KONSEP ANUGERAH PAULUS DALAM SURAT ROMA
oleh: Ev. Heren, STh.
BAB III
KONSEP ANUGERAH MENURUT PAULUS DALAM SURAT ROMA
ANALISA KATA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSEP ANUGERAH DALAM SURAT ROMA
Anugerah
merupakan sebuah pokok pembahasan yang penting dalam surat Roma. Sejak awal Paulus sudah menggunakan kata ini sebagai
sebuah salam pembuka (1:7). Lebih
lanjut, di sepanjang surat Roma, Paulus juga berulang-ulang menyebut dan
mengajarkan tentang anugerah Allah, baik dalam hubungan dengan panggilan
kerasulannya oleh Kristus (1:5) maupun dalam hubungan dengan keselamatan. Pada bab ini kita akan melihat konsep
anugerah Paulus yang terdapat dalam tulisannya kepada jemaat Roma, namun
terlebih dahulu kita akan melihat dan memahami maksud istilah-istilah yang
dipakai oleh Paulus melalui analisa kata berikut ini.
Carij (kharis)
Anugerah
diungkapkan oleh Paulus dalam tulisan-tulisannya dengan menggunakan kata “carij” (kharis).
Menurut arti katanya, kharis berarti “kemurahan,” “kebaikan hati Allah,”
“rencana yang penuh kemurahan,” atau “pemberian gratis yang dimanifestasikan
oleh Allah terhadap manusia yang dinyatakan dalam injil-Nya.”[1] Kharis biasanya dipakai untuk menerjemahkan kata hen dalam PL yang
mengacu kepada pengampunan oleh manusia maupun oleh Allah. Akan tetapi sebenarnya di dalam PL ada dua macam
kata yang digunakan untuk mengacu kepada anugerah, yaitu hesed dan hen,
dan dalam penggunaan kata kharis oleh Paulus, anugerah tidak hanya memiliki arti yang
terkandung dalam kata Ibrani hen, melainkan gabungan dengan makna yang
terkandung juga dalam kata Ibrani lainnya untuk anugerah yaitu hesed.
Hesed
memiliki arti “kasih setia,” “kemurahan,” dan “kebaikan.” Kata hesed bisa dipakai secara dua
arah atau timbal balik, oleh Allah dan oleh manusia. Kata ini bicara tentang kebaikan atau
kemurahan yang tidak terduga, dan biasanya diterjemahkan di dalam LXX dengan
kata eleos. Sementara itu hen
merupakan tindakan kemurahan ataupun pengampunan yang satu arah, yaitu tindakan
kebaikan dari seseorang yang berposisi lebih tinggi, manusia atau Allah, kepada
orang yang berposisi lebih rendah. Dalam
makna kata ini, manusia tidak bisa menyatakan anugerah (hen) kepada
Allah. Oleh karena kedekatan arti dengan hen, maka kharis
dianggap sebagai terjemahan kata hen oleh J. H . Stringer.[2] Namun sebenarnya kharis tidak hanya
bermuatan arti dari kata hen melainkan
merupakan kombinasi dari makna hen dan hesed. Kharis yang digunakan oleh Paulus mengacu
pada sisi pemberian secara sepihak dari kata hen dan kepada komitmen
kekal pemberian yang tidak bisa dicabut kembali yang terkandung dalam makna hesed.[3] Dari tulisan Paulus, jelas bahwa kata ini
lebih digunakan untuk menyatakan tindakan kebaikan hati dari Allah kepada
manusia yang tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun dalam diri manusia.
Anugerah
berdasarkan pengartian H. H. Esser merupakan
esensi tindakan penyelamatan hasil keputusan Allah sendiri di dalam
Yesus Kristus. Tindakan ini terjadi
dalam kematian Yesus Kristus dan juga memiliki
konsekuensi di masa kini dan masa yang akan datang (3:24).[4] Dengan demikian, kata anugerah dalam konsep
Paulus terkait erat dengan
keselamatan. Dunn juga memahami makna
anugerah dalam hubungan dengan keselamatan.
Menurutnya, anugerah merupakan kata yang merangkum tindakan kepahlawanan Kristus sendiri dalam menyelamatkan umat manusia. Pada saat anugerah yang menyelamatkan itu
diberikan dan diterima oleh manusia, anugerah telah membuat suatu terobosan
penting dalam pengalaman individual manusia. Tidak ada kata lain yang bisa
mengekspresikan teologi Paulus dengan begitu jelas pada point ini selain kata
anugerah.[5]
A`martia (hamartia)
Paulus
menggunakan istilah Yunani “amartia” (hamartia)
untuk mengungkapkan kata dosa. Hamartia sangat sering digunakan dalam PB
(173 kali) dan kitab Roma sendiri menggunakan kata ini sebanyak 48 kali dengan
penggunakaan terbanyak di pasal 5-8.
Hamartia secara hurufiah bisa berarti kesalahan, pelanggaran, dosa,
penyebab dosa, dan sebagainya. Akan
tetapi pada dasarnya hamartia menandakan suatu kegagalan dalam mencapai
standar, baik sebagai dalam perbuatan maupun dalam natur.[6] Hamartia juga mengandung arti suatu
kekuatan yang mendorong manusia untuk berpaling dari apa yang terbaik baginya
menurut standar Allah. Kekuatan ini yang
terus-menerus mendorong manusia untuk melenceng dari target Allah.[7]
Bangsa
Israel memahami dosa sebagai pelanggaran terhadap hukum Taurat yang mereka
pelihara, namun makna hamartia bagi Paulus melebih hal itu. Bagi Paulus hamartia bukan sekadar
pelanggaran secara sadar terhadap hukum Taurat sebagaimana arti dosa bagi
bangsa Israel. Pelanggaran sama artinya
dengan keadaan permusuhan antara manusia dengan Allah. Untuk menggambarkan dosa seperti ini Paulus,
dalam surat Roma, menggunakan personifikasi.
Dosa digambarkan sebagai suatu kekuatan personal yang jahat. Dosa mampu memegang kemanusiaan dalam
genggamannya.[8]
Di dalam
surat Roma, Paulus memaparkan dosa sebagai sesuatu yang universal. Semua manusia telah berdosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah (3:23). Dalam
konteks jemaat Roma, semua orang berarti termasuk orang Yahudi dan Yunani
(non-Yahudi). Oleh sebab itu dalam surat
Roma, Paulus menghubungkan dosa manusia dengan dosa Adam oleh karena Adam
adalah bapa semua umat manusia (universal), dan ia orang pertama yang melakukan
dosa.[9] Perlu diperhatikan bahwa Paulus sama sekali
tidak bermaksud menyatakan bahwa Adam berdosa karena melanggar suatu hukum
Taurat tertentu, tapi lebih kepada pelanggaran dan pemberontakannya kepada
Allah. Dengan menggunakan contoh Adam,
Paulus menjadikan Adam tersebut sebagai
representatif keberadaan umat manusia
yang berdosa.
Dosa
menuntut penghukuman. Pernyataan “upah
dosa adalah maut” dalam 6:23 jelas menunjukkan hukuman atas dosa, yaitu
kematian (bdk. 5:12). Sejak awal
pembicaraan dalam suratnya, yaitu dalam 1:18- 2:16, Paulus telah mulai
menyatakan kabar penghukuman atas dosa
manusia. Dalam 7:11 dosa kembali
digambarkan sebagai kuasa yang mampu membunuh manusia, setelah terlebih dahulu
menjadikan manusia sebagai budaknya untuk melakukan kejahatan selama
hidupnya. Dengan demikian, Paulus
melalui surat Roma menunjukkan betapa seriusnya akibat dari dosa. Namun kabar penghukuman akibat dosa itu,
kemudian dilanjutkan dengan kabar adanya anugerah yang menjadi solusinya.
Paraptoma (paraptoma)
Kata
lain yang digunakan oleh Paulus untuk dosa adalah “paraptwma” (paraptoma) yang
berakar dari kata “parapiptw” (parapipto). Paraptoma dalam Analytical Greek
Lexicon diartikan sebagai “a trespass,” “fault,” “offence,”
”transgression” yang dalam bahasa Indonesia bisa dinyatakan
dengan kata “pelanggaran.” Selain itu
kata ini juga bisa diartikan sebagai
kejatuhan ke dalam dosa.[10] Berbeda dengan makna hamartia yang
lebih mengacu kepada dosa sebagai kekuatan atau kuasa yang mengontrol manusia,
makna paraptoma lebih terarah kepada tindakan dosa itu sendiri. Itu
sebabnya Ethelbert W. Bullinger mengartikan kata ini sebagai suatu kejatuhan,
keluar dari kebenaran atau kewajiban seseorang, dan tindakan dosa tertentu
akibat kelalaian, kecerobohan, atau kealpaan.[11]
Dalam
penggunaannya di 5:15, 17, dan 18 menurut M. Wolter, paraptoma mengacu kepada dosa Adam di
mana fokusnya adalah efek dari tindakan dosa tersebut,[12] akan tetapi di ayat 20 kata ini bukan lagi
mengacu kepada dosa Adam, melainkan
kepada pelanggaran yang dilakukan di seluruh zaman.[13]
Dikaiosunh (dikaiosune)
Kebenaran yang dinyatakan
Paulus dalam kata “dikaiosunh” (dikaiosune) ini memiliki
arti dasar kebenaran, legalitas, kejujuran, kondisi yang benar, dan keseimbangan.[14] D.W. Diehl mengatakan bahwa dikaiosune
juga bisa menyatakan atribut Allah.
Sesuai dengan natur-Nya, Allah adalah benar dan kebenaran-Nya tersebut
adalah sempurna.[15] Kebenaran Allah merupakan standar kekal dan
sempurna bagi semua manusia. Manusia
tidak dapat mencapai kebenaran ini. Kebenaran selain digunakan sebagai
pernyataan atribut Allah, juga
menyatakan tindakan Allah. Di dalam PL,
penggunaan kata ini sangat erat kaitannya dengan penghukuman Allah (Mzm. 9:8;
50:6; 113:2). Kebenaran Allah dinyatakan
dalam penghukuman-Nya terhadap manusia yang jahat dan tidak taat (Neh. 9:33;
Mzm. 7:9-17, Rat. 1:18; Dan. 9:14), akan tetapi kebenaran Allah juga dinyatakan
dalam kelepasan atau penyelamatan-Nya terhadap umat-Nya dari musuh dan penindas
mereka.[16] Dengan demikian kebenaran dalam PL
berhubungan dengan makna keselamatan.
Berkenaan
dengan makna dikaiosune bagi
Paulus, K. Kertelge mengatakan bahwa dikaiosune merupakan suatu
karakteristik mendasar yang membuat Paulus bisa menjadi sebagaimana ia ada
dalam hubungannya dengan Allah. Lebih
dari itu, dalam penggunaan kata dikaiosune dalam surat Roma juga
menggunakan makna keselamatan yang beranjak dari pengertian PL. Namun, makna tersebut oleh Paulus,
sebagaimana oleh penulis-penulis PB lannya, menjadi lebih spesifik terarah
kepada keselamatan yang diberikan Allah dalam peristiwa kematian dan
kebangkitan Kristus. Seseorang baru bisa
mendapatkan keselamatan jika ia sudah memiliki kebenaran. Dalam konsep yang diajarkan Paulus, jelas
bahwa keselamatan tersebut merupakan pemberian Allah (bdk. Gal 2:21) demikian
juga dengan kebenaran. Seperti ajaran
Kristus, bagi Paulus tidak seorang pun bisa mendapatkan kebenaran dengan usaha
melakukan hukum Taurat. Hal ini
dikarenakan semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah(3:9-10,
20, 23). Dengan kata lain pada diri
manusia sendiri tidak terdapat kebenaran
tersebut sehingga manusia perlu diberi kebenaran dengan cuma-cuma oleh
Allah. Dalam kerangka keselamatan dari
Allah, maka kebenaran berkorelasi dengan iman.
Oleh karena itu kebenaran hanya diperoleh dengan iman. Sebagai akibatnya, kebenaran dikarakterkan
sebagai anugerah.[17] Barclay M. Newman dan Eugene A. Nida juga
memandang arti dikaiosune dalam hubungan dengan keselamatan. Mereka mengatakan bahwa kebenaran Allah dalam
surat Roma ini sebenarnya bukan mengacu
kepada karakter Allah, namun kepada efektivitas penyelamatan Allah di
mana manusia diletakkan pada posisi sebagai orang benar. Allah sebagai hakim mendeklarasikan bahwa
manusia tidak bersalah. Selain itu
manusia oleh makna kebenaran memiliki relasi yang benar dengan Allah.[18]
Menurut
Dunn, dikaiosune sebagai kata kunci dari surat Roma mengacu kepada makna
pembenaran terhadap status manusia.
Selain itu dikaiosune juga mencakup makna tindakan Allah di mana
kebenaran menjadi sarana yang berdampak kepada anugerah sekaligus menjadi
dampak dari anugerah juga. Artinya ada
timbal balik dalam hal dampak kebenaran dan anugerah. Oleh anugerah tersebut Allah membenarkan
manusia sehingga sampai kepada kebenaran yang final, yaitu pada hari Kristus di
mana Allah akan menghakimi seluruh dunia.
Ini merupakan efek kebenaran yang diberikan kepada manusia. Dalam surat Roma hasil dari kebenaran
tersebut berupa kehidupan (zwh) yang terdapat dalam
5:17-18 (band. 2:7), yaitu sebuah kehidupan yang kekal.[19]
Dikaiwentej (dikaioentes)
“Dikaiwentej” (dikaiontes)
merupakan bentuk partisip aorist dari kata kerja “dikaiw” (dikaio) yang artinya
membenarkan. Dikaioentes berarti
pembenaran, oleh karena kata ini berbentuk nominatif plural, maka tindakan
pembenaran yang dimaksud Paulus berarti tindakan yang dilakukan Tuhan terhadap
manusia yang bukan hanya terhadap satu hal, tapi terhadap begitu banyak kesalahan dalam diri manusia. Dengan demikian Allah memberikan banyak pembenaran bagi masing-masing manusia yang
memperoleh pemberian ini. Akan tetapi,
pembenaran yang banyak sebanding dengan banyaknya dosa manusia ini dilakukan
satu kali saja dalam satu titik waktu, sebagaimana yang terkandung dalam arti
yang diberikan oleh tense atau tempus aorist pada kata ini. Bentuk aorist dari kata ini juga
berarti bahwa tindakan pembenaran itu tindakan yang sudah diselesaikan, bukan
tindakan yang sedang berlangsung atau yang tertunda.[20]
Dikaioentes
berhubungan erat dengan makna kata benda “dikaiwma” (dikaioma) yang mengacu kepada tindakan
membenarkan berdasarkan kemurahan. Dikaioentes
merupakan hasil dari tindakan membenarkan di mana seseorang ditempatkan dalam
posisi sebagai orang yang benar. Bullinger mengatakan bahwa tindakan seperti
ini dilakukan Allah oleh keputusan yuridis-Nya, yaitu membebaskan seseorang
dari kesalahan dan menghadirkannya sebagai orang benar.[21] Dunn menyatakan makna kata ini secara lebih
spesifik, yaitu bahwa pembenaran merupakan penerimaan manusia oleh Allah
berkenaan dengan relasi dan statusnya di hadapan Allah. Relasi dan status yang baru dan sudah
dibenarkan ini merupakan hal yang diakui dan terus dipertahankan Allah hingga
pada hari penghakiman.[22] Secara serupa, William Barclay juga
mengatakan bahwa pembenaran menyangkut suatu hubungan yang baru dengan Allah,
yaitu hubungan yang benar antara Allah dan manusia. Hubungan ini didasarkan kasih, keyakinan, dan
kesetiakawanan, jauh dari rasa permusuhan dan ketakutan.[23]
Nomoj (nomos)
“Nomoj” (nomos) adalah kata yang digunakan
Paulus dalam surat-suratnya untuk menyatakan hukum Taurat. Kata nomos memiliki arti yang
bermacam-macam tergantung maksud penggunaannya.
Nomos bisa berarti hukum Musa.
Beberapa penafsir beranggapan bahwa nomos yang dimaksud oleh Paulus
adalah hukum Musa jika kata nomos itu didahului oleh sebuah
artikel. Jika kata nomos tidak
memiliki artikel itu berarti mengacu kepada hukum dalam arti yang lebih
umum. Akan tetapi analisa kata seperti
ini tidak tepat, karena jika kita hendak mengatakan nomos yang dimaksud
Paulus adalah hukum Musa, hal itu tidak bisa didasarkan pada ada atau tidak
adanya artikel yang menyertai kata nomos tersebut. Paulus sendiri dalam
surat Roma menyebutkan nomos dengan dan tanpa artikel secara
bergantian. Dalam 2:15, 18, 20; 3:19;
4:15, 16 Paulus menggunakan artikel untuk nomos, tapi dalam 3:20; 5:13,
20, dan lain-lain ia tidak menggunakan artikel.
Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa perikop ini bicara tentang dua
hukum yang berbeda. Menurut T. R.
Schreiner hal yang seperti ini adalah kesalahan umum yang terjadi ketika
seseorang tidak berhati-hati dalam menganalisa kata. Schreiner
berkata, “...since Paul was a flexible and adaptable writer, the meaning of
each word must be investigated carefully in its context. Also, the reader should keep in mind that
Paul addressed his letters to specific communities.”[24] Dengan demikian cara mengartikan nomos dari
penggunaan artikelnya adalah tidak tepat.
Beberapa
penafsir lain menanggapi nomos bukan dari arti
literal kata ini sendiri melainkan pada keharusan untuk melakukan hukum itu
sehingga akan lebih tepat jika nomos tersebut mengacu kepada
legalisme. Akan tetapi penggunaan kata nomos
untuk mengartikan suatu legalisme
juga tidak tepat. Menurut Stephen
Westerholm legalisme bukan hukum yang disebut olah Paulus sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan iman. Alasan
Westerholm adalah karena istilah legalisme memiliki kata sendiri dalam bahasa Yunani, lagipula
legalisme memerlukan definisi lebih lanjut untuk menjelaskannya.[25]
Nomos
kadang juga diartikan sebagai
tradisi lisan oleh karena Paulus tidak memisahkan antara hukum PL dan tradisi
lisan dalam penggunaan nomos. Hal ini
berarti bahwa kata ini mengacu kepada
hukum Yahudi yang lebih terarah kepada hukum sosial mereka.[26] Akan tetapi pendapat ini jika diterapkan pada
kata nomos dalam surat Roma tidak tepat karena pendapat bahwa hukum yang
dimaksud adalah tradisi lisan nampaknya lahir dari kebingungan orang-orang
dalam membedakan antara hukum PL dan tradisi lisan. Padahal, sebenarnya Paulus sendiri jelas
menunjukkan perbedaannya di mana Paulus yakin bahwa hukum PL memiliki otoritas
sementara tradisi lisan tidak. Sementara
itu usulan bahwa nomos tersebut adalah hukum sosial orang Yahudi dan itu
sebabnya orang non-Yahudi tidak perlu mentaatinya juga tidak bisa diterima
kebenarannya.
Jika
semua penafsiran di atas tidak ada yang memuaskan, lalu nomos yang
mana yang dimaksud oleh Paulus? Berdasarkan konteks di mana kata ini
digunakan maka nomos yang dimaksud oleh Paulus lebih tepat jika dikatakan sebagai hukum Musa yaitu
yang kita kenal sebagai Pentateukh.
Alasan keputusan bahwa nomos adalah hukum Musa bukan berdasarkan ada atau
tidak adanya artikel, akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa seluruh acuan
kepada hukum Taurat diterangkan d1engan contoh-contoh yang mengarah kepada
hukum Musa dalam PL. Di dalam 2:17-24
Paulus memberikan contoh dari hukum Taurat yang dibanggakan dan diajarkan oleh
orang-orang Yahudi dalam jemaat Roma.
Contoh tersebut tidak lain dari sepuluh perintah yang diberikan kepada
Musa di gunung Sinai. Teguran Paulus
untuk mereka atas ajaran mereka “jangan mencuri” (ayat 21) dan perkataan
“jangan berzinah” (ayat 22) namun dilanggar oleh mereka sendiri (ayat 23-24)
dikutip langsung dari hukum yang keenam dan ketujuh dari Taurat Musa, begitu
juga peraturan sunat ada dalam peraturan Musa dalam Pentateukh.
Hukum
Musa menjadi kebanggaan orang Yahudi,
bahkan fungsinya menjadi seperti berhala, oleh karena mereka memuja hukum
Taurat sementara hati mereka tidak takut akan Tuhan. Hal ini
menjadi dosa di hadapan Tuhan, itu sebabnya Daniel Patte berkata, “The power
of sin is the Law as idol. Yes, it is
sin which brings death, and death would not exist if it were not for sin
(5:12). But sin would be inoffensive
without an idol, be it the Law or any other kind of idol.”[27] Selain itu hukum Taurat juga berfungsi
sebagai sarana keselamatan oleh orang Yahudi (3:20). Oleh karena kesalahan seperti ini maka,
menurut Herman Ridderbos, Paulus melalui
KONSEP ANUGERAH
MENURUT PAULUS DALAM SURAT ROMA
Anugerah
yang dibahas oleh Paulus dalam surat Roma ini tidak berdiri sendiri tanpa
hubungan dengan karya-karya Allah yang lainnya.
Sebaliknya, anugerah merupakan suatu kesatuan dari rentetan karya Allah
dalam diri manusia yang akan dibahas pada bagian berikut ini.
Anugerah
Merupakan Inisiatif Allah
Dalam
surat Roma Paulus menggunakan anugerah dalam dua bagian, yaitu pada bagian
salam dan bagian penjelasan tentang keselamatan sebagai isi surat tersebut.
Kalimat Paulus di dalam pembukaan surat ini merupakan bagian yang sangat
penting untuk memahami dasar dan sumber anugerah yang dibicarakan Paulus di
sepanjang Surat Roma ini. Frase “dengan
perantaraan-Nya” dalam ayat 17 mengacu kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah
disebut terlebih dahulu di dalam kalimat sebelumnya. Apa yang hendak di sampaikan oleh Paulus di
sini adalah bahwa Rasul Paulus menerima anugerah maupun jabatan kerasulan itu
dari Allah Bapa dengan perantaraan Yesus Kristus. Khusus tentang anugerah dalam Roma 1:1-7 ditafsirkan Barclay sebagai salah
satu alasan yang disadari oleh Paulus mengapa ia mendapat pengkhususan dari
Allah, ia telah dipilih dari antara manusia (Kis. 13:2).[30] Sementara itu, Dunn melihat bahwa anugerah dalam salam pembuka ini berfungsi
sebagai berkat sekaligus memiliki maksud mempermuliakan Allah. Lebih dari itu, kalimat “Kasih karunia (anugerah) terhadap kamu dan damai sejahtera
dari Allah, Bapa kita, dan Tuhan Yesus Kristus” menunjukkan siapa sumber dari
anugerah tersebut, yaitu Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus.[31] Dunn menyatakan bahwa penting bagi kita untuk
menangkap bahwa bagi Paulus, di balik seluruh proses keselamatan yang merupakan
anugerah itu selalu terletak inisiatif Allah.[32]
Anugerah Berbentuk Sebagai
Pembenaran oleh Iman
Tema
pembenaran oleh iman yang diberikan kepada isi surat Roma oleh banyak penafsir Roma seperti Martin Luther, John Calvin, Karl Barth seperti yang sudah
disebutkan pada bab sebelumnya merupakan sesuatu yang memang banyak dibicarakan
oleh Paulus dalam surat Roma.
Pembicaraan yang tertuju kepada pembenaran oleh iman menguasai sebagian
besar dari isi surat Roma ini, di samping penguraian tentang keyakinan
doktrinal Paulus lainnya. Tidak heran
jika banyak sarjana yang menyebut surat
kepada jemaat di Roma ini sebagai surat yang sarat dengan pengajaran
doktrinal. Akan tetapi hal ini tidak
berarti bahwa surat ini merupakan surat doktrinal, yaitu surat yang isinya
berupa pokok-pokok pengajaran doktrinal secara umum dan bisa dialamatkan kepada
siapa saja. Surat Roma merupakan surat
yang tertuju spesifik kepada jemaat Roma dengan situasi dan permasalahan khusus
di Roma.[33] Dengan demikian surat ini tergolong surat
pengajaran sekaligus surat penggembalaan yang mengarahkan jemaat Roma kepada
sebuah pemahaman doktrin pembenaran oleh iman.
Di balik
pemaparan pengajarannya, Paulus mengetahui
terlebih dahulu permasalahan di dalam jemaat Roma. Paulus memiliki relasi yang dekat dengan
orang-orang yang sangat mengerti keadaan Roma seperti Gayus, Erastus, Kwartus,
dan orang-orang lain yang disebutkannya dalam salam kepada jemaat Roma
(16:21-23). Selain itu Paulus juga kenal
dan punya relasi yang baik dengan Akwila dan Priskila. Mereka adalah sepasang suami istri yang
berasal dari Roma dan sudah meninggalkan Roma serta bertemu dengan Paulus (Kis.
18:1-2). Kemungkinan besar Paulus
mendapat informasi mengenai kondisi jemaat Roma dari mereka.
Paulus
menyampaikan pengajarannya dalam suatu penjelasan tentang relasi antara orang
Yahudi dan non-Yahudi dalam rencana penebusan Allah. Hal ini sesuai dengan tujuan surat ini, yaitu
untuk mengajarkan hal mendasar tentang bagaimana seseorang bisa diselamatkan,
di samping tujuan untuk mempersiapkan kedatangan Paulus ke Roma sekaligus
menyampaikan rencananya untuk mengadakan perjalanan misi ke Spanyol (1:10-15;
15:22-29)[34] Kejelasan akan relasi antara orang Yahudi dan
non-Yahudi dari sudut pandang Allah sangat penting untuk dipaparkan oleh Paulus
oleh karena jemaat Roma yang pada saat itu sudah dan sedang mengalami masalah
berkenaan dengan relasi tersebut. Di
dalam jemaat Roma ada jemaat Yahudi yang masih membanggakan diri, di atas
orang-orang non-Yahudi, sebagai orang yang khusus dengan memiliki dan melakukan
hukum Taurat dan dengan sunat, dan
identitas seperti ini jelas terlihat dari . 2:17-24.[35] Selain itu ada juga konflik di antara golongan Yahudi dan non-Yahudi dalam jemaat
Roma ini yang berkisar tentang makanan (ada yang makan daging, tapi ada yang
hanya makan sayuran; 14:2), minuman (ada yang setuju minum anggur dan ada yang
tidak; 14:21), dan hari-hari khusus (14:5).
Oleh sebab adanya konflik ini maka timbul masalah selanjutnya, yaitu
yang seorang menganggap status diri dan kelompoknya lebih baik dari yang lain. [36]
Berdasarkan
kondisi jemaat yang seperti ini, maka Paulus dengan jelas memaparkan sebuah
kebenaran yang patut diketahui oleh jemaat Roma berkenaan dengan pembenaran
oleh iman. Kebenaran tersebut menyangkut
tiga hal utama, yaitu bahwa semua
manusia berdosa, hukum Taurat tidak bisa menyelamatkan, dan manusia dibenarkan
oleh iman.
1.
Semua Manusia Berdosa
Kondisi
dan natur manusia yang berdosa merupakan fakta yang dipaparkan oleh Paulus
dalam 5:12-21. Sebelumnya pada 1:18-2:20 Paulus sudah
memperkenalkan kejahatan dan keberdosaan manusia. Roger Bowen mengklasifikasi 1:18-3:20 menjadi dua bagian, yaitu 1:18-32
tentang ketidakbenaran orang-orang kafir (non-Yahudi dan 2:1-3:20 tentang
ketidak-benaran orang-orang Yahudi.[37] Dalam
pemaparan kondisi manusia yang berdosa ini, Paulus sering menggunakan
kata hamartia dan paraptoma sebagai ungkapan bagi kata “dosa,”
begitu juga dengan kata-kata lain dengan makna serupa seperti hamartano (berbuat
dosa), hamartanos (pendosa), kakos (buruk) dan adikia
(ketidak-benaran). Gambaran manusia berdosa secara universal beserta
hukuman Allah yang menantinya sudah dipaparkan di bagian awal surat ini.[38] Melalui pemaparan dosa dan murka Allah ini,
Paulus menampilkan konsep kebenaran Allah.
Murka Allah terhadap dosa manusia merupakan manifestasi kebenaran Allah
tersebut.[39] Manusia tanpa terkecuali, baik Yahudi maupun
bukan Yahudi, dalam Surat Roma ini diperhadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menghadapi penghukuman oeh karena
“semua manusia telah berdosa” (Rm. 3:23).
Apa
yang diungkapkan dalam 5:12 sebenarnya
bukan merupakan tema yang berbeda dari pembicaraan pada bagian sebelumnya dari
surat ini. Ayat ini adalah penegasan
terhadap pernyataan sebelumnya dalam 1:18-2:16, bahwa semua manusia
berdosa. Dalam bagian ini Paulus
menggunakan figur Adam untuk menunjukkan keberdosaan manusia. Pemakaian figur Adam dalam perikop ini
kadang-kadang disalahpahami dengan anggapan bahwa nama ini mengacu kepada
persoalan dosa keturunan. Namun Adam
pada bagian ini merupakan penggambaran bagaimana dosa masuk ke dalam dunia,
yaitu melalui satu orang. Adam merupakan
tipologi dari manusia-manusia berikutnya yang
juga berdosa.[40] Adam mengacu kepada satu sumber yang sama
dari seluruh umat manusia di dunia pada segala zaman. Satu keturunan yang sama membuat semua pihak
yang saling membenarkan diri sadar bahwa mereka punya hubungan satu sama lain dan punya status dan
perilaku yang sama, yaitu sebagai orang berdosa. Sebagaimana
Adam berdosa dalam pemberontakannya
terhadap Allah, demikian juga yang terjadi pada seluruh umat manusia,
mereka memberontak terhadap Allah.
Sebagai akibatnya semua manusia menuju kepada satu tujuan yang sama
pula, yaitu kematian atau maut sebagai upah dosanya.[41]
Manusia
tidak berdaya terhadap dosa dan dosa mengantar manusia kepada akibat yang
fatal. Untuk menjelaskan hal ini Paulus
menggunakan bentuk personifikasi. Dosa
dijelaskan sebagai kekuatan yang begitu menguasai manusia. Manusia berada di bawah genggaman dosa
sehingga tidak berdaya mengatasinya.
Melalui pengulangan kata “semua” pada perikop ini, Paulus terus
menekankan bahwa bukan hanya sekelompok
orang yang berada di bawah genggaman dosa, melainkan semua.[42] Melalui kalimat “dosa sudah ada sebelum
hukum Taurat ada” Paulus memperlihatkan
bahwa dosa menyatakan kuasanya secara mandiri, terlepas dari hukum Taurat. Dosa berkuasa atas setiap manusia tanpa
membedakan apakah manusia itu adalah orang Yahudi atau bukan.[43]
Keberdosaan
merupakan perseteruan dengan Allah. Oleh
karena itu semua manusia, baik Yahudi maupun non-Yahudi, merupakan seteru Allah
yang patut mendapatkan upah atau hukuman atas dosanya, yaitu kematian. Kematian yang harus diterima bukan hanya
kematian secara fisik, melainkan berlanjut kepada kematian kekal. Tidak ada seorang pun yang lolos dari
keterlibatan dengan dosa dan kematian.
Dosa dan kematian terus mendominasi kemanusiaan, bukan semata-mata karena tindakan seseorang, tapi oleh karena
semua umat manusia terus mendemonstrasikan dirinya berada di bawah dosa dan
terpisah dari Allah. Dengan demikian
penjelasan Paulus mengenai keberdosaan manusia ini adalah bahwa sejarah umat
manusia dicirikan dan ditentukan oleh pengaruh yang fatal dari dosa dan
kematian.[44]
2.
Hukum Taurat Tidak Menyelamatkan
Dalam
pola pikir orang Yahudi, hukum Taurat nampaknya bisa menjadi solusi bagi
permasalahan dosa yang dihadapinya. Akan
tetapi, hukum Taurat sebenarnya sama sekali tidak menolong dan menyelamatkan
manusia keluar dari kemelut dosa ini. Hukum Taurat tidak membuat manusia terhindar
dari murka Allah atas dosa manusia.
Alasan yang paling kuat untuk ini adalah karena hukum Taurat tidak
diberikan kepada manusia supaya menyelamatkan manusia tersebut. Hukum Taurat diberikan pada manusia untuk
menyatakan, memperlihatkan dan mengkarakteristikan dosa pada manusia.
Sebagaimana
perkataan Paulus dalam 2:17, terlihat bahwa jemaat-jemaat Yahudi di Roma masih
bersandar pada hukum Taurat. Jemaat yang
merupakan orang Yahudi ini bukan merupakan orang yang tidak beriman kepada
Kristus ataupun hanya mengandalkan hukum Taurat. Melalui ucapan syukur Paulus dalam 1:8 nampak
bahwa jemaat Roma secara umum yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi
tersebut adalah jemaat yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus. Namun dalam iman mereka kepada Kristus
tersebut, jemaat Yahudi mengganggap bahwa hukum Taurat juga dibutuhkan untuk
mencapai keselamatan tersebut. Hukum
Taurat sebagai pemberian Allah yang nyata membuat mereka merasa berbeda dari
bangsa-bangsa lain oleh karena bangsa Yahudi “tahu” kehendak Allah dari hukum
Taurat yang mereka miliki tersebut.[45] Oleh sebab itu orang
Kristen Yahudi merasa bangga dengan pengetahuan yang mereka miliki melalui
hukum Taurat yang secara langsung berhubungan juga dengan bangga terhadap hukum
Taurat dan usaha mereka menegakkan hukum
Taurat tersebut.
Akan
tetapi hukum Taurat tidak menyelamatkan.
Hal ini yang berulangkali ditegaskan oleh Paulus dalam 3:20. Hukum Taurat bahkan berakibat kepada
bertambahnya pelanggaran (5:20). Hal ini
disebabkan oleh karena fungsi hukum Taurat itu memang pada dasarnya bukan untuk
menyelamatkan ataupun membenarkan manusia, melainkan untuk mendefinisikan
dosa. Godet mengatakan bahwa orang
Yahudi mengklaim hukum Taurat sebagai sarana pendidikan dan keselamatan dalam
sejarah umat manusia. Untuk itu Paulus
menunjukkan bahwa hukum Taurat hanya memainkan peranan sekunder. Hukum Taurat disebut memiliki peran sekunder
karena hukum Taurat hanya merupakan tambahan (5:20). “It was added during the era of sin and death to
prepare for the era of justification and life.”[46]
Dalam 5:20
Paulus mengutarakan tujuan penambahan hukum Taurat dalam kehidupan manusia
dengan cara menggunakan pilihan kata, tempus dan modus yang mendukung
pengkomunikasian pemikirannya. Dalam
kalimat di ayat 20 ini Paulus menggunakan bentuk subjunctive aorist yang
didahului oleh kata “I`na” (hina) bagi kata kerja “pleonash” (pleonase) yang berarti “bertambah”. Sesuai dengan aturan gramatikal Yunani, subjunctive
yang didahului oleh “I`na” membentuk
sebuah purpose clause (klausa yang menyatakan tujuan).[47] Dengan demikian pelanggaran yang bertambah merupakan
tujuan dari hadirnya hukum Taurat.
Selain itu, melalui bentuk subjunctive aorist yang mengacu kepada
kejadian di masa yang akan datang, ekspresi kemungkinan bertambahnya
pelanggaran dinyatakan dengan tegas.[48] Artinya, peristiwa masuk atau hadirnya hukum
Taurat yang terjadi satu kali di masa lampau bertujuan untuk menambah
pelanggaran di masa setelah hukum Taurat itu tiba.
Dalam
realitanya, memang sesudah hukum Taurat diberikan, pelanggaran tidak menjadi
berkurang, tapi makin bertambah karena hukum Taurat menyediakan kesempatan
untuk pelanggaran atas berbagai perintah yang spesifik.[49] Berkenaan dengan hal ini Charles Spurgeon mengatakan
bahwa kesalahannya bukan terletak pada hukum Taurat, namun pada kejahatan hati
manusia yang membuatnya berespons memberontak terhadap hukum yang diberikan.[50] Ketidakmampuan manusia untuk melakukan hukum
Taurat dengan cermat dan kecondongan hatinya untuk melanggar hukum yang
diberikan menunjukkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk mendapat pemulihan
hubungan dari seteru Allah kepada sebuah perdamaian dengan Allah melalui hukum
Taurat itu. Hukum Taurat tidak menyelamatkan
melainkan hanya membuat manusia sadar akan dosanya.
3.
Manusia Dibenarkan oleh Iman
Beranjak
dari fakta semua manusia berdosa dan hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan,
Paulus menggarisbawahi sebuah kebenaran dalam surat Roma, yaitu bahwa manusia
dibenarkan oleh Kristus. Hanya orang
benar yang bisa berdiri kokoh dan berdamai di hadapan Allah. Oleh karena semua manusia telah berdosa, maka
keselamatan bagi manusia berdosa yang adalah seteru Allah hanya bisa
dimungkinkan terjadi oleh sebuah pembenaran, yaitu pemberian kebenaran yang
dilakukan oleh Allah sendiri kepada manusia.
Melalui pembenaran, maka Allah mengubah seluruh hubungan manusia
dengan-Nya.[51] Manusia tidak lagi menjadi seteru Allah. Dalam hal ini pembenaran adalah terhadap
relasi manusia dengan Allah, dan bukan pembenaran terhadap perbuatan-perbuatan
dosa manusia.
Pembenaran
ini merupakan anugerah karena tidak diperoleh dengan usaha manusia tapi oleh
anugerah atau pemberian cuma-cuma dari Allah bagi mereka yang beriman. Bagi orang Yahudi yang terbiasa dengan konsep
keselamatan oleh karena melakukan hukum Taurat, hal ini mungkin agak sukar
diterima. Agar mereka dapat memahami hal
ini maka Paulus terlebih dahulu membuka mata orang Yahudi bahwa Abraham, bapa
bangsa-bangsa itu pun mendapatkan
kebenaran bukan karena melakukan hukum Taurat melainkan karena iman
(4:13). Apa yang diungkapkan Paulus
tentang pembenaran Abraham tersebut sesuai dengan isi Kej 15:6 “Lalu percayalah
Abram kepada TUHAN, dan TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai suatu
kebenaran.” Abraham beriman kepada janji
Allah, dan imannya itu yang diperhitungkan sebagai kebenaran dan bukan
perbuatannya. Hal ini berarti oleh iman
Abraham dibenarkan Tuhan. Anthony A. Hoekema
melihat bahwa iman Abraham terhadap janji Allah mengenai keturunannya mencakup
iman terhadap janji mengenai lahirnya Dia yang oleh-Nya semua bangsa di dunia
akan diberkati.[52] Pembenaran oleh iman ini berlaku juga bagi
keturunan Abraham.
Paulus
menggunakan paralelisme Adam dan Kristus untuk menggambarkan bagaimana manusia dibenarkan
oleh iman (5:12, 15). Adam dan Kristus
memiliki kemiripan dalam satu hal, dimana satu orang berdampak kepada banyak
orang. Everett F. Harrison menyebut hal
ini sebagai kebenaran yang masuk ke dalam dunia oleh satu orang sebagaimana
dosa yang masuk ke dalam dunia oleh satu orang.[53] Sementara itu Hoekema menjelaskan bahwa apa
yang ditulis Paulus dalam 5:12, 15 merupakan pengembangan pemikiran bahwa
kebenaran Kristus diimputasikan kepada manusia di dalam pembenaran. Kebenaran Kristus itu adalah bahwa Ia telah
dengan sempurna menaati hukum Taurat yang tidak bisa ditaati manusia, dan bahwa
Ia telah menanggung murka yang selayaknya ditimpakan kepada manusia atas
dosa-dosa manusia itu sendiri.[54]
Kebenaran
tersebut hanya bisa diterima dengan iman.
Kebenaran diberikan kepada mereka yang percaya pada janji penebusan
Allah di dalam Kristus yang sudah dilakukannya di kayu salib. Sebagaimana Abraham percaya oleh janji Allah
dan imannya itu diperhitungkan sebagai kebenaran, demikian juga bagi kita yang
percaya pada janji Allah oleh Yesus Kristus, iman kita akan diperhitungkan
sebagai kebenaran. Kebenaran yang
diterima tanpa usaha manusia ini merupakan anugerah atau kasih karunia.
Anugerah
Merupakan Lawan dari Dosa
Relasi
antara anugerah dan dosa tidak selalu dipahami orang dengan benar. Kalimat Paulus dalam 6:1 “Bolehkan kita bertekun dalam dosa supaya
semakin bertambah kasih karunia itu?” menyatakan sebuah logika yang sangat
mungkin dimunculkan oleh orang-orang yang mendengar pengajaran anugerah. Logika tersebut adalah bahwa dosa dan
anugerah berjalan beriringan dan saling mendukung. Semakin besar dosa, semakin besar pula
anugerah yang diterima. Oleh sebab itu
untuk mendapatkan anugerah yang lebih besar perlu melakukan dosa yang lebih
besar lagi.
C. K.
Barret berusaha menggambarkan pemikiran tersebut dengan cara menghubungkan
anugerah kepada moralitas kristiani dalam pertanyaan sebagai berikut :
What is the basis of Christian morality? If justification
is by faith, apart from works of the law, if the law (which commands the
practice of virtue) occupies only a subordinate place in God’s purpose, and if
where sin abounds, grace abounds much more, why should Christians be good?[55]
Dengan kata lain konsep anugerah ini
cenderung menimbulkan pemikiran bahwa manusia bebas berbuat dosa dan menjadi
jahat karena ia bisa menerima anugerah tanpa perlu melakukan kebaikan untuk
memenuhi tuntutan hukum Taurat.
Logika yang demikian merupakan suatu
realita karena logika inilah yang dipakai sebagai argumentasi oleh para
propagandis yang menentang Paulus.[56] Untuk itu Paulus dalam Surat Roma ini
sekaligus menjawab dan mencegah berkembangnya pemikiran yang salah tersebut
dengan memunculkan kalimat diatribe yang diadopsi dari sastra
hellenistik. Sesuai dengan fungsi dari
bentuk diatribe, yaitu sebagai suatu metode retorik yang digunakan untuk
tujuan pendidikan moral,[57] maka Paulus pun hendak
mendidik dengan meluruskan pikiran jemaat Roma tentang konsep anugerah dalam
hubungan dengan dosa dengan gaya yang kental akan persuasi dan agrumentasi
retorik dari budaya helenistik tersebut. [58]
Anugerah
dan dosa adalah dua hal yang bukan hanya berbeda tapi juga bertentangan. Paulus hendak memberitahukan jemaat Roma akan
hal tersebut baik dalam bentuk penulisan maupun dalam isi tulisannya. Dalam bentuk penulisan, Paulus dalam 5:12-21 sangat sering menggunakan struktur
perbandingan “wsper/oj .. outwj kai” yang dapat terlihat dalam
ayat 12, 18, 19, dan 21. Selain itu di
dalam perikop ini Paulus memakai klasifikasi ganda pada ayat 12-14 (berkenaan
dengan dosa) dan ayat 15-17 (berkenaan dengan
anugerah) dan keduanya menyatakan kekontrasan satu sama lain.[59] Dengan demikian kekontrasan tampaknya menjadi
warna dari perikop ini. Hal ini makin
terlihat dari pengontrasan “paraptwma” dan “carisma” (ayat 15), “krima” dan “carisma” (ayat 16), “katarima” dan “dikaiwma” (ayat 16), “paraptwma” dan “dikaiwma” (ayat 18), “parakoh” dan “upakoh” (ayat 19) dan pada puncaknya pengontrasan antara “amartia” dan “carij” (ayat 20-21). Dalam pengontrasan-pengontrasan tersebut,
dosa dan anugerah digambarkan dengan sebuah personifikasi. Baik dosa maupun anugerah, masing-masing
digambarkan sebagai figur yang bertindak menguasai. Dosa dan anugerah berhadapan satu sama lain
sebagai musuh.[60]
Dalam
ilustrasi Adam dan Kristus, Paulus juga menggambarkan pengontrasan dosa dan
anugerah di mana potret Kristus sebagai Adam yang terakhir berada pada pihak
yang bertolak belakang dengan Adam yang pertama.[61]
Anugerah
dan dosa tidak pernah saling mendukung.
Anugerah adalah lawan bagi dosa.
Roma 5:20-21 sebagai kesimpulan dari perikop 5:12-21 sekaligus
kesimpulan dari bagian besar 1:18-5:21 merangkum ide kekontrasan anugerah dan
dosa tersebut. Frase “dosa bertambah
banyak” yang dilanjutkan dengan frase “kasih karunia menjadi berkelimpahan”
mengungkapkan suatu kategori keadaan yang berlimpah-limpah pada anugerah
yang melampaui kelimpahan dosa. K.
Berger menyatakan hal tersebut dalam hubungan antara anugerah dengan kejahatan,
yaitu bahwa kelimpahan kejahatan dibalikkan dan dipudarkan oleh bertambahnya
pemenuhan anugerah.[62]
Sebagaimana
sudah diterangkan pada bagian sebelumnya, bahwa hukum Taurat membuat manusia makin sadar dan melihat
dosanya, maka pelanggaran yang berlimpah di dalam 5:20 sama sekali tidak mengacu kepada
penumpukkan dosa atau kepada dosa yang lebih besar.[63] Frase ini tidak berbicara tentang penambahan dosa secara
kualitas maupun kuantitas. Tapi, oleh kesadaran yang
diberikan dalam terang hukum Taurat maka manusia melihat bahwa dosanya begitu
berlimpah. Berkenaan dengan hal ini,
maka Paulus menjelaskan bahwa anugerah yang datang jauh lebih besar dan
berlimpah daripada dosa tersebut. Kata “u`perepiriseusen” (huperepiriseusen) yang dipakai Paulus untuk
menyatakan kelimpahan anugerah merupakan kata yang tidak lazim.[64] Paulus menggunakan prefiks ganda bagi kata
ini,[65] namun dari penggunaan kata
yang seperti demikian justru Paulus ingin menyajikan sebuah kalimat superlatif
untuk menggambarkan kekuatan anugerah yang super, melebihi kekuatan dosa. Dengan demikian jelas bahwa anugerah tidak
berjalan seiring dan saling mendukung dengan dosa, melainkan berlawanan satu
sama lain namun anugerah menang mengatasi dosa.
Anugerah
Berlanjut Kepada Pengudusan
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, anugerah tidak berarti mendukung perbuatan dosa. Dengan demikian orang yang menerima anugerah
tidak berarti ia bebas berbuat dosa.
Oleh sebab itu Paulus tidak menghentikan pengajaran anugerah sebatas
pada pembenaran oleh iman. Pengajaran
Paulus akan anugerah berlanjut kepada
hal pengudusan dari orang yang menerima anugerah. Pengudusan yang dimaksud di sini bukan
merupakan pengudusan pada status dan relasi manusia secara rohani di hadapan
Allah yang telah jelas setelah menerima anugerah, yaitu benar. Pengudusan yang dimaksud mengacu kepada
tindakan luar manusia di hadapan tuntutan kebenaran dan standar kekudusan Allah
sendiri.[66]
Pengudusan, menurut definisi Hoekema,
merupakan karya yang penuh anugerah dari Roh Kudus yang melibatkan tanggung
jawab kita untuk berpartisipasi di dalamnya.
Dengan Roh Kudus kita dilepaskan dari pencemaran dosa, keseluruhan natur
kita diperbaharui menurut gambar Allah dan kita dimampukan untuk menjalani
kehidupan yang diperkenan oleh Allah.[67] Paulus melihat bahwa pengudusan memiliki
relasi yang dekat sekali dengan penganugerahan kebenaran pada manusia di mana setelah menerima pembenaran
itu manusia mengalami beberapa hal lainnya berkenaan dengan hidupnya, yaitu
mati terhadap dosa dan pembaharuan hidup.
1.
Mati terhadap Dosa
Dalam
6:2b Paulus menyanggah ide kebebasan
berbuat dosa supaya anugerah bertambah dengan sebuah pertanyaan retorik. Pertanyaan retorik ini jika disusun dalam
bentuk kalimat pernyataan akan menjadi
sebuah penegasan Paulus bahwa kita yang
telah menerima anugerah pembenaran oleh iman berarti telah mati terhadap dosa
dan tidak akan terus hidup dalam dosa itu.
Dengan kalimat ini Paulus tidak bermaksud menyatakan bahwa orang percaya
tidak bisa berdosa lagi. Maksudnya
adalah bahwa mereka yang mati bagi dosa, yang telah diselamatkan dari dosa,
tidak lagi memilih hidup di bawah dosa.
Untuk membuat maksud Paulus ini lebih jelas, C. Norman Bartlett
mengilustrasikannya dengan penggambaran seseorang yang sudah sembuh dari sakit
TBC yang hampir membawanya kepada kematian.
Sesudah keselamatan yang diterimanya dari bahaya kematian oleh penyakit
tersebut, ia bisa sesekali mengalami flu, tapi bibit penyakit yang mematikan
tersebut telah dibunuh. Ia tidak lagi
dan tidak mau dikuasai oleh TBC dan tidak akan mati oleh karena TBC.[68]
Selain
pertanyaan retorik, Paulus selanjutnya dengan lebih tegas lagi menyangkal
konsep yang salah tersebut dengan sebuah kalimat bermodus optatif “mh genoito” (me genoito) yang merupakan sruan untuk menyatakan permohonannya agar
kiranya hal itu tidak terjadi.[69] Alasan Paulus untuk hal ini adalah karena
orang yang sudah menerima anugerah adalah orang yang sudah bersatu dengan
Kristus dan kebenaran-Nya. Untuk itu
Paulus menggunakan ilustrasi baptisan. Dengan
ilustrasi baptisan, Paulus memakai bahasa dan gambar yang diketahui oleh hampir
semua orang pada zamannya. Baik orang
Yahudi maupun non-Yahudi akan mengerti
hal ini karena baptisan itu yang pertama kali dilakukan oleh seseorang ketika
ia pertama kali menyatakan diri menerima Kristus dan menjadi Kristen. Dan melalui surat ini Paulus sekaligus
menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjelaskan makna baptisan yang patut diketahui oleh
orang Kristen Roma.[70]
Baptisan
merupakan tanda sakremental untuk menunjukkan bahwa kita telah mati dari
kontrol maut dan masuk ke dalam kehidupan oleh Kristus.[71] Paulus menyebut bahwa dirinya dan semua orang
percaya telah dibaptis ke dalam kematian-Nya.
Akan tetapi baptisan yang dimaksud Paulus bukan mengacu kepada upacara
ataupun sakramen. Paulus sedang
menggambarkan sebuah realitas spiritual, yaitu suatu kesatuan. Di dalam surat Paulus yang lain, yaitu
1Korintus 10:2 Paulus menggunakan metafor baptisan dalam kasus Israel dibaptis
dalam awan dan laut untuk menjadi pengikut Musa. Dengan demikian mereka disatukan dengan Musa dan berada di bawah kepemimpinannya
serta bergantung padanya. Demikian juga
artinya dibaptis dalam kematian Kristus.
Orang percaya bersatu dalam kematian-Nya. Bagi orang percaya yang bersatu dalam kematian Kristus, hidup lamanya beserta dosa-dosanya dikuburkan
bersama Kristus. Hal ini mengekspresikan
akhir dari kehidupan yang lama yang ada di bawah pemerintahan dosa.
2.
Pembaharuan Hidup
Setelah kehidupan yang lama berakhir,
orang yang menerima anugerah masuk kepada suatu fase yang baru, yaitu
kehidupan yang baru bersama Kristus.
Baptisan bukan hanya meliputi kesatuan dengan kematian Kristus, tapi
juga meliputi kebangkitan-Nya (6:4b).
Kehidupan yang baru ini merupakan bentuk atau kualitas hidup yang baru
yang merupakan hasil pemberian kuasa kebangkitan Kristus kepada orang percaya.[72] Itu sebabnya Paulus dalam ayat ini, dalam
bahasa Yunani menggunakan kata-kata “kainothti zoej” (kainoteti zoes) yang berarti pembaharuan hidup
dan bukannya hidup baru. Artinya, Paulus
lebih menekankan kepada natur baru dari hidup yang datang setelah seseorang
menerima anugerah tersebut.[73]
Kehidupan
baru bukan sesuatu yang diharapkan terjadi di masa yang akan datang, ataupun
sesuatu yang diperjuangkan agar diperoleh di kemudian hari. Kehidupan yang baru ini merupakan sesuatu
yang nyata dari orang percaya karena telah dibaptis ke dalam Kristus. Paulus kepada jemaat di Filipi berkata bahwa
kewarganegaraan kita adalah di dalam sorga yang mengacu kepada masa kini
(3:20).[74] Dalam suratnya kepada
jemaat Korintus dalam 2Kor 5:17 Paulus berkata, “Jadi siapa yang ada di dalam
Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang
baru sudah datang.” Dengan demikian maka
kehidupan baru itu adalah sesuatu yang
dimiliki oleh orang percaya pada saat ini, dan konsep yang sama ini juga yang
dimaksud Paulus terhadap pembaharuan hidup dalam surat Roma, yaitu terjadi
sekarang.
Dalam
hidup yang baru, manusia lama telah disalibkan bersamaan dengan hilangnya kuasa
dosa. Hal ini berarti bukan dosa yang
dilenyapkan sama sekali, melainkan kuasanya yang dihilangkan.[75] Manusia dalam hidupnya yang baru masih bisa
berdosa, itu sebabnya Paulus menjabarkan kesatuan dengan Kristus itu sebagai
sebuah proses. Hal ini terlihat jelas
dari penggunaan kata “sumfutoj” (sumfutos) untuk
kalimat di dalam 6:5. Kata ini secara literal berarti “tumbuh
bersama-sama dengan.”[76] Dengan demikian nampak bahwa proses
pengudusan yang berbentuk pembaharuan hidup merupakan proses pertumbuhan orang percaya dari hari ke hari
bersama Kristus.
Lebih
lanjut dalam ayat 12-13 Paulus berkata,
“Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi dalam tubuhmu yang fana . . .
janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa . . . dan serahkanlah
anggota-anggota tubuhmu kepada Allah.”
Ini merupakan tiga perintah yang mendorong orang percaya kepada tugas
akan usaha moral yang menampilkan aspek kemanusiaan dari pengalaman kita. Orang percaya diharapkan untuk
mendemonstrasikan dirinya yang mati terhadap dosa dan hidup bagi Allah.[77]
Melalui
perintah Paulus dalam ayat 12-13 tersebut memperlihatkan bahwa tubuh yang fana
merupakan sebuah ladang yang khusus bagi tindakan dosa. Dosa ini, menurut H. C. G. Moule, dilakukan
di dalam kesadaran sepenuhnya dan atas
pilihan manusia sendiri.[78] Sementara itu untuk menyerahkan diri pada
Allah dan menjadi senjata kebenaran bagi Allah pun merupakan sebuah tindakan
yang diambil berdasarkan keputusan manusia baru tersebut.[79]
Dengan
demikian realita bahwa dosa memang masih ada dan tidak lenyap sama sekali dari
hidup manusia baru menjadi jelas bagi kita.
Oleh sebab itu maka pengudusan dikatakan sebagai suatu proses, tidak
seperti pembenaran yang terjadi satu kali untuk selamanya. Pengudusan bukan merupakan pembasmian dosa
sehingga dosa lenyap sama sekali, maka dari itu dosa tetap ada hanya saja
manusia baru menjadi mati terhadap dosa itu.
Penyucian juga bukan tindakan menekan dosa di mana dosa berkuasa atas
manusia tapi ditekan supaya tidak kelihatan.
Penyucian adalah tindakan bersandar pada pimpinan Tuhan. Dengan pengudusan seperti ini orang percaya
dimungkinkan hidup berkemenangan. [80] Manusia baru yang sudah dipersatukan dengan
Kristus diberikan penguasaan diri oleh Allah untuk mengatasi keinginan dosa dan
menuruti keinginan Allah. Manusia baru
yang telah bersatu dengan Kristus menyandarkan pengetahuan dan keputusannya
kepada Tuhan. Ini merupakan naturnya
yang baru. Itulah sebabnya,
keputusan-keputusan, tindakan, pemikiran, dan kehendak manusia baru disandarkan
pada pimpinan Tuhan karena ia hendak mengambil keputusan dan pilihan yang benar
sesuai dengan statusnya yang baru di hadapan Allah.
Oleh
karena dosa masih ada, maka ada konflik dalam diri manusia baru, yaitu antara menuruti
keinginan dosa (6:12b) dan menjadi alat kebenaran (6:13b). Hal ini terus berlangsung seumur hidup
manusia. Namun keadaan ini tidak
memungkinkan untuk seseorang berada di
bawah kuasa dosa dan berada di bawah kuasa kebenaran secara bergantian. Keadaan ini juga tidak memberikan kemungkinan
seseorang setelah mengenal anugerah berbuat dosa sebanyak-banyaknya, dengan
kata lain seseorang tidak mungkin secara status di hadapan Allah sebagai
penerima anugerah yang juga berarti hamba kebenaran sementara tingkah lakunya
menunjukkan dia adalah hamba dosa. Hidup
baru tidak mungkin terpisah dari tindakan ilahi.[81] Roma 6:15-23 menyatakan dengan tegas bahwa
hanya ada dua pilihan, yaitu menjadi hamba dosa yang membawa kepada kematian,
atau menjadi hamba kebenaran yang berbuahkan hidup kekal. William Hendricksen mengatakan hal ini
sebagai ketiadaan jalan tengah di antara keduanya sebagaimana tidak ada daerah
netral antara maut dan hidup.[82]
Dalam
6:13b, 16, kata kerja yang dipakai Paulus untuk makna menjadi hamba adalah “paristaneth” yang oleh LAI diterjemahkan sebagai
“menyerahkan diri.” Kata ini bisa
dianggap sebagai tindakan yang memberikan kontrol terhadap diri sendiri kepada
sesuatu yang di luar dirinya. Oleh
karena manusia hanya bisa berada di bawah kontrol satu kuasa saja, dosa atau
kebenaran, maka hanya orang yang dikontrol oleh dosa yang bertekun dalam
dosa. Sementara itu orang yang berada di
bawah kontrol kebenaran (menjadi hamba kebenaran) akan bertekun dalam pengudusan.
Ia tidak akan dengan sengaja memberi diri untuk berdosa. Kejatuhannya dalam dosa adalah suatu
kegagalan yang terjadi berkenaan dengan
tanggung jawab pribadinya dalam
pengambilan keputusan pada saat proses pengudusan berlangsung. Namun kejatuhan itu bukan sesuatu yang disengaja dan dilakukan
berulang-ulang.
Penerima
anugerah dalam proses pembaharuan hidup atau pengudusan sudah diubah hatinya,
yaitu ia memiliki hati yang bersatu dengan Kristus. Keinginannya adalah keinginan ilahi. Karena itu ketika jatuh dalam dosa, hal itu
akan diikuti oleh penyesalan dan tekad untuk bangkit dari dosa serta tidak
mengulangi dosa tersebut lagi. Inilah
yang terjadi dalam proses pengudusan
bagi penerima anugerah.
3.
Hidup Kekal
Pengudusan
adalah suatu proses yang akan selesai pada saat hidup manusia di dunia
berakhir. Akhir dari proses pengudusan
adalah pemberian hidup kekal kepada orang percaya sebagaimana yang dikatakan
Paulus dalam ayat terakhir pasal 5 dan 6.
Hidup kekal yang dimaksud oleh Paulus dalam hal ini adalah lawan dari
maut atau kematian kekal sebagai akibat dosa.
Hidup kekal, selain pembenaran oleh iman, merupakan bentuk pemberian lainnya dalam
anugerah Allah kepada manusia secara gratis.
Pemberian gratis dari anugerah
ini disebut sebagai kharismata oleh Paulus. Vaughan dan Corley
mengistilahkan pemberian kebenaran dan hidup kekal itu sebagai hadiah ganda
dari Tuhan.[83] Orang percaya tidak hanya dibaptis dalam
kematian Kristus, tapi juga dalam kebangkitan-Nya oleh sebab itu ia menerima
hidup kekal. Hidup kekal yang dimaksud
meliputi hidup yang diterima dan menjadi milik orang percaya saat ini dan penggenapannya akan terjadi pada akhir zaman.[84]
Hidup
kekal ini merupakan pengharapan dari setiap orang percaya, dan untuk memberikan
hidup yang kekal ini pula maka Tuhan, dalam kasih-Nya yang besar berinisiatif
memberikan anugerah-Nya yang bermula dari sebuah pembenaran oleh iman,
berlanjut pada proses pengudusan, hingga orang percaya pada akhirnya masuk
kepada hidup kekal di akhir proses pengudusan itu. Hal ini diberikan-Nya kepada
manusia yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Dari hal ini jelas bahwa Allah ingin manusia
berada bersama-Nya menikmati hidup kekal dalam persekutuan dengan-Nya dan
anugerah adalah cara yang dipakai Allah untuk manusia bisa mencapai hidup kekal
itu.
[1]Wesley J. Perschbacher, The
New Analytical Greek Lexicon (Peabody: Hendrickson, 1990) 436.
[2]“Grace” dalam New Bible
Dictionary (ed. I. H. Marshall, et al.; Leicester/Downers Grove:
InterVarsity, 1996) 433.
[3]James D. G Dunn, The
Theology of Paul the Apostle (
[4]H.H. Esser, “Grace” dalam New
International Dictionary of New Testament Theology (ed. C. Brown;
[5]Dunn, The Theology
319.
[6]P. Fiedler “amartia,” EDNT (ed. Horst
Balz & Gerhard Schneider;
[7]Dunn, The Theology
112.
[8]D. G. Bloesch, “Sin” dalam Evangelical
Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell;
[9]Fiedler “amartia” 67.
[10]t.n. (London:
Samuel Bagster & Son, 1967) 305.
[11]“Sin” dalam A Critical
Lexicon and Concordance to the English and Greek New Testament (Grand
Rapids: Zondervan, 1975) 703.
[12]“paraptoma,” EDNT (ed. Horst
Balz dan Gerhard Schneider;
[13]Dunn, The Theology 286.
[14]K. Kertelge, “dikaiosunh” dalam EDNT 1.326.
[15]“Righteousness” dalam Evangelical
Dictionary of Theology 953.
[16]Ibid. 952.
[17]K.Kertelge, “dikaiosunh” dalam EDNT Vol 1
327.
[18]A Translator’s Handbook on
Paul’s Letter to the Romans (London: United Bible Societies, 1973) 20.
[19]James D.G. Dunn, Romans
1-8 (WBC 38A; Dalas: Word Books, 1988) 287.
[20]James R. Edwards, Romans (NIBC;
Peabody: Hendrickson, 1992) 102-103.
[21]Bullinger,
A Critical Lexicon 4249.
[22]Dunn, Romans
1-8 246.
[23]William
Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999) 39.
[24]Interpreting The Pauline Epistle (Grand Rapids: Baker Books, 1991) 130.
[25] Stephen Westerholm, Israel Law and the Church’s Faith (Grand Rapids:
Eerdmans, 1988) 130-132.
[26] Thomas R. Schreiner, The
Law and Its Fulfillment (Grand Rapids: Baker, 1993) 37.
[27]Paul’s Faith and the Power
of the Gospel (Philadelphia: Fortress,
1971) 279.
[28]Paul An Outline of His
Theology (Grand
Rapids: Eerdmans, 1975) 135.
[29]The Theology 134.
[30]Barclay, Pemahaman
Alkitab 24-25.
[31]Dunn, Romans 1-8 25.
[32]Dunn, The Theology
319.
[33] Patte, Paul’s Faith
245.
[34]The NIV Study Bible (ed. Kenneth Barker;
[35]Dunn, Romans 1-8
108.
[36]Patte, Paul’s Faith
248.
[37]A Guide to Romans (London: SPCK, 1975) 22-33.
[38]Fiedler
“amartia” 66.
[39]Everett
F. Harison, Romans (EBC; ed. Frank E. Gaeblein;
[40]Ibid. 61.
[41]Bowen, A Guide 74.
[42]Dunn, Romans 1-8 108.
[43]Ibid. 291.
[44]Ibid.108.
[45]Frederic L. Godet, Commentary
on Romans (Grand Rapids: Kregel, 1977) 128.
[46]Godet, Commentary 227.
[47]J. W. Wenham, Bahasa
Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977) 145.
[48]Bastiaan Van Elderen, New
Testament Greek Studi Aids (
[49]F. F. Bruce, The Letter
of Paul to the Romans (TNTC; Leicester: IVP; Grand Rapids: Eerdmans, 1985)
126.
[50]Grace Abounding in Believers
Life (ed.
Robert Hall;
[51]Barclay, Roma 90.
[52]Antony A. Hoekema, Diselamatkan
oleh Anugerah (
[53]
[54]Hoekema, Diselamatkan
245.
[55]The Epistle to the Romans (New York:
Harper & Row, 1957) 120.
[56]David Hellholm, “Enthumemic Argumentation in Paul:
The Case of Romans 6” dalam Paul in His Hellenistic Context (ed. Troels
Enberg-Pedersen;
[57]James L. Bailey, “Genre
Analysis” dalam Hearing the New Testament (ed. Joel B. Green;
[58]Ibid. 205-207.
[59]Dunn, Romans 1-8 271.
[60]Alexander Maclaren, Exposition
of Holy Scripture: Romans (Grand Rapids: Baker, 1978) 105.
[61]Hellholm,”Enthumemic
Argumentation in Paul” 140.
[62]“Carij” dalam EDNT (ed.
Horst Balz et al.;
[63]Manfred
R. Brauch, Ucapan Paulus yang Sulit (Malang SAAT, 1993)16.
[64]R. Kent Hughes, Preaching
the Words: Romans (Wheaton: Crossway, 1990) 118.
[65]Dunn, Romans 1-8 286.
[66]W. Stanford Reid,
“Sanctification: The Fruit of Justification,” Evangelical Prsbyterian
XVII/6 (1967) 324.
[67]Diselamatkan 267.
[68]C. Norman Bartlett, Right
in Romans (Chicago: Moody, 1953) 67.
[69]Wenham, Bahasa Yunani
151.
[70]Leon Morris, The Epistle
to the Romans (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans; Leicester: IVP, 1988) 246.
[71]Gerald Bray, ”Dead to Sin
and Alive to Christ,” Evangel 18/3 (2000) 73.
[72]Bruce, Romans 130.
[73]Godet, Commentray on Romans 241.
[74]D. Martyn Lloyd Jones, Romans:
An Exposition of Chapter 6 the New Man (Edinburgh: The Banner of Truth
Trust, 1972) 309.
[75]G. Raymon Carlson,
[76]Barrett, The Epistle to
Romans 124.
[77]CurtisVaughan dan Bruce Corley, Romans (BSC; Grand
Rapids: Lamplighter, 1976) 77.
[78]The Epistle to the Romans (
[79]
[80]Carlson,
[81]
[82]Romans (NTC; Grand Rapids: Baker,
1980) 210.
[83]Romans 71.
[84]Bruce, Romans 135.