia berbicara cukup
keras dan cukup jelas, untuk didengar, tetapi Ia tidak mendobrak pintu jika
pintu itu tidak dibuka dengan sukarela. ... Bisa ditambahkan bahwa ini
merupakan suatu hal yang mudah. Tidak ada yang lebih mudah dari pada membuka
pintu pada waktu seseorang mengetok; ... kemudahan dari syarat-syarat
keselamatan digambarkan oleh kata-kata ‘mendengar suaraNya’, dan ‘membukakan
pintu’) - hal 1572.
Ia mengatakan bahwa manusia mampu untuk membukakan pintu,
dan bahkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mudah. Bandingkan ini dengan:
·
Yoh 6:44
- “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu,
jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan
pada akhir zaman”.
Ayat ini menunjukkan:
*
ketidakmampuan
manusia untuk datang kepada Yesus dengan kekuatannya sendiri.
*
datang
atau tidaknya manusia kepada Yesus sebetulnya tidak tergantung manusia itu
sendiri tetapi tergantung Allah, yaitu apakah Ia mau ‘menarik’ manusia itu atau
tidak.
Dalam Pemahaman Alkitab tentang
Yoh 6:44, sudah pernah kita bahas bahwa kata ‘menarik’ diterjemahkan dari
kata Yunani HELKO atau HELKUO yang hanya
digunakan 8 x dalam Kitab Suci / Perjanjian Baru, yaitu dalam
Yoh 6:44 12:32 18:10 21:6 21:11 Kis 16:19 21:30
Yak 2:6 (bacalah ayat-ayat ini). Perhatikan 3 komentar tentang kata
itu di bawah ini.
Calvin: “True, indeed, as to the
kind of drawing, it is not violent, so as to compel men by external force; but
still it is a powerful impulse of the Holy Spirit, which makes men willing who
formerly were unwilling and reluctant” (= Memang, tentang jenis tarikan, itu bukan
sesuatu tarikan yang keras / kasar, seakan-akan memaksa manusia dengan kekuatan
luar; tetapi itu tetap merupakan dorongan yang kuat dari Roh Kudus, yang
membuat manusia yang tadinya tidak mau dan segan menjadi mau).
William Hendriksen:
“The
drawing of which these passages speak indicates a very powerful - we may even
say, an irresistible - activity. To be sure, man resists, but his resistance is
ineffective. It is in that sense that we speak of God’s grace as being
irresistible” (= Tarikan tentang mana text-text itu berbicara menunjukkan
suatu aktivitas yang sangat kuat, dan bahkan bisa dikatakan tak bisa ditahan /
ditolak. Memang manusia menahan / menolak, tetapi tahanan / penolakannya tidak
efektif. Dalam arti seperti itulah kami berbicara tentang kasih karunia Allah
yang tidak bisa ditolak).
Leon Morris (NICNT):
“There
is not one example in the New Testament of the use of this verb where the
resistance is successful” (= Tidak ada satu contohpun dari Perjanjian Baru tentang
penggunaan kata kerja ini dimana tahanan / penolakan itu berhasil).
·
Yoh 6:65
- “Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu:
Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya
kepadanya.’”.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa
dengan kekuatannya sendiri manusia tidak akan bisa datang kepada Kristus. Ia hanya
bisa datang kepada Kristus kalau itu ‘dikaruniakan’ oleh Bapa kepadanya.
·
ay 22: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan
Roh kepada jemaat-jemaat”. Ini secara implicit
menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa mendengar, karena mereka tidak
mempunyai telinga atau tuli. Bdk juga dengan Mat 13:13-17 - “Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena
sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka
tidak mendengar dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat
Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak
mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati
bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya
melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar
dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku
menyembuhkan mereka. Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan
telingamu karena mendengar. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak
nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak
melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya”.
4. Pulpit
Commentary: “Man’s free will is here well and plainly set forth. Though the
opening, to be effective, needs the help and presence of Christ, yet he does
not forcibly effect an entrance; it is still within the power of man to
disregard the knock, to refuse to hear the voice, to keep the door fast shut” (= Di sini kehendak bebas
manusia dinyatakan dengan baik dan jelas. Sekalipun pembukaan pintu tidak akan
bisa efektif tanpa pertolongan dan kehadiran Kristus, tetapi Ia tidak masuk
secara paksa; tetap ada dalam kuasa / kekuatan manusia untuk mengabaikan
ketukan, menolak untuk mendengar suara itu, membiarkan pintu tetap tertutup) - hal 117.
Ini bertentangan doktrin ‘Irresistible Grace’ (=
Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Bandingkan dengan penafsiran tentang
Yoh 6:44 di atas, yang menunjukkan bahwa tarikan Allah itu pasti berhasil, dan
tidak mungkin ditolak.
Dari semua ini bisa disimpulkan
bahwa kesalahan dari orang-orang yang menganut Arminianisme dalam persoalan ini
adalah bahwa mereka hanya menyoroti Wah 3:20 ini dan membangun theologianya di
atasnya, tetapi mereka mengabaikan ayat-ayat lain dari Kitab Suci yang
bertentangan dengan ajaran tersebut. Untuk menghindari kesalahan seperti itu
maka kita harus selalu menafsirkan suatu ayat dengan memperhatikan semua bagian
Kitab Suci yang berhubungan dengan ayat tersebut.
5) ‘Aku akan masuk mendapatkannya dan
Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku’.
a) ‘Makan’
di sini adalah ‘makan malam’.
Barclay mengatakan bahwa kata Yunani yang digunakan untuk
‘makan’ adalah makan malam. Bukan makan pagi / siang yang dilakukan
cepat-cepat, tetapi makan malam yang dilakukan dengan santai karena pekerjaan
telah selesai.
b) ‘Makan
bersama’ menunjukkan suatu persekutuan yang intim / akrab.
George Eldon Ladd: “A shared meal in the ancient Jewish world had far more significance
than it has today. It was a symbol of affection, of confidence, of intimacy.
Jesus was criticized by the Pharisees not merely for associating with publicans
and sinners but for eating with them (Luke 15:2). Peter was criticized by the
Jerusalem Christians not for preaching the gospel to a gentile but for eating
with him (Acts 11:3). So the present verse contains a promise of the most
intimate fellowship possible” [= Makan bersama dalam tradisi
kuno Yahudi mempunyai lebih banyak arti dari pada jaman sekarang. Itu merupakan
simbol dari kasih, kepercayaan, dan keakraban. Yesus dikritik oleh orang-orang
Farisi bukan hanya karena bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa,
tetapi karena makan bersama mereka (Luk 15:2). Petrus dikritik oleh orang-orang
Kristen Yerusalem bukan karena memberitakan Injil kepada seorang non Yahudi
tetapi karena makan bersamanya (Kis 11:3). Jadi ayat ini mencakup janji
persekutuan yang paling intim yang dimungkinkan] - hal 68.
Bdk. 1Kor 5:11 - “Tetapi
yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang,
yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah
berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah
kamu sekali-kali makan bersama-sama”.
William Hendriksen:
“Christ
and the believer dine together, which in the East was an indication of special
friendship and of covenant relationship. In other words, the believer has
blessed fellowship with his Saviour and Lord ... That fellowship begins even in
this present life. It is perfected in the hereafter when the conqueror shall
sit with Christ on His throne, just as Christ, the Conqueror, sat down with His
Father on His throne. Not only will the conqueror reign by and by; he will
reign with Christ (Rev. 20:4), in the closest possible fellowship with Him” [= Kristus dan orang
percaya makan bersama-sama, yang di Timur merupakan suatu petunjuk tentang
persahabatan yang khusus dan tentang hubungan perjanjian. Dengan kata lain,
orang percaya mempunyai persekutuan yang mulia dengan Juruselamat dan Tuhannya
... Persekutuan itu dimulai bahkan dalam hidup yang sekarang ini. Itu
disempurnakan di alam baka pada saat si pemenang akan duduk dengan Kristus di
takhtaNya, persis seperti Kristus, Sang Pemenang, telah duduk dengan BapaNya di
takhtaNya. Si pemenang bukan hanya akan segera memerintah; ia akan memerintah
dengan Kristus (Wah 20:4), dalam persekutuan yang sedekat mungkin dengan
Dia] - hal 79.
Ay 21: “Barangsiapa
menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhtaKu,
sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan BapaKu di atas
takhtaNya”.
1) Ay 21 ini berhubungan dengan
ay 20, dan hanya terjadi pada orang yang memberikan tanggapan positif
terhadap ketukan Yesus pada ay 20 itu.
Pulpit Commentary:
“Victory
is possible only when Christ is within us. If we keep him outside, not all the
sanctuary teaching, nor the services, nor songs, nor ordinances, nor forms of
godliness, nor parental virtue, can ever prevent us from falling miserably back
to perdition. If we keep Christ out of our hearts, he will spue us out of his
mouth”
(= Kemenangan hanya dimungkinkan pada waktu Kristus ada di dalam kita. Jika
kita membiarkanNya di luar, maka semua pengajaran dari tempat kudus,
kebaktian-kebaktian, lagu-lagu, upacara-upacara, bentuk-bentuk kesalehan,
kebaikan / sifat baik yang berasal dari orang tua, tidak pernah bisa mencegah
kita untuk jatuh secara menyedihkan ke dalam kehancuran / hukuman kekal. Jika
kita membiarkan Kristus di luar hati kita, Ia akan memuntahkan kita dari
mulutNya) - hal 125.
John Stott: “If we let Christ enter the house of our heart, He will let us
enter the house of His Father. Further, if we allow Christ to sit with us at
our table, He will allow us to sit with Him on His throne. Here then is the
great alternative which confronts every thoughtful person. To be halfhearted,
complacent and only casually interested in the things of God is to prove
oneself not a Christian at all and to be so distasteful to Christ as to be in
danger of a vehement rejection. But to be wholehearted in one’s devotion to
Christ, having opened the door and submitted without reserve to Him, is to be
given the privilege both of supping with Him on earth and of reigning with Him
in heaven. Here is a choice we cannot avoid. We must either throw the door open
to Him or keep it close in His face” (= Jika kita membiarkan Kristus
memasuki rumah hati kita, Ia akan membiarkan kita memasuki rumah BapaNya.
Selanjutnya, jika kita mengijinkan Kristus duduk bersama kita di meja kita, Ia
akan mengijinkan kita duduk bersamaNya di takhtaNya. Maka di sini ada pilihan
yang besar yang dihadapkan pada setiap orang yang suka berpikir. Bersikap
setengah hati, puas dengan diri sendiri dan hanya secara sambil lalu berminat /
tertarik terhadap hal-hal dari Allah sama dengan membuktikan bahwa dirinya
bukan orang Kristen sama sekali, dan begitu tidak menyenangkan bagi Kristus
sehingga ada dalam bahaya penolakan yang keras. Tetapi bersikap sepenuh hati
dalam pembaktian kepada Kristus setelah membuka pintu dan tunduk tanpa batas
kepadaNya, berarti diberi hak baik untuk makan dengan Dia di bumi maupun untuk
bertakhta dengan Dia di surga. Di sini ada pilihan yang tidak bisa kita
hindari. Kita harus membuka pintu bagiNya atau membiarkannya tertutup di depan
wajahNya)
- hal 126. Dari sini kelihatannya Stott menganggap jemaat Laodikia bukan
Kristen.
2) Janji ini berhubungan dengan akhir
jaman / kedatangan Yesus yang keduakalinya.
Robert H. Mounce (NICNT): “The promise of sitting with Christ on his throne is wholly
eschatological” (= Janji tentang duduk bersama Kristus pada takhtaNya
sepenuhnya bersifat eschatologi / berhubungan dengan akhir jaman) - hal 130. Bdk. Mat 19:28 2Tim 2:12.
3) Sekalipun duduknya orang percaya
pada takhta Kristus baru akan terjadi pada akhir jaman, tetapi Kristusnya
sendiri sudah bertakhta sekarang ini.
Perhatikan bahwa untuk
bagian yang menunjukkan bahwa Kristus duduk bersama Bapa pada takhtaNya, KJV
menggunakan present tense / bentuk
sekarang, sedangkan RSV/NIV/NASB menggunakan past tense / bentuk lampau.
KJV: ‘To him that overcometh will I grant to sit with me in my throne, even
as I also overcame, and am set down with my Father in his throne’ (=
Bagi dia yang menang, Aku akan membolehkannya untuk duduk denganKu pada
takhtaKu, sebagaimana Aku juga telah menang dan duduk dengan BapaKu pada
takhtaNya).
RSV: ‘He who conquers, I will grant him to sit with me on my throne, as I
myself conquered and sat down with my Father on his throne’ (= Ia
yang menang, Aku akan membolehkannya untuk duduk denganKu pada takhtaKu,
seperti Aku sendiri telah menang dan telah duduk dengan BapaKu pada
takhtaNya).
NIV: ‘To him who overcomes, I will give the right to sit with me on my
throne, just as I overcame and sat down with my Father on his throne’
(= Bagi dia yang menang, Aku akan memberinya hak untuk duduk denganKu pada
takhtaKu, sama seperti Aku telah menang dan telah duduk dengan BapaKu
pada takhtaNya).
NASB: ‘He who overcomes, I will grant to him to
sit down with Me on My throne, as I also overcame and sat down with My
Father on His throne’ (= Ia yang menang, Aku akan membolehkannya untuk
duduk denganKu pada takhtaKu, seperti Aku juga telah menang dan telah duduk
dengan BapaKu pada takhtaNya).
George Eldon Ladd: “The important fact is that Christ is already enthroned. His
messianic reign is not something which begins at his parousia; it has already
begun, even though it is visible only to the eye of faith. ... To be sure, the
world does not recognize his lordship and his heavenly reign, the demoniac
powers are still allowed to work through pagan rulers to bring fearful
affliction and persecution to God’s people. Here is a message for every church
which faces persecution: the assurance that their evil plight is only
temporary; that even though human experience may seem to contradict it, Christ
is already enthroned as Lord and King; and that his kingly rule will soon put
all his enemies under his feet (1Cor. 15:25)” [= Fakta
yang penting adalah bahwa Kristus sudah bertakhta. Pemerintahan MesiasNya
bukanlah sesuatu yang dimulai pada kedatanganNya yang keduakalinya; itu sudah
dimulai, sekalipun itu hanya terlihat oleh mata iman. ... Tentu saja dunia
tidak mengenali ketuhananNya dan pemerintahan surgawiNya, dan kuasa setan masih
diijinkan untuk bekerja melalui pemerintahan-pemerintahan kafir untuk
menyebabkan penderitaan dan penganiayaan yang menakutkan bagi umat Allah. Di
sini ada pesan untuk setiap gereja yang menghadapi penganiayaan: jaminan bahwa
keadaan yang buruk / menyedihkan itu hanyalah bersifat sementara; bahwa
sekalipun pengalaman manusia kelihatannya bertentangan dengannya, Kristus sudah
bertakhta sebagai Tuhan dan Raja; dan bahwa pemerintahan rajaniNya akan segera
meletakkan semua musuh-musuhNya di bawah kakiNya (1Kor 15:25)] - hal 68-69.
Ay 22: “Siapa
bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada
jemaat-jemaat”.
Kata-kata
ini keluar dalam setiap surat dari ketujuh surat dalam Wah 2-3, dan karena
itu tidak dibahas lagi di sini.
Sampai
surat ini berakhir, kita tidak melihat satu pujianpun untuk gereja yang
menyedihkan ini. Perhatikan komentar Ramsey di bawah ini.
James B. Ramsey: “There is
not one relieving trait, not one single feature upon which even the gentle and
loving eye of Jesus can bestow a single commendation. Yet it has not
apostatized from the truth; it is not guilty of foul heresy; it has followed no
Jezebel; it is charged with no Nicolaitan doctrine or deeds; the whole is
summed up in the expressive word, ‘lukewarm,’ ‘neither cold nor hot.’ For a
church, or a follower of Jesus Christ, while recognizing His divine claim, His
infinite love, His precious blood, His almighty Spirit, His sweet and holy
service, and His promised glory, to treat it all with indifference, to be
unmoved, or slightly moved by it, to manifest no warm affection, no earnest
devotion, no self-denying and self-sacrificing zeal, is specially insulting to
Him, and indicates a degree on insensibility almost past hope” (= Di
sana tidak ada satupun sifat / ciri yang melegakan, tidak satupun ciri / segi
tentang mana mata yang lembut dan kasih dari Yesus bisa memberikan satu pujian.
Tetapi gereja ini tidak murtad dari kebenaran; gereja ini tidak bersalah
tentang ajaran sesat yang kotor / busuk; gereja ini tidak mengikuti Izebel,
gereja ini tidak dituduh dengan ajaran atau perbuatan Nikolaus; seluruhnya
disimpulkan dalam kata yang bersifat menyatakan perasaan, ‘suam-suam kuku’,
‘tidak dingin atau panas’. Bagi sebuah gereja atau seorang pengikut Kristus,
yang mengenali claim ilahiNya, kasihNya yang tak terbatas, darahNya yang
berharga, RohNya yang mahakuasa, pelayananNya yang manis dan kudus, dan janji
kemuliaanNya, tetapi memperlakukan itu semua dengan sikap acuh tak acuh, tidak
terharu / tergerak, atau hanya sedikit terharu / tergerak olehnya, tidak
menunjukkan perasaan yang hangat, tidak ada pembaktian yang sungguh-sungguh,
tidak ada semangat menyangkal diri dan mengorbankan diri, itu merupakan
penghinaan secara khusus kepadaNya, dan menunjukkan keadaan tidak berperasaan
pada tingkat yang hampir tidak ada harapan) - hal 179-180.
Steve Gregg: “Among
historicists and some futurists, it is generally argued that Laodicea represents
the lukewarm sector of the church in the end of times (possibly beginning near
the end of the nineteenth century). The scholarly assault on the Bible,
epitomized and exacerbated by the publication of Darwin’s Origin of Species
(1859), put tremendous pressure upon the church to conform to modern thought or
lose academic respectability. Many theologians succumbed to this pressure and
began subjecting the Bible to ‘scientific methods’ of analysis. Such analysis,
though far from objective and conclusive, became fashionable in many seminaries
and denominations, resulting in a loss of respect for the Bible as a genuine
revelation from God. In many cases, secular psychology, sociology,
anthropology, philosophy, and whatever social trend became popular in secular
thinking (e.g., the breakdown of biblical models of marriage and sexuality),
have displaced the Bible in its authority to dictate norms for the church.
Modern churches that have gone this route are said to be represented by this
Laodicean church. They are lukewarm, and Christ says that they nauseate him.
Those applying the seven church letters to eras of church history believe that
both the Philadelphian and the Laodicean types of church will exist together
until the coming of Christ” [= Di antara historicist dan sebagian futurist pada umumnya
dianjurkan secara kuat bahwa Laodikia melambangkan sektor suam-suam kuku dari
gereja pada akhir jaman (mungkin dimulai sekitar akhir abad ke 19). Serangan
para ahli ilmu pengetahuan terhadap Alkitab, diwakili dan dipertajam oleh
publikasi dari buku Darwin yang berjudul ‘Origin of Species’ (1859), memberikan
tekanan yang dahsyat terhadap gereja untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran
modern atau kehormatan akademis yang longgar. Banyak ahli theologia tunduk pada
tekanan ini dan mulai menundukkan Alkitab kepada analisa ‘metode ilmiah’.
Analisa ini, sekalipun tidak obyektif ataupun meyakinkan, menjadi populer dalam
banyak seminari dan aliran, menghasilkan hilangnya rasa hormat terhadap Alkitab
sebagai wahyu yang asli dari Allah. Dalam banyak kasus, psikologi dunia,
sosiologi, anthropologi, filsafat, dan kecenderungan sosial apapun menjadi
populer dalam pemikiran dunia (misalnya kerusakan contoh alkitab tentang
pernikahan dan sex), telah menggantikan Alkitab dalam otoritasnya untuk
mendikte norma-norma untuk gereja. Dikatakan bahwa gereja-gereja modern yang
telah mengambil jalan ini, dilambangkan oleh gereja Laodikia ini. Mereka
suam-suam kuku, dan Kristus berkata bahwa mereka memuakkan Dia. Mereka yang
menerapkan ketujuh surat gereja kepada masa-masa dari sejarah gereja percaya
bahwa type gereja Filadelfia dan type gereja Laodikia akan ada bersama-sama
sampai kedatangan Kristus] - hal 80-81.
Herman
Hoeksema: “Yet, although we strongly
repudiate the idea of seven definite periods being represented in these
letters, it must not be overlooked, as we said in the last chapter, that there
is a certain intentional arrangement in the order in which the seven letters
appear. The last church to be discussed is that of Laodicea, a church most
miserable in every respect. There is in this purposely arranged order an
indication as to what we may expect in the future. From a human point of view,
the Word of God pictures that future as not too bright. And those who live
under the impression that toward the end of time and the coming of our Lord
Jesus Christ the church will appear in a most flourishing condition certainly
find no support in Scripture” (= Tetapi, sekalipun kami menolak dengan keras gagasan tentang
tujuh periode tertentu yang diwakili dalam surat-surat ini, tidak boleh
dilupakan / diabaikan, seperti yang kami katakan dalam pasal yang terdahulu,
bahwa di sana ada pengaturan tertentu yang disengaja dalam urut-urutan dalam
mana ketujuh surat itu muncul. Gereja terakhir yang dibicarakan adalah gereja
Laodikia, gereja yang paling menyedihkan dalam segala hal. Dalam urut-urutan
yang diatur secara sengaja ini ada suatu petunjuk berkenaan dengan apa yang
bisa kita harapkan untuk masa yang akan datang. Dari sudut pandang manusia, Firman
Allah menggambarkan bahwa masa depan itu tidaklah terlalu cerah. Dan mereka
yang hidup di bawah suatu pemikiran bahwa menjelang akhir jaman dan kedatangan
Tuhan kita Yesus Kristus, gereja akan muncul dalam keadaan yang paling maju /
tumbuh dengan subur, jelas tidak mempunyai dukungan dalam Kitab Suci) - hal 139.
-AMIN-
email
us at : gkri_exodus@lycos.com