Eksposisi
Surat Yohanes yang Pertama
oleh: Pdt. Budi Asali M.Div.
1) Kata ‘hati’ dalam ay 19-21 menunjuk
kepada ‘hati nurani’.
2) Kadang-kadang tuduhan yang diberikan hati
nurani itu benar, tetapi kadang-kadang salah, karena diilhamkan oleh setan /
sang pendakwa.
Wah 12:10 - “Dan aku mendengar suara yang
nyaring di sorga berkata: ‘Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan
pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapiNya, karena telah
dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka
siang dan malam di hadapan Allah kita”.
3) Ay 19-20: “(19) Demikianlah kita
ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula
kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, (20) sebab jika kita dituduh
olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala
sesuatu”.
Apa maksudnya ‘Allah adalah lebih besar dari
pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu’?
a) Penghakiman Allah itu lebih keras dari
penghakiman hati nurani kita.
Calvin: “if any one is conscious of
guilt, and is condemned by his own heart, much less can he escape the judgment
of God. ... He says, that God is greater than our heart, with reference to
judgment, that is, because he sees much more keenly than we do, and searches
more minutely and judges more severely” (= jika seseorang sadar akan
kesalahan, dan dikecam / dituduh oleh hatinya sendiri, lebih-lebih ia tidak
bisa lolos dari penghakiman Allah. ... Ia berkata bahwa Allah lebih besar dari
pada hati kita, berkenaan dengan penghakiman, yaitu, karena Ia melihat dengan
jauh lebih tajam dari pada kita, dan menyelidiki dengan lebih teliti dan
menghakimi dengan lebih keras) - hal 222.
Calvin menambahkan bahwa
karena itulah maka Paulus berkata bahwa sekalipun ia
tidak sadar akan adanya kesalahan dalam dirinya, itu tidak membuat dia
betul-betul tak bersalah (1Kor 4:4). Ia tahu
bahwa bagaimanapun telitinya ia memeriksa dirinya sendiri, ia bersalah dalam
banyak hal, sehingga bisa saja ia tidak melihat kesalahan-kesalahan yang
dilihat oleh Allah.
1Kor 4:3-5 - “(3)
Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu
pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi. (4) Sebab
memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan
karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. (5)
Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang.
Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam
kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah”.
Bagian yang saya garis bawahi itu salah terjemahan.
NIV: “My conscience is clear, but that does not make me
innocent” (= Hati nuraniku bersih, tetapi itu tidak membuat aku tak
berdosa).
Keberatan: Saya berpendapat bahwa
penekanan dari 1Kor 4:3-5 ini bukanlah bahwa penghakiman Allah lebih keras
dari pada penghakiman hati nurani kita, tetapi bahwa penghakiman hati nurani
sering tak bisa dipercaya, dan karena itu kita harus lebih memperhatikan
penghakiman Allah.
b) Herschel H. Hobbs menganggap bahwa ay 20
ini menunjukkan bahwa sekalipun hati nurani menuduh kita, hati nurani bukan
hakim, Allahlah hakimnya.
John Stott (Tyndale): “Our conscience is by no means
infallible; its condemnation may often be unjust. We can, therefore, appeal
from our conscience to God who is greater and more knowledgeable” [= Hati nurani kita sama sekali tidak infallible (= tak bisa salah); pengecaman / penuduhannya sering
bisa tidak adil / benar. Karena itu, kita bisa naik banding dari hati nurani
kita kepada Allah, yang lebih besar dan lebih tahu] - hal 146.
Saya lebih
setuju dengan pandangan kedua ini.
1) Kalau hati nurani tidak menuduh, maka
kita beroleh keberanian percaya untuk mendekati Allah.
Ay 21: “Saudara-saudaraku yang
kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai
keberanian percaya untuk mendekati Allah”.
NIV: ‘we
have confidence before God’ (= kita
mempunyai keyakinan di hadapan Allah).
Ini membuat kita berani datang
kepada Allah dalam doa, Saat Teduh, Kebaktian, dan
sebagainya.
Calvin memberikan pertanyaan:
lalu bagaimana dengan orang-orang brengsek / munafik, yang tidak menyadari akan dosanya?
Jawaban:
a) Calvin sendiri menjawab (hal 223) bahwa
sang rasul di sini berbicara tentang orang-orang yang dibawa kepada terang oleh
Allah, bukan tentang orang-orang yang sengaja menyimpang dari Allah atau
bersembunyi dari Allah. Tetapi Calvin juga menambahkan bahwa pada saat yang
sama, mereka tidak bisa mendapatkan damai yang sesungguhnya kecuali yang
diberikan oleh Roh Kudus kepada hati-hati yang sungguh-sungguh disucikan,
karena orang-orang brengsek yang bersembunyi dari Allah itu, kadang-kadang
tetap merasakan tusukan pada hati nurani.
b) Bandingkan dengan ayat-ayat
ini:
·
1Kor 4:4 - “Sebab memang aku tidak sadar
akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang
menghakimi aku, ialah Tuhan”.
NIV: ‘My conscience is clear, but that does not make me innocent.
It is the Lord who judges me’ (= Hati nuraniku bersih, tetapi itu
tidak membuat aku tak berdosa. Tuhanlah yang menghakimi
aku).
·
Amsal 16:2 - “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya
sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati”.
2) Orang-orang yang seperti itu akan
mendapatkan pengabulan doa.
Ay 21-22: “(21) Saudara-saudaraku yang
kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian
percaya untuk mendekati Allah, (22) dan apa saja yang
kita minta, kita memperolehnya dari padaNya, karena kita menuruti segala
perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepadaNya”.
Matthew Henry: “Obedient souls are prepared
for blessings, and they have promise of audience; those who commit things
displeasing to God cannot expect that he should please them in hearing and
answering their prayers, Ps. 66:18; Prov. 28:9” (= Jiwa-jiwa yang taat disiapkan
untuk berkat, dan mereka mempunyai janji untuk didengarkan; mereka yang
melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan Allah tidak bisa berharap bahwa Ia
akan menyenangkan mereka dengan mendengar dan menjawab doa-doa mereka, Maz
66:18; Amsal 28:9).
Maz 66:18
- “Seandainya
ada niat jahat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar”.
Amsal 28:9
- “Siapa
memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah
kekejian”.
3) Kita bisa mempunyai hati nurani yang baik
kalau kita menuruti segala perintahNya dan berbuat apa
yang berkenan kepada Allah.
Ay 21-22: “(21) Saudara-saudaraku yang
kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian
percaya untuk mendekati Allah, (22) dan apa saja yang
kita minta, kita memperolehnya dari padaNya, karena kita menuruti segala
perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepadaNya”.
Jadi orang-orang yang taat ini
akan mempunyai hati nurani yang baik, dan dengan hati
nurani yang baik ini mereka akan mempunyai keyakinan dalam menghadap Allah, dan
akan didengar doanya.
Tetapi
persoalannya, kalau harus taat dalam segala hal baru bisa mempunyai hati
nurani yang baik, lalu siapa yang bisa mempunyai hati nurani yang bersih itu?
Calvin
mengatakan (hal 224) bahwa yang penting orang percaya itu sungguh-sungguh takut
kepada Allah dan ingin untuk tunduk kepada kebenaranNya. Semua orang yang memenuhi
syarat ini, sekalipun kehidupannya jauh dari sempurna, akan
mempunyai hati nurani yang bersih, yang tidak menuduhnya.
Calvin juga
memberikan keseimbangan yang penting terhadap ajaran ini.
Calvin: “He does not yet mean that a
good conscience must be brought, as though it obtained favour to our prayers.
Woe to us if we look on works, which have nothing in them but what is a cause
of fear and trembling. The faithful, then, cannot otherwise come to God’s
tribunal than by relying on Christ the Mediator. But as the love of God is ever
connected with faith, the Apostle, in order that he might the more severely
reprove hypocrites, deprives them of that singular privilege with which God
favours his own children; that is, lest they should think that their prayers
have an access to God” (= Ia tidak memaksudkan bahwa hati nurani yang baik harus
dibawa, seakan-akan itu mendapatkan persetujuan / kesenangan bagi doa kita.
Celakalah kita jika kita melihat pada perbuatan baik, yang tidak mempunyai
apapun dalam mereka kecuali apa yang merupakan
penyebab dari rasa takut dan gemetar. Maka orang-orang setia tidak bisa datang
dengan cara lain kepada pengadilan Allah dari pada
dengan bersandar kepada Kristus sang Pengantara. Tetapi karena kasih Allah
selalu berhubungan dengan iman, sang Rasul, untuk bisa lebih keras mencela
orang-orang munafik, membuang dari mereka hak tunggal dengan mana Allah
bermurah hati kepada anak-anakNya sendiri; yaitu, supaya jangan mereka berpikir
bahwa doa-doa mereka mempunyai jalan masuk kepada Allah) - hal 224-225.
Calvin: “By saying, ‘because we
keep his commandments,’ he means not that confidence in prayer is founded
on our works; but he teaches this only, that true religion and the sincere
worship of God cannot be separated from faith” (= Dengan mengatakan, ‘karena
kita menuruti segala perintahNya’, ia tidak memaksudkan bahwa keyakinan
dalam doa didasarkan pada pekerjaan / perbuatan baik kita; tetapi ia hanya
mengajarkan ini, yaitu bahwa agama yang benar dan penyembah Allah yang
sungguh-sungguh / tulus tidak bisa dipisahkan dari iman) - hal 225.
Jadi, sekalipun hidup saleh
itu penting, supaya kita bisa mempunyai hati nurani yang baik, dan dengan
demikian kita bisa datang kepada Allah dengan berani / yakin dalam doa, perlu
dicamkan bahwa kita sama sekali tidak bisa datang kepada Allah dengan
‘bondo’ perbuatan baik, atau bersandarkan pada perbuatan baik kita,
karena semua perbuatan baik kita seperti kain kotor (Yes 64:6). Kita tetap datang kepada Allah dengan bersandarkan pada penebusan
Kristus. Ingat perumpamaan tentang 2 orang yang berdoa
di Bait Allah.
Luk 18:9-14 - “(9) Dan kepada beberapa orang
yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus
mengatakan perumpamaan ini: (10) ‘
Ay 23: “Dan inilah perintahNya itu:
supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, AnakNya,
dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus
kepada kita”.
1) Iman dan kasih tak boleh dipisahkan, dan
ini ditunjukkan oleh kata ‘perintah’ yang ada dalam bentuk tunggal.
Calvin: “He does not ... separate
faith from love; but he requires both together from us. And this is the reason
why he uses the word ‘commandment’ in the singular number” (= Ia
tidak ... memisahkan iman dari kasih; tetapi ia menuntut keduanya dari kita.
Dan ini adalah alasan mengapa ia menggunakan kata
‘perintah’ dalam bentuk tunggal) - hal 226.
Barclay: “If we feel love for our
fellow-men welling up within our hearts, we can be sure that the heart of
Christ is in us. John would have said that a so-called heretic whose heart was
overflowing with love and whose life was beautiful with service, was far nearer
Christ than someone who was impeccably orthodox, yet cold and remote from the
needs of others” (= Jika kita merasakan kasih untuk sesama kita mengalir dari
dalam hati kita, kita bisa pasti / yakin bahwa hati Kristus ada dalam diri
kita. Yohanes ingin mengatakan bahwa orang yang disebut bidat yang hatinya
melimpah dengan kasih dan yang hidupnya indah oleh pelayanan, adalah jauh lebih
dekat kepada Kristus dari pada seseorang orthodox yang tanpa cela, tetapi
dingin dan jauh dari kebutuhan orang-orang lain) - hal 86.
Kata-kata
ini perlu direnungkan. Kalau kesalehan orang pertama itu mungkin bersifat munafik,
maka iman orang kedua itu pasti iman intelektual tok! Tetapi
kita juga perlu berhati-hati karena ada banyak bidat yang kelihatannya penuh
kasih. Contoh: orang-orang Liberal, Saksi-Saksi Yehuwa.
Barclay: “When we put these two
commandments together, we find the great truth that the Christian life depends
on right belief and right conduct combined. We cannot have the one without the
other. There can be no such thing as a Christian theology without a Christian
ethic; and equally there can be no such thing as a Christian ethic without a
Christian theology. Our belief is not real belief unless it issues in action;
and our action has neither sanction nor dynamic unless it is based on
belief”
(= Pada waktu kita menggabungkan kedua perintah ini, kita mendapatkan kebenaran
yang agung bahwa kehidupan Kristen tergantung pada kombinasi dari kepercayaan
yang benar dan kelakuan yang benar. Kita tidak dapat mempunyai yang satu tanpa
yang lain. Tidak bisa ada Theologia Kristen tanpa Etika Kristen; dan secara sama tidak bisa ada Etika Kristen tanpa Theologia Kristen.
Kepercayaan kita bukan kepercayaan yang sungguh-sungguh kecuali itu
mengeluarkan / menghasilkan tindakan; dan tindakan kita tidak mempunyai
persetujuan / dukungan kecuali itu didasarkan pada kepercayaan) - hal 88.
2) Kata ‘percaya’ ada dalam bentuk lampau, sedangkan kata ‘mengasihi’ ada dalam bentuk present.
Herschel H.
Hobbs mengatakan (hal 94-95) bahwa kata ‘percaya’ ada dalam aorist tense, menunjukkan suatu
tindakan sekali untuk selamanya. Tetapi kata ‘mengasihi’
ada dalam present tense, menunjuk pada praktek yang terus menerus.
3) Penekanan dari ‘mengasihi’.
Matthew Henry: “The command of Christ should
be continually before our eyes. Christian love must possess our soul when we go
to God in prayer. To this end we must remember that our Lord obliges us, (1.) To forgive those who offend us (Mt. 6:14), and, (2.) To
reconcile ourselves to those whom we have offended, Mt. 5:23-24” [= Perintah Kristus harus terus
menerus ada di depan mata kita. Kasih Kristen harus menguasai jiwa kita pada
waktu kita pergi kepada Allah dalam doa. Untuk tujuan ini kita harus ingat bahwa Tuhan kita mewajibkan kita
(1.) Untuk mengampuni mereka yang bersalah kepada kita (Mat 6:14), dan,
(2.) Untuk mendamaikan diri kita sendiri dengan mereka kepada siapa kita
bersalah, Mat 5:23-24].
Setiap kali ada orang bersalah
kepada saudara dan saudara tak mau mengampuni, renungkan ayat-ayat ini:
·
Mat 6:14-15 - “(14) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang,
Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. (15)
Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu”.
·
Mat 5:23-24 - “(23) Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu
di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang
ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, (24) tinggalkanlah persembahanmu di
depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali
untuk mempersembahkan persembahanmu itu”.
·
Mat 18:21-35 - “(21) Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus:
‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat
dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ (22) Yesus berkata kepadanya:
‘Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai
tujuh puluh kali tujuh kali. (23) Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang
raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. (24) Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya
seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. (25) Tetapi karena orang itu tidak
mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia
dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.
(26) Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala
hutangku akan kulunaskan. (27) Lalu tergeraklah hati
raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga
ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. (28) Tetapi ketika hamba itu
keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang
berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu,
katanya: Bayar hutangmu! (29) Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya:
Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. (30)
Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke
dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. (31) Melihat itu kawan-kawannya
yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. (32) Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan
berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan
karena engkau memohonkannya kepadaku. (33) Bukankah engkaupun harus mengasihani
kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? (34) Maka marahlah tuannya
itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia
melunaskan seluruh hutangnya. (35) Maka BapaKu yang di sorga akan berbuat
demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni
saudaramu dengan segenap hatimu.’”.
·
Ro 2:1 - “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang
menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam
menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang
menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama”.
·
Yak 2:13 - “Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku
atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas
penghakiman”.
Dalam Kebaktian Minggu lalu
saya menekankan pentingnya pengudusan dalam persekutuan, karena kalau hal ini
tidak ada, maka kebersamaan kita justru akan
menimbulkan gegeran. Waktu itu sudah saya berikan contoh dari
dosa-dosa yang bisa menyebabkan gegeran itu, seperti dusta, malas, sombong,
pelit, dan sebagainya. Salah satu bentuk pengudusan
yang juga harus ditekankan adalah ‘mau
mengampuni’. Mengapa? Karena bagaimanapun semua jemaat mau menguduskan diri, semua tetap
adalah manusia yang berdosa. Jadi dosa pasti ada.
Karena itu kalau tidak ada kesabaran dan kerelaan mengampuni dalam diri yang
lain, maka lagi-lagi gegeran tak akan terhindarkan.
Ef 4:32
- “Tetapi
hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling
mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”.
1Kor 13:1-7
- “(1)
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa
malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang
berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai karunia
untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh
pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan
gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama
sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang
ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (4) Kasih itu sabar;
kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. (5) Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari
keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain. (6) Ia tidak
bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (7)
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”.
a) ‘Percaya segala sesuatu’ (ay 7b).
Ini berarti bahwa kita:
·
tidak boleh mudah curiga, kecuali ada alasan yang kuat (Catatan:
‘Hati-hati’ berbeda dengan ‘mudah curiga’).
Contoh: kalau di gereja saudara
menjumpai seseorang dengan wajah cemberut, jangan cepat-cepat curiga bahwa
orang itu tidak senang kepada saudara! Pikirkan kemungkinan bahwa ia cemberut karena ia sedang sakit atau karena ia sedang
mempunyai banyak problem.
·
harus selalu berusaha mengambil pandangan yang paling baik terhadap
sesama kita.
Contoh: koran
saya tidak datang selama 3 hari. Setelah saya laporkan, besoknya semua koran yang 3 hari itu, yang jelas beritanya sudah
usang, dikirimkan kepada saya. Mula-mula saya jengkel, karena saya
berpikir: “Apa gunanya koran lama ini bagi saya? Bukankah lebih baik
kalau koran lama ini tidak dikirim dan rekening saya nanti dipotong?”. Tetapi saya lalu berpikir bahwa setidaknya pihak koran itu mempunyai itikad baik untuk menebus kesalahannya,
dan mereka menanggapi laporan saya. Ini menyebabkan akhirnya saya menerima koran lama itu.
b) ‘Mengharapkan segala sesuatu’ (ay 7c).
Artinya kita
selalu mengharapkan orang yang brengsek menjadi baik. Kalau ada kasih, maka kita akan selalu mempunyai harapan, tetapi kalau tidak ada kasih,
maka kita cepat putus asa dalam memperbaiki seseorang.
Misalnya: kalau anak
saudara terus menerus hidup brengsek, maka saudara lebih mudah untuk terus
berharap supaya anak itu jadi baik. Dan karena itu saudara
tetap mendoakan dan menasehati anak itu. Mengapa?
Karena saudara mengasihi dia!
Tetapi kalau yang hidup
brengsek itu adalah orang lain (bahkan kadang-kadang suami / istri
saudara, yang biasanya saudara kasihi kurang dari anak), maka saudara dengan
cepat sampai pada kesimpulan: “Orang ini tidak bisa diperbaiki lagi!”. Dan saudarapun lalu berhenti mendoakan atau
menasehati dia! Mengapa? Karena saudara kurang
mengasihi atau bahkan tidak mengasihi sama sekali!
c) ‘Sabar menanggung segala sesuatu’ (ay 7d).
NASB: ‘endures all things’ (= menahan segala sesuatu).
NIV: ‘always perseveres’ (= selalu bertekun).
Kata
Yunaninya adalah HUPOMONEIN, yang tidak sekedar berarti menahan secara
pasif, tetapi bisa mengalahkan / mengubahkan menjadi seseorang yang baik. Jadi, kalau
kita kasih, maka kita tidak hanya bersabar saja ketika ada orang yang terus
merugikan / menyakiti kita. Tetapi kita juga harus
berusaha untuk bisa mengalahkan semua itu dan mengubah orang itu menjadi baik.
Ro 12:20-21 - “(20) Tetapi, jika seterumu
lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia
minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara
api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi
kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.
Mari kita bersama-sama berjuang untuk mentaati Tuhan /
menguduskan diri, khususnya dalam persoalan mengasihi dan mengampuni, supaya
dengan demikian kita mempunyai hati nurani yang baik, sehingga dengan yakin
bisa menghadap Allah dan mendapatkan jawaban atas doa-doa kita.
-AMIN-