GKI Jawa Barat
Awal | Situs Resmi GKI Cawang | Selintas GKI Cawang | Sejarah GKI Jabar | Sinode GKI | Badan Pelayanan Pemuda | Facebook Komisi Pemuda | Facebook Komisi Remaja | Friendster Komisi Remaja | Berita Terbaru | Kegiatan Pemuda Remaja 1 | Kegiatan Pemuda Remaja 2 | Denah GKI Cawang | Dokumentasi | Website Rohani | Hubungi Kami | Buku Tamu

Sejarah Pendirian GKI Jawa Barat

PEMBENTUKAN TIONG HOA KIE TOK KAUW HWEE KHOE HWEE DJAWA BARAT (THKTKH KHDB) (Khoe Hwee = Klasis)

Pada tahun 1920-an telah terdapat beberapa jemaat Tionghoa di Jawa Barat. Secara resmi bagian terbesar jemaat-jemaat itu masih berada di bawah perwalian Zending Belanda Nederlandsche Zendings-vereeniging (NZV) atau yang dikenal pula sebagai West Java Zending (WJZ). Jemaat-jemaat yang ada di bawah perwalian ini antara lain jemaat-jemaat Tionghoa Patekoan, Senen dan Bandung. Beberapa tokoh Kristen Tionghoa pada waktu itu ternyata sudah pula memikirkan bagaimana bergereja secara mandiri, tanpa perwalian. Untuk mewujudkan pemikiran itu, maka beberapa diantara mereka mendirikan Bond Kristen Tionghoa (BKT) pada 23-27 Nopember 1826 di Cipaku, Bogor, dengan tujuan untuk mendorong kemandirian jemaat-jemaat Tionghoa, khususnya yang ada di Jawa Barat. Pemikiran dan upaya kemandirian ini dipengaruhi oleh pendirian The National Christian Council in China (1922). Kemudian kehidupan BKT ini hanya berlangsung sampai tahun 1930. Sungguhpun demikian, sebagaimana nyata kelak, semangat untuk kemandirian itu tidak lenyap.

Pada 13-15 Juli 1934, di Cirebon, mantan pengurus BKT ditambah dengan beberapa tokoh jemaat Tionghoa lainnya mendirikan sebuah badan baru yang diberi nama Chung Hua Chi Tuh Chiao Hui (CHTCCH).

Dalam konferensi kedua CHCTCH, pada 27-29 Maret 1937 di Purworejo, dikeluarkan keputusan bahwa “jemaat-jemaat Tionghoa di Jawa Barat agar segera membentuk Khoe Hwee (Klasis) sendiri dengan perlengkapan organisasinya (tata gereja dan pengurusnya) sendiri. Dalam rangka pembentukannya, Panitya Pembentoekan Khoe Hwee Djawa Barat (PPKHDB) akan dibantu oleh pengurus CHCTCH dan wakil Zending.” Berkenaan dengan pembentukan Panitya ini, jemaat Patekoan dan Senen (keduanya di Jakarta) memainkan peranan penting. Dibentuk pula Panitya Perantjang Peratoeran THKTKH KHDB, dengan Lee Teng San, Khoe Lan Seng, Kho Tjoe San, The Eng Siang dan The Tee Bie sebagai anggotanya.

Setelah melalui beberapa pertemuan persiapan, maka pada 12 Nopember 1938 di Patekoan (Jakarta) di bentuklan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Kho Hwee Djawa Barat (THKTKH KHDB – Chineesche Christelijke Kerk Classis West-Java) dengan tata gereja dan pengurusnya. Pengurus THKTKH KHDB waktu itu adalah Ds. Tan Goan Tjong (Ketua), Tan How Siang (Sekretaris) dan Gouw Kiam Kiet (Bendahara), Ds. H.D. Woortman dan Mr. S.C. van Randwijk (Penasihat). THKTKH KHDB itu dinyatakan sebagai Gereja yang mandiri oleh wakil NZV pada 29 Nopember 1938 di tempat yang sama, yang diikuti dengan pelayanan perjamuan kudus.

Pada 24 Maret 1940 oleh Zendings-consulaat, sevagai perwalian badan-badan perkabaran Injil Belanda di Hindia Belanda, THKTKH KHDB dinyatakan sebagai Gereja yang berdiri sendiri. Pada tanggal ini (24 Maret 1940), THKTKH KHDB diundangkan sebagai Gereja yang berbadan hukum melalui lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad van Nederlandsch0Indie) nomor 1 dan 100 tahun 1940, yang dinyatakan sebagai hari lahirnya THKTKH KHDB. Dengan pengaitan pada dasar hokum ini, terlihat bahwa penentuan kelahiran “GKI Jawa Barat” ternyata tidak dapat dipisahkan dari pengesahannya secara hukum oleh pemerintah Hindia Belanda.

THKTKH THAY HWEE DJAWA BARAT MENJADI GEREJA KRISTEN INDONESIA JAWA BARAT (Thay Hwee = Sinode)

Pembentukan THKTKH Khoe Hwee (= Klasis) Djawa Barat dilakukan dalam rangka tujuan yang lebih luas lagi, yakni membentuk Gereja Bangsa Tionghoa, yakni Gereja untuk orang-orang Tionghoa di Jawa, yang terhimpun dalam Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Thay Hwee (= Sinode) Djawa Barat (THKTKW THDB), dalam Gereja Kristen Tionghoa Sinode Djawa Barat/ Karena Sinode Djawa Barat ini belum juga terbentuk, maka pada tahun 1954 (pada masa Indonesia sudah merdeka) THKTKH Khoe Hwee Djawa Barat “ditingkatkan” menjadi THKTKH Thay Hwee Djawa Barat.

Dari nama yang diberikan, nama THKTKH KHDB, terlibat jelas bahwa jemaat-jemaat Tionghoa di Jawa waktu itu dengan kuat bermaksud menonjuolkan paham gereja sebagai “gereja bangsa”; meskipun pada waktu yang sama ada juga upaya untuk menonjolkan dan memperjuangkan paham “gereja bahasa” seperti yang disebut sebagian kecil jemaat Tionghoa di Jawa Tengah Selatan (teristimewa di Solo). Upaya mencari sandaran pada kekuatan dan dasar hukum Hindia Belanda, seperti nyata juga dilakukan oleh THKTKH KHDB, juga sebenarnya menyatakan hal yang sama, yaitu perjuangan supaya “gereja bangsa” itu diakui kedudukannya dalam pemerintah Hindia Belanda, seperti Pergerakan Tionghoa di Hindia Belanda, yang bertujuan untuk mencari dan mendapatkan persamaan hak orang-orang Tionghoa di depan hukum Hindia Belanda. Nasionalisme Tiongkok jelas kuat berpengaruh dalam semua kenyataan itu. Pendek kata, pergerakan orang Kristen Tionghoa waktu itu berorientasi pada dua hal: nasionalisme Tiongkok dan hukum pemerintah Hindia Belanda.

Setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), tokoh-tokoh pimpinan jemaat-jemaat Tionghoa di Jawa mulai menilai orientasi mereka, bahkan melakukan re-orientasi. Mula-mula hal ini nampak dengan didirikannya Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa di Indonesia (DGKTI) pada tanggal 25-28 Mei 1948. Pada pendirian itu tokoh-tokoh THKTKH KLHDB mengambil bagian. Tujuan pendirian Dewan ini – yang diilhami oleh The National Christian Council in China dan Konperensi “Majelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen” – adalah untuk mempererat hubungan gereja-gereja Kristen Tionghoa untuk dapat mencapai kesatuan dan mencari hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia pada khususnya dan gereja-gereja Kristen pada umumnya.

Menjelang tahun 1954, setelah Dewan Geredja-geredja di Indonesia (DGI) berdiri (1950), DGKTI kurang atau tidak popular lagi, meskipun secara resmi belum dibubarkan. Dengan adanya DGI maka wawasan bergereja yang menembus batas-batas kesukuan menjadi kuat menonjol dan berpengaruh, juga buat jemaat-jemaat Kristen Tionghoa. Dalam rangka wawasan keesaan ini ketiga himpunan jemaat-jemaat Tionghoa (yakni THKTKH KH Djawa Barat, THKTKH KH Djawa Tengah dan THKTKH KH Djawa Timur) membentuk badan oikumenis yang diberi nama Badan Permusyawaratan Persatuan Geredjani (BPPG) pada tahun 1954. Badan ini bertujuan untuk mempersatukan gereja-gereja anggotanya dan membuat program kerja yang realistis, yakni: mengusahakan tata kebaktian bersama, buku nyanyian bersama, buku pedoman iman; menyelidiki sikap orang Kristen terhadap jenazah: menyusun sejarah THKTKH di Jawa.

Di samping itu, re-orientasi wawasan gerejawi terjadi pula di dalam pemikiran yang timbul untuk mengubah nama gereja, khususnya di kalangan pemimpin jemaat-jemaat Kristen Tionghoa di Jawa. Pemikiran ini timbul dari refleksi berikut ini. Pertama, gereja harus menemukan dirinya di tengah kehidupan suatu bangsa di mana isi hidup. Kedua, bertolak dari pertimbangan pertama ini, gereja menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh anggotanya gereja adalah orang-orang berwarganegara Indonesia dan berbahasa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari penerapan hasil Konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) dan Perdjandjian Republik Indonesia – Republik Rakjat Tiongkok (22 April 1955). Ketiga, bertolak dari hal pertama dan kedua, gereja menyadari bahwa dirinya harus terbuka bagi segala golongan etnik, yang dalam konteks Indonesia, gereja harus terbuka bagi segala golongan dan suku.

Pertimbangan pertimbangan tersebut telah mendorong THKTKH Thay Hwee Djawa Tengah untuk mengambil keputusan untuk mengubah nama THKTKH That Hwee Djawa Tengan menjadi GEREJA KRISTEN INDONESIA Djawa Tengah dalam sidangnya pada tahun 1956. Sementara itu, karena nasionalisme Tiongkok masih lebih kuat di jemaat-jemaat di Jawa Barat, THKTKH THDB masih terus menggumuli perubahan nama itu. Di samping pertimbangan-pertimbangan di atas, ada juga pertimbangan lain yang membuat penggantian nama tidak segera diadakan, yakni: perubahan nama tidak boleh dilakukan hanya karena ingin mengikuti gereja lain; juga apabila nama telah diubah, apakah begitu saja akan timbul pengakuan bukan lagi sebagai gereja Tionghoa tetapi gereja Indonesia.

Untuk menyelidiki lebih lanjut soal-soal sekitar perubahan nama, maka dibentuklah panitia yang bertanggung jawab untuk itu dalam sidang THKTKH THDB pada 22-23 Juli 1957 di Sukabumi. Pada sidang tahun berikutnya (29 September–2 Oktober 1958, di Cirebon) panita itu melaporkan kegiatannya dan memberi usul perubahan nama. Nama-nama yang diusulkan pada waktu itu sebagai berikut: Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat (dari panitia, jemaat THKTKH THDB Tanah Abang dan wakil BPPG); Gereja Kristen Protestan Djawa Barat (THKTKH THDB Senen), dan Gereja Kristen Hoa You Djawa Barat (usul jemaat THKTKH THDB Gardujati, Bandung). Setelah semua usul dibahas, diputuskanlah untuk memakai nama GEREJA KRISTEN INDONESIA Djawa Barat.

Dengan keputusan itu, maka secara resmi sejak 2 Oktober 1958 nama Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat (GKI Djawa Barat) dipakai menggantikan nama lama. Perubahan nama ini kemudian pada tanggal 2 Desember 1958 di “akte-notaris” kan; dan pada 2 April 1968 oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Djenderal Bimas Kristen, “diakui dan disahkan” sebagai Badan Hukum.

 

Sumber: Buku Panduan Bagi Aktivis dan Pejabat Gerejawi – Bina Warga 1996 / Site BPMK Jaksel

Enter supporting content here