Bolehkah
Kita Merayakan
oleh: Pdt. Budi Asali M.Div.
8) Perayaan
Natal bertentangan dengan Gal 4:9-11 dan Kol 2:16-17.
Internet: “Sekarang perhatikan apa yang menjadi kekuatiran Paulus di dalam
ayat 9-11: ‘Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik,
sesudah kamu dikenal Allah, bagaimana kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia
yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? Kamu
dengan teliti MEMELIHARA HARI-HARI TERTENTU, BULAN-BULAN, MASA-MASA YANG TETAP
DAN TAHUN-TAHUN. Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah
SIA-SIA’. Dengarkan itu! Mengapa kita, sebagai anak-anak Allah, terus
menceburkan diri dan ikut ambil bagian dalam perayaan HARI-HARI BESAR KEAGAMAAN
sementara Roh Allah dengan tegas MENENTANGNYA! Adalah PENGANGKATAN KITA SEBAGAI
ANAK bagi ALLAH yang MELEPASKAN kita dari KEBUTUHAN akan semua unsur perbudakan
ini! Hari-hari besar keagamaan adalah; roh-roh dunia yang lemah dan miskin;
sebagaimana yang dikatakan Alkitab. Dan sekalipun kita tahu bahwa hari-hari
besar keagamaan dan perayaan-perayaannya yang dikatakan oleh Paulus tidak
termasuk Natal (karena Natal pada waktu itu belum diketemukan), akan tetapi
prinsipnya sama. Baik Galatia 4:9-11 dan Kolose 2:16 keduanya tegas atas
ketidaksetujuannya terhadap semua hari besar keagamaan dan
perayaan-perayaannya. SAMPAI DETIK INI ALLAH TIDAK PERNAH MENGATAKAN SATU
KATAPUN AGAR SUPAYA KITA MEMELIHARA HARI-HARI ISTIMEWA. Allah tidak pernah
mengatakan di dalam firman-Nya, ataupun melalui nubuatan, atau penglihatan,
atau bahasa roh, atau wahyu, atau malaikat, ataupun media lainnya pada sekarang
ini yang memerintahkan kita sebagai umat-Nya agar supaya merayakan hari
kelahiran Anak-Nya ataupun HARI lainnya!”.
Jawaban saya:
Orang-orang
bodoh ini menggunakan ayat Kitab Suci tanpa mengerti artinya. Jangan
lupa bahwa setan juga bisa menggunakan ayat Kitab Suci tetapi yang ia putar
balikkan artinya.
Bdk. Mat 4:5-6 - “(5) Kemudian Iblis
membawaNya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, (6) lalu
berkata kepadaNya: ‘Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diriMu ke bawah, sebab
ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikatNya
dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kakiMu jangan
terantuk kepada batu.’”.
Sekarang, mari kita memperhatikan kedua text yang dipersoalkan, supaya
bisa mengertinya secara benar.
Kol 2:16 - “Karena itu janganlah kamu biarkan
orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya,
bulan baru ataupun hari Sabat”.
Gal 4:9-11 - “(9) Tetapi sekarang sesudah kamu
mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu
berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai
memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara
hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11)
Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia”.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Memang kalau dilihat
sepintas lalu, harus diakui bahwa kedua text di atas ini kelihatannya melarang
kita untuk memelihara hari raya. Tetapi benarkah demikian? Kalau kita mau
menafsirkan kedua text ini dengan benar, kita juga harus memperhatikan
ayat-ayat lain dalam Kitab Suci yang berhubungan dengannya. Dan text / ayat yang harus
diperhatikan adalah Ro 14:1-6 (khususnya ay 5-6nya). Dalam kedua text di atas
ini (Kol 2:16 Gal 4:9-11),
Paulus tidak mungkin melarang perayaan hari-hari raya, karena kalau diartikan
demikian, akan bertentangan dengan Ro 14:5.
Ro 14:1-6
- “Terimalah orang yang
lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. (2) Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah
imannya hanya makan sayur-sayuran saja. (3) Siapa yang makan, janganlah
menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah
menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. (4) Siapakah
kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia
berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan
tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri. (5) Yang
seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain,
tetapi yang lain menganggap semua hari sama
saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri.
(6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk
Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur
kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga
mengucap syukur kepada Allah”.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan / dimengerti tentang Ro 14:5-6
ini:
1. Kata ‘hari’ di sini tidak mencakup Sabat Kristen / hari Minggu!
Barnes mengatakan bahwa Sabatnya orang kristen tidak bisa dimasukkan
dalam hal ini, dan alasannya adalah:
·
yang dibicarakan di sini bukanlah
Sabatnya orang kristen, tetapi hari-hari raya Yahudi.
·
dalam Kitab Suci, Sabatnya Kristen dipelihara oleh semua orang
Kristen.
·
Ro 14:6 mengatakan bahwa ‘memelihara’ atau ‘tidak memelihara’ hari tersebut haruslah
dilakukan untuk Tuhan. Dan seseorang tidak mungkin tidak memelihara Sabat demi
Tuhan.
Barnes’
Notes: “If any man is disposed to plead this
passage as an excuse for violating the Sabbath, and devoting it to pleasure or
gain, let him quote it, just as it is, i.e., let him neglect the Sabbath from a
conscientious desire to honour Jesus Christ. Unless this is his motive, the
passage cannot avail him. But this motive never yet influenced a
Sabbath-breaker” (= Jika
seseorang ingin menggunakan text ini sebagai alasan untuk melanggar Sabat, dan
menggunakan Sabat untuk kesenangan atau keuntungan, hendaklah ia mengutipnya
sebagaimana adanya, yaitu, hendaklah ia mengabaikan Sabat dari suatu keinginan
yang benar / jujur untuk menghormati Yesus Kristus. Kecuali ini
merupakan motivasinya, text ini tidak bisa ia pakai. Tetapi motivasi ini tidak
pernah mempengaruhi seorang pelanggar Sabat) - hal 654-655.
Bahkan para penafsir menganggap bahwa Kol 2:16-17 - “(16) Karena
itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman
atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya
ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah
Kristus” - juga tidak mengajarkan
bahwa Sabat dihapuskan.
Barnes’
Notes: “The word Sabbath in the Old
Testament is applied not only to the seventh day, but to all the days of holy
rest that were observed by the Hebrews, and particularly to the beginning and
close of their great festivals. There is, doubtless, reference, to those days
in this place, as the word is used in the plural number, and the apostle does
not refer particularly to the Sabbath properly so called. ... If he had used
the word in the singular number - ‘THE Sabbath’ - it would then, of
course, have been clear that he meant to teach that that commandment had ceased
to be binding, and that a Sabbath was no longer to be observed. But the use of
the term in the plural number, and the connexion, show that he had his eye on
the great number of days which were observed by the Hebrews as festivals, as a
part of their ceremonial and typical law, and not to the moral law, or the ten
commandments. No part of the moral law - no one of the ten
commandments - could be spoken of as ‘a shadow of things to
come.’ These commandments are, from the nature of moral law, of perpetual
and universal obligation”
(= Kata ‘Sabat’ dalam Perjanjian Lama tidak diterapkan hanya pada
hari yang ketujuh, tetapi kepada semua hari-hari dari istirahat kudus yang
dipelihara oleh orang-orang Ibrani, dan secara khusus menunjuk pada permulaan
dan penutupan dari pesta perayaan mereka yang besar. Tidak diragukan bahwa di
tempat ini kata itu menunjuk pada hari-hari itu, karena kata itu digunakan
dalam bentuk jamak, dan sang rasul tidak menunjuk secara khusus pada apa yang secara benar dinamakan Sabat. ... Seandainya ia menggunakan kata dalam bentuk tunggal -
‘Sabat’ - maka tentu saja jelas bahwa ia bermaksud untuk mengajar
bahwa perintah itu tidak mengikat lagi, dan bahwa Sabat tidak perlu dipelihara
lagi. Tetapi penggunaan istilah itu dalam bentuk jamak, dan hubungannya,
menunjukkan bahwa ia menujukan matanya pada sejumlah besar hari-hari yang
dipelihara oleh orang-orang Ibrani sebagai pesta-pesta perayaan, sebagai bagian
dari hukum yang bersifat upacara dan TYPE, dan bukan pada hukum moral, atau 10
hukum Tuhan. Tidak ada bagian dari hukum moral - tidak
satupun dari 10 hukum Tuhan - yang bisa dikatakan sebagai ‘bayangan dari
apa yang harus datang’. Hukum-hukum ini, dari sifat dari hukum
moral, merupakan kewajiban yang bersifat kekal dan universal) - hal
1070.
Adam
Clarke: “There is no intimation here that
the Sabbath was done away, or that its moral use was superseded, by the
introduction of Christianity. I have shown elsewhere that ‘Remember the
Sabbath day, to keep it holy,’ is a command of perpetual obligation, and
can never be superseded but by the final termination of time. As it is a type of
that rest which remains for the people of God, of an eternity of bliss, it must
continue in full force till that eternity arrives; for no type ever ceases till
the antitype be come. Besides, it is not clear that the apostle refers at all
to the Sabbath in this place, whether Jewish or Christian; his sabbatwn, of sabbaths
or weeks, most probably refers to their feasts of weeks” [= Ini bukan merupakan suatu pernyataan
bahwa Sabat telah disingkirkan, atau bahwa penggunaan moralnya telah
digantikan, oleh perkenalan akan kekristenan. Saya telah menunjukkan di tempat
lain bahwa ‘Ingatlah hari Sabat, dan kuduskanlah Dia’ merupakan
suatu perintah tentang kewajiban kekal, dan tidak pernah bisa digantikan
kecuali oleh kesudahan terakhir dari waktu. Karena Sabat merupakan suatu TYPE
dari istirahat yang tertinggal untuk umat Allah, dari kebahagiaan kekal, maka
Sabat harus tetap berlaku sampai kekekalan itu tiba; karena tidak ada TYPE yang
pernah berhenti sampai ANTI-TYPEnya datang. Disamping itu, sama
sekali tidak jelas bahwa sang rasul menunjuk pada hari Sabat di tempat ini,
apakah itu Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; his sabbatwn, ‘mengenai / tentang Sabat-Sabat
atau minggu-minggu’, paling mungkin menunjuk pada pesta mingguan mereka] - hal
524.
Tentang hari apa yang dimaksudkan dalam Ro 14:5-6, Hendriksen
mengatakan bahwa ia tidak tahu hari apa yang dimaksudkan. Ia
mengatakan bahwa ada yang mengatakan itu adalah Sabat Yahudi, ada juga yang
mengatakan itu adalah hari-hari raya Yahudi, atau hari puasa (bdk. Luk 18:12). Tetapi ia menolak kalau ini diartikan menunjuk pada Sabat
Kristen / Minggu.
Editor dari Calvin’s Commentary mengatakan bahwa ini bukan Sabat
Kristen, karena yang dibicarakan adalah hari-hari raya Yahudi, sama seperti
Gal 4:10 dan Kol 2:16 (Calvin’s Commentary, hal 498, footnote).
Dalam tafsirannya tentang Neh 8:1dst yang membicarakan tahun baru
Yahudi, Matthew Henry mengatakan bahwa hari itu disebut sebagai ‘suatu
Sabat’.
Matthew
Henry: “The time of it was the first day of
the seventh month, v. 2. That was the day of the feast of trumpets, which is
called a sabbath, and on which they were to have a holy convocation, Lev.
23:24; Num. 29:1” (= Waktunya adalah hari pertama dari
bulan yang ketujuh, ay 2. Itu adalah hari dari perayaan terompet, yang
disebut suatu sabat, dan dalam mana mereka harus mempunyai suatu pertemuan
kudus, Im 23:24; Bil 29:1).
Charles
Hodge: “Paul has reference to the Jewish
festivals, and therefore his language cannot properly be applied to the
Christian Sabbath. ... The principle which the apostle enforces in reference to
this case, is the same as that which he enjoined in relation to the other,
viz., that one man should not be forced to act according to another man’s
conscience, but every one should be satisfied in his own mind, and be careful
not to do what he thought wrong”
(= Paulus menunjuk kepada hari-hari raya Yahudi, dan karena itu bahasanya /
kata-katanya tidak bisa secara benar diterapkan kepada Sabat Kristen. ...
Prinsip yang dijalankan berkenaan dengan kasus ini, adalah sama dengan prinsip
yang ia perintahkan kebubuhan dengan yang lain, yaitu bahwa seseorang tidak
boleh dipaksa untuk bertindak menurut hati nurani orang lain, tetapi setiap
orang harus puas dengan pikirannya sendiri, dan berhati-hati untuk tidak
melakukan apa yang ia anggap sebagai salah) - ‘Romans’, hal 420.
John Brown mengatakan bahwa
gereja Roma, sama seperti banyak gereja mula-mula yang
lain, terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang non Yahudi. Orang-orang
non Yahudi menganggap bahwa hukum-hukum ceremonial / yang berhubungan
dengan upacara keagamaan sudah dihapuskan, tetapi orang-orang Yahudi menganggap
itu tetap berlaku, dan ada di antara mereka orang-orang yang berusaha untuk
memaksakan pengertian mereka kepada yang lain.
2. Kata-kata ‘sama saja’ pada Ro 14:5 seharusnya tidak ada.
Lit: ‘tetapi yang lain menilai setiap
hari’.
Barnes’
Notes: “The word ‘alike’ is not
in the original, and it may convey an idea which the apostle did not
design” (= Kata
‘sama saja’ tidak ada dalam bahasa aslinya, dan itu bisa memberikan
suatu gagasan yang tidak dimaksudkan oleh sang rasul) - hal
654.
Adam
Clarke: “We add here ‘alike,’
and make the text say what I am sure was never intended, viz. that there is no
distinction of days, not even of the Sabbath: and that every Christian is at
liberty to consider even this day to be holy or not holy, as he happens to be
persuaded in his own mind. That the Sabbath is of lasting obligation may be
reasonably concluded from its institution ...
and from its typical reference. All allow that the Sabbath is a type of
that rest in glory which remains for the people of God. Now, all types are
intended to continue in full force till the antitype, or
thing signified, take place; consequently, the Sabbath will continue in
force till the consummation of all things. The word ‘alike’
should not be added; nor is it acknowledged by any MS. or ancient version” [= Kita menambahkan di sini
‘sama saja’, dan membuat text itu mengatakan apa yang saya yakin
tidak pernah dimaksudkan oleh text itu, yaitu bahwa tidak ada perbedaan
hari-hari, bahkan tidak tentang Sabat: dan bahwa setiap orang Kristen bebas
untuk menganggap hari ini kudus atau tidak kudus, sebagaimana yang ia yakini
dalam pikirannya. Bahwa Sabat merupakan kewajiban yang
kekal bisa disimpulkan secara masuk akal dari penegakannya ... dan dari
penggunaannya sebagai TYPE. Semua orang mengakui bahwa
Sabat merupakan suatu TYPE dari istirahat dalam kemuliaan yang tertinggal untuk
umat Allah. Semua TYPE dimaksudkan untuk tetap berlaku sampai ANTI
TYPEnya, atau hal yang ditunjuknya, terjadi; dan karena itu Sabat akan terus berlaku sampai akhir / penyempurnaan dari segala
sesuatu. Kata ‘sama saja’ tidak seharusnya ditambahkan; juga itu tidak
diakui oleh manuscripts atau versi kuno manapun]
- hal 151.
3. Kata-kata ‘Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam
hatinya sendiri’.
Barnes’
Notes: “Every man is to examine them for
himself, and act accordingly. This direction pertains to the subject under
discussion, and not to any other. It does not refer to subjects that were
morally wrong, but to ceremonial observances. ... The word ‘fully
persuaded’ denotes the highest conviction - not a matter of opinion or
prejudice, but a matter on which the mind is made up by examination. ...
This is the general principle on which Christians are called to act in relation
to festival days and fasts in the church. If
some Christians deem them to be for edification, and suppose that their piety
will be promoted by observing the days which commemorate the birth, and death,
and temptations of the Lord Jesus, they are not to be reproached or opposed in
their celebration. Nor are they attempt to impose them on others as a
matter of conscience, or to reproach others because they do not observe
them” (= Setiap
orang harus memeriksanya untuk dirinya sendiri, dan bertidak sesuai dengan hal
itu. Pengarahan ini berlaku untuk pokok yang sedang dibicarakan, dan bukan
untuk hal-hal lain. Itu tidak menunjuk pada sesuatu yang salah secara moral,
tetapi pada pemeliharaan upacara. Kata-kata ‘benar-benar yakin’
menunjuk pada keyakinan yang tertinggi - bukan persoalan pandangan atau
prasangka, tetapi persoalan dimana pikiran ditetapkan oleh pemeriksaan. ...
Ini merupakan prinsip umum yang menjadi dasar tindakan orang Kristen dalam
persoalan hari-hari raya dan puasa dalam gereja. Jika orang-orang Kristen tertentu menganggap hal-hal itu berguna
untuk pendidikan dan menganggap bahwa kesalehan mereka ditingkatkan oleh
pemeliharaan hari-hari yang memperingati kelahiran, dan kematian, dan pencobaan
dari Tuhan Yesus, mereka tidak boleh dicela atau ditentang dalam perayaan
mereka. Tetapi mereka juga tidak boleh berusaha untuk memaksakan hal itu
kepada orang-orang lain sebagai persoalan hati nurani, atau mencela orang-orang
lain karena mereka tidak memelihara hari-hari itu) - hal 655.
Jadi ada 2 hal yang ditekankan oleh Barnes:
a. Kata-kata ini tidak boleh diberlakukan untuk segala hal. Misalnya:
kalau kita yakin bahwa kita boleh mempunyai lebih dari satu istri, maka kita
boleh melakukannya. Ini tentu ngawur! Jadi, kata-kata ini hanya berlaku untuk
pemeliharaan hal-hal yang bersifat upacara keagamaan yang merupakan hal yang
remeh, dan tidak untuk hal-hal yang lain.
b. Keyakinan seseorang itu harus didapatkan melalui penyelidikan,
tentunya terhadap Firman Tuhan.
b) Apakah
Ro 14:5-6 ini bertentangan dengan Gal 4:9-11 dan Kol 2:16-17?
Tentu kita tidak mungkin mengatakan bahwa ada ayat yang bertentangan
dengan ayat lain dalam Kitab Suci kita. Lalu mengapa dalam Gal 4:9-11 dan
Kol 2:16-17 Paulus seakan-akan menentang pemeliharaan hari raya, sedangkan
dalam Ro 14:5-6 Paulus menoleransi pemeliharaan hari raya?
1. Karena dalam
jemaat Roma pemeliharaan hari raya itu tidak berhubungan dengan kesesatan,
sedangkan dalam jemaat Galatia dan Kolose pemeliharaan hari raya itu
berhubungan dengan kesesatan.
John Murray (NICNT): “in the other epistles (Gal. 4:10,11;
Col. 2:16,17) the observance of days, because of its association with the
heresies prevalent in the Galatians and Colossian churches, is unsparingly
condemned. The observance in the church at
2. Kesesatan apa yang dimaksudkan?
Kesesatan apa
yang dihubungkan dengan perayaan hari-hari raya itu dalam jemaat
a. Gal 4:9-11 - “(9) Tetapi sekarang sesudah
kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah
kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau
mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu
dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap
dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah
sia-sia”.
Kata-kata ‘berbalik
lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin’ dan ‘memperhambakan
diri lagi kepadanya’ dalam Gal 4:9 tidak menunjuk
sekedar pada pemeliharaan hari raya, tetapi pada pemeliharaan hari raya sebagai
cara untuk mendapatkan keselamatan. Perhatikan beberapa komentar
di bawah ini tentang Gal 4:9 ini.
Calvin: “When he calls the ceremonies beggarly elements, he
views them as out of Christ, and, what is more, as opposed to Christ. To
the fathers they were not only profitable exercises and aids to piety, but
efficacious means of grace. But then their whole value lay in Christ,
and in the appointment of God. The false apostles, on the other hand,
neglecting the promises, endeavoured to oppose the ceremonies to Christ, as if
Christ alone were not sufficient” [= Pada waktu ia
menyebut upacara-upacara itu elemen-elemen yang miskin, ia memandang mereka
sebagai di luar Kristus, dan lebih lagi sebagai bertentangan dengan Kristus.
Bagi bapa-bapa (orang-orang Perjanjian Lama) hal-hal itu
bukan hanya merupakan hal-hal yang menguntungkan dan menolong kesalehan, tetapi
merupakan jalan kasih karunia yang mujarab / efektif. Tetapi pada saat itu nilai sepenuhnya
dari hal-hal itu ada di dalam Kristus, dan dalam penetapan Allah. Di
sisi yang lain, rasul-rasul palsu itu, sambil mengabaikan janji-janji, berusaha
untuk mempertentangkan upacara-upacara itu dengan Kristus, seakan-akan Kristus
sendiri tidaklah cukup] - hal 123.
William
Hendriksen: “Are they really going back to their
former state of slavery, with this difference that they will be exchanging one
type of bondage (to heathenism) for another (to Judaism)? ... Formerly they had
been enslaved by the childish teachings of pagan priests and ritualists. ...
Having been delivered from all this folly, do they now wish to become enslaved
all over again, this time by Judaistic regulations?” [= Apakah mereka betul-betul kembali
kepada keadaan perbudakan mereka yang dahulu, dengan perbedaan dimana mereka
akan menukar sejenis perbudakan (kepada kekafiran) dengan perbudakan yang lain
(kepada Yudaisme)? ... Dahulu mereka
diperbudak oleh ajaran-ajaran yang kekanak-kanakan dari imam-imam kafir dan
orang-orang yang menekankan upacara keagamaan. ... Setelah dibebaskan
dari semua kebodohan ini, apakah sekarang mereka ingin diperbudak kembali, kali
ini pada peraturan-peraturan Yudaisme?] - hal
163.
William
Hendriksen: “Paul calls these
‘rudiments’ weak and beggarly because they have no power to help
man in any way. Luther, commenting on this verse and applying the lesson to his
own day, tells us that he had known monks who zealously labored to please God
for salvation, but the more they labored the more impatient, miserable,
uncertain, and fearful they became. And he adds, ‘People who prefer the
law to the gospel are like Aesop’s dog who let go of the meat to snatch
at the shadow in the water ... The law is weak and poor, the sinner is weak and
poor: two feeble beggars trying to help each other. They cannot do it. They
only wear each other out. But through Christ a weak and poor sinner is revived
and enriched unto eternal life.’” (= Paulus menyebut elemen-elemen ini lemah dan
miskin karena mereka tidak mempunyai kuasa untuk menolong manusia dengan cara
apapun. Luther, mengomentari ayat ini dan menerapkannya pada jamannya sendiri,
mengatakan bahwa ia mengenal biarawan-biarawan yang berjerih payah dengan
bersemangat untuk menyenangkan Allah untuk keselamatan, tetapi makin mereka
berjerih payah, makin mereka menjadi tidak sabar, menyedihkan / tidak senang,
tidak pasti, dan takut. Dan ia menambahkan: ‘Orang-orang yang lebih
memilih hukum Taurat dari pada injil sama seperti anjingnya Aesop yang
melepaskan daging untuk menggigit bayangan di air ...
Hukum Taurat itu lemah dan miskin, orang berdosa itu lemah dan miskin: dua
pengemis yang lemah berusaha menolong satu terhadap yang lainnya. Mereka tidak
bisa melakukannya. Mereka hanya melelahkan satu sama lain. Tetapi melalui
Kristus seorang berdosa yang lemah dan miskin disegarkan / dihidupkan lagi dan
diperkaya sampai hidup yang kekal’) - hal 165.
William
Barclay: “It is weak because it is helpless.
It can define sin; it can convict a man of sin; but it can neither find for him
forgiveness for past sin nor strength to conquer future sin” (= Hal itu lemah karena hal itu tidak
berdaya. Hal itu bisa mendefinisikan dosa; hal itu bisa menyadarkan /
meyakinkan seseorang akan dosanya; tetapi hal itu
tidak bisa mendapatkan untuknya pengampunan untuk dosa-dosa yang lalu maupun
kekuatan untuk mengalahkan dosa yang akan datang) - hal
36.
Adam
Clarke: “After receiving all this, will you
turn again to the ineffectual rites and ceremonies of the Mosaic law - rites too
weak to counteract your sinful habits, and too poor to purchase
pardon and eternal life for you?”
(= Setelah menerima semua ini, apakah kamu mau berbalik lagi kepada upacara-upacara
yang tidak efektif dari hukum Musa - upacara-upacara yang terlalu lemah
untuk menetralkan kebiasaan berdosamu, dan terlalu miskin untuk membeli
pengampunan dan hidup kekal bagimu?) - hal 404.
Barnes’
Notes: “They are called ‘weak’
because they had no power to save the soul; no power to justify the sinner
before God. They are called ‘beggarly,’ (Greek, ptwca, poor,)
because they could not impart spiritual riches” (= Mereka disebut ‘lemah’
karena mereka tidak mempunyai kuasa untuk menyelamatkan jiwa; tidak mempunyai
kuasa untuk membenarkan orang berdosa di hadapan Allah. Mereka disebut miskin
karena mereka tidak bisa memberikan kekayaan rohani) - hal
947.
Dari
semua ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘berbalik lagi kepada roh-roh dunia
yang lemah dan miskin’ maupun ‘memperhambakan
diri lagi’, bukanlah sekedar pemeliharaan hari-hari raya tersebut,
tetapi pemeliharaan hari-hari raya sebagai cara untuk mendapatkan
keselamatan!
Calvin: “To bring back Christianity to Judaism, was in itself no
light evil; but far more serious mischief was done, when, in opposition to the
grace of Christ, they set up holidays as meritorious performances, and
pretended that this mode of worship would propitiate the divine favour.
When such doctrines were received, the worship of God was corrupted, the grace
of Christ made void, and the freedom of conscience oppressed” (= Membawa kembali kekristenan kepada Yudaisme, bukanlah
kejahatan yang ringan; tetapi kesalahan yang jauh lebih serius dilakukan pada
waktu mereka, untuk mempertentangkan dengan kasih karunia Kristus, menegakkan
hari-hari raya sebagai perbuatan yang layak mendapatkan pahala, dan mengclaim bahwa cara penyembahan ini akan
menyebabkan Allah menjadi baik / berkenan) - hal 125.
Hendriksen
menganggap Gal 4:10 ini sebagai contoh dari ‘berbalik
kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin’ dalam
Gal 4:9. Ia juga mengatakan bahwa karena dalam
William
Hendriksen: “Paul is saying that strict
observance of such days and festivals has nothing whatever to do with securing
the divine favor” (= Paulus
mengatakan bahwa pemeliharaan yang ketat terhadap hari-hari dan hari-hari raya
seperti itu tidak mempunyai hubungan apapun dengan memastikan kebaikan ilahi) - hal
166.
William
Barclay: “The failure of a religion which is
dependent on special occasions is that almost inevitably it divides days into
sacred and secular; and the further almost inevitable step is that when a man
has meticulously observed the sacred days he is liable to think that he has
discharged his duty to God. ... For real Christian every day is God’s
day” (= Kegagalan
/ kehancuran dari sebuah agama yang bergantung pada saat-saat khusus adalah
bahwa hampir tak terhindarkan mereka membagi hari-hari menjadi hari-hari yang
kudus dan hari-hari yang duniawi; dan langkah selanjutnya yang juga hampir tak
terhindarkan adalah bahwa pada saat seseorang telah memelihara secara sangat cermat
/ teliti hari-hari kudus itu, besar kemungkinannya bahwa ia berpikir bahwa ia
sudah melakukan kewajibannya terhadap Allah. ... Untuk orang Kristen yang
sejati, setiap hari adalah hari Allah) - hal 36.
William
Barclay: “It was Paul’s fear that men who
had once known the splendour of grace would slip back to legalism, and that men
who had once lived in the presence of God would shut him up to special
days” [= Paulus
takut bahwa orang-orang yang pernah mengenal kemegahan kasih karunia akan
tergelincir kembali kepada legalisme (penekanan ketaatan untuk keselamatan), dan bahwa orang-orang yang pernah hidup
di hadapan Allah akan mengurung Dia pada / untuk hari-hari khusus] - hal
37.
b. Kol 2:16 - “Karena itu janganlah kamu
biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari
raya, bulan baru ataupun hari Sabat”.
William
Hendriksen: “The Jewish aspect of the Colossian
Heresy stands out clearly here. ... the Colossian
errorists passed judgment not only with respect to eating but also with respect
to drinking, ... They also tried to impose restrictions in connection with
festivals. ... The main purpose of placing such stress on all such regulations
was to convince the Colossians that strict observances was absolutely
indispensable to salvation” (= Aspek Yahudi dari bidat
Kolose menonjol secara jelas di sini. ... Orang-orang sesat
di Kolose menyampaikan penghakiman bukan hanya berkenaan dengan makanan tetapi
juga berkenaan dengan minuman. ... Mereka juga mencoba untuk memaksakan pembatasan berkenaan dengan
hari-hari raya. ... Tujuan utama dari penempatan tekanan seperti itu pada semua
peraturan-peraturan seperti itu adalah untuk meyakinkan orang-orang Kolose
bahwa ketataan yang ketat sangat diperlukan secara mutlak untuk keselamatan) - hal 123-124.
Jadi, untuk jemaat / gereja Kolose, boleh
dikatakan kasusnya sama dengan jemaat / gereja Galatia.
Jadi, jelaslah bahwa dalam jemaat Galatia dan
Kolose, Paulus melarang pemeliharaan hari raya, karena mereka merayakan hari
raya itu sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan. Sedangkan dalam jemaat
Roma, karena mereka tidak mempunyai motivasi sesat seperti itu dalam
perayaan hari raya, maka Paulus memberikan kebebasan. Dengan demikian
jelaslah bahwa Kol 2:16 dan Gal 4:9-11 sama
sekali tidak bisa dipakai untuk menentang perayaan Natal, kecuali ada
orang-orang yang merayakan Natal sebagai suatu sarana untuk mendapatkan
keselamatan.