KONSEP ANUGERAH PAULUS DALAM SURAT ROMA
oleh: Ev. Heren, STh.
BAB II
BERBAGAI PENAFSIRAN TENTANG ANUGERAH DALAM SURAT ROMA
Di dalam
bab sebelumnya telah dibicarakan bahwa pada masa Paulus ada orang yang salah
mengerti tentang pengajaran Paulus mengenai anugerah. Sementara itu pada masa sekarang ada orang
mengangkat ayat-ayat dengan terlepas dari konteksnya dan dari maksud utama
kalimat tersebut. Khususnya ayat-ayat dalam Roma 5:20-21 dan 6:14 dipakai
sebagai “perisai” yang melindungi perbuatan dosa mereka dan juga sebagai surat
izin untuk membenarkan diri untuk terus berbuat dosa. Pada bab yang kedua ini
akan dipaparkan berbagai penafsiran dari teolog-teolog mengenai anugerah dalam
surat Roma. Mereka adalah orang-orang
yang menyampaikan tafsirannya secara tertulis dalam buku tafsiran Roma yang
mereka susun, dan dari pemikiran mereka kita akan melihat sebagian dari
berbagai macam pemikiran yang muncul dari satu topik yang sama, anugerah.
AGUSTINUS
Agustinus
(330-397), bapa gereja Barat, memberikan sumbangsih yang besar pada
pemikiran teologi sepanjang sejarah
gereja sesudahnya. Pengajaran Agustinus
tentang anugerah merupakan dasar bagi perkembangan kekristenan Latin. Selain itu pengajaran ini juga menentukan
pengaruh dalam elaborasi teologi skolastik selama masa medieval dan kemudian
diwariskan kepada pemikiran Roma, Lutheran dan teolog-teolog reformasi di abad
16 dan 17.[1] Pada dasarnya pemikiran Agustinus tentang anugerah dipaparkan untuk
menentang pendapat tentang adanya
kemandirian absolut dari kebebasan manusia seperti yang diungkapkan ajaran
Pelagian. Ajaran Pelagianisme sangat
mempercayai kebebasan kehendak dan
menolak fakta Alkitab bahwa manusia telah jatuh dalam dosa dan ada dosa
keturunan dari Adam serta beranggapan
setiap manusia masih punya kemampuan untuk tidak berdosa.[2] Bagi Agustinus sendiri tema anugerah sebagai tindakan
Allah di dalam dunia memiliki posisi sentral di dalam pengertian dan praktek
kekristenan. Lebih dari itu anugerah
yang disebut Agustinus dengan istilah gratia (Latin) digunakan untuk
mengacu kepada pekerjaan ilahi di dalam diri malaikat dan manusia. Agustinus memasukkan malaikat sebagai objek
anugerah Allah selain manusia karena ia
berpikir dalam kategori teori Neo-Plato tentang asal usul sesuatu. Menurut
teori tersebut makhluk, kuasa dan bahkan tindakannya secara
terus-menerus dikomunikasikan dari tingkatan yang tertinggi kepada yang lebih
rendah berdasarkan urutan hierarki di alam semesta. Teori ini diadopsi oleh Agustinus ke dalam
kekristenan, khususnya berkenaan dengan asal-usul malaikat dan manusia. Menurut Agustinus, roh malaikat dan manusia
diciptakan dari kehampaan tapi diberikan kuasa dan dipimpin oleh pengaruh
ilahi. Melalui anugerah, malaikat dan
manusia tersebut bergerak untuk mengenal dan mengasihi Allah.[3]
Anugerah
bukan merupakan suatu rencana dan bukan pula suatu kebetulan. Anugerah, menurut Agustinus, sebenarnya
merupakan tindakan dan berdiamnya pribadi ilahi dalam roh yang diciptakanNya.[4] Selain itu, anugerah tidak berdiri sendiri,
tapi berdiri dalam hubungan dengan beberapa aspek teologis yang lain. Oleh sebab itu Agustinus dalam membahas
anugerah tidak lupa untuk juga membahas tentang dosa, kehendak bebas dan
sebagainya. Ia bahkan berusaha mensintesis teori-teori kejatuhan manusia dalam
dosa, anugerah dan kebebasan pilihan tersebut.[5] Hasil pemikiran Agustinus ini jarang disebut
sebagai doktrin anugerah, akan tetapi lebih dikenal sebagai sistem anugerah
Agustinus. Di dalam sistem anugerah
tersebut mencakup tiga prinsip dasar, yaitu:
(1) Allah, melalui anugerah-Nya, adalah tuan yang absolut atas semua
penentuan kehendak; (2) Manusia tetap bebas di bawah anugerah sebagaimana ia
bebas tanpa anugerah; (3) Rekonsiliasi dari dua kebenaran tersebut dalam dua
point sebelumnya tergantung dari metode pengaturan ilahi. Dalam sistem anugerah ini Agustinus percaya
bahwa Allah punya metode-Nya sendiri untuk merekonsiliasi dua kebenaran
tersebut hingga keduanya bisa terjadi tanpa saling mengalami pertentangan.[6] Prinsip-prinsip dasar tersebut kemudian
menyatu di dalam pemaparan konsep anugerah berikut ini.
Anugerah yang Menggerakkan Manusia untuk
Menjauhi Dosa
Dari
penggaliannya terhadap surat Roma, Agustinus memahami pengertiannya terhadap anugerah yang
diungkapkan Paulus dalam surat ini sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari
tema dosa dan pengampunan terhadap dosa tersebut. Berdasarkan surat ini ia mengakui anugerah merupakan
pemberian. Berdasarkan apa yang
diungkapkan Paulus dalam 5:5, pemberian ini adalah pemberian Roh Kudus yang
menggerakkan orang Kristen untuk menghargai dan mengharapkan Allah di atas
segalanya karena pada dasarnya 5:5 (biasanya dengan menggabungkan bersama 1Yoh
4:7, 17) mengidentifikasikan Roh Kudus sebagai kasih ilahi yang adalah Allah
dan dari Allah yang sedang berkarya di dalam hati orang percaya. Selain itu pemberian anugerah ini juga
menggerakkan manusia untuk mengasihi segala sesuatu yang lebih rendah dari
Allah seperti diri sendiri, saudara dan ciptaan lain bagi Allah.[7] Pekerjaan Roh tersebut mengambil banyak
bentuk yang berbeda dalam menggerakkan anak-anak Adam untuk menjauhi dosa dan
memasuki kesatuan gereja dan kepada kemuliaan dari kerajaan Allah. Menurut Agustinus, segala tindakan moral
bahkan juga tindakan asketis hanya bisa menjadi kebenaran sejati dan
menyelamatkan jika dimotivasi oleh kasih Allah sebagai karunia Roh Kudus
berdasarkan 5:5 ini. Dengan demikian
Agustinus memperlihatkan tentang pekerjaan anugerah yang menggerakkan manusia
untuk bertindak menjauhi dosa.
Berdasarkan
5:13, sebagaimana yang dicatatnya dalam Concerning the Deserved Punishment
of Sins and Their Forgiveness, Agustinus menyatakan bahwa dosa tidak bisa
disingkirkan melalui hukum Taurat. Dosa
juga tidak disingkirkan melalui alam ataupun hukum Taurat yang diwahyukan. Dosa berkuasa atas setiap orang sekalipun
orang itu belum pernah melakukan dosa itu oleh tindakan pemberontakannya
sendiri sebagaimana yang dilakukan Adam (5:14).
Dosa yang seperti ini disebut dosa keturunan, dan ini berlaku juga
kepada bayi.[8] Dengan demikan tidak ada seorang pun
diselamatkan dari dosa oleh pertolongan hukum Taurat.
Mengenai
perdebatan dan kesalahpahaman mengenai perkataan Paulus dalam Roma 5:20-21,
Agustinus memberikan pandangan yang tegas terhadap maksud anugerah Paulus dalam
ayat-ayat tersebut. Dalam buku Proposition
from the Epistle to the Romans,
Agustinus menyatakan bahwa dengan kata-kata Paulus dalam 5:20 ini, ia
menunjukkan dengan jelas bahwa orang-orang Yahudi tidak mengerti tujuan hukum
Taurat diberikan. Mereka tidak memahami
bahwa hukum Taurat diberikan tidak untuk membuat pendosa hidup. Mereka juga tidak paham bahwa hanya oleh anugerah
ilahi dengan iman maka orang bisa hidup.
Hukum Taurat diberikan untuk menunjukkan betapa rantai dosa itu kuat
mengikat tawanannya yang secara ketat
memelihara hukum Taurat dengan kekuatannya sendiri.[9]
Selanjutnya
dalam tafsirannya bagi 6:1, Agustinus menyatakan bahwa rasul Paulus menerima
pengampunan sebagai pengganti dakwaan, anugerah sebagai pengganti penghukuman,
karena itu tepat dan benar bahwa Paulus patut mengangkat suaranya untuk
kemenangan dan isi anugerah tersebut.
Paulus tidak menguatirkan dirinya sendiri ketika terjadi salah paham
yang dalam dan besar dari mereka yang tidak mampu untuk mengapresiasikan
doktrinnya dan menyelewengkan kata-katanya yang paling rasional ke dalam makna
yang salah. Apa yang diungkapkan Paulus
berikutnya dalam Rm. 6:2 semata-mata membuktikan keteguhan hati Paulus bahwa
kita mati terhadap dosa oleh karya anugerah ilahi. Menurut Agustinus dari ayat ini rasul Paulus menggambarkan hanya
orang yang berada di bawah anugerah,
berdasarkan manusia baru mereka, siap melayani hukum Allah walaupun di dalam
daging mereka melayani hukum dosa cukup banyak. [10]
Anugerah Sebagai Pemberian Allah
yang Mutlak
Pemikiran
Agustinus terus berkembang sehingga dalam perjalanan pergumulannya dengan
teologi dalam terang firman Tuhan ada perubahan antara pengajaran anugerah
Agustinus yang mula-mula yang tertuang dalam tulisannya On Spirit and the
Letter dengan pengajarannya pada masa-masa berikutnya dalam bukunya Enchiridion dan On the Grace of
Christ. Pada buku On the Spirit and the Letter Agustinus
beranggapan bahwa anugerah diberikan kepada semua orang:
If we believe that we may attain this grace . . . if from God’s gift, then again, why is not
the gift open to all, since “He will have all men to be saved, and to come unto
the knowledge of the truth?…” God no doubt wishes all men to be saved and to
come into the knowledge of the truth; but yet not so as to take away from them
free will, for the good or the evil use of which they may be most righteously
judged.[11]
Sementara itu pada masa sesudahnya,
dalam Enchridion, Agustinus menunjukkan bahwa ternyata Allah tidak
menginginkan semua manusia selamat.
Berulang-ulang ia berkata bahwa tidak ada orang yang selamat kecuali
jika Allah menginginkan dia selamat dan setiap orang yang selamat tidak
terpisah dari kehendak-Nya untuk menyelamatkan mereka.[12] Artinya ada sebagian orang yang diselamatkan dan sebagian
lain tidak diselamatkan dan semua itu tidak pernah lepas dari kehendak Allah.
Dengan
demikian nampak jelas bahwa pemberian anugerah itu sangat ditentukan oleh
Allah. Kebebasan untuk memberikan
anugerah keselamatan dan pembenaran kepada siapa saja yang Allah mau, ternyata
juga diiringi dengan suatu kondisi di mana anugerah itu sama sekali tidak dapat
ditolak oleh manusia yang kepadanya anugerah diberikan. Dalam Enrichdion, Agustinus berkata
dengan jelas bahwa jika kita bisa datang pada Allah itu merupakan pekerjaan
anugerah tersebut tanpa bantuan dari kebebasan kehendak kita. Allah yang
mengubah hati manusia ke arah mana pun yang Ia kehendaki.[13] Pemikiran ini muncul sebagai sebuah perubahan
penafsiran terhadap anugerah yang sebelumnya diungkapkan Agustinus di dalam On
the Spirit and the Letter. Di dalam buku tersebut Agustinus menyatakan
bahwa manusia bisa menolak anugerah.
Menurutnya apakah kita menerima ataupun menolak anugerah itu, semuanya
merupakan bagian dari fungsi kehendak kita.[14] Dengan menekankan peranan kehendak bebas
manusia, di sini nampak bahwa Agustinus beranggapan bahwa manusia memiliki
peranan dalam memperoleh anugerah tersebut.
Namun, pada akhirnya Agustinus berpegang kepada suatu keyakinan bahwa
anugerah Allah itu merupakan pemberian Allah semata-mata tanpa usaha manusia di
dalamnya.
Rangkuman
Agustinus
memahami anugerah bukan sebagai sebuah doktrin melainkan sebagai suatu sistem
yang disebut sebagai sistem anugerah.
Latar belakang munculnya sistem anugerah Agustinus adalah dari sebuah pergumulan terhadap ajaran Pelagianisme yang
sangat mempercayai adanya kebebasan kehendak.
Kaum Pelagianis menolak fakta Alkitab bahwa manusia telah jatuh dalam
dosa dan yakin bahwa setiap manusia masih punya kemampuan untuk tidak
berdosa. Dengan cara berpikir dalam
kategori teori neo-Plato tentang asal-usul sesuatu, maka Agustinus berpendapat
roh malaikat dan manusia diciptakan dari kehampaan tapi diberikan kuasa dan
dipimpin atau digerakkan oleh pengaruh ilahi.
Untuk itulah maka anugerah sebagai
pemberian Roh Kudus oleh Allah akan menggerakkan orang Kristen untuk
menghargai dan mengharapkan Allah di atas segalanya (Rm. 5:5). Pekerjaan Roh tersebut menggerakan anak-anak
Adam untuk menjauhi dosa dan memasuki kesatuan gereja dan kepada kemuliaan dari
kerajaan Allah.
Anugerah
Allah itu merupakan pemberian Allah semata-mata tanpa usaha manusia di
dalamnya. Hanya oleh anugerah ilahi
dengan iman maka orang bisa hidup karena hukum Taurat yang diberikan tidak
bermaksud supaya membuat pendosa hidup. Hukum Taurat diberikan untuk menunjukkan
betapa rantai dosa itu kuat mengikat tawanannya
yang secara ketat memelihara hukum Taurat dengan kekuatannya
sendiri. Agustinus kemudian
berkesimpulan orang yang berada di bawah
anugerah, berdasarkan manusia baru mereka, siap melayani hukum Allah walaupun
di dalam daging mereka melayani hukum dosa cukup banyak.
Agustinus yang semula berpendapat bahwa anugerah
diberikan kepada semua orang pada akhirnya dalam pergumulannya dengan firman
Tuhan melihat bahwa aada sebagian orang yang diselamatkan dan sebagian lain
tidak diselamatkan dan semua itu tidak pernah lepas dari kehendak Allah.
MARTIN LUTHER
Anugerah
merupakan kata yang cukup dekat dengan Martin Luther (1483-1546) bukan hanya
dalam istilah “Sola Gracia” yang dicetuskannya, tetapi juga dalam
tafsiran surat Roma yang disusun dan diajarkannya dalam kuliah surat Roma
sebagai guru besar di Universitas Wittenberg tahun 1515.[15] Padahal sebelum itu Luther hanya mengenal
Alkitab sebagai buku asing yang langka dan baru untuk pertama kalinya melihat
Alkitab setelah menjadi mahasiswa di Universitas Erfurt.[16]
Dari
tafsirannya terhadap surat Roma jelas terlihat Luther menemukan bahwa
pengajaran sentral dari Alkitab sebenarnya adalah doktrin pembenaran oleh
anugerah melalui iman, oleh sebab itu keseluruhan penjelasan terhadap surat
Roma ini juga mengacu kepada pembenaran oleh iman. Akan tetapi pemikiran Luther adalah pemikiran
yang berkembang menjadi lebih tajam. Pemikiran yang berkembang tersebut adalah
sebagai upaya menjawab tantangan yang muncul pada saat itu. Itu sebabnya Martin
Luther yang semula menjelaskan anugerah dalam Roma hanya terfokus pada
Pembenaran oleh iman kemudian berkembang pada hubungan anugerah tersebut
dengan kehendak yang terbelenggu.
Anugerah dan
Pembenaran oleh Iman
1.
Makna dan Relasi antara Anugerah, Iman dan Kebenaran
Anugerah
Allah dalam pembenaran oleh iman yang diungkapkan oleh Paulus dalam surat Roma
hanya dapat dimengerti jika kita memiliki pengetahuan akan bahasanya. Selain itu kita juga harus mengenal apa yang rasul
Paulus maksud melalui istilah-istilah yang digunakannya. Dalam surat Roma sendiri ada beberapa istilah
yang digunakan Paulus misalnya anugerah, hukum Taurat, dosa, iman, kebenaran,
dan seterusnya. Istilah-istilah ini
tidak berdiri sendiri, namun saling berhubungan satu sama lain dalam suatu kesatuan pemahaman. Untuk itu Luther memberikan pengertian yang
gamblang tentang anugerah dan hal-hal lain yang berkenaan dengannya.
Anugerah
berarti kemurahan Allah semata, atau
pekerjaan baik yang Allah kenakan bagi kita di mana oleh anugerah itu pula
Allah terdorong untuk memberikan Kristus kepada kita dan mencurahkan Roh
Kudus-Nya kepada diri kita dengan karunia-karunia-Nya. Perlu diperhatikan bahwa anugerah (grace)
tidak sama dengan karunia (gift) karena anugerah tidak bisa terbagi atau
dirusak sebagaimana karunia, akan tetapi anugerah membawa kita sepenuhnya
kepada kemurahan bagi Kristus yang
adalah Perantara dan Penengah antara kita dan Allah, dan oleh karena itulah
maka karunia dimulai di dalam kita. Dengan demikian anugerah adalah pekerjaan
Allah saja, tanpa campur tangan manusia.
Sementara
itu, iman merupakan karya ilahi yang dikerjakan dalam diri kita. Iman menantang dan membuat kita menjadi lahir baru. Iman merupakan sebuah kehidupan, keyakinan di
dalam anugerah Allah yang dengan pasti mempertaruhkan hidup kepada-Nya. Keyakinan iman ini hanya bisa ada di dalam
anugerah Allah dan pengetahuan akan hal itu membuat manusia gembira dan bahagia
dalam berhubungan dengan Allah dan ciptaan-ciptaan-Nya. Melalui iman
manusia menjadi tidak berdosa dan datang untuk menikmati hukum-hukum
Allah, dengan demikian ia memberikan penghormatan pada Allah. Tidak hanya itu, orang yang beriman juga
melayani manusia dengan tulus. Iman
seperti ini disebut kebenaran, yaitu “Kebenaran Allah” karena Allah yang memberikan kebenaran itu
dan memperhitungkannya pada manusia oleh karena Kristus.[17]
2.
Doktrin Pembenaran oleh Iman dalam Surat Roma
Doktrin
pembenaran oleh iman yang sangat terkenal dari Luther berhubungan langsung
dengan pengajaran Paulus. Doktrin ini
dibangun Luther atas dasar otoritas Alkitab, sehingga Paul Althaus pernah
mengatakan bahwa teologi Luther tidak lain dari sebuah usaha untuk menafsirkan
kitab suci. Dengan demikian bentuk
doktrin ini pada dasarnya adalah eksegesis.[18] Surat Roma adalah salah satu kitab yang
ditafsirkan melalui sebuah eksegesis dan disimpulkan sebagai sebuah doktrin
pembenaran oleh iman.
Di
dalam buku tafsiran Romanya Martin Luther menjelaskan anugerah yang membenarkan
manusia oleh iman dalam suatu rangkaian penafsiran terhadap surat Roma yang
diawali dari Roma 1:16 yang berbicara
tentang “kekuatan Allah.” Anugerah
adalah pemberian Allah. Pada saat bicara
tentang pemberian Allah, kita juga bicara tentang kekuatan Allah yaitu kekuatan
yang datang dari Allah. Pemberian itu
nyata dalam kekuatan Allah untuk membenarkan manusia yang berdosa oleh iman
pada Kristus sehingga manusia beroleh keselamatan. Pembenaran itu mencakup proses di mana kasih
ilahi mendahului penggilan terhadap orang berdosa, dilanjutkan dengan
pengudusan terhadap orang tersebut.
Dengan demikian, menurut Martin Luther, Paulus ingin orang percaya,
khususnya orang Roma, sadar bahwa mereka adalah orang-orang kudus, bukan karena
sesuatu apa pun dari perbuatan mereka, tapi karena kasih dan panggilan Allah,
sehingga ia mengakui segala sesuatu berasal dari Allah.[19]
Apa
yang diungkapkan dalam 1:18-3:20 merupakan awal untuk menunjukkan bahwa semua
manusia hidup dalam dosa dan kebodohan.
Hal ini bertujuan supaya mereka menyadari bahwa hikmat dan kebenaran
dari usaha mereka adalah sia-sia dan bahwa mereka membutuhkan pembenaran dari
Kristus. Mulai dari ilustrasi-ilustrasi
yang menggambarkan kondisi moral orang fasik yang tunduk kepada hikmat dan
kemegahan dunia hingga kepada teguran langsung kepada orang Yahudi yang
berpikir mereka lebih baik dari orang kafir, semuanya dimaksudkan untuk memberi
tahu bahwa mereka semua berada pada tingkatan yang sama, yaitu
pelanggaran. Mereka semua membutuhkan
Kristus dan kebenaran-Nya.[20] Kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran
sebagai atribut Allah, tapi lebih kepada tindakan Allah yang memberikan
kebenaran pada manusia yang tidak benar.
Kebenaran Allah itu diberikan secara
gratis, bukan dengan usaha melaksanakan hukum Taurat. Akan tetapi gratis bukan berarti tanpa
bayaran, karena Allah menuntut tebusan terhadap dosa manusia. Untuk itu Ia memberikan Yesus Kristus untuk
mati bagi kita supaya Ia menebus dosa kita
(3:24). Jadi pembenaran ini
diberikan dengan cuma-cuma pada mereka yang sudah ditebus oleh Anak-Nya. Mereka yang bisa menerima pembenaran ini
hanya orang-orang yang memiliki iman sebagaimana contoh yang ada dalam Roma
pasal 4 di mana oleh iman Abraham dibenarkan. Paulus dalam surat Roma ini
memperlihatkan bahwa kekuatan iman
membuktikan dirinya dalam pembenaran terhadap orang-orang percaya (Rm. 5).[21]
Sampai
kepada bagian yang banyak di permasalahkan dan disalahtafsirkan oleh orang
banyak (Rm. 5:20-21) Luther pun menanggapi bahwa ayat ini memperlihatkan bahwa orang Yahudi telah
terperangkap dalam suatu sikap bahwa hukum Taurat harus dipelihara dengan
kekuatan mereka sendiri. Dari ayat ini
Paulus ingin menyatakan hanya anugerah ilahi oleh iman saja yang menghidupkan. Dalam penjelasan pasal 6, Luther menegaskan
bahwa kalimat Rm. 5:20-21 ini tidak dikatakan Paulus untuk membela dosa, tapi
untuk memuliakan anugerah ilahi. Orang
yang berada di bawah anugerah tidak memelihara nafsunya, dan dosa tidak
berkuasa atas tubuhnya. Sebaliknya,
mereka yang ada di bawah kuasa dosa, masih berada di bawah hukum Taurat,
sehingga tidak peduli betapapun ia melawan dosa ia tetap kalah terhadap dosa.[22]
Manusia
menjadi hidup di bawah anugerah pada saat ia dibaptis ke dalam kematian
Kristus. Hal ini membawa kematian
terhadap dosa, yaitu jiwa terpisah dari dosa dan tubuh bebas dari
kejahatan. Oleh kematian ini kita
terikat oleh anugerah dan kemuliaan Allah yang hidup. Namun hidup di bawah anugerah bukan berarti
tanpa dosa, karena dosa tetap berdiam di dalam kita sampai akhir hidup kita
(bdk. Gal. 5:17). Menurut Luther, kita
tidak berada dalam kondisi sempurna tepat pada saat dibaptis di dalam Yesus
Kristus dan kematian-Nya, akan tetapi kita berjuang mendapatkan berkat kematiannya
dan mencapai tujuan kemuliaan kita.
Sebagaimana kematian Kristus
demikian juga kita mati terhadap dosa.
Ini adalah sesuatu yang spiritual dan abadi. Tidak ada seorang pun yang tahu atau
mengalami hidup yang secara spiritual dibenarkan, tapi ini adalah sesuatu yang
dipercayai dan diharapkan. Untuk itu
kita hidup bagi Allah di dalam roh dan hidup baru kita kepada kekekalan.[23]
Anugerah
dan Kehendak yang Terbelenggu (Bondage
of The Will)
Kehendak yang terbelenggu adalah
suatu perkembangan pemikiran dari Martin Luther sebagai seorang teolog
reformasi. Sebagai suatu teologi yang
asli muncul dari pendapat Luther,
pemikiran ini pada awalnya berupa tulisan Luther kepada Capito pada 9
Juli 1537.[24] Teologi kehendak yang terbelenggu sebenarnya
dibangun sebagai tanggapan terhadap isu kebebasan kehendak khususnya yang
dimunculkan oleh Erasmus dan yang sudah menjadi perdebatan. Permasalahan yang ada di balik perdebatan
tersebut adalah mengenai anugerah karena berkenaan dengan bagaimana seseorang
bisa memperoleh keselamatannya.
Kehendak yang terbelenggu adalah
kehendak manusia yang diperbudak dan dibelenggu oleh dosa. Manusia yang adalah daging tidak bisa
melarikan diri dari kondisi moralnya yang rusak dan tidak bisa mengatasi
kuasanya yang alami. Manusia, oleh karena itu,
tidak terlepas dari “kebutuhan” untuk berdosa.
Ia tidak dipaksa untuk berdosa dengan cara melawan kehendak dalam
dirinya, sebaliknya dalam kehendaknya ia mengalami dosa yang tidak terlepaskan. Ia tidak memiliki kehendak yang bebas untuk
berbuat baik dan kehendaknya adalah tunduk kepada kejahatan. Kehendak yang terbelenggu pada dosa itu hanya
dilepaskan oleh Allah. Pada saat manusia
secara pasif berbalik pada Allah, pada
saat itu juga ia diberikan suatu kapasitas pasif di mana ia dapat diraih oleh
anugerah dan oleh Roh Allah.[25]
Luther
sangat menentang pengajaran kehendak bebas.
Menurut Luther pengajaran tersebut tidak Alkitabiah dan penggaliannya
terhadap surat Roma membuktikan hal tersebut.
Berdasarkan Roma 1:18 Luther menyatakan bahwa dosa dan kesalahan
universal umat manusia membuktikan bahwa kehendak bebas itu tidak benar. Roma 3:9, 19 yang menyebutkan adanya
kekuasaan dosa yang universal juga
merupakan bukti yang menentang kehendak bebas. Di sini terbukti tidak ada satu manusia pun
yang tidak dikuasai oleh dosa sehingga menimbulkan pertanyaan “di manakah
kehendak bebas itu?” Selanjutnya dari
Rm. 3:21-26 yang menyatakan adanya anugerah Allah yang menyelamatkan oleh iman
pun bertentangan dengan kenyataan adanya
kehendak bebas karena pembenaran Allah itu datang tanpa usaha melakukan hukum
Taurat. Jadi tidak ada peran manusia di
dalamnya sebagaimana ditegaskan kembali dalam Rm. 4:2-3. Pada puncaknya Luther mengangkat Rm. 9:30-31
bahwa orang kafir yang tidak melakukan “kebenaran” justru dibenarkan oleh iman
sementara Israel yang dengan taat
mengikuti “kebenaran” dari hukum Taurat tidak menerima hukum kebenaran
(sejati).[26]
Pada akhirnya Luther menyimpulkan:
If we believe that Satan is the prince of this world,
ever ensnaring and opposing the kingdom of Christ with all his strength, and
that he does not let his prisoners go unless he is driven out by the power of
the Divine Spirit, it is again apparent that there can be no “free-will”. So,
if we believe that original sin has ruined us to such an extent that even in
the godly, who are led by the Spirit, it causes abundance of trouble by
thriving against good, it is clear that in a man who lacks the Spirit nothing
is left that can turn itself to good, but only to evil.[27]
Dengan kata lain, manusia tanpa
anugerah Allah yang menyelamatkannya dan membuatnya berbalik pada Allah, tidak
bisa berkehendak apa pun selain kehendak jahat.
Rangkuman
Pemikiran Martin Luther tentang anugerah
berkembang dalam rangka menjawab tantangan yang muncul pada zamannya, namun
dalam teologinya Martin Luther sangat menghargai Kitab Suci. Itu sebabnya teologi Luther tidak lain dari
sebuah usaha untuk menafsirkan Kitab Suci.
Dengan demikian bentuk doktrin ini pada dasarnya adalah eksegesis. Dari tafsirannya terhadap
Anugerah berarti kemurahan Allah semata, atau pekerjaan baik
yang Allah kenakan bagi kita dan di dalamnya
tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Semua manusia hidup dalam dosa dan kebodohan
yang membawa kepada maut sebagai penghukuman dari Tuhan. Hikmat dan kebenaran dari usaha mereka adalah
sia-sia dan tidak mampu menolong diri mereka oleh karena kehendak manusia
terbelenggu dan diperbudak oleh dosa
sehingga mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia selalu diikat oleh “kebutuhan”
untuk berdosa. Ia berdosa dengan
sukarela tanpa u7saha perlawanan terhadap kehendak dalam dirinya. Berdasarkan hal ini manusia membutuhkan
pembenaran dari Kristus.
Di dalam
anugerah-Nya Allah terdorong untuk memberikan Kristus kepada kita dan
mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada diri kita dengan karunia-karunia-Nya, yaitu
berupa pembenaran dan pelepasan dari kehendak yang terbelenggu oleh dosa. Kebenaran yang dimaksud bukan kebenaran
sebagai atribut Allah, tapi lebih kepada tindakan Allah yang memberikan
kebenaran pada manusia yang tidak benar.
Pembenaran itu diterima oleh iman.
Iman seperti ini disebut kebenaran, yaitu “kebenaran Allah” karena Allah yang memberikan kebenaran
itu. Dengan demikan, bagi Luther
anugerah adalah pembenaran oleh iman yang memberikan keselamatan. Manusia menjadi hidup di bawah anugerah pada
saat ia dibaptis ke dalam kematian Kristus.
Hal ini membawa kematian terhadap dosa, yaitu jiwa terpisah dari dosa
dan tubuh bebas dari kejahatan. Manusia
tanpa anugerah Allah yang menyelamatkannya dan membuatnya berbalik pada Allah,
tidak bisa berkehendak apa pun selain kehendak jahat. Akan tetapi, hidup di bawah anugerah bukan
berarti tanpa dosa, karena dosa tetap berdiam di dalam kita sampai akhir hidup
kita (bdk. Gal. 5:17). Menurut Luther,
kita tidak berada dalam kondisi sempurna tepat pada saat dibaptis di dalam
Yesus Kristus dan kematian-Nya, akan tetapi kita berjuang mendapatkan berkat
kematian-nya dan mencapai tujuan kemuliaan kita.
JOHN CALVIN
John
Calvin (1509-1564) merupakan seorang teolog reformator pada abad 16 yang banyak
memberikan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan. Hal menonjol dalam diri Calvin adalah
bagaimana ia menekuni kitab suci, karena itulah ia telah berhasil menulis buku tafsiran dari
hampir seluruh kitab dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.[28] Tafsiran surat Roma merupakan buku tafsiran
pertama Calvin yang diterbitkan oleh sebuah percetakan di Strasbourg. Isi dari tafsiran ini diperkirakan merupakan
ringkasan yang sudah direvisi dari kuliah-kuliah yang ia berikan di Jenewa dari
tahun 1536 hingga tahun 1538.[29] Sebagaimana yang dilakukannya di dalam
tafsiran-tafsiran lain yang ditulisnya, dalam tafsiran terhadap surat Roma
ditemukan bahwa Calvin menerapkan metode kesarjanaan humanistis untuk menemukan
arti pasti dari kata-kata atau teks Alkitab dan juga untuk untuk menemukan
konteks sejarahnya. Calvin sangat
percaya pada otoritas dan integritas Alkitab sehingga ia tidak membuat sebuah
pendekatan kritis dalam tafsirannya. Ia
juga percaya akan kesatuan Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru,
dan untuk mengerti kesatuan Alkitab ini ia menggunakan tipologi sebagai
petunjuknya.[30]
Anugerah Berupa Pembenaran oleh Iman
Berkenaan
dengan anugerah, Calvin melihat anugerah dipaparkan dalam Surat Roma dalam
bentuk pembenaran oleh iman. Pembenaran
hanya tidak dipahami sebagai pengampunan dosa.
Pembenaran diekspresikan dengan nama penerimaan, yaitu adopsi yang
dilakukan Kristus kepada kita berdasarkan kemauan Allah yang baik. Surat Roma menyebutkan hal ini sebagai
imputasi kebenaran, yaitu pemberian kebenaran kepada manusia oleh Allah tanpa
ada jasa manusia di dalamnya.[31] Hal ini jelas dinyatakan dalam lima pasal
pertama dari surat Roma.
Calvin
menyatakan dalam bagian pengantar dari tafsiran surat Roma tersebut bahwa tema
dari lima pasal itu ialah kebenaran manusia yang adalah kemurahan Allah dalam
Kristus, yaitu ketika kebenaran itu ditawarkan oleh injil dan diterima oleh
iman.[32] Kelima pasal pertama dalam surat Roma ini
memperlihatkan bagaimana anugerah itu diberikan kepada manusia dan diberitakan
kepada mereka. Puncaknya ada di pasal
lima yang menyatakan buah dan akibat dari pembenaran oleh iman. Menurut Calvin, di sini Paulus mau
menunjukkan betapa manusia harus berharap dari kasih Allah yang Ia curahkan
kepada orang berdosa yang terhilang dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal dan
Ia kasihi. Dalam pasal ini pula Paulus
membuat perbandingan antara dosa dan pembenaran gratis, Kristus dan Adam,
kematian dan kehidupan, dan hukum Taurat dan anugerah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa betapapun
besarnya kesalahan kita, akan terhapus oleh kebaikan Allah yang tidak terbatas.[33]
Berkenaan
dengan perkataan Paulus dalam Roma
5:20-21 yang sering disalahtafsirkan, Calvin berkata bahwa subjek ini bergantung
pada apa yang sudah dikatakan oleh Paulus dalam pasal sebelumnya yaitu bahwa
dosa ada sebelum hukum Taurat diberitakan.
Ketika hukum Taurat diberikan maka anugerah bertambah, namun itu sama
sekali bukan seluruh akibat dan kegunaan dari hukum Taurat, tapi hanya
menyentuh satu bagian saja. Apa yang
ingin Paulus ajarkan di sini adalah bahwa manusia perlu menemukan keadaan
dirinya yang hancur supaya matanya terbuka melihat anugerah yang diberikan
Allah. Pelanggaran yang bertambah, bagi
Calvin, menunjukkan bahwa kedagingan makin menjadi-jadi justru saat kedagingan
itu dikekang oleh hukum Taurat. Hal ini
terjadi karena natur manusia yang cenderung mempertahankan sesuatu yang
dilarang. Pengetahuan akan dosa menambah
dosa itu karena dosa dipaparkan di hadapan mata manusia supaya ia dapat terus
dipaksa melihat penghukuman yang dipersiapkan baginya, karena ketika hukum
Taurat sudah dinyatakan, orang yang tadinya hanya mengabaikan hukum telah
menjadi orang yang menghina otoritas Allah yang telah menyatakan kehendak-Nya
melalui hukum Taurat itu. Pada saat
seperti ini nampak peran anugerah.
Anugerah datang menolong manusia ketika dosa sedang melimpah-limpah dan
anugerah mengatasi dosa dengan mengimputasi kebenaran dalam diri manusia yang
berdosa itu.[34]
Anugerah dan Pilihan Allah
Calvin
telah berusaha untuk menggali berita anugerah pembenaran oleh iman itu
sedemikian rupa hanya dari kata firman Tuhan, namun hasil penafsirannya
memperlihatkan adanya pengaruh yang kuat dari doktrin pilihan yang diyakininya. Calvin berkata bahwa anugerah
Allah itu gratis dan tidak bersyarat dan oleh karena itu pemilihan tidak
berlandaskan kepada prapengetahuan Allah tentang usaha dan pertobatan manusia. Pemilihan tidak bersyarat merupakan cara lain
untuk mengungkapkan anugerah yang tidak bersyarat.[35] Oleh karena itu, tidak terhindarkan bahwa ia
juga melihat anugerah dalam surat Roma dalam kerangka pilihan Allah.
Mengenai 5:21, Calvin mengatakan bahwa
di sini Paulus sengaja menghadirkan kata “anugerah” sebagai kata tambahan
supaya memperdalam kesan bahwa seluruh kebenaran datang bukan dari jasa
manusia, tapi dari kebaikan ilahi.
Anugerah menyingkirkan kuasa dosa dan kematian, namun dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Paulus mengenai Adam dan Kristus, Calvin melihat bahwa hal
ini berarti anugerah Kristus itu mulai
berlaku dalam diri manusia secara individu, bukan bagi seluruh
manusia. Hanya atas orang-orang ini
anugerah Kristus itu berkuasa atas dosa dan mengalahkan kematian.[36]
Anugerah dan Pengudusan
Pembenaran
dan pengudusan bagi Calvin merupakan
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan walaupun masing-masing merupakan dua hal yang
berbeda. Pembenaran dan pengudusan
merupakan dua anugerah yang bernilai sama.[37] Pengudusan berjalan sesudah pembenaran terjadi
secara pasti. Hal ini, menurut Calvin,
yang ingin disampaikan oleh Paulus sebagai jawaban atas penafsiran miring yang
dibuat oleh orang-orang pada zaman Paulus terhadap konsep anugerah yang
diajarkannya.[38]
Dalam
penafsiran terhadap Roma 6 yang merupakan jawaban Paulus terhadap
kesalahpahaman konsep anugerahnya, Calvin menyatakan bahwa pemberian kebenaran
gratis dari Kristus pada manusia tidak pernah bisa dilepaskan dari suatu
tindakan pembaruan hidup yang dilakukan-Nya terhadap si penerima anugerah
itu. Dalam pasal ini Paulus dengan tegas
menyatakan ketidaksetujuannya bahwa dosa memberi kesempatan bagi anugerah untuk
dinyatakan. Jika menusia terus berbuat
dosa atas nama anugerah, hal itu sebenarnya menunjukkan kecenderungan
kedagingan yang senantiasa mencari alasan untuk kepentingannya. Penyimpangan pemahaman yang terjadi ketika
manusia dalam kedagingannya mendengar tentang pembenaran oleh iman disebabkan
karena kebenaran yang disampaikan oleh Kristus sesungguhnya bertentangan sama
sekali dengan pertimbangan manusia.[39]
Kalimat
penolakan Paulus yang tegas dalam ayat 2 merupakan satu usaha untuk menunjukkan
adanya kontradiksi yang sangat besar jika manusia yang sudah menerima anugerah
memelihara perbuatan jahatnya di hadapan Allah.
Anugerah Allah merupakan sarana pembaruan kebenaran manusia. Pertanyaan “bagaimanakah kita masih dapat
hidup di dalamnya [dosa]” menggunakan kata keterangan (adverb) yang
mengacu pada masa yang akan datang, dan menurut Calvin ini menjadi bukti bahwa
pembenaran seharusnya diikuti oleh suatu perubahan seperti yang diharapkan
Allah. Karena itu orang yang sudah
dibenarkan itu sebenarnya berada dalam keadaan mati terhadap dosa (ayat
3). Mati terhadap dosa menunjukkan satu
kebenaran bahwa manusia tidak pernah berekonsiliasi dengan Allah tanpa
pemberian regenerasi (kelahiran baru).
Kelahiran baru adalah sebuah kehidupan yang berbeda dari hidup yang
lama. Di dalam kelahiran baru ini
manusia menuju pada kekudusan. Untuk
itu, sebenarnya manusia dibenarkan dengan tujuan supaya sesudahnya ia bisa
menyembah Allah dalam hidup yang dikuduskan.
Manusia dibenarkan dengan curahan darah Kristus untuk membasuh dosanya
dan menguduskannya, oleh sebab itu mustahil jika dosa justru mendapatkan kekuatannya melalui
sarana anugerah.[40]
Baptisan
yang disebutkan oleh Paulus dalam ayat 4,
menurut Calvin, juga mengandung arti mati terhadap diri sendiri, menjadi
ciptaan yang baru yang bersatu dengan persekutuan kematian Kristus dan berbagi
dalam kehidupan-Nya. Bersatu dengan
Kristus berarti juga memiliki natur seperti Kristus, yaitu natur yang
diperbaharui, natur Roh yang jauh daripada dosa. Hidup bagi Allah (ayat 10) dengan tidak
membiarkan dosa berkuasa, merupakan konsekuensi alami jika seseorang berada dalam
persekutuan dengan Kristus. Walaupun
dosa masih berdiam di dalam kita yang hidup dalam dunia, namun ia tidak punya
kuasa atas kita, karena kuasa pengudusan lebih besar dari kuasa dosa. Dengan demikian kita menyaksikan bahwa kita
sungguh-sungguh anggota bagian dari Kristus.
Demikianlah dalam pembahasan seluruh pasal 6 ini Calvin melihat anugerah
dalam kerangka pembenaran yang diiringi pengudusan.[41]
Rangkuman
Calvin
termasuk teolog yang unik dalam memahami konsep anugerah Paulus. Ia menerapkan metode kesarjanaan humanistis
dalam penyelidikannya akan Alkitab, namun ia juga sangat percaya pada otoritas
dan integritas Alkitab. Anugerah
dipaparkan dalam surat Roma dalam bentuk pembenaran oleh iman yang dipahami
sebagai pengampunan dosa dan penerimaan terhadap manusia, yaitu adopsi yang dilakukan
Kristus kepada kita berdasarkan kemauan Allah yang baik. Berdasarkan penggalian Calvin, surat Roma
menyebutkan hal ini sebagai imputasi kebenaran, yaitu pemberian kebenaran
kepada manusia oleh Allah tanpa ada jasa manusia di dalamnya. Satu-satunya kebenaran manusia adalah
kemurahan Allah. Manusia perlu menemukan
keadaan dirinya yang hancur terlebih dahulu supaya matanya terbuka melihat
anugerah yang diberikan Allah, dengan demikian manusia akan berharap kepada
kasih Allah dicurahkan kepada orang berdosa yang terhilang dengan memberikan
Anak-Nya yang tunggal dan Ia kasihi.
Bagi
Calvin, bertambahnya pelanggaran
menunjukkan bahwa kedagingan makin menjadi-jadi justru saat kedagingan
itu dikekang oleh hukum Taurat. Di
tengah-tengah situasi yang demikian anugerah datang menolong manusia. Anugerah mengatasi dosa yang sedang
melimpah-limpah dengan mengimputasi kebenaran dalam diri manusia yang berdosa
itu. Anugerah menyingkirkan kuasa dosa
dan kematian dan ini berlaku secara individu dalam diri manusia.
Sesudah
pembenaran terjadi, Allah memberikan
pengudusan. Pembenaran dan
pengudusan bagi Calvin merupakan sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan. Itu sebabnya
Paulus menyatakan ketidaksetujuannya untuk berbuat dosa atas nama
anugerah. Hal demikan sebenarnya
menunjukkan kecenderungan kedagingan atau dosa yang masih berkuasa, padahal
orang berdosa sudah mati terhadap dosa.
Ia hidup melalui kelahiran baru yang adalah sebuah kehidupan yang
berbeda dari hidup yang lama. Jadi, ada
kontradiksi yang sangat besar jika manusia yang sudah menerima anugerah
memelihara perbuatan jahatnya di hadapan Allah.
KARL BARTH
Karl
Barth (1886-1968) adalah seorang teolog dan pendeta abad ke-20. Ia lahir di Basel pada 1886 dari keluarga
seorang pendeta Reformed Church, yaitu Joahann Friedrich Barth yang
sangat sangat setia kepada Ortodoksi Reform.[42] Barth sendiri adalah seorang teolog
neo-Ortodoks yang memberontak terhadap liberalisme. Barth diakui sebagai perintis teologi
kontemporer melalui terbitan The Epistle to the Romans pada 1919 yang
ditulisnya sebagai titik balik kepada era yang baru tersebut.[43] Di dalam tafsiran Roma yang ditulis oleh
Barth terdapat pandangan dan penafsirannya mengenai anugerah yang dibahas
Paulus yang tersebar di berbagai pasal.
Anugerah bahkan dijadikan Barth sebagai suatu tema besar atas
keseluruhan pasal enam dari surat Roma.
Adapun anugerah yang diuraikan oleh Barth dalam tafsiran Roma ini tidak
terlepas dari epistemologinya yang tidak mempercayai kemanusiaan Yesus Kristus
dan beranggapan bahwa Ia tidak terlibat dalam sejarah manusia atas dasar Allah
terlepas sama sekali dari sejarah manusia.[44] Berikut ini adalah penafsiran maupun
pemahaman Barth tentang anugerah tersebut.
Anugerah dan
Panggilan
Berdasarkan
penggunaan kata “anugerah” atau “kasih karunia” yang pertama kali muncul di
surat Roma pada pasal 1 ayat 5, Barth mengakui bahwa Paulus menerima anugerah
dan kerasulan dari Yesus Kristus. Barth
melihat hal ini sebagai suatu tindakan perkenanan Tuhan terhadap Paulus dengan
memanggil Paulus untuk melayani Dia.
Baginya tindakan ini adalah sesuatu yang tidak terpahami mengenai sikap
Allah terhadap manusia. Oleh sebab
itulah Barth mendefinisikan anugerah sebagai fakta yang tidak terpahami tentang
sikap Allah, yaitu sikap-Nya yang benar-benar berkenan kepada manusia, dan
bahwa manusia bisa bersukacita dalam Allah.
Lebih tegas lagi Barth menyatakan bahwa anugerah adalah anugerah yang
sesungguhnya jika anugerah itu didapati sebagai sesuatu yang tidak
terpahami. Oleh karena itulah, menurut
Barth, anugerah ada hanya pada saat kebangkitan manusia direfleksikan bersama
kebangkitan Kristus dari kematian.[45]
Anugerah
juga merupakan pemberian Allah yang menyingkapkan adanya jurang yang memisahkan
antara Allah dan manusia. Dengan
menyingkapkan hal tersebut, anugerah juga menjembatani jurang tersebut. Tapi
Barth berkeyakinan bahwa Allah mengenal manusia dari jauh. Sebaliknya, Ia juga dikenal manusia dalam
kemuliaan-Nya yang tidak bisa didekati, maka manusia harus mendekati sesama
manusia sebagai seorang utusan. Dari hal
ini terlihat bahwa Barth berusaha menolak ajaran guru-gurunya yang beraliran
liberal. Dalam liberalisme, Allah
dianggap imanen atau hadir di tengah dunia, sebaliknya Barth di dalam tafsiran
ini menunjukkan bahwa Allah itu “mutlak
berbeda” dari manusia. Nampak jelas
bahwa Barth menghadirkan suatu konsep yang bertolak belakang dengan konsep
imanensi, yaitu konsep transendensi.[46] Di mana ada anugerah Allah, manusia berperan
serta dalam mengabarkan transformasi waktu, dan hal-hal lain hingga kepada kebangkitan.[47]
Pemberian
anugerah oleh Allah menyaksikan kesetiaan Allah yang telah ditemukan oleh
manusia di dalam Kristus. Ketika
anugerah itu telah ditemukan dan disadari, ia membutuhkan kesetiaan yang sama
terhadap Allah. Kesetiaan manusia
terhadap kesetiaan Allah, yang disebut iman yang menerima anugerah merupakan
tuntutan ketaatan. Tuntutan tersebut
merupakan panggilan yang memberikan penerangan dan membangkitkan tindakan. Bersama dengan tuntutan tersebut terdapat
misi, yaitu untuk, menghormati nama-Nya.
Untuk misi ini anugerah menyediakan otoritas penuh karena manusia
menjadi tunduk oleh anugerah itu.[48]
Sehubungan
dengan jemaat Kristen di Roma, mereka melihat Allah yang menjadikan Paulus
sebagai Rasul bagi orang kafir adalah Allah yang sama yang membentuk mereka
masuk ke dalam pelayanan kerajaan-Nya yang ada sekarang dan akan datang. Anugerah erat hubungannya dengan panggilan
terhadap seseorang untuk masuk dalam kekudusan.
Mereka tidak lagi menjadi milik mereka sendiri atau pada dunia mereka
yang dulu yang berjalan dalam kecurangan.
Mereka menjadi milik Allah yang telah memanggil mereka. Mereka juga berada dalam kondisi yang
diperbaharui oleh anugerah dari Allah
Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus.[49]
Anugerah dan Pembenaran
oleh Iman
Dalam
hubungan dengan keberadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa dan kehilangan
kemuliaan Allah dalam 3:23, Barth menyatakan sebenarnya Allah telah mengumumkan
sesuatu yang penting bagi manusia. Allah
mengumumkan kebenaran-Nya adalah kebenaran abadi di balik dan di atas segala
kebenaran dan ketidak-benaran manusia.
Oleh kebenaran-Nya Ia membenarkan kita sehingga kita pada saat
penghakiman dapat berdiri dengan pasti dan tulus di hadapan Allah, sang Hakim,
yang pada saat itu sedang mengadakan pemeriksaan terhadap iman kita dalam
Allah. Iman yang dimaksud di sini adalah
iman bahwa Ia ada karena Ia ada. Menurut
Barth, sepanjang kita dipengaruhi atau digoyangkan oleh motif lain selain iman,
kita tidak dapat berdiri di hadapan Allah. Allah mengumumkan bahwa kita, musuh-musuh-Nya adalah
anak-anak-Nya yang terkasih. Ia juga menyatakan bahwa keputusan-Nya adalah
untuk menegakkan keadilan dengan pembaruan yang sepenuhnya terhadap langit dan
bumi. Barth menyebut deklarasi-deklarasi
ini Creatio ex Nihilo di mana ciptaan tidak melakukan apa-apa. Hal-hal tersebut diutarakan oleh Allah dari
kemuliaan-Nya, didasarkan atas diri-Nya sendiri dan tanpa alasan ataupun
syarat.[50]
Dalam
hal-hal tersebut di atas, ciptaan diyakinkan sebagai ciptaan sejati, yang
diciptakan oleh kebenaran ilahi. Akan
tetapi ciptaan ini adalah ciptaan baru, bukan sekadar sesuatu yang baru muncul,
ataupun penambahan, atau pengembangan dari “evolusi kreatif” yang lama di mana
kita adalah bagiannya dan akan tetap menjadi satu bagian darinya sampai hidup
kita berakhir. Akan tetapi
“sesuatu” yang diciptakan Allah itu
merupakan sesuatu yang abadi dan sepenuhnya berbeda dari apa yang ada sekarang
ini. Manusia yang bisa mati harus
diubahkan lebih dahulu menjadi manusia yang tidak bisa mati, dari yang penuh
kejahatan menjadi tidak punya kejahatan, baru boleh masuk ke dalam ciptaan yang
baru itu, yaitu dalam Kerajaan Allah karena daging dan darah tidak bisa
mewarisi kerajaan Allah (bdk. Kor 15:50).[51]
Itu
sebabnya kita menantikan langit dan bumi yang baru sebagai wujud kerajaan
Allah. Kebenaran Allah di dalam kita dan
di dalam dunia bukan bentuk khusus dari kebenaran manusia yang dibandingkan
dengan bentuk-bentuk lainnya, akan tetapi “hidupmu tersembunyi bersama Kristus
di dalam Allah.” Jika tidak
tersembunyi, maka itu bukanlah hidup.
Kerajaan Allah belum dinyatakan di bumi, bahkan bagian terkecil darinya
juga tidak dinyatakan saat ini, akan tetapi kerajaan Allah itu sudah
diproklamirkan. Kerajaan Allah tinggal
sebagai iman, dan hal yang “baru” harus
dimengerti sebagai dunia kekal dalam refleksi di mana kita berdiri di sini dan
saat ini. Dengan demikian kemurahan Allah yang diarahkan terhadap kita dapat
menjadi nyata, hanya sebagai suatu mujizat, “datang dari atas.” Ketika anugerah itu dianggap sebagai suatu
elemen dalam sejarah atau sebagai satu faktor dalam pengalaman spiritual
manusia, maka dalam hal itu ketidakbenaran telah diutamakan. Pada abad 19 para teolog liberal mencoba
menemukan “Yesus historis” di belakang “Kristus yang supranatural” dalam
Alkitab. Orang-orang liberal klasik
seperti Harnack telah mencoba menemukan inti-inti yang bersifat fakta sejarah
mengenai Yesus di dalam injil yang menurut mereka tidak dapat dipercaya. Akan tetapi di sini Barth jelas menyatakan pendiriannya bahwa Penyataan (Allah) tidak
memasuki sejarah. Penyataan hanya
menyentuh pinggiran lingkaran sejarah.
Menurut Barth, dalam sejarah tidak ada sesuatu pun yang dapat menjadi dasar bagi iman. Oleh sebab itu di sini ia berkata sesuatu yang
baru atau kerajaan Allah itu juga di luar sejarah.[52] Penantian kita dalam iman akan realisasi dari
firmanNya itu adalah satu-satunya yang dapat dikatakan sebagai berdiri di
hadapan Allah yang sesungguhnya, karena kita menyadari secara terus-menerus
bahwa deklarasi pembenaran kita oleh Allah dalam hadiratnya terjadi semata-mata
oleh anugerah-Nya, dan hanya karena anugerah-Nya.[53]
Berdasarkan
prinsip pembenaran oleh iman ini Barth mendefinisikan anugerah sebagai kehendak
Allah yang baik dan bebas, kehendak-Nya untuk menerima kita, kepentingan-Nya
yang berlangsung hanya dari Dia.
Anugerah tidak menggunakan kekuatan spiritual yang tinggal dalam manusia di dunia ini, anugerah juga bukan
energi yang diam dalam alam, bukan kekuatan kosmik dalam bumi ini. Dengan kata lain manusia dan alam tidak punya
kekuatan spiritual apa pun untuk memperoleh anugerah itu. Anugerah adalah dan tetap merupakan kekuatan
Allah, janji akan manusia baru, ciptaan baru dan bumi yang baru. Anugerah adalah janji kerajaan Allah dan anugerah
itu selalu tinggal dalam dunia ini secara negatif, tidak terlihat dan
tersembunyi. Tanda dari pelaksanaan
anugerah itu adalah pernyataan berlalunya dunia ini dan akhir dari segala
sesuatu. Anugerah adalah keselamatan,
ketentraman dan perbaikan.[54]
Anugerah dan Kuasa Kebangkitan
Tafsiran
Barth terhadap 6:1-11 diberikan judul “Anugerah – Kuasa Kebangkitan” di mana
keseluruhan dari tafsiran terhadap bagian ini terfokus kepada anugerah dari
perspektif Kristus yang transenden.
Anugerah yang dibicarakan di pasal enam ini tidak terlepas hubungannya
dengan permasalahan yang dimunculkan oleh Paulus dalam pasal lima, khususnya
ayat dua puluh yang menurut istilah Barth merupakan pernyataan yang
”mengerikan” karena bisa disalahtafsirkan “..di mana dosa bertambah banyak, di
sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”
Barth mengemukakan dari ayat ini bisa ditemukan relasi melalui ilustrasi
antara Saulus dan Paulus dalam hubungan antara dosa yang ekstrem dan kemenangan
anugerah yang termanifestasi dalam kehancuran yang dilakukan Kristus terhadap
orang yang tidak percaya dan kebangkitan orang-orang kudus. Pemikiran
ini diangkat dari kalimat Calvin: “We should not silently pass Christ by on
the ground that to many he is a rock of offence and a stone of stumbling. For by the same quality He brings both the
unbelievers to destruction and the pious to resurrection.”[55] Akan tetapi Barth tidak sepenuhnya setuju
dengan alasan Calvin karena adanya kemungkinan munculnya sebuah pemahaman bahwa
kejatuhan dalam dosa dan anugerah berdiri satu sama lain di dalam suatu
ketegangan abadi, atau polaritas, atau antinomi. ”ya” dan ”tidak” adalah mirip, penting, dan
ilahi. “Tidak”
harus ditransformasikan menjadi “ya”, dan “ya” menjadi “tidak”, karena segala
sesuatu adalah setara negatif dan positif.
Bagi
Barth, kehancuran yang dilakukan Kristus terhadap orang tidak percaya, dan
kebangkitan orang-orang kudus itu tidak memiliki definisi secara fisik ataupun
metafisika, melainkan mengacu kepada “moment” kekal dari pengenalan akan
Allah.[56] Dengan kata lain, Barth menolak klaim
kebenaran terjadinya kebangkitan Kristus, sebagaimana ia menolak bahwa Kristus
adalah manusia. Kristus hanya suatu
prinsip dari epistemologi untuk memahami Alkitab karena Allah adalah Allah yang
bebas dari sejarah, tidak terikat oleh sejarah, maupun perbuatan-perbuatan-Nya
di masa lampau.[57]
Menanggapi
tulisan Paulus dalam 6:1 tentang bertekun dalam dosa agar anugerah makin
bertambah, Barth memikirkan kemungkinan bahwa orang pada akhirnya bisa mengarahkan perhatiannya
bukan kepada Allah yang tidak dikenal, tapi terhadap diri mereka sendiri dengan
kemungkinan-kemungkinan kemanusiaan.
Secara logika tertentu ayat ini bisa ditafsirkan bahwa dosa bisa
menyukseskan anugerah dan anugerah kemudian berputar kembali mengikuti
dosa. Hubungan kausal antara anugerah
dan dosa ini adalah sebuah ajakan yang jelas untuk terus hidup dalam dosa. Dengan kata lain manusia dalam keterbatasan
pengalamannya, mampu mentransformasikan kejahatan menjadi kebaikan, dan dosa
menjadi anugerah. Barth tidak
membenarkan logika apa pun yang menerjemahkan peristiwa yang tidak terlukiskan
dan tidak terlihat, di mana kuasa dosa dan anugerah berimbang atas izin
Allah, sebagai sesuatu yang saling
menyukseskan. Sebaliknya Barth
berpendapat bahwa seseorang yang menerima anugerah tidak seharusnya hidup dalam
dosa. Hidup dalam dosa didefinisikan
sebagai ketidak mampuan sesorang untuk melakukan hal apa pun selain tunduk dan
memuliakan diri sendiri dan menurunkan Allah kepada levelnya sendiri oleh
karena kepentingan pribadi yang tidak terlihat.
Anugerah sendiri sebenarnya merupakan fakta pengampunan, akan tetapi itu hanya dapat dipahami dalam
kontinuitas yang berkenaan dengan kehendak Allah dengan demikian anugerah tetap berlawanan dengan dosa dan menelan
dosa. Ketika manusia menerima anugerah,
ia menjadi mati terhadap dosa. Totalitas
kehendak dan kepandaian manusia telah ditundukkan oleh kekuatan yang unggul,
tidak terlukiskan dan tidak terlihat.
Kekuatan ini barasal dari ekstistensi kekal di masa yang akan datang,
yaitu masa depan dari kemungkinan yang tidak konkret tentang Allah.[58]
Orang-orang
yang mendapatkan anugerah itu memiliki suatu tanda, yaitu baptisan yang
merupakan sarana anugerah. Baptisan merupakan
tanda awal pengenalan manusia akan Allah yang memberikan kita titik awal. Sebagai sebuah sakramen kebenaran dan
kesucian, baptisan menjadi tanda yang mengarahkan kita kepada pewahyuan Allah
akan hidup kekal. Dengan demikian
baptisan menghubungkan orang percaya
kepada ciptaan baru sesuai dengan fungsi baptisan sebagai sarana anugerah. Di dalam ciptaan baru melalui baptisan itu,
orang yang sudah percaya kepada Kristus telah menjadi mati terhadap dosa. Sebagai kelanjutan kematian terhadap dosa, maka
Allah sendiri bertindak mengadakan penghancuran, pengrusakan, dan disintegrasi
terhadap manusia lama. Kematian terhadap
dosa ini merupakan anugerah sebagaimana yang hendak dicapai oleh baptisan. Kematian bukan merupakan anugerah jika
kemungkinan tindakan manusia
bertambah-tambah di dalamnya melalui serangkataian tindakan negatif seperti
asketisme, kembali pada alam, “nyepi”, kematian mistik, dan sebagainya. Akan tetapi kematian merupakan anugerah
ketika kita memasuki kuasa kebangkitan
Kristus yang dibangkitkan dari kematian melalui kemuliaan Bapa. Oleh kuasa kebangkitan ini kita memasuki
hidup baru yang bukan hanya senantiasa menguji apa kita terus berdosa, tapi
menunjukkan ketidakmungkinan untuk terus berdosa.[59]
Setelah
sampai pada tahap pemikiran bahwa kematian terhadap dosa dan manusia baru yang
dicapai melalui baptisan sebagai sarana anugerah, Barth tetap konsisten dengan
keyakinan dasar seluruh teologi dan pemahamannya akan Alkitab bahwa Allah ada
di luar sejarah dan kematian serta kebangkitan pun terjadi di luar sejarah,
oleh sebab itu menurutnya manusia baru juga bukan kejadian yang terjadi di masa
sekarang, masa lalu, ataupun masa depan.
Namun tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah manusia bisa dan
sungguh-sungguh akan mencapai kemungkinan yang tidak mungkin akan manusia baru
ini? Sebagai jawabannya Barth mengakui
pertanyaan tersebut juga ada di dalam dirinya namun ia mengatakan baginya yang lebih penting adalah bahwa dosa
disingkirkan sama sekali di dalam
manusia baru itu. Artinya manusia baru
tidak akan terus berdosa, dan hal ini
disebut sebagai anugerah.[60]
Dari
penggalian terhadap anugerah, Barth menyimpulkan bahwa anugerah dan dosa tidak
bisa dimunculkan sebagai suatu equilibrium. Jika muncul kemungkinan seakan-akan seseorang
berada dalam dosa dan berada di bawah anugerah secara bersamaan, Barth memilih
untuk membiarkan kemungkinan itu muncul.
Pada akhirnya akan nampak bahwa anugerah tetap merupakan sesuatu yang
mengganggu dan mengubah keseimbangan tersebut.
Sebenarnya kita memasuki kemungkinan yang tidak mungkin, yaitu membeberkan ketidakbenaran dari realitas
hidup kita sekaligus membentangkan realitas hidup kita yang ada di dalam Allah.[61] Dengan demikian Barth menampakkan bahwa anugerah
dan dosa tidak bisa berjalan seimbang, saling melengkapi atau saling
menyukseskan.
Rangkuman
Anugerah
bagi Barth merupakan suatu tema besar atas keseluruhan pasal enam dari surat
Roma. Anugerah yang diuraikan oleh Barth
dalam tafsiran Roma sangat dipengaruhi oleh ketidakpercayaannya kepada
kemanusiaan Yesus Kristus dan anggapan bahwa Ia tidak terlibat dalam sejarah
manusia atas dasar Allah terlepas sama sekali dari sejarah manusia. Anugerah adalah anugerah yang sesungguhnya
jika anugerah itu didapati sebagai sesuatu yang tidak terpahami. Oleh karena itulah, menurut Barth, anugerah
ada hanya pada saat kebangkitan manusia direfleksikan bersama kebangkitan
Kristus dari kematian. Anugerah adalah
kehendak Allah yang baik dan bebas, yaitu kehendak-Nya untuk menerima kita demi
kepentingan-Nya. Anugerah juga merupakan
janji kerajaan Allah dan anugerah itu selalu tinggal dalam dunia ini secara
negatif, tidak terlihat, dan tersembunyi.
Dalam
anugerah yang berupa kehendak bebas Allah dan berupa janji itulah Allah membuat
“pengumuman-pengumuman” pembenaran terhadap manusia. Oleh kebenaran-Nya Ia membenarkan kita hingga
hari penghakiman tiba di mana pada saat
itu iman kita diperiksa di hadapan Allah. Barth menyebut deklarasi-deklarasi
ini Creatio ex Nihilo di mana ciptaan tidak melakukan apa-apa.
Anugerah
secara langsung membawa seseorang masuk dalam kekudusan. Diri orang yang sudah menerima anugerah tidak
lagi menjadi milik mereka sendiri, juga tidak menjadi milik dunia yang berjalan
dalam kecurangan. Allah adalah pemilik
orang tersebut. Sejak saat itu,
manusia berada dalam kondisi yang
diperbaharui oleh anugerah dari Allah
Bapa dan Tuhan Yesus Kristus. Manusia
yang bisa mati harus diubahkan lebih dahulu menjadi manusia yang immortal dan
tidak punya kejahatan, setelah itu ia baru boleh masuk ke dalam ciptaan yang
baru, yaitu dalam kerajaan Allah.
Artinya, seseorang yang menerima anugerah tidak seharusnya hidup dalam
dosa, karena hidup dalam dosa berarti ketidakmampuan sesorang untuk melakukan
hal apa pun selain tunduk dan memuliakan diri sendiri dan menurunkan Allah
kepada levelnya sendiri oleh karena kepentingan pribadi yang tidak
terlihat. Padahal, anugerah sendiri
sebenarnya merupakan fakta pengampunan.
Dengan demikian orang yang menerima anugerah tidak terus hidup dalam
dosa untuk menyukseskan anugerah.
CHARLES G. FINNEY
Tokoh
lain yang pemikiran dan pengajarannya sangat berpengaruh adalah Charles G. Finney. Finney lahir di Warren,
Anugerah dan Hukum Taurat
Finney mengaitkan anugerah erat
dengan perjanjian Allah kepada manusia, yaitu perjanjian anugerah. Perjanjian anugerah didefinisikan sebagai
perjanjian yang mengakui bahwa semua berkat keselamatan merupakan pemberian
semata. Dalam kaitan inilah Finney, dalam
khotbahnya yang diangkat dari 6:14 menempatkan anugerah secara berseberangan
dengan hukum Taurat. Ia menyatakan bahwa
“berada di bawah anugerah Allah merupakan lawan dari perjanjian hukum Taurat.”[65]
Dengan
demikian Finney menyatakan ada dua macam perjanjian yaitu perjanjian hukum
Taurat dan perjanjian anugerah. Kedua
macam perjanjian ini dipaparkan sebagai sesuatu yang beroposisi di mana
masing-masing memiliki kuasanya tersendiri terhadap mereka yang terikat dengan
perjanjian tersebut. Orang yang terikat
oleh perjanjian hukum Taurat berada di bawah
hukum Taurat. Hal ini berarti ia
tunduk terhadap hukum Taurat sebagai suatu “covenant work.” Dengan kata lain, orang yang berada di bawah
hukum Taurat tersebut berada di bawah kepentingan untuk memenuhi hukum Taurat
secara sempurna dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan. Orang yang berada di bawah hukum Taurat dipenuhi motivasi-motivasi dan
pertimbangan-pertimbangan legal. Ia
ditakuti-takuti oleh hukuman, atau dipengaruhi oleh harapan akan upah. Orang yang berada di bawah hukum Taurat juga
didesak oleh kesadaran dan kesadaran akan kewajiban, dan bukan oleh cinta.[66]
Pada
akhirnya, menurut Finney, orang yang
berada di bawah keputusan hukum Taurat yang menghakimi menutup mata dari
persekutuan dengan Allah. Seperti
seorang kriminal, kondisinya tertutup dari segala hubungan yang bersahabat
dengan pemerintah, ia dianggap dan diperlakukan sebagai pelanggar hukum, demikian juga dengan orang berdosa di bawah hukum Allah. Ketika ia tinggal dalam kondisi rohani yang
mati dan terpisah dari Allah, hukuman kematian kekal melawan dia. Ia tertutup dari persekutuan dengan Allah,
dan akibatnya dosa akan mendominasi dia.[67]
Sebaliknya
orang yang berada di bawah anugerah dipengaruhi oleh kasih, dan ia bersukacita
oleh anugerah, bukan oleh motivasi-motivasi legal. Orang yang berada di bawah anugerah
diletakkan kepada suatu kepemilikan berkat dari perjanjian yang baru dan penuh
kemurahan, selain itu ia disatukan dengan Kristus, oleh iman, sebagaimana
menerima hidup yang berlangsung, dan berpengaruh dari-Nya. Keadaan ini seperti pokok anggur dengan
carangnya. Orang yang berada di bawah
anugerah bergerak melalui kematian kepada hidup, orang tersebut berpindah dari
kerajaan kegelapan kepada kerajaan Anak Allah yang terkasih, melewati dari kondisi
kriminal terhukum ke dalam kondisi penebusan, pembenaran, dan pengangkatan
menjadi anak Allah.[68]
Anugerah dan
Dosa
Menurut
Finney, dosa adalah keadaan pikiran yang berlawanan dengan hukum Tuhan. Kedagingan, dengan segala bentuknya,
merupakan dosa. Tidak ada bentuk dosa yang
bukan merupakan modifikasi dari kedagingan.
Akan tetapi, Finney memiliki pengertian dosa yang agak berbeda dari
orang-orang evangelikal yaitu bahwa dosa adalah bagian dari konstitusi fisik
dan mental kita. Dosa bukan bagian dari
natur, tapi sebuah keadaan pikiran secara sukarela, yaitu aksi atau pilihan
pikiran, di mana pilihannya adalah pada kepentingan kita sendiri oleh karena
itu adalah milik kita, atau kepada kepentingan-kepentingan lain yang dianggap
lebih tinggi. Dosa tidak terdiri dari
kerusakan natur, tapi dosa adalah pemutarbalikan atau penyalahgunaan natur
kita.[69] Dalam penjelasan yang masih berkenaan
dengan perkataan Paulus dalam 6:14,
Finney menyatakan bahwa dosa tidak dapat berkuasa atas mereka yang
berada di bawah anugerah. Alasannya
adalah karena hukum yang baru sudah tertulis di dalam hati yang membuat orang yang berada di bawah anugerah taat
kepada Allah oleh Roh Kristus yang tinggal di dalam dirinya, dan setiap bentuk
dosa merupakan kekejian bagi jiwa dan tidak punya pengaruh. Orang yang berada di bawah anugerah jiwanya
berada di dalam darah Kristus untuk pembenaran dan keselamatan sehingga tidak
punya niat untuk usaha-usaha kedagingan yang merupakan dosa. Pemaknaan terhadap anugerah mendorongnya
untuk mengasihi dan melayani Allah, bukan melayani diri sendiri.[70]
Hal yang
lebih jelas tentang tidak adanya niat untuk usaha-usaha kedagingan dapat
dilihat dari penjelasan Finney tentang kematian terhadap dosa. Berdasarkan pernyataan Paulus dalam 6:7, Finney menyatakan bahwa kematian terhadap
dosa mengandung makna anihilasi (pemusnahan total) keinginan daging manusia di
samping adanya pemerintahan kasih Allah yang sempurna kepada Allah dan manusia
di dalam hati dan hidup manusia. Ia
melihat nampaknya tidak ada cara lain yang olehnya kuasa kedagingan dapat
dipatahkan, kecuali menghilangkan (anihilate) sama sekali
pertimbangan-pertimbangan untuk usaha kedagingan dengan membawa kembali jiwa
kebenaran bahwa keselamatan adalah oleh anugerah melalui iman.[71]
Sebelum
memahami arti mati terhadap dosa, Finney lebih dahulu mengajak kepada
pengertian tentang mati dalam dosa dari beberapa aspek yang berkenaan
dengannya. Berkenaan dengan
kehendak, mati dalam dosa mengandung
arti mati terhadap kemuliaan dan kepentingan Allah dan hanya hidup bagi
kemuliaan diri sendiri. Kehendak yang dimiliki oleh orang ini sama sekali tidak
pernah dipengaruhi oleh kehendak Allah, dan juga tidak pernah tunduk kepada
kehendak Allah. Berkaitan dengan
pikiran, orang yang mati dalam dosa memiliki pikiran yang mengikuti kemauan
dirinya, ia hanya memikirkan kemudahan, kebahagiaan, reputasi dan
kepentingannya sendiri. Hal ini
dikarenakan kesenangan dan kebahagiaannya sendiri yang menjadi hukum atas
pikirannya. Jika dikaitkan dengan reputasi, mati
dalam dosa berarti cinta pada reputasi diri sendiri. Secara kepemilikan, mati dalam dosa berarti
apa yang kita miliki dianggap sebagai milik sendiri, Allah tidak memiliki
bagian terhadapnya. Pada akhirnya,
menurut Finney, mati dalam dosa berarti kondisi pikiran seseorang itu
dipengaruhi oleh objek yang layak baginya (dianggapnya baik), oleh kehormatan,
kekayaan, pendapat, dan hal-hal dari dunia ini sebanyak mungkin
seakan-akan pemiliknya berharap hidup
dalam dunia ini selamanya.[72]
Sementara
itu mati terhadap dosa berarti kematian terhadap kepentingan-kepentingan dan
kesenangan diri kita sendiri sebagai ujung suatu pencarian dan suatu kehidupan
yang utuh bagi kemuliaan Allah dan bagi pembangunan kerajaan-Nya. Indikasi yang
paling utama mengenai orang yang mati terhadap dosa dapat dilihat dari
kehendaknya yang sepenuhnya tunduk kepada dan di bawah kontrol kehendak
Allah. Finney berpendapat bahwa orang
yang mati terhadap dosa tidak punya kehendak apa pun selain daripada kehendak
Allah yang seharusnya dilakukannya dalam segala sesuatu. Jika orang itu diperhadapkan pada pertanyaan
yang membuatnya ragu sehingga ia menjadi bertanya-tanya mana yang merupakan
kehendak Allah, maka ia akan mendapati dirinya tidak mampu mengambil keputusan
terhadap tindakan-tindakan tertentu.
Semua yang bisa ia putuskan dalam kasus-kasus tertentu adalah untuk
mencari dan mengetahui apa yang merupakan kehendak Allah. Tapi sebelum ia dipuaskan dalam beberapa cara
yang berkenaan dengan kehendak Allah, ia merasa ragu dan mendapatkan dirinya
tidak mampu mengambil keputusan yang berkenaan dengan pertanyaan yang ada di
hadapannya. Orang yang mati terhadap
dosa begitu tunduk pada kehendak Allah sehingga tidak ada sesuatu pun yang ia
putuskan dalam pandangan akal kedagingannya.
Kehendak
Allah sudah menjadi kontrol atas alasan dan motivasi tindak tanduknya. “Dia
hanya tahu apa yang merupakan kehendak Allah, dan kehendakNya berkuasa seperti
udara” Dengan kata lain Finney hendak mengatakan seseorang yang mati terhadap
dosa, yaitu yang telah menerima anugerah, memang bisa bingung antara pilihan
yang merupakan kehendak Allah dan kehendak dagingnya. Namun, orang itu tidak akan memutuskan
pilihannya sampai ia tahu benar mana yang merupakan kehendak Allah. Artinya ia bisa berada dalam posisi di antara
dua atau lebih pilihan, namun ia tidak akan pernah salah pada keputusan yang
berdasarkan kedagingannya.[73]
Selain
itu, berkenaan dengan pikiran, orang yang mati terhadap dosa memperlihatkan
kondisi pikiran yang menyangkal diri. Ia
memiliki suatu kecenderungan untuk memberi orang lain pilihan, ia memiliki
suatu pilihan untuk mengakomodasi orang lain, memberkati, dan memberi
keuntungan pada orang lain dengan mengorbankan kepentingan dan kesenangan
dirinya sendiri. Dalam hal reputasi,
tidak memiliki reputasi atau yang kita sebut merendahkan diri, seperti Kristus.
Secara kepemilikan, dengan nyata dan praktis ia menunjukkan bahwa bagian
miliknya adalah milik Allah. Ia tidak
memilih satu pun dari benda-benda dunia ini, walaupun benda-benda itu memang
diperlukan untuk sementara waktu selama ia hidup di dunia ini. Dengan demikian mati terhadap dosa berarti
menghentikan segala keinginan dan harapan akan kekayaan, kehormatan, dan
pengejaran kedagingan dari dunia ini. Ia
tidak meletakkan rencananya atas keinginan memperoleh kekayaan dunia, atau
untuk memperluas dan mengabadikan kepuasan dagingnya. Keinginannya bersifat sorgawi dan bukan
duniawi.[74]
Akan
tetapi, dalam kesimpulannya Finney menyatakan teks Roma 6:14 tidak berarti
bahwa tidak ada seorang pun, di bawah pencobaan, yang dapat jatuh di bawah
kuasa dosa sesekali. Akan tetapi ayat
ini bararti tidak ada bentuk dosa yang akan menjadi suatu kebiasaan, dan tidak
ada bentuk kedagingan dalam kasus apa pun yang dapat menjadi kebiasaan dalam
jiwa di bawah kasih karunia. Tidak ada
nafsu atau cobaan apa pun yang dapat membawa jiwanya ke dalam ikatan dosa. Selain itu, menurut Finney, kadang-kadang
Kristus merasa perlu mengizinkan jiwa jatuh dalam dosa sekali-sekali untuk mengajarkan dengan
pengalaman apa yang jiwa tidak bisa pelajari dengan cara lain.[75]
Rangkuman
Finney
meletakkan dasar pemikiran dan pengajaran pada Alkitab dimana prinsip “Urgency” diterapkan
untuk menyaksikan kebutuhan manusia akan Kristus. Hal ini berlaku juga terhadap pemahaman
konsep anugerah dalam surat Roma. Bagi
Finney anugerah erat kaitannya dengan perjanjian Allah kepada manusia, yaitu
perjanjian anugerah. Perjanjian anugerah
merupakan perjanjian yang mengakui bahwa semua berkat keselamatan merupakan
pemberian semata. Di samping perjanjian anugerah
ada pula perjanjian hukum Taurat yang disebut juga “covenant work.” Orang yang berada di bawah hukum Taurat
tersebut berada di bawah kepentingan legal.
Ia mau memenuhi hukum Taurat secara sempurna dengan tujuan untuk
memperoleh keselamatan. Artinya dalam
perjanjian hukum Taurat manusia berusaha mendapat keselamatan dengan usahanya
sendiri. Kedua macam perjanjian ini
dipaparkan sebagai sesuatu yang beroposisi.
Orang
yang berada di bawah anugerah bergerak melalui kematian kepada hidup. Ia telah masuk kepada kerajaan Anak Allah
yang terkasih, berada dalam kondisi penebusan, pembenaran, dan pengangkatan
menjadi anak Allah. Orang yang dalam
kondisi seperti ini mati terhadap dosa.
Bagi Finney, kematian terhadap dosa berarti anihilasi (pemusnahan total)
keinginan daging manusia oleh
karena pemerintahan kasih Allah ada
dalam hati dan hidup manusia. Orang yang
mati terhadap dosa begitu tunduk pada kehendak Allah sehingga tidak ada sesuatu
pun yang ia putuskan dalam pandangan akal kedagingannya. Kehendak Allah sudah menjadi kontrol atas
alasan dan motivasi tindak tanduknya.
Akan tetapi menurutnya, orang percaya
tetap dapat jatuh berbuat dosa
sesekali, dan berdasarkan keyakinannya akan tidak adanya keputusan berdasarkan
kedagingan, maka kejatuhan tersebut bisa dikatakan bukan sebagai hasil keputusannya
sendiri. Berkenaan dengan kejatuhan
dalam dosa yang sesekali itu, menurut Finney hal itu merupakan kadang-kadang
merupakan cara Kristus untuk mengajarkan
dengan pengalaman apa yang jiwa tidak bisa pelajari dengan cara lain.
Berdasarkan
pemaparan penafsiran terhadap anugerah dalam surat Roma dari tokoh-tokoh
tersebut di atas, kita bisa melihat bahwa para teolog tersebut memiliki
perbedaan penekanan dan cara pandang terhadap tema yang sama dalam surat yang
sama. Epistemologi dan doktrin mereka
yang berbeda yang terdapat di balik pemahaman masing-masing menjadi penyebab
perbedaan tafsiran tersebut. Hal ini
yang kemudian menimbulkan cara
penggalian yang berbeda serta menghasilkan tafsiran yang berbeda pula. Akan
tetapi secara umum mereka semua memiliki pemahaman yang sama dalam hal
tujuan dari anugerah itu, yaitu untuk memberikan keselamatan pada manusia dan
bahwa dosa dan anugerah tidak saling mendukung.
[1]Gerald Bonner, “Grace” dalam Augustine Through the Ages: An
Encyclopedia gen.ed. Allan D. Fitzgerald;
[2]Bonner, “Grace” 179-189.
[3]Ibid. 391.
[4]Ibid. 392.
[5]Eugene Portalie, A Guide to the Thought of
[6]Ibid. 192.
[7]Bonner, “Grace” 393.
[8]Augustine, What Augustine Says (ed. Norman L. Geisler;
[9]Martin Luther, Commentary on Romans (Grand Rapids: Kregel, 1954) 98.
[10]Ibid.100.
[11]Augustine, What Augustine 172-173.
[12]Ibid.
[13]Ibid.174.
[14]Ibid.173.
[15]Commentary on Romans vii.
[16]Martin Luther Mentjari Kebenaran (Manila: OMF, t.t.) 15-16.
[17]Ibid.
[18]The Theology of Martin Luther (Philadelphia: Fortress, 1966)3.
[19]Luther, Commentary on Romans 39.
[20]Ibid. 43.
[21]Ibid. 78-87.
[22]Ibid. 98.
[23]Ibid. 99-103.
[24]The Bondage of the Will (New Jersey: Fleming H. Revell, 1957) 40.
[25] Althaus, The Theology 156-157.
[26]Ibid. 273-301.
[27]Ibid. 317.
[28]R. S. Wallace, “John Calvin” dalam New Dictionary of Theology
(ed. Sinclair B. Ferguson, et al.;
[29]W. de Greef, The Writings of John Calvin: An Introductory Guide (Grand Rapids: Baker, 1993) 94.
[30]Wallace, “John Calvin” 121.
[31]John Calvin, “Justification” dalam The Best of John Calvin
(comp. by Samuel Dunn;
[32]John Calvin, The Epistle of Paul the Apostle to the Romans and to the Thessalonians (CNTC; Grand Rapids: Eerdmans, 1960) 5.
[33]Calvin, The Epistle 5-11.
[34]Ibid. 119-120.
[35]Wilhelm H. Neuser, Calvinus Sacrae Scripturae Professor (Grand Rapids: Eerdmans, 1994) 19.
[36]Ibid.
[37]Francois Wendel, “Justification and Predestination in Calvin” dalam Reading
in Calvin Theology (ed. Donald K. McKim;
[38]Calvin, The Epistle 121.
[39]Ibid.
[40]Ibid.
121-122.
[41]Ibid.
122-123.
[42]Yakub B. Susabda, Seri Pengantar
Teologi Modern I (Jakarta: LRII, 1990) 79.
[43]Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer (Malang: SAAT, 1988) 14.
[44] Susabda, Seri Pengantar 87-91.
[45]The Epistle to the Romans (London: Oxford University, 1968) 31.
[46]
[47]Barth, The Epistle
31.
[48]Ibid.
[49]Ibid.
[50]Ibid. 101.
[51]Ibid. 102.
[52]
[53]Barth, The Epistle 102.
[54]Ibid.
[55]Ibid. 188
[56]Ibid.
[57]Susabda, Teologi Modern 1
87-91.
[58]Barth, The Epistle 188.
[59]Ibid. 193.
[60]Ibid. 195.
[61]Ibid.
[62]Raymond Edman, Finney Lives on (Wheaton: Scripture, 1951) 26.
[63]Ibid. 16.
[64] Ibid. 12.
[65]Principle of
[66]Ibid. 56-57.
[67]Ibid. 57.
[68]Ibid.
[69]Ibid. 55.
[70]Ibid. 60.
[71]Ibid. 48.
[72]Ibid.
[73]Ibid. 49.
[74]Ibid.
[75]Ibid. 61.