KONSEP ANUGERAH PAULUS DALAM SURAT ROMA
oleh: Ev. Heren, STh.
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
MASALAH
Anugerah
merupakan bagian penting dalam kekristenan dan juga merupakan keunikan dari
kekristenan. Anugerah yang terdapat di
dalam kekristenan memberikan pengharapan bagi orang percaya untuk bisa
diselamatkan, diampuni dan dikuduskan hidupnya dengan mengingat tidak ada satu
kebaikan pun dalam diri manusia yang
menjadikan dirinya layak untuk diselamatkan dan memampukannya untuk menguduskan
dirinya sendiri. Oleh karena itu
anugerah sering kali disampaikan baik dalam bentuk khotbah, pengajaran, atau
penginjilan untuk memperkenalkan Allah dan segala kebaikan-Nya dalam hidup
manusia.
Di dalam
Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, anugerah banyak disebut
dan dibicarakan. Dalam Perjanjian Lama
anugerah diperkenalkan dalam pengertian “perkenanan” (kasih karunia) atau
“kebaikan “ dengan dua istilah Ibrani, yaitu hen (Kej. 6:8; Est. 2:17; Ams.12:2, dll.) dan hesed
(Kel. 15:13; 33:12-13; Yun. 4:2; Ayb. 6:14; 10:12; 37:13; Ams. 11:17; 3:3; Yes.
57:1; Mzm. 36:11; 103:17; dll.) yang penggunaannya tersebar di berbagai kitab
PL.[1] Sementara itu dalam Perjanjian Baru anugerah
diperkenalkan dengan istilah charis.
Charis muncul sebanyak 154 kali dalam PB, dan dari jumlah itu
seratus di antaranya muncul dalam surat-surat Paulus dan dua puluh tiga di
antaranya muncul dalam surat Roma.[2]
Dengan
demikian kita bisa melihat bahwa sebenarnya Paulus banyak bicara tentang
anugerah. Akan tetapi anugerah yang
disebut dan diajarkan Paulus tersebut seringkali ditafsirkan secara berbeda dan
sebagai akibatnya anugerah tersebut diaplikasikan sesuai dengan tafsiran
masing-masing. Khususnya dalam kitab
Roma di pasal 6 ayat 1 hingga ayat 4
terlihat bahwa orang-orang Roma tidak memandang anugerah seperti cara Paulus
memandangnya, akan tetapi mereka menyimpulkan bahwa oleh karena mereka sekarang
berada di bawah kasih karunia atau anugerah, maka mereka patut berdosa lebih
banyak lagi supaya anugerah makin bertambah.
Pada zaman sekarang, hal yang sama seperti ini dilakukan juga oleh
orang-orang yang menciptakan sendiri definisi anugerah mereka dengan mengangkat
ayat Alkitab, khususnya perkataan Paulus dalam surat Roma tanpa memperhatikan
keseluruhan konteks ayat tersebut ataupun menggalinya.[3]
Sebagaimana
cara orang-orang mendefinisikan anugerah, demikian juga cara mereka hidup. Friedrich Nitzsche pernah mengkritik
orang-orang Kristen pada zamannya tentang kehidupan mereka yang dijalani dengan
cara yang tidak mencerminkan apa yang mereka percayai. Ia memberikan contoh bahwa Yesus punya pola
hidup yang baik dan penuh anugerah, akan tetapi orang Kristen tidak seperti
Yesus.[4] Sampai saat ini pun nampak bahwa tidak
sedikit orang Kristen yang hidup dengan
sembarangan, yaitu hidup dalam dosa dengan menjadikan anugerah sebagai
“perisai” yang melindungi mereka terhadap setiap kritik yang datang berkenaan dengan hidup mereka
yang bobrok. Banyak orang Kristen yang
bersikap bebas untuk berbuat dosa
dengan alasan bahwa ada anugerah yang
tersedia baginya di mana anugerah itu senantiasa siap memberikan pengampunan
dan penyucian sehingga mereka tidak perlu takut akan dosa. Seorang penyiar radio Kristen, Hank
Hanegraaff, dalam laporannya mengenai siarannya menyatakan sangat terkejut
ketika bicara tentang dosa dengan pemirsanya oleh karena ia mendapatkan respons
berupa pengakuan bahwa mereka berdosa
setiap waktu.[5]
Anugerah
menjadi alasan yang kuat untuk berbuat dosa.
Itu sebabnya di gereja-gereja Amerika ditemukan ada para diaken yang
mabuk pada acara pernikahan gerejawi, banyak anggota-anggota gereja yang
terlibat dalam seks di luar nikah tanpa dikoreksi oleh gereja,[6] selain itu perceraian,
perselingkuhan, perzinahan, penipuan, korupsi, dan narkoba dianggap lumrah dan
tidak mendapatkan disiplin dari gereja dengan alasan karena adanya anugerah.[7] Anugerah juga rupanya dipakai sebagai alasan
bagi para homoseksual untuk membela diri dengan berkata, “kita tidak lagi
berada di bawah hukum Taurat.”[8] Orang yang memakai alasan anugerah untuk
menentang hukum ini jatuh kepada antinomianisme, yaitu menganggap Allah telah
memberikan anugerah-Nya yang besar sehingga tidak ada lagi kewajiban untuk
menaati hukum Allah, khususnya hukum moral oleh karena anugerah Allah1 yang
menyelamatkan itu sifatnya konstan.
Sebagai akibatnya orang-orang ini juga tidak mengindahkan apa yang
tertulis dalam Alkitab.[9] Dengan kata lain, anugerah seperti yang
diberitakan oleh Paulus sebagai sesuatu yang membebaskan kita dari hukum
Taurat, membebaskan mereka pula untuk perilaku sebagai homoseksual tanpa perlu
takut ancaman hukuman.
Anugerah
pada akhirnya oleh orang-orang seperti di atas dipakai sebagai “surat izin”
untuk mengabaikan hukum Allah. Surat
izin ini mengimplikasikan bahwa apa pun perilaku dan tindakan kita terhadap
Allah sama sekali bukan masalah. Kita
bebas hidup dengan sembrono secara sadar dan bisa memberontak terhadap Allah
jika kita mau supaya anugerah Tuhan bisa bekerja ketika kita menghadapi
penghakiman Tuhan. Orang-orang yang memiliki anggapan seperti ini juga disebut
sebagai orang yang menganut moralitas yang baru (new morality) yang
berkata segala gerbang sekarang terbuka untuk kepuasan yang tidak terkontrol
terhadap setiap keinginan tubuh dan pikiran.[10] Pemahaman yang salah bukan saja membuat orang-orang Kristen hidup dengan
sembrono dan tidak takut akan dosa,
lebih dari itu, ada juga orang-orang Kristen yang berulang-ulang berbuat dosa
yang sama. Sebagaimana pernah dikatakan
oleh Stephen Tong bahwa banyak orang
Kristen yang hidup dalam dosa, tekun dan betah berada dalam dosa dengan alasan
memberi kesempatan pada Tuhan untuk menunjukkan kuasa-Nya yang besar.[11]
Kondisi
seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan karena selain menimbulkan
kekacauan dalam dunia kekristenan juga menimbulkan pengaruh buruk terhadap
pandangan orang-orang non-Kristen terhadap kekristenan, dan yang pasti hal ini
juga yang menjadikan penyebab utama gagalnya kesaksian Kristen. Beranjak dari hal-hal tersebut, penulis
melihat bahwa kita perlu untuk benar-benar memahami maksud anugerah menurut
Paulus dalam surat Roma supaya tidak terjadi penyimpangan konsep beserta
aplikasi-aplikasi yang salah seperti di atas.
Namun pertanyaan yang muncul adalah anugerah yang bagaimana yang
dimaksudkan oleh Paulus dalam surat Roma tersebut? Sejauh mana anugerah itu mengampuni dosa yang
banyak dan berulang-ulang dalam hidup orang yang sudah diselamatkan? Lalu apa fungsi anugerah dalam penjelasan
surat Roma ini? Sebagai akibatnya,
hidup yang seperti apa yang semestinya dijalani oleh orang-orang yang sudah
menerima anugerah itu?
RUMUSAN MASALAH
Kehidupan
orang percaya tidak bisa dilepaskan dari adanya anugerah Allah yang
menyelamatkan dan mengampuni dosa. Rasul
Paulus pun menegaskan adanya anugerah/kasih karunia yang mengampuni dosa atau pelanggaran manusia
dalam Roma 5:20-21. Namun kita tidak
boleh menggunakan anugerah, khususnya perkataan Paulus tentang anugerah dalam
ayat ini sebagai alasan untuk membenarkan dan mengizinkan kita untuk melakukan
perbuatan-perbuatan dosa dengan sebebas-bebasnya di hadapan Allah. Paulus sendiri juga tidak bermaksud demikian
ketika mengungkapkan tentang anugerah dalam surat Roma ini.
Berdasarkan
hal ini penulis melihat akan perlunya sebuah
pemahaman yang tepat akan konsep anugerah yang dimaksud Paulus dalam
surat Roma, sejauh mana anugerah itu bekerja memberi pengampunan dan bagaimana
orang percaya sepatutnya mengaplikasikan anugerah itu dalam kehidupannya.
BATASAN MASALAH
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka dalam skripsi ini penulis akan menguraikan konsep
anugerah yang diungkapkan Paulus dalam surat Roma melalui sebuah pemaparan penggalian eksegetikal penulis
terhadap konsep ini khususnya yang terdapat dalam pasal 5 ayat 21-22 yang
sering kali menimbulkan masalah akibat pemahaman yang salah akan ayat ini. Akan tetapi mengingat apa yang diungkapkan
Paulus dalam ayat-ayat tersebut tidak terlepas dari ayat-ayat lain dalam surat
Roma ini, maka penulis juga membahas maksud Paulus dari ayat-ayat yang terkait
erat tersebut. Pemaparan ini disertai
pula dengan konteks yang mendorong
Paulus menuliskan hal tersebut.
TUJUAN PENULISAN
Skripsi
ini ditulis dengan tujuan, agar:
1. Hamba Tuhan, aktivis, dan
setiap anggota jemaat gereja mengerti konsep anugerah dalam surat Roma ini
dengan benar dan mampu meluruskan setiap definisi yang menyimpang dari
pernyataan langsung maupun dari indikasi-indikasi yang muncul dalam bentuk
sikap bebas berbuat dosa dalam kehidupan bergereja.
2. Setiap orang percaya dapat
mengerti bagaimana hidup dalam anugerah pengampunan yang diberikan oleh Tuhan.
METODE PENULISAN
Metode penulisan
skripsi ini adalah dengan cara melakukan eksegesis terhadap surat Roma
khususnya pasal 5 dan 6 dan melalui kajian pustaka terhadap beberapa literatur
mengenai konsep anugerah menurut Paulus surat Roma dengan menggunakan Alkitab
sebagai sumber dasar dan utama. Dalam skripsi ini penulis akan menguraikan
beberapa macam pemahaman yang muncul dari penafsir-penafsir surat Roma,
kemudian penulis akan menguraikan hasil penggalian terhadap beberapa ayat dalam
surat Roma tersebut yang memaparkan konsep anugerah Paulus.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Sistematika
penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab:
Bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, batasan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan isi yang memaparkan berbagai
penafsiran tentang anugerah dalam surat Roma oleh beberapa teolog. Teolog-teolog yang penafsirannya dipaparkan
dalam bab ini adalah Agustinus, Martin Luther, John Calvin, Karl Barth, dan
Charles G. Finney.
Bab III
merupakan pemaparan konsep anugerah Paulus dalam surat Roma. Konsep ini adalah hasil dari eksegesis
terhadap ayat-ayat dalam pasal 5 dan 6 yang diakui oleh banyak penafsir sebagai
pasal kunci yang berbicara tentang anugerah.
Eksegese khususnya dilakukan terhadap 5 : 20-21 yang sering
disalahtafsirkan oleh banyak orang.
Bab IV
merupakan penutup dari skripsi ini.
Bagian ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan pada bab-bab
sebelumnya. Bagian ini juga memaparkan
implikasi dari konsep anugerah Paulus dalam surat Roma bagi jemaat gereja dan
rohaniwan.
[1] Daniel Lucas Lukito, “Kekeliruan
Pengartian Konsep Anugerah dalam Teologi dan Pelayanan Praktis,” Veritas
3/2 (Oktober 2002) 159.
[2]A. B. Lutter , “Grace” dalam Dictionary of Paul
and His Letters (ed. Gerald F. Hawthorne et al.;
[3]“Grace and The Halmet of Salvation,” [http://www.stopsinning.Net/excuses.html.]1.
[4]Lukito,”Kekeliruan Pengartian” 151.
[5]“Rationalization,” [http://www.stopsinning.net/rationalization.html] 1.
[6]“Grace and the Halmet.”
[7]Lukito, “Kekeliruan Pengartian” 162-163.
[8]“Rationalization” 2.
[9]Lukito, “ Kekeliruan Pengartian” 160-161.
[10]“What Grace is Not,” [http://www.edwardfudge. com/written/grace03.html] 1.
[11]“Mati Terhadap Dosa, Hidup dalam
Kebenaran,” Ringkasan Khotbah Mimbar Reformed Injili 3/94. 236.