Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
      

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Disalin dari hp nya Mas Djoko Luknanto di HP ISNET

	PENDAHULUAN                                            
 
	Manusia sebagai makhluk berakal dan beragama tetap  memiliki
	kebebasan  berkehendak  untuk  menyatakan  pikiran, ide, dan
	menentukan jalan hidupnya. Dalam kaitan ini  Islam  menjamin
	kebebasan  tersebut  dengan  suatu  pertanggungjawaban dalam
	arti yang sebenarnya.
 
	Akidah tauhid yang merupakan sokoguru  kesatuan  bagi  ummat
	Muslim  yang diliputi oleh suasana persaudaraan, sejak zaman
	Nabi SAW.,  menjadi  goyah  terutama  menjelang  berakhirnya
	dekade   kedua   masa   Khulafa'ur-Rasyldin  yaitu,  diakhir
	pemerintahan  Khalifah  'Usman  ibn  'Affan.   Sebab   utama
	goyahnya  kesatuan  ummat  Muslim  tersebut, berpangkal pada
	pertikaian  politik   yang   bercorak   keagamaan   diantara
	kelompok-kelompok  Muslim  yang  sedang  bersaing. Peristiwa
	tersebut  merupakan  awal  masa  desintegrasi   yang   dalam
	perkembangan   selanjutnya,   terutama  sesudah  terbunuhnya
	Khalifah ketiga, benar-benar mendorong  lahirnya sekte-sekte
	dalam  Islam  dengan  doktrin atau ajaran masing-masing yang
	berbeda-beda.
 
	Kambuhnya semangat fanatisme golongan  di  satu  pihak,  dan
	munculnya  sikap  kultus individu terhadap diri 'Ali ibn Abi
	Talib dan  Ahl  al-Bait  di  pihak  lain,  tampaknya  sangat
	berpengaluh  terhadap  lahirnya  doktrin teologi kaum Syi'ah
	dalam  penalaran  sejarahnya.  Kekalahan  mereka  di  bidang
	politik  dan  militer,  selama pemerintahan Bani Umayyah dan
	Bani 'Abbasiyyah, yang menyebabkan  banyak  di  antara  para
	imam mereka menjadi korban politik, rupanya merupakan faktor
	penting yang mendorong lahirnya ide atau mitos tentang  Imam
	Mahdi atau al-Mahdi al-Muntazar.
 
	Keanekaragaman aspirasi politik dan doktrin yang dibawa oleh
	berbagai sekte dalam Islam itu,  berdampak  negatif  sebagai
	akibat  terjadinya  akulturasi budaya dan keyakinan, sesudah
	meluasnya  daerah  kekuasaan  Islam.  Rupanya  al-Quran  dan
	Sunnah  Rasul  tidak  lagi  dijadikan  sebagai  rujukan oleh
	sekian banyak aliran yang  muncul  waktu  itu  guna  mencari
	titik  temu . Akan tetapi sebaliknya, justru keduanya mereka
	jadikan sebagai dasar untuk menguatkan  doktrin  atau  paham
	mereka  masing-masing.  Sikap  demikian ini mendorong mereka
	kepada tindakan-tindakan yang ekstrem dan permusuhan  dengan
	sesama Muslim,  sebagaimana  yang  pernah    dilakukan  oleh
	golongan  Syi'ah  maupun  Ahmadiyah  dalam  mewujudkan   dan
	menyebarkan ide serta pengaruh mereka masing-masing.
 
	Paham  Mahdi  atau  Mahdiisme,  sebagaimana  diketahui dalam
	sejarah, adalah ajaran yang meyakini akan datangnya  seorang
	tokoh  Juru  Selamat atau Messiah pada ummat yang tertindas,
	akibat  merajalelanya  kezaliman   penguasa.Tokoh   tersebut
	dikenal  sebagai  al-Mahdi  yang ditunggu-tunggu. Paham yang
	millenaristis ini, juga pernah  muncul di Indonesia  sekitar
	abad XIX - abad XX, khususnya di Jawa pada masa pemerintahan
	kolonial  Belanda.  Tokoh  gerakan  tersebut  oleh  sebagian
	masyarakat  Jawa dikenal pula dengan nama Ratu Adil.1 Dengan
	demikian, corak gerakan Mahdiisme  dapat  dikatakan  sebagai
	modus  gerakan  masyarakat  belum  maju yang tertindas serta
	mengalami perubahan tata sosial yang drastis untuk melakukan
	protes  sosial  terhadap penguasa yang lalim guna memperoleh
	kejayaan mereka kembali. Lahirnya Mahdiisme juga bermula dan
	protes-protes  sosial sebagai akibat pergolakan politik yang
	didorong oleh ambisi ingin  merebut  kekuasaan  dari  sekian
	banyak kelompok Muslim yang saling bermusuhan pada permulaan
	sejarahnya.
 
	Dari serangkaian  kegagalan  pemberontakan  bersenjata  yang
	dimotori  oleh  kaum  Syi'ah  selama  kurang  lebih dua abad
	lamanya,  mereka   mengalami   kekecewaan   yang   mendalam,
	kekalahan   serta  penderitaan  yang  beruntun,  dan  selalu
	menjadi korban kekerasan lawan-lawan  politiknya.  Disamping
	itu, tidak sedikit di antara para imam mereka menjadi korban
	kekerasan politik;  dan  ini  menyebabkan  kecintaan  mereka
	kepada  imam-imam tersebut semakin mendalam. Keadaan seperti
	inilah yang menyebabkan kaum Syi'ah mudah  mencerna  'aqidah
	ar-raj'ah  dan masalah al-gaibah, dua masalah yang tampaknya
	merupakan faktor dominan dalam mempercepat  proses  lahirnya
	sikap  menunggu-nunggu  kehadiran  kembali  para imam mereka
	yang telah wafat atau yang tidak mereka akui kematiannya.
 
	Kepercayaan seperti ini  tidak  dikenal  oleh  ummat  Muslim
	sebelumnya.  Oleh karena itu, doktrin Mahdiisme, yang semula
	lahir sebagai  penggerak  gerakan  keagamaan  yang  bersifat
	politis,    berkembang    menjadi   doktrin   teologi   yang
	eskatologis. Paham Mahdiisme ini  semakin  luas  pengaruhnya
	dan  bahkan  akhirnya  menjadi  milik  berbagai aliran dalam
	Islam.
 
	Paham Mahdi semula muncul di  kalangan  Syi'ah  Kaisaniyyah,
	aliran  ini berkeyakinan bahwa Muhammad ibn Hanafiyah adalah
	al-Mahdi al-Muntazar. Menurut keyakinan  mereka,  dia  masih
	hidup  dan  tinggal di bukit Radwa, dan kehadirannya kembali
	senantiasa  mereka  tunggu   Dalam   hubungan   ini   timbul
	pertanyaan, mengapa paham Mahdi ini tidak tumbuh di kalangan
	kaum Khawarij? Jawaban terhadap pertanyaan ini cukup  jelas:
	bahwa  kaum  Khawarij  tidak  mengenal 'aqidah ar-raj'ah dan
	al-gaibah, sekalipun sekte  tersebut  juga  mengalami  nasib
	yang sama dengan nasib kaum Syi'ah.
 
	Selanjutnya  paham  Mahdi  ini  pun muncul di kalangan sekte
	Syi'ah al-Jarudiyyah.  Para  pengikut  keyakinan  sekte  ini
	selalu  menunggu kehadiran kembali imam mereka, Muhammad ibn
	'Abdullah,    atau    yang    dikenal     dengan     sebutan
	an-Nafsuz-Zakiyyah, sebagai al-Mahdi.
 
	Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, terdapat dua kelompok pengikut
	paham  Mahdi  yang  besar  pengaruhnya  dan  terkenal  dalam
	sejarah,  yaitu  sekte  Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh) atau
	yang  dikenal  dengan  Syi'ah   Isma'iliyyah   atau   Syi'ah
	Batiniyyah,  dan kedua adalah sekte Isna 'Asyariyyah (Syi'ah
	Duabelas).  Dalam  merealisasikan  ide  kemahdiannya   kedua
	aliran  tersebut  tampaknya  terdapat  perbedaan  yang cukup
	menonjol. Jika kemahdian Syi'ah Isma'iliyyah lebih  bersifat
	realistis,  maka  kemahdian  Syi'ah  Isna  'Asyariyyah lebih
	bersifat  idealis.  Menurut  sekte  yang  disebut   pertama,
	al-Mahdi  itu  telah  mengejawantah  pada  diri Abdullah ibn
	Muhammad, dan ia berhasil  membentuk  dinastinya  di  Magrib
	(Afrika),   sedangkan  menurut  sekte  yang  disebut  kedua,
	al-Mahdi  itu  terjelma  pada  diri   Muhammad   ibn   Hasan
	al-'Askari  (Imam  keduabelas)  sesudah ia dinyatakan hilang
	secara  misterius   dan   dinyatakan   pula   sebagai   yang
	ditunggu-tunggu tanpa batas waktu tertentu.
 
	Paham Mahdi yang pernah  berkembang di Indonesia lebih mirip
	dengan paham Mahdi Syi'ah daripada  paham  Mahdi  Ahmadiyah.
	Menurut  aliran  terakhir  ini, al-Mahdi dan al-Masih adalah
	satu pribadi yang terjelma pada  diri  Mirza  Ghulam  Ahmad,
	pendiri aliran tersebut. Selain itu, ia juga mengaku sebagai
	jelmaan Krishna.  Aliran  ini  berpendapat  bahwa  kehadiran
	al-Mahdi  didasarkan  atas  pengangkatan  dari Tuhan melalui
	jalan ilham atau mukasyafah (terbukanya tirai alam gaib).
 
	Pengalaman  Mirza  Ghulam  Ahmad  tersebut  oleh   sementara
	pengikutnya  diinterpretasikan  sebagai  wakyu.  Asumsi  ini
	tampaknya dibenarkan oleh Mirza, karena itu wahyu  dipandang
	masih  terbuka  sepanjang  zaman,  asalkan syari'atnya tetap
	mengikuti syari'at Nabi  Muhammad  SAW.  Demikian  pandangan
	aliran  Ahmadiyah Qadian terhadap diri Mirza. Berbeda dengan
	aliran Ahmadiyah Lahore, mereka memandangnya  hanya  sebagai
	mujaddid  abad  ke-14  H, dan ia bukan nabi hakiki. Sebab ia
	hanya merjerima  wakyu  tajdid  atau  wahyu  walayah  (wahyu
	kewalian),  bukan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Sekalipun
	demikian, aliran kedua ini, secara implisit  masih  mengakui
	Mirza  Ghulam Ahmad sebagai nabi, yakni nabi secara lugawi.2
	Tugas kemahdian dan kemasihan Mirza  memang  dapat  dijumpai
	dalam  berbagai  literatur  dan  diuraikan secara jelas baik
	oleh Mirza sendiri maupun oleh para pengikutnya. Akan tetapi
	dapat   dikatakan   langka   uraian  yang  menyangkut  tugas
	kekrishnaannya, sebagai yang pernah  dinyatakan  pada  1904,
	bahwa  dirinya  adalah penjelmaan Krishna. Jika pengakuannya
	sebagai  Krishna  adalah  atas  dasar   wahyu   maka   sulit
	dibuktikan  kebenarannya  baik secara literal maupun melalui
	tanda-tanda alamiah.  Dengan  demikian,  ummat  Muslim  yang
	non-Ahmadiyah,  tentunya  sulit menerima kebenaran pengakuan
	tersebut.
 
	Sebagaimana diketahui, tugas kemahdian dan  kemasihan  Mirza
	memang  berbeda dengan tugas kemahdian dalam Syi'ah. Menurut
	Paham Syi'ah, al-Mahdi dikenal pula dengan  al-Qa'im  (orang
	yang  bangkit untuk menuntut balas terhadap musuh-musuhnya),
	sehingga kepercayaan terhadap al-Mahdi ini merupakan  faktor
	pendorong   bagi   perjuangan   kaum  Syi'ah  untuk  merebut
	kekuasaan politik  dan  untuk  menegakkan  pemerintah  Islam
	sesuai   dengan   aspirasi   mereka.  Berbeda  dengan  tugas
	kemahdian   menurut   Ahmadiyah,   disini   al-Mahdi   ingin
	menegakkan  Islam  diatas  semua  agama,  dan  karenanya dia
	dikenal pula dengan sebutan Hakim Pengislah,  yang  bertugas
	mendamaikan  ummat  Muslim  seluruhnya dan mengislamisasikan
	yang lain tanpa jalan kekerasan.
	
 
	Masalah Mahdi tersebut di  atas,  rupanya  tidak  disinggung
	sama  sekali  baik dalam al-Quran maupun dalam Sahih Bukhari
	maupun Sahih Muslim,  sebagaimana  dikenal  dalam  sejarah.3
	Akan  tetapi,  bagi  kaum  Syi'ah dan Ahmadiyah, hadis-hadis
	Mahdiyyah yang terdapat di dalam  kitab-kitab  Sunan  mereka
	pandang  sebagai  hadis  mutawatir (otentik). Oleh sebab itu
	kedua aliran ini  menjadikan  paham  Mahdi  sebagai  prinsip
	keyakinan.  Mereka  beranggapan  bahwa  seorang  Muslim yang
	menolak Mahdi,  berarti  Islamnya  belum  benar.  Sikap  dan
	anggapan  seperti  ini  sering  menimbulkan perselisihan dan
	permusuhan.
 
	Selanjutnya tentang paham kewahyuan kedua  aliran  tersebut,
	dapat    dikatakan   tidak   jauh   berbeda,   masing-masing
	beranggapan bahwa  Tuhan  tetap  akan  menurunkan  wahyu-Nya
	sampai  hari  kiamat.  Dan wahyu yang diturunkan itu menurut
	golongan  Syi'ah  dikenal   dengan   wahyu   ta'lim   (wahyu
	pengajaran),  sedangkan  menurut  golongan Ahmadiyah dikenal
	dengan wahyu walayah (wahyu  kewalian),  atau  wahyu  tajdid
	(wahyu pembaharuan), atau dikenal pula dengan Wahyu muhaddas
	(wahyu yang diterima dengan cara berdialog  langsung  dengan
	Tuhan).  Term  wahyu  yang  terakhir  ini,  tampaknya  telah
	dicipta  dan  dikenal  oleh  golongan  Syi'ah  jauh  sebelum
	lahirnya  Ahmadiyah.  Wahyu seperti itu, oleh kedua golongan
	di atas sangat dibutuhkan untuk membimbing ummat dan memberi
	interpretasi   sesuai  dengan  perkembangan  zaman  terhadap
	pernyataan-pernyataan al-Quran. Adapun perbedaan kedua paham
	kewahyuan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan berpangkal
	pada  perbedaan  motivasi  yang  melatarbelakangi   lahirnya
	gerakan kedua aliran itu.
 
	Sebelum  lahirnya paham Mahdi dalam Islam, paham seperti itu
	sebenarnya telah dimiliki oleh  agama-agama  besar  lainnya,
	terutama  dari  golongan  Hindu,  Yahudi,  Nasrani  dan lain
	sebagainya  Dan  wajarlah  apabila  golongan   Syi'ah   yang
	memunculkannya  untuk pertama kalinya. Sebab kaum Syi'ah lah
	yang pertama kali  menyerap  paham  tersebut  dari  golongan
	Yahudi   maupun   Nasrani.  Kemudian  dibuatlah  hadis-hadis
	Mahdiyyah, karena kaum Syi'ah sangat  berkepentingan  dengan
	ide  kemahdian tersebut dalam meneruskan perjuangan menuntut
	hak legitimasi kekhilafahan. Dan dengan demikian hadis-hadis
	Mahdiyyah yang mereka buat cepat menguasai opini masyarakat,
	sehingga golongan non Syi'ah pun tidak  ketinggaIan  membuat
	hadis-hadis   Mahdiyyah  dengan  versi  lain  sesuai  dengan
	identitas golongannya masing-masing. Oleh sebab  itu  banyak
	di  kalangan  para  intelektual  Muslim yang datang kemudian
	menilai hadis-hadis Mahdiyyah tidak ada yang otentik  bahkan
	keseluruhannya adalah palsu.
 
	Selanjutnya  dalam  kajian  ini akan dibahas ciri-ciri utama
	doktrin dan gerakan Mahdiisme Syi'ah dan  Ahmadiyah,  dengan
	harapan  pembaca  akan  memperoleh informasi atau keterangan
	yang lebih jelas tentang  sifat-sifat  kedua  gerakan  Mahdi
	tersebut.  Terlepas  dari  sikap  setuju  atau  tidak setuju
	terhadap  ajaran  mereka,  pembaca  diharap  dapat   menilai
	sendiri  secara  obyektif,  sejauh  mana  penyimpangan  atau
	relevansinya dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Rasul.
 
	Maksud  dan  tujuan  penulisan  buku  ini  ialah  memberikan
	pengertian  secara  obyektif  kepada masyarakat luas tentang
	gerakan Mahdiisme  tersebut  dan  tentang  cara-cara  mereka
	mewujudkan  cita-cita  perjuangannya.  Untuk itu, diharapkan
	agar seluruh  ummat  Muslim,  tidak  mudah  terpengaruh  dan
	terlibat   dalam  tindakan-tindakan  yang  ekstrem,  apalagi
	terseret ke dalam permusuhan  dengan  sesama  Muslim,  hanya
	karena  keyakinan  yang  tidak  fundamental bahkan tidak ada
	dasar  otentiknya  sama  sekali.  Barangkali  perlu   selalu
	diingat   bahwa  gerakan  Syi'ah  khususnya  dalam  memenuhi
	ambisinya yang ditopang  oleh  ide-ide  Mahdiisme,  manakala
	masih  menjadi  kelompok  minoritas ia selalu menyembunyikan
	identitasnya  namun,  bila  ia   merasa   kuat,   ia   tidak
	segan-segan   bertindak   ekstrem  dan  menyeret  pada  para
	pengikutnya untuk bersikap  konfrontatif  terhadap  pengikut
	paham lain.
 
	Dengan mengetahui dan memahami keyakinan dan paham kemahdian
	Syi'ah dan Ahmadiyah, seorang akan bersikap toleran dan akan
	terhindar  dari sikap picik karena pandangan yang sempit dan
	tindakan ekstrem. Perlu dijelaskan, mengapa dalam kajian ini
	tidak  dibahas  paham Mahdi Ahlus-Sunnah. Hal ini disebabkan
	oleh langkanya literatur  yang  dapat  menunjang  pembahasan
	tersebut,  seperti:  Al-Mahdiyyah  fil-Islam  tulisan  Sa'ad
	Muhammad Hasan, al-Mahddyyah karya Dr. Ahmad Amin, dan  lain
	sebagainya.  Adapun  yang  menjadi  pokok permasalahan dalam
	kajian ini adalah: Dimanakah letak persamaan  dan  perbedaan
	antara  paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah? Dengan
	demikian,  pembahasannya  akan  dapat   memberi   informasi,
	manakah  diantara  ajaran kedua golongan tersebut yang lebih
	relevan dengan al-Quran dan  Sunnah,  apabila  dilihat  dari
	aspek   teologi.   Untuk  memecahkan  permasalahannya,  akan
	digunakan  pendekatan  secara   historis   dan   komparatif.
	Selanjutnya  dalam  bahasan  ini  penulis  akan membicarakan
	pokok-pokok persoalan sebagai berikut:  Dalam  Bab  1,  yang
	berupa  pendahuluan,  disini akan diberikan deskripsi global
	tentang paham Syi'ah dan Ahmadiyah Selanjutnya  paham  Mahdi
	Syi'ah yang meliputi:
 
	a. Pengertian al-Mahdi dalam Syi'ah dan Ahmadiyah.
	b. Sejarah lahirnya Syi'ah, di sini akan dijelaskan mengenai
	   latar belakang sejarahnya, pertumbuhan dan perkembangan
	   sekte-sektenya berikut paham mereka masing-masing.
	c. Beberapa ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan dengan paham
	   Mahdi yaitu masalah imamah, 'aqidah raj'ah, dan masalah
	   al-gaibah.
 
	Kemudian diuraikan pula tentang paham Mahdi Ahmadiyah  dalam
	Bab III, di sini dijelaskan tentang:
 
	a. Sejarah lahirnya Ahmadiyah yang mencakup latar belakang
	   sejarah berdirinya Ahmadiyah, pertumbuhan dan perkembangan
	   sekte-sektenya.
	b. Beberapa ajaran pokok Ahmadiyah yang meliputi: Masalah
	   wahyu, nubuwwah, dan masalah jihad yang berkaitan dengan
	   paham Mahdiisme.
 
	Uraian tentang perbandingan antara paham  Mahdi  Syi'ah  dan
	paham  Mahdi  Ahmadiyah  dimuat  dalam Bab IV. Dalam bab ini
	dijelaskan tentang:
 
	a. Asal mula lahirnya paham Mahdi yang mencakup tentang
	   situasi yang melatar belakanginya, dan beberapa faktor
	   penyebabnya.
	b. Persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan
	   paham Mahdi Ahmadiyah.
	c. Corak kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, dan
	d. Paham Mahdi dan masalah 'akidah.
 
	Selanjutnya  Bab  V  menjelaskan  tentang:  Paham  kewahyuan
	Syi'ah dan Ahmadiyah, yang mencakup masalah-masalah:
 
	a. Al-Quran dan paham kewahyuan ummat Muslim, disini juga
	   diterangkan: Hubungan paham kewahyuan Syi'ah dengan doktrin
	   keimaman serta sikap Syi'ah yang eksklusif, dan
	b. Paham kewahyuan Ahmadiyah yang berkaitan dengan ide
	   pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad dan doktrin kenabian.
 
	Dalam Bab VI diuraikan tentang Paham Mahdi dalam  perspektif
	rasional.  Di  sini  akan dijelaskan mengenai aspek landasan
	idiil paham Mahdiisme yang mencakup:
 
	a. Hadis-hadis Mahdiyyah dan identitas kelompok,
	b. Beberapa pendapat tentang hadis-hadis Mahdiyyah sebagai
	   hadis palsu. Selanjutnya disusul dengan uraian tentang:
	   Beberapa interpretasi mengenai al-Mahdi dan proses
	   tersebarnya paham Mahdi.
 
	Kemudian diakhiri dengan Bab VII, yaitu: Penutup.  Pada  bab
	ini  diajukan  beberapa  kesimpulan  serta  saran-saran yang
	berkaitan dengan penulisan naskah  ini.  Dalam  kajian  ini,
	perlu dikemukakan dua pendekatan, yaitu, pertama, pendekatan
	historis. Dengan pendekatan ini penulis  harus  mengumpulkan
	data  sejarah  yang  berkaitan  dengan  golongan  Syi'ah dan
	Ahmadiyah khususnya, dan sejarah umrnat Muslim pada umumnya.
	Setelah  data  sejarah  diperoleh,  diklasifikasikan  secara
	kronologis,  dan  diseleksi,  dihubung-hubungkan  satu  sama
	lain,  serta diperbandingkan antara data yang bersumber dari
	karya-karya penulis dari kedua golongan  tersebut  dan  data
	yang   berasal   dari  karya-karya  penulis  non-Syi'ah  dan
	non-Ahmadiyah. Kedua, pendekatan komparatif. Disini  penulis
	mencoba  membandingkan  baik  yang  menyangkut  ide,  paham,
	doktrin, maupun corak gerakan dari kedua golongan  di  atas,
	yaitu: golongan Syi'ah dan Ahmadiyah, untuk dianalisis lebih
	jauh guna memperoleh tingkat obyektivitas yang diharapkan.
 
	Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan ini,  adalah
	dengan  metode verstehen (memahami permasalahannya). Di sini
	penulis berusaha memahami dan  mengerti  pokok  permasalahan
	yang  hendak dibahas terlebih dahulu, dengan menggunakan dua
	pendekatan di  atas.  Setelah  datanya  dianalisis  kemudian
	disusun   dalam   kesatuan  yang  harmonis  dan  sistematis,
	sehingga mudah dimengerti maksudnya, kemudian  baru  ditarik
	suatu kesimpulan yang utuh dan menyeluruh.
 
	Catatan kaki:
	[1] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil,
	    Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 57
	[2] Al-Mawdudi, Ma hiyal-Qadiyaniyah,
	    (Kuwait: Darul-Qalam, hlm. 22, 25).
	    Selanjutya lihat pula Susmoyo Djoyo Sugito,
	    Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki,
	    (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hlm. 6-8.
	[3] Dwight M. Donaldson, 'Aqidah asy-Syi'ah,
	    terj. dalam bahasa Arab, selanjutnya disebut
	    Donaldson (Mesir: Matba'ah as-Sa'adah, tt.), hlm. 231.
 	                                             
	-------------------------------------------------
 
	A. PENGERTIAN AL-MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH
 
	Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud dalam  kajian  ini,
	bermula   dari   sekte   Syi'ah   Kaisaniyyah   yang  banyak
	terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1  Kata  al-Mahdi
	adalah  ism maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata
	Arab].
 
	Kata  ini  bisa   berarti,   Allah   telah   memberitahukan,
	menunjukkan   atau   menjelaskan   jalan  kepadanya.  Dengan
	demikian, orang yang telah  mendapat  petunjuk  itu  disebut
	al-Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa
	sigat kata al-Mahdi itu adalah maf'ul  (dalam  bentuk  mabni
	lil-majhul  dari  [kata-kata Arab] dan kata al-Mahdi berarti
	orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata  tersebut,
	dalam  bentuknya  seperti  itu,  bermakna fa'il, yakni orang
	yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia.  Memang
	sigat  [kata-kata  Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang
	ada adalah sigat al-fa'il, sebagaimana dalam firman Allah:
 
	Dan  sesungguhnya  Allah  adalah   Pemberi   petunjuk   bagi
	orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (S. al-Hajj: 54)
 
	Juga dalam firman-Nya:
 
	...  Dan  cukuplah  Tuhanmu  menjadi  Pemberi  petunjuk  dan
	Penolong. (S. al-Furqan: 31).
 
	Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali  dengan
	masalah  al-Mahdi  al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat
	Islam,  ayat-ayat  di  atas  dijadikan  sebagai  dasar  tema
	pembahasan  tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta
	menghubungkannya dengan hadis-hadis Mahdiyyah.2
 
	Dalam hubungan ini,  Ahmad  Amin  menjelaskan,  bahwa  dalam
	al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan kata [kata-kata
	Arab]  sedangkan   kata   yang   terdapat   dalam   sebagian
	kitab-kitab  hadis  adalah  untuk menyipati pribadi 'Ali ibn
	Abi Talib.  Seperti  sabda  Nabi  yang  dikutip  dari  kitab
	Usdul-Gabah:
 
	"  ...  Dan  jika  kalian  mengangkat 'Ali sebagai pemimpin,
	namun aku melihat kalian tidak melakukan  itu,  kalian  akan
	mendapatinya  sebagai  seorang pemberi petunjuk yang membawa
	kalian ke jalan yang lurus."
 
	Kemudian  pengertian  bahasa  agama  ini   berubah   menjadi
	pengertian  baru  yaitu  akan  munculnya  seorang  imam yang
	ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi  ini  penuh  dengan
	keadilan  sebagaimana  bumi  telah dipenuhi oleh kecurangan.
	Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang  pertama-tama
	menggunakan  pengertian  yang  terakhir  ini  adalah  Syi'ah
	Kaisaniyyah.3 Selanjutnya  perlu  ditambahkan  disini  bahwa
	kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi
	petunjuk atau the guided  one.  Karena  semua  petunjuk  itu
	berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang
	yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau  the  divinely-guided
	one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan
	demikian,  orang   yang   disebut   Mahdi   atau   al-Mahdi,
	benar-benar  telah  mendapat  bimbingan Allah. Di masa lalu,
	nama ini pun  dipakai  oleh  pribadi-pribadi  tertentu,  dan
	dimasa-masa  selanjutnya  nama  Mahdi  dipakai  orang secara
	eskatologis.4 Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah  tokoh
	laki-laki  dari  keturunan  Ahlul-Bait  yang  akan muncul di
	akhir zaman. Dia akan  menegakkan  agama  dan  keadilan  dan
	diikuti  oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang
	turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi  imam
	sewaktu   salat   bersama-sama  Nabi  Isa  a.s.  Demikianlah
	pengertian al-Mahdi yang dikenal  secara  umum  di  kalangan
	ummat Islam.
 
	Akan  tetapi  pengertian al-Mahdi menurut paham Syi'ah ialah
	seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia  akan  datang
	memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi
	oleh kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut
	aliran  ini al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang
	merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari al-Mahdi  dan
	al-Masih a.s., dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujaddid atau
	pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham Ahmadiyah Lahore.
	Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad
	disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.
 
	Uraian diatas menunjukkan bahwa kepercayaan  kaum  Ahmadiyah
	terhadap  al-Mahdi  ini  bermula dari pengakuan Mirza Ghulam
	Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam  yang
	ditemukannya    di    Srinagar,   Punjab,   India.   Menurut
	penyelidikan mereka, makam tersebut adalah  makam  Yus  Asaf
	yang  diyakini sebagai Isa al-Masih, sesudah pengembaraannya
	yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India.  Dan  sesudah
	penemuan   makam   tersebut,   barulah   dicari  hadis-hadis
	Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan  aliran  ini.
	Paham  kemahdian  Ahmadiyah  diatas,  berbeda  dengan  paham
	kemahdian Syi'ah yang  timbul  dari  'Aqidah  ar-Raj'ah  dan
	masalah   al-Gaibah.  Oleh  karena  kaum  Syi'ah  tidak  mau
	mengakui kematian  imam-imam  mereka,  dan  karena  pengaruh
	ajaran  ibn  Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan
	mereka tentang imam yang bersembunyi  (gaib).  Dalam  kaitan
	ini, Ahmad Amin menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu
	bermula  dari  ucapan  Ibn  Saba',  yang  menyatakan   bahwa
	Muhammad   SAW   akan   kembali   lagi   ke   dunia,  adalah
	mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya  Isa  a.s.,
	tetapi ia mendustakan kembalinya Muhammad.5
 
	Dalam  salah satu pernyataannya yang lain, ia tidak mengakui
	kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu  bukan  'Ali  tetapi,
	setan  yang  menjelma  sebagai  'Ali,  dia  naik  ke  langit
	sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang  bersembunyi  tersebut
	akan  muncul lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan
	demikian, akhirnya, muncul pula pemikiran tentang  al-Mahdi,
	dan kemudian dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah.
 
	Adapun  arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut,
	atau berarti golongan. Seperti firman Allah:
 
	... Dan benar-benar Ibrahim adalah  termasuk  golongannya...
	(S. as-Saffat: 83).
 
	Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:
 
	Syi'ah  adalah  golongan  yang  membantu 'Ali dalam menumpas
	pemberontakan   yang   dimotori   oleh    Talhah,    Zubair,
	bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum
	Khawarij.  Para  pendukung  'Ali  tersebut,  sebagian  besar
	mengakui  kekhilafahan  Abu  Bakr,  'Umar, dan 'Usman sampai
	terjadinya penyimpangan yang menimbulkan huru-hara. Sebagian
	lagi,  mereka  yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin mereka.
	Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang
	mengunggulkan  'Ali  sebagai  khalifah  sesudah Rasul wafat,
	daripada tokoh sahabat lainnya.6
 
	Istilah  Syi'ah  sebagai  yang  dikembangkan  oleh  al-Mahdi
	Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an pada
	umumnya, dan tampaknya istilah tersebut  lebih  cocok  untuk
	golongan  Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah
	Syi 'ah sebagai yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad  Amin  dalam
	Duhal-Islam   III,   tampak   lebih   luas.  Syi'ah  menurut
	pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa 'Ali dan
	keturunannya   adalah  orang  yang  paling  berhak  menjabat
	khalifah  daripada  Abu  Bakr,  'Umar,   dan   'Usman.   Dan
	bahwasanya  Nabi  telah  menjanjikan kekhilafahan sesudahnya
	kepada  'Ali,  dan  setiap  imam  menjanjikan   kekhilafahan
	tersebut kepada penerusnya.
 
	Selanjutnya  tentang arti kata 'Ahmadiyah' berasal dari kata
	'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang searti dengan kata
	'mahmud,'  artinya  orang  yang terpuji. Namun menurut Mirza
	Ghulam  Ahmad,  bahwa  kata  'Muhammad'  artinya,  berkaitan
	dengan  sifat  jalal  atau kebesaran, karena itu, Rasulullah
	dalam  menghadapi  musuh-musuhnya  dengan  cara   berperang.
	Sedang  kata  'Ahmad'  lebih  berkonotasi dengan sifat jamal
	atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi  saw.  itu  menyebarkan
	kedamaian  dan  keharmonisan  di dunia (tidak menempuh jalan
	kekerasan),   sifat   ini   menurut    pendapatnya,    lebih
	dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7
 
	Apabila  kata  "Ahmad"  ditambah  dengan  "ya"  nisbah, maka
	jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang  oleh  Mirza
	dijadikan  sebagai  nama  aliran  yang didirikannya di akhir
	abad ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa  Mirza  Ghulam
	Ahmad adalah al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi.
	Nama Ahmadiyah dipakai  secara  resmi  sebagai  nama  aliran
	tersebut,   sejak   4   November  1900,  sewaktu  pendirinya
	membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte baru dalam
	Islam.  Nama  'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu
	nama Rasulullah, bukan  diambil  dari  nama  pendiri  aliran
	tersebut.
 
	B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
 
	1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
 
	Masalah  khalifah  sesudah  Rasul  wafat,  merupakan   fokus
	perselisihan  diantara  tiga golongan besar, yaõtu: Golongan
	Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim.  Selain  itu,  sebenarnya
	masih  ada  kelompok  terselubung yang cukup potensial dalam
	mewujudkan  ambisinya  sebagai  penguasan   tunggal,   ialah
	golongan   Bani   Umayyah.   Sikap  golongan  terakhir  ini,
	tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu  Abu  Sufyan  yang
	enggan   membai'at  Khalifah  Abu  Bakr,  sekembalinya  dari
	Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam
	lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
 
	Prakarsa  pemilihan  khalifah  di Saqifah yang dimotori oleh
	Sa'ad ibn  'Ubbadah  adalah  benar-benar  menggugah  kembali
	bangkitnya  semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar
	suku yang pernah    terjadi  sebelum  Islam.  Kiranya  dapat
	dipahami    bahwa   pemilihan   khalifah   tersebut,   tanpa
	keikutsertaan 'Ali  sebagai  wakil  Bani  Hasyim,  tampaknya
	membawa  kekecewaan  mereka yang menginginkan hak legitimasi
	kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu  sedang  mengurus
	jenazah  Nabi.  Mereka  beralasan  bahwa  'Ali  adalah lebih
	berhak dan lebih utama menggantikannya,  karena  dia  adalah
	menantunya,  dan  selain  itu ia juga seorang yang mula-mula
	masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah.  Selanjutnya
	tak  seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan
	ilmu pengetahuan  yang  dimilikinya.  Diantara  mereka  yang
	berpendapat  demikian  adalah  salah  seorang  dari golongan
	Ansar yaitu Munzir ibn  Arqam,  ia  menyatakan  dalam  suatu
	pertemuan  di  Saqifah:  "  ... Kami tidak menolak keutamaan
	orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr,  Umar,  dan'Ali),
	sebenarnya  ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya
	ia  menuntut  (kekhilafahan),  tak  seorang  pun  yang  akan
	menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8
 
	Peristiwa  pembai'atan  Abu  Bakr  pada  tahun 12 H (634 M),
	tanpa  sepengetahuan  'Ali,  tampaknya  melahirkan  berbagai
	pendapat   yang   kontroversial   tentang   siapa   diantara
	tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki  jabatan
	khalifah.  Selain  itu,  juga  merupakan  awal  terbentuknya
	pemikiran  golongan  ketiga  yakni  Bani  Hasyim,  disamping
	golongan   Muhajirin   dan   Ansar.   Oleh  karenanya  tidak
	mengherankan jika saat itu ada orang  yang  ingin  membai'at
	'Ali  ibn Abl Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak
	'Ali   dan   sebagai   akibatnya,   para   pendukung    'Ali
	menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.
 
	Memang  benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama
	ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait,  sebagai
	pewaris  kekhilafahan  sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda
	sampai berakhirnya  masa  pemerintahan  Khalifah  'Umar  ibn
	Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan
	oleh   keberhasilan   kedua    khalifah    tersebut    dalam
	mempersatukan   potensi   ummat   Islam   untuk   menghadapi
	musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
 
	Munculnya Bani Umayyah dalam  pemerintahan  'Usman,  sebagai
	kekuatan  politik  baru, telah mengundang reaksi keras ummat
	Islam, terhadap  kebijaksanaan  Khalifah,  terutama  sesudah
	enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
	ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi
	kaum  kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah
	yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai  akibatnya,  isu
	politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
 
	Sebagaimana   diketahui   dalam  sejarah,  tindakan  politik
	Khalifah yang memberhentikan  para  gubernur  yang  diangkat
	oleh  Khalifah  'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru
	dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan
	keresahan  ummat  secara  luas. Seperti: Pengangkatan Marwan
	ibn Hisyam sebagai sekretaris  Khalifah,  Mu'awiyah  sebagai
	Gubernur  Syria,'Abdullah  ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali
	di Mesir, dan ia masih saudara seibu  dengan  Khalifah,  dan
	Walid   sebagai   Gubernur  Kufah.  Mereka  dikenal  sebagai
	penguasa yang lebih berorientasi  pada  kepentingan  pribadi
	dan  kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan
	aspirasi  rakyat.  Sikap  politik  seperti   ini   tampaknya
	merupakan  faktor  penyebab  timbulnya  protes-protes sosial
	yang   keras   yang   sangat   kurang   menguntungkan   pada
	pemerintahannya sendiri.
 
	Setelah   'Usman   wafat,  'Ali  adalah  calon  utama  untuk
	menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah  kali  ini,
	segera  mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang
	berambisi menduduki jabatan penting  tersebut.  Kedua  tokoh
	itu  adalah  Talhah  dan  Zubair yang mendapat dukungan dari
	'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal  dengan
	perang   Jamal.  Akhirnya  kedua  tokoh  tersebut  terbunuh,
	sedangkan  'A'isyah,  oleh  Khalifah  'Ali  dikembalikan  ke
	Madinah.
 
	Aksi  militer  tersebut,  tampaknya sebagai akibat kegagalan
	kedua tokoh itu dalam  memenuhi  ambisinya.  Disamping  itu,
	keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan
	Basrah  untuk  membai'at  'Ali,   dibawah   ancaman   pedang
	terhunus.  Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru
	untuk menuntut  Khalifah,  mereka  berjanji  akan  taat  dan
	patuh,  jika  Khalifah  menghukum  semua orang yang terlibat
	dalam  peristiwa  pembunuhan  Usman  ibn  'Affan.   Tuntutan
	tersebut   senada  dengan  tuntutan  Mu'awiyah,  yaitu  agar
	Khalifah  'Ali  mengadili  Muhammad  ibn  Abu   Bakr,   anak
	angkatnya,   yang   mereka   pandang  sebagai  biang  keladi
	peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
	dihadapkan   pada   posisi   yang   cukup   sulit   di  awal
	pemerintahannya.
 
	Tampaknya   tuntutan    Talhah    dan    Zubair    tersebut,
	dipolitisasikan  oleh  Muawiyah  untuk memojokkan 'Ali, yang
	dipandang  sebagai  saingan  utamanya.  Untuk  membangkitkan
	semangat  antipati  dan  permusuhan  terhadap Khalifah 'Ali,
	Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang  berlumuran  darah
	beserta  potongan  jari  istrinya,  yang  dibawa  lari  dari
	Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9 Posisi  'Ali  yang
	sulit   ini,  ditambah  lagi  dengan  tindakan  pemecatannya
	terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah
	sebagai  faktor  yang  mempercepat berkobamya perang Siffin.
	Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij,  musuh
	'Ali   yang   paling   ekstrem,   sesudah  terjadinya  upaya
	perdamaian  dari  pihak  Mu'awiyah  dengan  ber-tahkim  pada
	al-Qur-an,  setelah  pasukannya  terdesak  oleh pasukan 'Ali
	dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang
	dimotori  oleh  'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui
	oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat  licik  ini
	terhalang   oleh  sebagian  besar  pasukannya  sendiri  yang
	memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya,  kedua
	belah  pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus
	diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili
	oleh  'Amr  ibn  'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa
	al-Asy'ari.
 
	Kekalahan   diplomasi   pihak   'Ali   di   Daumatul-Jandal,
	sebagaimana  dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh
	sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya  kepada
	siasat  'Amr.  Bahkan  menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu-
	Musa ini  secara  diam-diam  memusuhi  'Ali.  'Amr  ibn  'As
	tampaknya  dengan  mudah  meyakinkan  Abu  Musa, bahwa untuk
	kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan.
	Dengan  perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih
	tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna  mengumumkan
	hasil  perundingan  mereka,  dan  secara sungguh-sungguh Abu
	Musa menyatakan pemecatan  'Ali  sedangkan  'Amr  yang  naik
	mimbar  kemudian,  menyatakan  kegembiraannya atas pemecatan
	'Ali tersebut,  kemudian  ia  mengangkat  Mu'awiyah  sebagai
	penggantinya.10 Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali
	tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
	Kufah,  oleh  seorang  Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41
	H/661 M.
 
	Pembelotan kaum  Khawarij  yang  disebabkan  oleh  peristiwa
	tahkim  atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin
	mempersulit dan memperlemah posisi  Khalifah  'Ali  terutama
	sekali   sesudah   penumpasan  pasukan  'Ali  terhadap  kaum
	separatis ini di Nahrawan. Perang di  Nahrawan,  menyebabkan
	dendam  mereka  semakin  memuncak  terhadap  Khalifah. Dalam
	hubungan ini,  Donaldson  menjelaskan  bahwa  kaum  Khawarij
	membentuk  pasukan  berani  mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman
	ibn  Muljam  untuk  membunuh  'Ali,  Hajjaj  ibn   'Abdullah
	as-Sarimi  untuk  membunuh  Mu'awiyah,  dan  Zadawaih  untuk
	membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua petugas yang disebut
	belakangan  ini gagal mencapai maksudnya.11 Dengan demikian,
	posisi Mu'awiyah semakin kuat.
 
	Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih  tampak  sebagai
	seorang  panglima perang daripada sebagai seorang politikus.
	Ia lebih suka  menempuh  jalan  kekerasan,  sekalipun  harus
	banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang
	pernah  ditempuhnya, ia tampak  lebih  banyak  didikte  oleh
	pihak  lawan.  Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan
	oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.
 
	Para pendukung dan  pengikut  setia  Khalifah  'Ali  apabila
	dilihat  dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan
	akidah ummat Islam  pada  umumnya  saat  itu.  Sudah  barang
	tentu,  mereka  belum  mengenal sama sekali apalagi memiliki
	doktrin-doktrin  seperti  yang  dimiliki  oleh  kaum  Syi'ah
	sebagaimana  yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian
	mereka bahwa 'Ali  lebih  utama  memangku  jabatan  Khalifah
	sesudah  Nabi  .  Jumlah  mereka relatif lebih kecil. Dengan
	demikian,  pengikut  setia  'Ali  dalam  mencapai  cita-cita
	perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin
	tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa  Syi'ah  belum
	lahir.  Ini berbeda dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada
	hukum  yang  wajib  dipatuhi  selain  hukum  Allah,"   sejak
	keberadaan  sekte  ini,  telah dijadikan sebagai doktrin dan
	pengikutnya  selalu  berorientasi  pada  ajaran  itu.   Oleh
	karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
 
	Mengenai  lahirnya  Syi'ah,  terdapat beberapa pendapat yang
	kontroversial . Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H.
	Abu  Bakar  Atjeh  dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
	menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah  adalah  bersamaan  dengan
	lahirnya  nas  (hadis)  mengenai  pengangkatan  'Ali ibn Abi
	Talib  oleh  Nabi  sebagai  khalifah  sesudahnya  nas   yang
	dimaksud  antara  lain,  mengenai  kisah perjamuan makan dan
	minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya,  Abu
	Talib,  yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam
	perjamuan  itu  beliau  menyatakan:  "...Inilah  dia  ('Ali)
	saudaraku,  penerima  wasiatku  dan khalifahku untuk kalian,
	oleh  karena  itu,  dengar  dan  taati  (perintahnya)   ..."
	Pernyataan  ini  disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima
	tawaran beliau sebagai khalifahnya.
 
	Nas seperti ini, jelas  tidak  terdapat  dalam  kitab  Sahih
	al-Bukhari  dan  Sahih  Muslim,  karena  itu  golongan Sunni
	menolak nas tersebut bila dijadikan  dalil  untuk  mengklaim
	kekhilafahan  bagi  'Ali  sebagaimana  yang dikehendaki oleh
	kaum Syi'ah. Sebaliknya,  tidak  dimuatnya  nas-nas  semacam
	itu,  demikian  Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis
	tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi  golongan
	Sunni  terhadap  hadis-hadis  sahih  yang  berkaitan  dengan
	kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi
	senjata  kaum  Syi'ah  untuk  menyerang  paham mereka.12 Abu
	Zahrah  berpendapat  bahwa  Syi'ah  tumbuh  di  Mesir   masa
	pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur
	untuk berkembangnya paham  tersebut,  kemudian  menyebar  ke
	Irak dan di sinilah mereka menetap.13
 
	Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa
	lahirnya Syi'ah itu  sewaktu  Nabi  sakit  keras,  pamannya,
	'Abbas,  menyarankan  kepada  'Ali dan mengajaknya menghadap
	Nabi untuk  meminta  wasiatnya,  siapakah  orang  yang  akan
	menggantikan  kepemimpinan  beliau,  namun  maksud  tersebut
	ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah  tidak  akan
	memintanya.14 Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan
	bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan terjadinya perang
	Jamal,  perang  Siffin,  dan perang di Nahrawan, karena pada
	saat itu,  seorang  tidak  dapat  dikatakan  sebagai  Syi'ah
	kecuali  orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada
	'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.
 
	Apabila dilihat ciri-ciri  dari  beberapa  pendapat  diatas,
	maka  pendapat  pertama  tampak sama sekali tidak realistis,
	sedangkan  tiga  pendapat  yang  terakhir,   rupanya   lebih
	menitikberatkan  pada  adanya  sikap  dan  tindakan-tindakan
	nyata sebagai  pendukung  dan  pengikut  setia  'Ali  semasa
	hidupnya.  Akan  tetapi,  apabila  kelahiran  Syi'ah dilihat
	sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat politis  secara
	utuh,  maka  ia  harus  dilihat  pula dari aspek ajaran atau
	doktrin   politiknya,   yaitu   tentang    hak    legitimasi
	kekhilafahan  pada  keturunan  'Ali  dengan  Fatimah, puteri
	Rasulullah, sebab dari segi doktrin inilah identitas  Syi'ah
	tampak  lebih  jelas,  berbeda  dengan identitas sekte-sekte
	Islam lainnya. Dan  munculnya  doktrin  Syi'ah  seperti  ini
	adalah  bermula  sejak  timbulnya  tuntutan penduduk Kufah -
	pendukung 'Ali  -  agar  masalah  kekhilafahan  dikembalikan
	kepada   keluarga   Khalifah  atau  Ahlul-Bait  dari  tangan
	orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari  penerapan
	doktrin  ini,  penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu
	bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan  ibn  'Ali  ibn
	Abi  Talib  sebagai  imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para
	pendukung dan pengikut setia 'Ali pada  periode  sebelumnya,
	hanyalah  merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya
	benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
 
	2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH
 
	Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan
	yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara
	garis besar, serta hubungannya dengan paham Mahdiyyah.
 
	Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum  Syiah  semakin  goyah
	karena  derasnya  fitnah,  perselisihan,  dan  perpecahan di
	kalangan  mereka,  yang  sengaja  ditanamkan  oleh  golongan
	Saba'iyyah,  pengikut  Ibn  Saba'.15 Lemahnya daya juang dan
	kurang  wibawanya   Hasan   adalah   menjadi   faktor   yang
	mempersulit   posisi  golongan  Syi'ah.  Usaha  Hasan  dalam
	memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
	menumpas   gerakan   Mu'awiyah,   sungguh   hasilnya  sangat
	mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh
	kaumnya,  demikian  Ihsan  Ilahi  Zahir,  sehingga  sebagian
	pengikutnya bergabung dengan golongan  Saba'iyyah,  sebagian
	lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.16 Oleh
	karena itu, Hasan pun kemudian memilih  jalan  damai  dengan
	pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah
	secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian  secara
	de  jure,  ia  menjabat  selama  sepuluh  tahun, akan tetapi
	secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.
 
	Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali
	sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat
	dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang,
	ia  harus  tewas  di  ujung  pedang  tentara Yazid di padang
	Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
 
	Kematian Husain ini  merupakan  bencana  bagi  kaum  Syi'ah,
	sehingga  makamnya  dipandang  sebagai  tempat  yang keramat
	serta  memiliki  keistimewaan  dan  keluarbiasaan,  lantaran
	kecintaan  mereka  terhadap  Husain,  dan  oleh  karena itu,
	mereka mentradisikan ziarah umum ke  makamnya  setiap  bulan
	Muharam.
 
	Kematian   Husain  tersebut  bermula  dari  banyaknya  surat
	penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada  putera
	'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia
	lebih   mempercayai   janji   orang   Kufah   daripada    ia
	mempertimbangkan  saran-saran  para  penasihatnya yang cukup
	berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang  Kufah  yang
	telah  mengkhianati  keluarganya.  Dan  karenanya,  kematian
	Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur  baru  dalam  moral
	agama  di  kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat
	berdosa atas kematian Husain dan mereka  berkeinginan  untuk
	menebus  dosa mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela
	atas kematiannya pada penguasa  Umayyah.  Golongan  tersebut
	menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).
 
	Golongan  terakhir  ini  berkeyakinan  bahwa  mati berperang
	karena membela kepentingan Ahlul-Bait  adalah  mati  syahid.
	Disinilah  mereka  mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali
	dan keturunannya, sama  dengan  loyalitasnya  terhadap  Nabi
	atau agama.
 
	Ketidakpuasan  kaum  mawali  dari  Persia  terhadap penguasa
	Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama  sekali
	baru,  kepada  kegiatan-kegiatan  sosio-politik kaum Syi'ah,
	demikian Fazlur Rahman, sehingga  pimpinan  Syi'ah,  mungkin
	sekali  ia  orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari
	bangsa Arab ke bangsa Persia.17  Sejak  itulah  kaum  Syi'ah
	mengalami  perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya,
	dari gerakan politik semata kepada  gerakan  keagamaan  yang
	bercorak   kemazhaban.   Selanjutnya   Ihsan   Ilahi   Zahir
	menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah  terikat  oleh  unsur-unsur
	asing  yang  melindas,  maka  Syi'ah terlepas dari kebiasaan
	bangsa Arab  yang  terdidik  secara  Islami,  dan  sekalipun
	mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam, namun
	bukan-Islam  yang  ortodoks,  akan   tetapi,   Islam   dalam
	bentuknya yang baru.18
 
	Pada  saat  yang  sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran
	asing secara terselubung, aliran ini  juga  merupakan  wadah
	dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh
	Islam yang  ingin  merusak  dari  dalam  sehingga  ia  mudah
	terpecah  belah  menjadi  sub-sub  sekte yang banyak sekali.
	Diantara  kelompokkelompok  yang  memasukkan   ajaran-ajaran
	nenek  moyang  mereka  kedalam  ajaran Syi'ah ialah golongan
	Yahudi,  Nasrani,   Zoroaster,   dan   Hindu.   Mereka   itu
	berkeinginan   melepaskan  negerinya  dari  kekuasaan  Islam
	dengan menyembunyikan  niat  jahat  mereka  dan  menunjukkan
	sikap  berpura-pura  mencintai  Ahlul-Bait  sebagai kedok.19
	Seperti ajaran Syi'ah  tentang:  'Aqidah  ar-Raj'ah,  ucapan
	sementara  golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar
	mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula  diantara  mereka
	ada  yang  mengatakan  bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan,
	sifat  ketuhanan  yang  menyatu  dengan  sifat   kemanusiaan
	seperti  pada  diri  seorang  imam, juga ada yang mengatakan
	bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti  untuk
	selamanya.   Selanjutnya   ada  pula  diantara  mereka  yang
	menjisimkan   Tuhan,   berbicara   tentang   Tanasukh   atau
	Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.
 
	Tampaknya   figur   Husain,   bagi   kaum  Syi'ah  mempunyai
	keistimewaan tersendiri; terutama bagi  Syi'ah  Persia.  Hal
	itu  mungkin  sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu
	pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu puteri  Yazdajird  III,
	mantan  raja  Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di Persia
	telah berkembang suatu tradisi yang bertolak  dan  pandangan
	tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa
	dalam diri  raja  Persia  telah  mengalir  darah  ketuhanan.
	Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus
	dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah  di  bumi
	untuk  menegakkan  kemaslahatan  hamba-hamba-Nya.  Pandangan
	seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah
	orang  Persia  itu  memeluk Islam, sehingga karenanya mereka
	memandang Ahlul-Bait sebagai orang  yang  berhak  memerintah
	dan  harus ditaati oleh manusia.20 Rupanya pandangan seperti
	inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
 
	Dengan   demikian    dapat    disimpulkan    bahwa    faktor
	sosio-religio-kultural   yang   membentuk   Syi'ah   seperti
	sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan  kepercayaan
	non-Islam yang pernah berakar pada suatu masyarakat di suatu
	negeri, dan pernah    memiliki  peradaban  yang  lebih  maju
	daripada  bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk
	pola kehidupan keagamaan  yang  berbeda  dan  bahkan  sering
	bertentangan  serta  menghilangkan  corak keagamaan aslinya.
	Kepercayaan hasil perpaduan  antara  dua  tradisi  keagamaan
	yang  berbeda,  yaitu  Islam  dan non-Islam, yang melahirkan
	praktek keagamaan baru dalam  Islam  merupakan  bid'ah  yang
	sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
 
	"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah
	(al-Quran)  dan  petunjuk  yang  terbaik   adalah   petunjuk
	Muhammad  saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru
	yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah  adalah
	sesat". (Hadis riwayat Muslim).
 
	Sebagaimana  diketahui  dalam sejarah, agama Nasrani setelah
	memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang  jauh
	lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
	Munculnya ajaran  Paulus  sebagai  perpaduan  antara  ajaran
	Nasrani  dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat
	munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang  diikuti  oleh
	lahirnya  berbagai  sekte  keagamaan.  Demikian  pula dengan
	sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain wafat.
 
	Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah,  bermula  dari  masalah
	imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi
	imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada  saat  itu
	belum  ada  diantara  putera-puteranya  yang  mencapai  usia
	dewasa. Rupanya kaum Syi'ah  sulit  menghindari  perpecahan,
	karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.
 
	Golongan  pertama,  memandang bahwa keimaman harus berada di
	tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas  dari  mereka,
	dan  keimaman  harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
	maupun yang tersembunyi, golongan  ini  terpaksa  mengangkat
	putera  Husain  yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini
	kemudian disebut golongan Imamiyyah.
 
	Adapun golongan kedua,  berpendapat  bahwa  mengangkat  imam
	yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa
	Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada  salah  seorang
	puteranya  untuk  dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap
	menunggu-nunggu sampai munculnya  seorang  putera  keturunan
	Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan,
	keberanian,  kesalehan,  keadilan,  dan  berani   mengangkat
	senjata   terhadap   penguasa  yang  zalim.  Oleh  karenanya
	golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka  menghentikan
	aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai
	bangkitnya  Zaid  ibn  'Ali  ibn  Husain   di   Kufah   yang
	memberontak  kepada  Hisyam  ibn  'Abd al-Malik dari dinasti
	Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal  dengan  nama  Syi'ah
	Zaidiyyah.
 
	Golongan  ketiga  berpendapat  bahwa  jabatan  imam  sesudah
	Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu  saudara
	seayah  dengan  Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
	Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi  lidinillah
	Ahmad,  bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad,
	saat   menjelang   wafat   dan   saat    berwasiat    kepada
	putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati
	Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat  baik
	dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
	kelompok ini  memandang  kehadiran  Muhammad  bersama  kedua
	saudaranya  menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa
	dia juga  memperoleh  hak  untuk  diangkat  sebagai  imam.21
	Golongan  ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah.
	Pendirinya adalah Kaisan bekas budak  'Ali,  ada  pula  yang
	mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
	golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
 
	Perpecahan  Syi'ah  tersebut,  berakibat  langsung  terhadap
	lahirnya   sekte-sekte  baru  dengan  corak  pemikiran  yang
	berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman
	lebih  menitikberatkan  pada keturunan Husain, maka golongan
	al-Waqifah yang kemudian dikenal  dengan  Syi'ah  Zaidiyyah,
	lebih  memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan
	yang harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli,
	apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain asalkan dia
	masih berada di jalur  keturunan  Nabi.  Akan  tetapi,  bagi
	golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan
	itu dari Nabi, namun yang terpenting adalah jalur  keturunan
	'Ali ibn Abi Talib.
 
	A. SYI'AH KAISANIYYAH
 
	Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan  ini  dapat
	dikatakan   sebagai   sekte   Syi'ah   yang  tertua.  Mereka
	mengadakan aksi  militer  terhadap  penguasa  Bani  Umayyah,
	dengan   dalih  membela  hak-hak  kaum  tertindas.  Ide  ini
	tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak  dan  Persia,  yang
	diperlakukan  oleh  pemerintah  Umayyah  sebagai  masyarakat
	kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk  kedua  kota  tersebut
	tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
 
	Sekte  ini  mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam,
	sedangkan ajarannya bersumber  pada  ajaran  Ibn  Saba'  dan
	golongan  Saba'iyyah,  seperti  ajaran  tentang:  al-Gaibah,
	'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan  kembalinya  seorang  imam
	yang  telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan,
	bahwa  sesudah  Muhammad  ibn  al-Hanafiyyah  yang   dikenal
	sebagai   orang  yang  berpengetahuan  luas  dan  berpikiran
	cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran bohong
	dan  sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
	kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan  pengikut
	aliran  ini  terhadap  dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia
	memiliki         berbagai         keluarbiasaan         atau
	al-Makhariqul-Mumawwahah  yakni  keluarbiasaan  yang  mereka
	buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22
 
	Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu
	Hasyim,  kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan
	al-Hasyimiyyah. Setelah Abu  H-asyim  wafat  timbul  masalah
	siapa   pemegang   jabatan   imam  sesudahnya.  Jabatan  ini
	tampaknya menjadi rebutan  diantara  kelompok-kelompok  yang
	berambisi,  sehingga  timbul  pendapat  yang  kontroversial.
	Dalam  hubungan  ini   asy-Syahrastani   menjelaskan   bahwa
	kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, sebenarnya
	Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan  itu  kepada  Muhammad
	ibn  'Ali  ibn  'Abdullah  ibn  'Abbas, saat ia hendak wafat
	dalam perjalanan pulang  dari  Syria.  Selanjutnya  penerima
	wasiat  ini  terus  mewasiatkan  keimaman  ini  kepada  anak
	keturunannya, sehingga jadilah  kekhilafahan  itu  jatuh  ke
	tangan  Bani  'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan
	imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn
	Muhammad   al-Hanafiyyah.   Akan   tetapi,   ada  pula  yang
	mengatakan, keimaman  itu  dilimpahkan  kepada  saudara  Abu
	Hasyim  sendiri  yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan
	pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir  mengatakan,
	bahwa  keimaman  itu  telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
	telah  mewasiatkannya  kepada  'Abdullah  al-Kindi,23   oleh
	karenanya   menurut  golongan  ini,  ruh  Abu  Hasyim  telah
	berpindah  ke  dalam  diri  'Abdull-ah  al-Kindi,   sehingga
	berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.
 
	B. SYI'AH ZAIDIYYAH
 
	Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah  Husain
	wafat,  di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut
	memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
	seorang   yang  'Alim,  Zahid  (sangat  berhati-hati  dengan
	masalah dunia), pemberani,  pemurah,  dan  mau  berjihad  di
	jalan  Allah  guna  menegakkan keimaman taat pada agama baik
	dia dari putera Hasan atau Husain.
 
	Dalam  masalah  kekhilafahan  atau  keimaman,  golongan  ini
	rupanya  lebih  moderat.  Mereka  bisa  menerima Imam Mafdul
	yakni  imam  yang  dinominasikan,  disamping   adanya   Imam
	al-Afdal  atau  imam  yang lebih utama. Pikiran seperti ini,
	tentunya karena  pendiri  sekte  Zaidiyyah,  pernah  berguru
	kepada  Wasil  ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu,
	aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah
	sebelum  'Ali  ibn  Abi  Talib. Pendirian tentang [kata-kata
	Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping  adanya
	seorang  imam  yang  lebih  utama, tampaknya mendapat reaksi
	keras dari Syi'ah  Kufah  dan  menolak  pendirian  tersebut.
	Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.
 
	Sebagaimana  diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa
	'Ali ibn Abi Talib  adalah  satu-satunya  orang  yang  lebih
	berhak  menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
	paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah  Husain
	wafat.  Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor
	yang  mewarnai  identitas  kelompok  masing-masing.  Sebagai
	contoh  sekte  Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam
	mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh  jalan
	kekerasan,  sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib
	sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi  korban
	kecurangan   penduduk   Kufah  karena  kurang  memperhatikan
	saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan
	saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya
	dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang  Yusuf
	ibn   'Umar   Gubernur  Irak,  Zaid  pun  ditinggalkan  oleh
	orang-orang Kufah.24 Sesudah ia  wafat  pada  122H,  jabatan
	imam  beralih  kepada  puteranya,  Yahya, yang menyingkir ke
	Khurasan.  Kemudian  ia  mengadakan  pemberontakan  terhadap
	pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan
	nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang  oleh  Muhammad
	ibn    'Abdullah    ibn    Hasan    yang    dikenal   dengan
	an-Nafsuz-Zakiyyah,   bersama-sama   dengan   Ibrahim,   dan
	keduanya  terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di
	Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan
	dalam   mengembangkan   ide-ide  doktrinalnya  yaitu  dengan
	menyebarkan karya-karya  ijtihad  para  imam  mereka,  tentu
	keberadaan  sekte  ini  lebih  berakar dan berpengaruh dalam
	masyarakat.
 
	Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim  di
	Basrah,  sekte  Zaidiyyah  ini  sudah tidak terorganisasikan
	lagi  sampai  munculnya  Nasir  al-Atrus  yang  menda'wahkan
	mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang
	kemudian  menjadi  basis  Syi'ah  Zaidiyyah.25   Sebagaimana
	sekte-sekte  yang  lain,  golongan  Zaidiyyah pun mengalarni
	perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang
	menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah.
	Pengikutnya memandang  Muhammad  an-Nafsuz-Zakiyyah  sebagai
	al-Mahdi.
 
	C. SYI'AH IMAMIYYAH
 
	Aliran ini menjadikan semua urusan  agama  harus  berpangkal
	pada  Imam,  sebagaimana  halnya  kaum  Sunni  mengembalikan
	seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran
	Nabi.  Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak
	boleh  sunyi  dari  imam,  karena  masalah   keagamaan   dan
	keduniaan  selalu  membutuhkan  bimbingan  para imam. Bahkan
	mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam,
	melainkan  menentukan  seorang  imam.  Kebangkitannya adalah
	untuk melenyapkan perselisihan dan  menetapkan  kesepakatan.
	Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya
	sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang
	mengakibatkan perpecahan.
 
	Aliran  ini  berkeyakinan  bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib
	sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas  dan  benar.
	Ibn  Khaldun  menjelaskan  bahwa keimaman bagi mereka, tidak
	hanya merupakan  kemaslahatan  umum  yang  harus  diserahkan
	kepada  ummat  untuk  menentukarrnya,  bahkan imam merupakan
	tiang agama dan tatanan Islam yang tidak  mungkin  dilupakan
	oleh  Nabi  untuk  menentukannya.  Dan ia harus seorang yang
	ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu  sendiri  menurut
	mereka,   ada   yang   secara   tegas   dan  ada  pula  yang
	samar-samar.26
 
	Konsep keimaman mereka, bagi  sekte  Zaidiyyah,  sebagaimana
	dijelaskan  Ibn  Khaldun  dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan
	seorang  imam  bukan  ditetapkan  oleh  nas,  tetapi  dengan
	pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang
	diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika
	Syi'ah  Imamiyyah  menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar,
	maka berarti mereka harus menerima paham Sunni,  dan  secara
	tidak  langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani
	Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh
	karena  itu,  kekhilafahan  kedua tokoh diatas, harus mereka
	tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali  dan
	Ahlul-Bait  yang  menjurus  ke  arah kultus individu di satu
	pihak, dan kebencian mereka  terhadap  Bani  Umayyah  karena
	penindasannya  pada  Ahlul-Bait  di pihak lain, bermula dari
	dendam  permusuhan  lama  antara  Bani  Hasyim  dengan  Bani
	Umayyah sebelum Islam.
 
	Di  sisi  lain,  rupanya  hubungan kaum Mawali Persia dengan
	keturunan  Ali  ibn  Abi  Talib,  dengan  cara   menunjukkan
	kecintaan    serta   pembelaan   mereka   terhadap   hak-hak
	Ahlul-Bait,  tampaknya  menjadi  faktor  penyebab   retaknya
	keluarga   Bani   Hasyim.  Perpecahan  itu  ditandai  dengan
	lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib  di
	satu   pihak,  yang  dikenal  dengan  golongan  Syi'ah,  dan
	munculnya Bani 'Abbas di pihak  lain.  Jika  keturunan  'Ali
	selalu   gagal   merebut   kekuasaan   politik   pada   masa
	pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan  'Abbas,  lewat
	Syi'ah   Kaisaniyyah,  berhasil  merebutnya  dan  mendirikan
	dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana  diketahui  dalam  sejarah,
	untuk  mempertahankan  eksistensi  dan kekuasaannya kelompok
	terakhir ini, memandang  kelompok  pertama  sebagai  saingan
	politiknya  sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga
	penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas  dari  sikap  dan
	tindak  kekerasan  terhadap  saudara sesukunya (Bani Hasyim)
	seperti yang pernah  dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap
	lawan-lawan politiknya.
 
	Sebagai  yang  telah  disinggung  diatas,  perpecahan Syi'ah
	Imamiyyah bermula dari masalah  siapa  yang  berhak  menjadi
	imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
	dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang
	sah  pengangkatan  'Ali  ibn  Husain  yang  dijuluki  dengan
	Zainal-'Abidin,27  sekalipun  ia  belum  dewasa.  Imam   ini
	selamanya  tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H,
	dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi  kekerasan  terhadap
	penguasa  Bani  Umayyah.  Sekte  ini sesudah 'Ali ibn Husain
	wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali  sebagai  Imam,  tetapi
	mengangkat  saudaranya  Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia
	menduduki jabatan imam tersebut di akhir  masa  pemerintahan
	al-Walid,  namun  ia  tetap  tinggal  di Madinah sebagaimana
	ayahnya.28 Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang  oleh
	puteranya,  Ja'far  as-Sadiq.  Silsilah imam ini, dari jalur
	ayahnya sampai kepada Nabi;  sedangkan  dari  jalur  ibunya,
	Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya
	sebagai guru dan pemikir  besar  di  zamannya,  diakui  oleh
	semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang
	ilmu fiqh dan hadis.
 
	Sejumlah  muridnya  telah  memberikan  andil   besar   dalam
	memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, sepeffi: Abu Hanifah dan
	Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama
	seperti  Wasil  ibn  'Ata  yang  dikenal  sebagai  tokoh dan
	pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli  kimia
	yang  masyhur.  Karena  kemasyhurannya  itu,  beberapa tokoh
	Syi'ah abad  modern  seperti  Syarafuddin  al-Mu-sawi,  'Ali
	Syariati  dan  lain  sebagainya , menunjukkan klaim terhadap
	ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan  menerima
	pikiran-pikiran  hasil  ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai
	mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian,  karya-karya  besar
	Imam   ini,   di  perguruan  tinggi  Timur  Tengah,  seperti
	Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang  studi
	sendiri dalam Ilmu Fiqh.
 
	'Ulama'   besar  dari  kalangan  Ahlul-Bait  ini  menyatakan
	berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan  ucapan
	serta  tindakan  kaum  Syi'ah  Rafidah yang dihubungkan pada
	dirinya,   seperti   ucapan   mereka   tentang:   al-Gaibah,
	ar-Raj'ah,  al-Bada',  Tanasukh,  Hulul, dan at-Tasybih atau
	penyerupaan  Tuhan  dengan  manusia.  Penolakannya  terhadap
	kebid'ahan-kebid'ahan  kaum  Syi'ah  dinyatakan dengan tegas
	sebagai berikut:
 
	"Semoga Allah mengutuk mereka  (kaum  Syi'ah),  sesungguhnya
	kami  tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat
	kedustaan atas nama kami. Maka  cukuplah  bagi  kami,  Allah
	sebagai  pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
	menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."2929
 
	Dari uraian diatas, nyatalah  bahwa  tokoh-tokoh  Ahlul-Bait
	yang  diangkat  sebagai  Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya
	tinggal di Madinah dan mereka  jauh  dari  para  pengikutnya
	yang  bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang
	pun di antara para Imam  itu  yang  menyimpang  dari  ajaran
	Islam,  dan  bahkan  mereka tidak suka menyerang pribadi Abu
	Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh  karena
	itu,  sikap  para  Imam yang lurus dan tegas terhadap segala
	penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga  sebagai  salah
	satu  faktor  yang  menambah  kejengkelan mereka dan sebagai
	reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama  baik
	imam-imam  mereka  untuk  menguatkan  pendirian  atau  paham
	masing-masing. Tidak mustahil,  jika  kaum  Syi'ah  kemudian
	mendirikan   sub-sub  sekte  yang  ekstrem  dengan  menyerap
	ajaran-ajaran  non-Islam   dan   kemudian   mereka   membuat
	cerita-cerita  fiksi  tentang  kehebatan  dan  keluarbiasaan
	imam-imam mereka.
 
	Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far  as-Sadiq  wafat,
	semakin  meluas  dan  perpecahan  ini  tampaknya berpangkal,
	siapa  di  antara   enam   puteranya   yang   lebih   berhak
	menggantikannya.  Maka  mulailah  muncul  sub-sub sekte baru
	seperti:  An-Nawusiyyah,  yang  memandang  Ja'far   as-Sadiq
	sebagai  al-Qa'im  atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan
	al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa
	Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali lagi ke
	dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh
	karena  itu,  sekte  yang  terakhir  ini disebut juga dengan
	al-Qat'iyyah.  Dalam  bahasan  ini  akan   dibicarakan   dua
	subsekte  yang  terpenting,  dan  keduanya  mempunyai  corak
	kemahdian yang berbeda satu sama lain
 
	1. SYI'AH ISMAILLIYYAH
 
	Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau  Syi'ah
	Batiniyyah.   Disebut   demikian,   karena   pengikut  sekte
	berkeyakinan bahwa Imam  yang  ketujuh  bagi  mereka  adalah
	Isma'il  atau  karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa
	setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang
	turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.
 
	Syi'ah  Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut
	penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan
	al-Hakim  dan  kesepakatan  para penulis Muslim, bahwa orang
	yang mula-mula membangun mazhab ini  ialah  anak-anak  orang
	Majusi  dan  sisa-sisa  pengikut aliran Huramiyyah.30 Mereka
	dihimpun oleh suatu perkumpulan  yang  bekerja  sama  dengan
	orang-orang  yang  ahli  tentang  Islam  dan filsafat. Motif
	mereka tidak lain, karena mereka  ingin  membuat  tipu  daya
	guna  merusak  Islam  dengan menyusupkan para propagandisnya
	kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri
	terhadap  kejayaan  Islam.31 Untuk pertama kalinya sekte ini
	lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia,
	Khurasan,  India,  dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut,
	ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan
	pemikiran   Hindu.   Dalam   hubungan   ini   Fazlur  Rahman
	menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda
	di  sekitar  abad  II  H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah
	menjadi aliran terkuat di dunia  Islam,  sejak  dari  Afrika
	sampai  ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui
	asimilasi ide-ide dari  luar  terutama  ide  platonisme  dan
	gnostik.   Dari   sinilah  sekte  tersebut  menyusun  sistem
	filsafat diatas mana  dibangun  suatu  agama  baru,  setelah
	merongrong struktur keagamaan ortodoks.32
 
	Isma'il  yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya
	melalui nas dari ayahnya, Ja'far  as-Sadiq.  Pengikut  sekte
	ini   mengingkari   kematiannya  dan  ia  dipandang  sebagai
	al-Qa'im  (yang  bangkit)  sampai  ia  menguasai  bumi   dan
	menegakkan  urusan  manusia.  Sesudah  Isma'il, jabatan imam
	diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan  selanjutnya
	jabatan   tersebut   diteruskan   oleh  puteranya,  Muhammad
	al-Habib, kemudian oleh  penggantinya,  'Abdullah  al-Mahdi.
	Dalam  propagandanya  ia  mendapat  sukses  karena  jasa Abu
	'Abdullah   as-Syi'i,   sesudah   ia   lolos   dari   tempat
	penahanannya   di  Sijilmasah,  ia  dapat  menguasai  daerah
	Kairuwan   dan   Magrib   (Afrika).    Dalam    perkembangan
	selanjutnya,  anak  keturunan  al-Mahdi  ini  akhirnya dapat
	menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyyah.
 
	Sesudah sekte ini merasa kuat  posisinya,  berakhirlah  Imam
	Mastur  dan  muncullah  'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang
	mengaku sebagai Imam Mahdi  yang  dijanjikan.  Diantara  sub
	sektenya  yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang
	dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9
	M.   Gerakannya   bertujuan,  di  bidang  politik,  membantu
	berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di  bidang
	sosial,  membangun  masyarakat  yang  didasarkan  atas  asas
	kebersamaan. Mereka hidup dalam  suatu  komune  yang  hampir
	menyerupai  sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan
	aliran ini terhadap  al-Mahdi,  tidak  jauh  berbeda  dengan
	keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte
	Qaramitah  ini  menganggap  Muhammad  ibn  Isma'il   sebagai
	al-Mahdi  atau  al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati
	serta akan kembali lagi ke dunia dan  memenuhi  bumi  dengan
	keadilan.  Menurut  keyakinan  mereka,  berita  kemahdiannya
	telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.33
 
	Selain aliran Qaramitah,  muncul  pula  golongan  Druziyyah,
	yang  dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran
	ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir
	di masa al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir
	di tahun 386 H. Dialah yang  didewa-dewakan  sebagai  tuhan.
	Dalam  hubungan  ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah
	Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke  Mesir,  kemudian
	membujuk   al-Hakim   agar   dirinya   diperbolehkan   untuk
	mempropagandakan paham  baru  yaitu  bahwa  al-Hakim  adalah
	tuhan,  sehingga  manusia  mau  menyembahnya.34 Sangat boleh
	jadi,  ajaran  tentang  Hulul  dan  Tanasukh  versi   aliran
	Druziyyah  ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922
	M), yang dalam  konsep  filsafat  ketuhanannya,  menjelaskan
	bahwa  Tuhan  mempunyai  sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut),
	dan manusia pun memiliki sifat-sifat  ketuhanan  (al-Lahut).
	Kemudian  ajaran  ini  oleh  ad-Durzi  diterapkan  pada diri
	al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.
 
	Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah  Batiniyyah  yang  inovatif,
	terutama   dalam   menginterpretasikan  ayat-ayat  al-Quran,
	adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita
	pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa
	Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian  Ahmad
	Syalabi    menjelaskan,   dijadikan   sebagai   alat   untuk
	menghancurkan Islam dan menguasai ummat Islam dengan hak dan
	kewajiban  yang  saling  menguntungkan  kedua belah pihak.35
	Taktik Inggris ini rupanya  sama  dengan  yang  dilakukannya
	terhadap    golongan   Ahmadiyah,   yaitu   untuk   membantu
	kepentingan Inggris  di  India.  Dalam  kerjasamanya  dengan
	Inggris,  aliran  Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat
	kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan
	sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.
 
	2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH
 
	Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih  kuat  posisinya
	sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi
	aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut  sekte  ini
	tinggal  di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad
	ke-3 H, akan tetapi ada  pula  yang  berpendapat,  bahwa  ia
	lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara
	misterius pada tahun 260 H.
 
	Keimaman pada sekte ini,  sesudah  Ja'far  as-Sadiq,  adalah
	Musa  al-Kazim,  sesudah  itu  jabatan  imam  dipegang  oleh
	puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam  Syi'ah  dari
	Ahlul-Bait   yang   diangkat  sebagai  putera  mahkota  oleh
	Khalifah  al-Ma'mun  dari  dinasti   'Abbasiyyah.   Kemudian
	keimaman   sesudahnya   beralih  kepada  puteranya  Muhammad
	at-Taqi, dan selanjutnya ia pun  digantikan  oleh  puteranya
	'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
	pengajaran  di  sana.  Akibat  kritik-kritiknya  yang  tajam
	terhadap  Khalifah  al-Mu'tasim,  ia dipenjarakan di Samarra
	sampai wafatnya tahun 254 H/ 868  M  dalam  usia  40  tahun.
	Selanjutnya   keimaman   beralih   kepada  puteranya,  Hasan
	al-'Askari,  yang  dikenal  sebagai  Imam  yang  tekun   dan
	menguasai beberapa bahasa.
 
	Pada  masa  keimamannya,  perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah
	ini semakin meluas, dan banyak  diantara  para  pengikutnya,
	terutama  kaum  'Alawiyyun  (pengikut  'Ali  ibn  Abi Talib)
	mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut  asy-Syahrastani,
	Hasan  al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di
	Samarra.36  Kemudian  diangkatlah  puteranya,  Muhammad  ibn
	Hasan  al'Askari  sebagai  imam  yang ke-12, yang dimitoskan
	sebagai  al-Mahdi  al-Muntazar  karena  ia  dianggap  hilang
	secara  misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan
	kembali lagi  ke  dunia  dan  memenuhinya  dengan  keadilan,
	sebagaimana  bumi  ini  dipenuhi  oleh  kecurangan. Demikian
	menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna  'Asyariyyah.  Aliran
	ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya
	kurang terorganisasikan.  Akan  tetapi,  demikian  Gibb  dan
	Kramers  menjelaskan  bahwa  dalam perkembangan selanjutnya,
	aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah
	berdirinya   dinasti   Safawiyah   dimana  para  penguasanya
	mengklaim bahwa diri  mereka  adalah  masih  keturunan  Musa
	al-Kazim.  Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab
	resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il,
	ia  memerintahkan  kepada  para Khatib dan Mu'azzin mengubah
	formula  khutbah  dan  azannya,  yaitu  dengan   menyebutkan
	nama-nama   kedua   belas  Imam  mereka  dalam  khutbah  dan
	menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya,  formula
	semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas
	kesyi'ahan.37
 
	C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN
	   DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME
 
	Bahasan ini penulis batasi pada  ajaran  pokok  Syi'ah  yang
	berkaitan  erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah
	Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
 
	1. MASALAH KEIMAMAN
 
	Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental,
	terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas.
	Masalah keimaman, mereka jadikan  sebagai  rukun  atau  saka
	guru  agama,  dan  nas-nas  keimaman, mereka pandang sebagai
	mutawatir. Oleh karena  ia  merupakan  anugerah  Tuhan  yang
	harus  diberikan  kepada  hamba-Nya,  maka yang demikian itu
	merupakan  kewajiban  Tuhan  baik  secara  rasional   maupun
	tekstual.
 
	Secara  rasional,  seorang  Imam  harus mengayomi ummat atau
	memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai
	kezaliman  dan  kemaksiatan.  Selain  itu  seorang imam juga
	harus menjaga kelestarian Syari'at  Islam  dari  usaha-usaha
	pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir
	(Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil  hukum
	dari  ayat-ayat  al-Quran.38  Alasan kedua ini senada dengan
	argumen   tentang   kehadiran   al-Mahdi   al-Ma'hud   dalam
	Ahmadiyah,  yang  dipandang  sebagai  Mujaddid atau penafsir
	al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
 
	Secara tekstual,  keimaman  Syi'ah  adalah  didasarkan  pada
	hadis  Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir
	Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
	beristirahat  sepulang  mereka  dari  menunaikan ibadah haji
	dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali  ibn
	Abi   Talib  sebagai  penggantinya.  Salah  satu  di  antara
	riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam
	al-Kabir:
 
	"   ...  Ya  Allah!  Barangsiapa  yang  beriman  padaku  dan
	membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn  Abi  Talib
	sebagai   pemimpinnya,   maka  sesungguhnya  kepemimpinannya
	adalah    kepemimpinanku,    dan    kepemimpinanku    adalah
	kepemimpinan Allah."
 
	Dengan  nas  semacam  ini,  keimaman  itu  diberikan  secara
	berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang  lain,
	dan  oleh  karenanya  keimaman  itu  tidak  akan keluar dari
	keturunan Ahlul-Bait.
 
	Tradisi keimaman Syi'ah Isna  'Asyariyyah,  tampaknya  masih
	berjalan  terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan
	tugas-tugas  keimaman  yaitu   perlu   diangkatnya   seorang
	Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
	Jabatan ini dalam dekade terakhir  dipegang  oleh  Ayatullah
	Ruhullah  Khumaini.  Menurut  pendapatnya,  ajaran para imam
	adalah  sejajar  dengan  al-Quran  yang  wajib  ditaati  dan
	dilaksanakan.  Selama  Imam  Mahdi belum muncul, ia diwakili
	oleh seorang  mandataris  yang  berhak.  Kedudukan  al-Mahdi
	dalam   pandangan  Syi'ah  disejajarkan  dengan  Rasulullah,
	sebagaimana dinyatakan  dalam  riwayat  Jafar:  "Barangsiapa
	mengakui  semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti
	mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39
 
	2. MASALAH KEGAIBAN IMAM
 
	Masalah kegaiban imam  dalam  kepercayaan  Syi'ah  berkaitan
	erat  dengan  kepercayaan  tentang akan kembalinya imam-imam
	Syi'ah yang telah wafat kedunia,  yang  diistilahkan  dengan
	[kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan
	bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati,  tetapi  hanya
	menghilang  untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita
	pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib  wafat,
	ia menyatakan:
 
	"Seandainya  kalian  membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali,
	aku tidak akan membenarkan kematiannya"40
 
	Imam itu mempunyai  masa  kegaiban.  "Apabila  telah  sampai
	kepadamu,"   demikian   kata  Abu  Ja'far,  "berita  tentang
	kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu,  maka
	janganlah  kalian mengingkarinya."41 Demikianlah kepercayaan
	kaum Syi'ah terhadap imam mereka.
 
	Teori  tentang  kegaiban  imam,  tampaknya   dicipta   untuk
	mempertahunkan   eksistensi   suatu   aliran  tertentu  yang
	terancam  kehancuran,  akibat  persaingan   ketat   diantara
	sekte-sekte   yang  ada  saat  itu.  Dengan  demikian  teori
	tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan,
	karena  aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup
	serius. Semula kaum Syi'ah  hanya  bersikap  menunggu,  akan
	tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi
	dengan seorang imam yang sedang gaib.  Ide  tersebut  muncul
	bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait
	yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad  ibn
	Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang
	al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
 
	Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran  Syaikhiyyah  yang
	mengajarkan  bahwa  Imam  Mahdi itu selalu mengejawantah dan
	muncul di setiap tempat dalam wujud seorang  laki-laki  yang
	disebut  sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali.
	Teori  ini  kemudian   dikembangkan   oleh   'Ali   Muhammad
	asy-Syirazi  bekas  murid  al-Kazim ar-Rasti penganut aliran
	tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi
	mengaku  dirinya  adalah  al-Bab  (pintu  perantara)  antara
	[kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib)  dengan  kaum
	Syi'ah  yang  ingin  mendapat  ilmu atau petunjuk darinya.42
	Akhimya lahirlah aliran baru  yang  dikenal  sebagai  aliran
	al-Babiyyah.
 
	Teori  kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori
	ini adalah pengembangan  dari  teori  yang  pertama  diatas.
	Hanya  saja  teori  kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad
	as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik  kertas  yang
	telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan
	sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia  memberitahukan  kepada
	Muhammad  al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali
	sampai datang saat yang telah ditentukan oleh  Tuhan,  yaitu
	sesudah  hati  manusia  menjadi  beku  dan  kecurangan telah
	merajalela  di  atas  bumi.43  Sehingga  dalam   kepercayaan
	tersebut  terdapat  istilah  al-Gaibah  as-Sugra  atau  gaib
	sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang  duta,  dan
	duta   yang  terakhir  adalah  as-Samiri.  Kedua,  al-Gaibah
	al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama.  Selama  al-Mahdi
	absen,   ia  diwakili  oleh  seorang  yang  dikenal  sebagai
	Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama
	dalam hirarki Syi'ah Dua belas.
 
	3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH
 
	Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah,  tentang
	akan  kembalinya  seorang  imam  yang  telah  wafat,  adalah
	bermula dari kepercayaan  orang-orang Yahudi terhadap  kisah
	'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi
	Harun  dibunuh  oleh  Nabi  Musa  di  padang   Tih,   karena
	kedengkiannya  kepada  Nabi  Harun.  Sementara  kaum  Yahudi
	mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan
	yang  lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib
	dan akan kembali lagi.44 Adanya kesamaan antara  kepercayaan
	kaum  Yahudi  dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan
	sesudah kedua belah pihak  terjadi  kontak  langsung  secara
	akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah,
	Ahmad Amin, Ihsan Ilahi  Zahir,  berpendapat  bahwa  'Aqidah
	Raj'ah  tersebut  diterima  kaum  Syi'ah lewat Ibn Saba' dan
	ajaran golongan Saba'iyyah.
 
	Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen  psikologis
	tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.
	Menurut  pendapatnya,  kepercayaan  tersebut  bermula   dari
	keyakinan   yang   didasarkan  pada  kecintaan  kaum  Syi'ah
	terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan
	yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka
	amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu.
	Akhimya  mereka  ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen
	dan mereka tetap ingin menunggunya.  Karena  kecintaan  yang
	kuat,   lahirlah   perenungan   yang  kuat  pula,  sekalipun
	kadang-kadang apa yang  diyakininya  itu  bertolak  belakang
	dengan  kenyataan  yang  sebenarnya.  Selanjutnya dijelaskan
	bahwa perenungan  yang  mengasyikkan  jiwa  disertai  dengan
	keinginan  kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai
	itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada  harapan  akan
	kehadirannya  kembali,  dan  akhirnya  terbentuklah  'Aqidah
	Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45
 
	Ketegangan  jiwa  akibat  wafatnya  seorang  pemimpin   yang
	dicintai,  sering  menimbulkan  perubahan sikap atau tingkah
	laku seseorang, apabila ketegangan tersebut  sulit  diatasi.
	Keadaan  semacam  ini  rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn
	Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia  tidak
	mengakui   Nabi  telah  wafat,  dengan  pedang  terhunus  ia
	mengancam siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah
	tiada.  Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, tampaknya
	hanya bersifat sementara. Kasus  seperti  apa  yang  dialami
	'Umar  tersebut,  rupanya  banyak  pula dialami oleh manusia
	lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama Yahudi lahir,  bangsa
	Chaldea  sudah  pernah  mengalami  kasus  seperti itu, yaitu
	tidak mau  mengakui  kematian  Qabil  sewaktu  dibunuh  oleh
	saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke
	dunia. Demikian pula  halnya  dengan  kaum  Nasrani,  mereka
	meyakini  bahwa  Yesus  yang  mati  di  tiang salib, bangkit
	kembali dan terus naik ke langit dan duduk  di  sisi  Tuhan,
	dia  akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan
	kedamaian dan kesucian.
 
	Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa  pendapat
	al-Bahi  tersebut  memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di
	kalangan Syi'ah hanyalah  sebagai  faktor  yang  mempercepat
	proses  lahirnya  'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan
	seperti itu merupakan gejala umum  jiwa  manusia  dan  tidak
	terbatas  pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya
	'Aqidah Raj'ah dalam  suatu  kelompok,  terbatas  pada  para
	pencinta pimpinan atau imam, mereka menderita kesedihan yang
	hebat  sebagai  akibat  wafatnya  pimpinan   yang   dicintai
	tersebut.
 
	Masalah   al-Gaibah   yang  berkaitan  erat  dengan  'Aqidah
	ar-Raj'ah tidak  bisa  dipisahkan  dari  kepercayaan  Syi'ah
	terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah
	yang  ditunggu-tunggu  kehadirannya  oleh  penganut   Syi'ah
	Duabelas.   Rupanya   sekte   ini   saja  yang  masih  gigih
	mempertahankan paham Mahdi,  sedangkan  sekte-sekte  lainnya
	yang  semula  memiliki  kepercayaan yang serupa semakin lama
	semakin   memudar   bersama   dengan   memudarnya   pengaruh
	sekte-sekte  tersebut.  Tetapi  tidak demikian halnya dengan
	sekte Syi'ah Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham
	Mahdi,  kecuali  golongan  al-Jarudiyyah  yang merupakan sub
	sekte Syi'ah  Zaidiyyah  yang  telah  menyimpang  jauh  dari
	doktrin kezaidiyyahannya.
 
	Dengan  demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya,
	banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran  non-Islam  dan  hanya
	Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila
	dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan  sikap
	kaum   Syi'ah   dalam   menghadapi   penetrasi   budaya  dan
	kepercayaan  non-Islam  yang  pernah  berakar  dalam   suatu
	masyarakat  sebelum  Islam  datang,  agaknya merupakan salah
	satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks  dalam
	kehidupan  beragama  di satu pihak, dan di pihak lain faktor
	terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.
 
	Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian
	Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini
	mencipta teori tentang al-Bab dan teori  tentang  Mandataris
	Imam,  dengan  demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan
	daripada yang lain.
 
	Catatan kaki:
	 1 Keberadaan Ibn Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi
	   masalah yang kontroversial, sementara penulis-penulis
	   Islam modem ada yang tidak meyakini keberadaannya.
	   Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt
	   dalam salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai
	   mitos bikinan kaum Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan
	   pengakuan penulis-penulis Muslim terdahulu baik dari
	   kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari,
	   al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani,
	   Ibnul-Asir dan lain-lainnya. Sedang dan penulis-penulis
	   Muslim belakangan, antara lain: Ahmad Syalabi, Ahmad Amin
	   dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui keberadaan
	   Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan
	   Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya
	   namun mereka tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah.
	   Dalam kaitan ini, Ahmad Syalabi menandaskan, adanya
	   sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn Saba' yang ditulis
	   oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada al-Askari.
	   Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya
	   dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya
	   bahwa Abdullah ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu
	   hanya cerita bohong cerita itu telah diciptakan oleh seorang
	   yang bernama Saif ibn 'Umar yang meninggal 170 tahun
	   sesudah Hijrah.L Riwayatnya ini bertentangan dengan
	   kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis buku
	   tersebut, juga membawa kebohongan, yang penting, demikian
	   Ahmad Syalabi, bukan masalah nama, akan tetapi kebenaran
	   tokoh sesat dan menyesatkan itu memang benar-benar ada.
	   Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas,
	   dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami
	   wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol.III, hlm. 145-146.
	 2 Donaldson op. cit., hlm. 230.
	 3 Ahmad Amin, Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut
	   Duhal-Islam III (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah,
	   1964), hlm. 235-6.
	 4 H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia
	   Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947), hlm. 310.
	 5 Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut
	   Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-Mar'i 1965), hlm. 270.
	 6 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi
	   Syarhil-Milal wan Nihal, ed. Dr. Mahmud Jawad Masykur,
	   Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81.
	 7 Maulana Muhammad 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His
	   Life and Mission, (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam,
	   1959), hlm. 17.
	 8 Donaldson, op.cit., hlm. 32.
	 9 Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II,
	   (Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.
	10 Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin,
	   (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.
	11 Donaldson, op. cit., hlm. 55.
	12 Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah,
	   terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140.
	13 Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah,
	   vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm. 36.
	14 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7.
	15 Pada prinsipnya kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan
	   Saba'iyyah sebagai sektenya, tetapi kaum Sunni pada umurnnya
	   memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.
	16 Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya
	   disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah Tarjumann as-Sunnah,
	   1984), hlm. 163.
	17 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of
	   Chicago Press, 1977), hlm. 171.
	18 Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186.
	19 Ibid., hlm. 187.
	20 Ahmad Syalabi, Mausu'atut-Tarikhul-Islami
	   wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah: Maktabah
	   an-Nahdatul-Mõsriyyah, 1978), hlm. 147-8.
	21 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.
	22 Abul-Fath 'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya
	   disebut asy- Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut:
	   Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.
	23 Ibid., hlm. 151.
	24 Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2.
	25 Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
	   selanjutnya disebut Ibn Khaldun, (Darul-Fikr, tt.),
	   hlm. 200.
	26 Ibid., hlm. 162.
	27 'Ali adalah satu-satunya putera Husain yang selamat dari
	   pembantaian tentara Yazid, sewaktu Husain terbunuh di padang
	   Karbela Sikapnya yang pemurung dan sesing menangis karena
	   teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya
	   pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata
	   Arab]. Pengikut aliran ini kemudian membuat cerita fiksi
	   bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswat
	   bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta
	   petunjukTuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak
	   menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah
	   Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang
	   lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.
	28 Donaldson, op. cit., hlm. 123.
	29 Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216.
	30 Aliran Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup
	   bergelimang dalam kesenangan dan kemewahan serta membebaskan
	   pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini juga
	   dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam
	   pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti
	   'Abbasiyyah.
	31 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.
	32 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6.
	33 As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235.
	34 Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.
	35 Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190.
	36 Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.
	37 Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.
	38 Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6.
	39 As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362.
	40 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270.
	41 Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218.
	42 Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239.
	43 Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352.
	44 Muhammad al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami,
	   (Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi
	   al-Halabi, 1948), hlm. 88.
	45 Ibid, hlm. 88-9.
 

	-------------------------------------------------
	

	Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
	Drs. Muslih Fathoni, M.A.
	Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
	PT. RajaGrafindo Persada
	Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
	Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
	Jakarta Utara 14240

      

Back to "Bincang-Bincang tentang Syiah"