CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 9. BUNGA MIMPI

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     Bagaikan ombak dengan riaknya, pergaulan antara Balaputeradewa dengan Guphala seperti mendapatkan tempat satu dengan lainnya. Semakin besar gerakan ombak semakin riuh riaknya berburai. Hal yang tidak disadari oleh Balaputeradewa bahwa pergaulan itu membahayakan hubungannya dengan kakak perempuannya sendiri. Betapa wanita cantik yang bernama Dyah Ayu Pramodyawardani itu sangat benci pada Guphala. Para telik sandi, mata-mata kerajaan Bhumi Mataram selalu memberikan laporan buruk tentang Guphala kepada suami wanita ayu itu. Dan sejak serangan Guphala atas Pengging duabelas tahun silam membuat laki-laki dari Alas Segoro itu dimasukkan dalam daftar hitam Kerajaan Bhumi Mataram, namanya kucam dan sosoknya dibayangkan bagai momok hantu bagi khayalan warga Bhumi Mataram wangsa Sanjaya yang sebagian besar belum pernah melihat wajah Guphala.

 

*****

 

     Pagi yang gerimis memperlihatkan lekuk tubuh Jonggrang yang indah. Kembennya basah kainnya basah. Dan air sungai Opak memberinya pantulan, butir-butir air yang menempel di lengan gadis itu bersinaran. Seandainya ada lelaki yang melihatnya, tentu ketersimakannya membuat berguguran berjatuhan hati yang penuh asmara, dan birahi yang menggelegakkan dada. Wuyung akan mengerubung sepanjang hari-hari si lelaki yang sempat melihatnya. Untunglah kedung  itu merupakan tempat yang aman bagi yang sedang mandi, tempat itu merupakan kelokan kali, dan lereng tanggulnya terlalu curam, bongkahan-bongkahan breksi gunung sebesar kerbau-kerbau bertebaran di sana sini.

 

     Obloh Owoh yang sedang mencuci pakaian beberapa kali memperhatikan momongannya, gadis-gadis lain berjingkrakan bersembur-semburan air sungai yang jernih. "Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Jonggrang sudah sedemikian besar, cantik dan mempesona. Oh Batara Kala yang gagah, siapakah nanti yang menjadi suaminya? Apakah dia dari wangsa Kala, atau penyembah Wisnu, penganut Brahma atau pengikut Shiwa?" batin Obloh Owoh di dalam hatinya. "Bagiku, darimanapun boleh, asalnya dia mencintai Rara setulus hati. Tapi apakah Tuan Guphala akan melepaskan Rara jika yang datang bukan dari wangsa Kala? Oh betapa mengerikan membayangkan hal itu, kakaknya tentu akan marah besar jika Rara jatuh cinta dengan orang dari luar wangsa Kalana.

 

     

     Puspaning jati tuwuh ing lelayunan,

     Mangambang ana paraning pangangen,

     Mangombak ing meganing gegayuhan,

     Maratah-ratah sumrambah ana ing pasrah kang sumarah.

 

     (Bunganya kesejatian ada di kematian,

     terapung di tujuan angan-angan,

     terikut ombaknya mega kehendak,

     Tersebar luas di ujungnya keikhlasan)

 

 

    Obloh Owoh teringat akan puisi itu yang dia temukan di atas daun lontar, saat  dia membersihkan ilalang di pinggir jalan antara Kalathi dan Alas Segoro ketika dia membawa Tuan Guphala yang terluka parah kembali ke Alas Segoro, setelah kekalahannya melawan pasukan Pengging milik Dhamarmaya. Setelah separoh malam terlepas dari kekawatiran akan kejaran pasukan Pengging, Obloh Owoh memutuskan untuk istirahat sejenak, Tuannya, Guphala tergeletak lemas di atas gerobak, dan Rara Jonggrang tertidur lelap akibat kelelahan yang sangat, di samping tubuh kakaknya yang bersimbah darah. Obloh Owoh turun dari gerobak dan menuju ke parit di pinggir jalan, dibasuhnya mukanya yang kucam, dan diminumnya air parit yang jernih itu, seperti setelah seratus tahun berpuasa menenggak air. Setelah itu Obloh Owoh mencabuti ilalang dan rumput grinting untuk diberikannya pada sapi-sapi penarik gerobaknya. saat itulah dia menemukan geguritan itu, terselip di antara ilalang-ilalang.

 

     Perempuan itu berpikir bahwa tidak mungkin puisi itu dibuat oleh orang Kalana, sebab ciri khas puisi Kalana selalu penuh gelora, membakar semangat dan pantang menyerah. Sedangkan  puisi itu menyiratkan kepasrahannya pada keikhlasan. Itu bukan sifatnya orang Kalana. Tidak ada kata mati di geguritan Kalana, sebab kematian adalah kekalahan, sedang di puisi itu mengatakan bahwa bunga kesejatian adalah kematian. Tentu si pujangga bermaksud bukan kematian tubuh tetapi kematian nafsu dan kehendak yang liar. Apakah puisi itu dibuat oleh orang-orang pemeluk Wisnu yang mengutamakan keselarasan? Dan bagaimana jika sampai suatu saat momongannya yang rupawan itu ketemu dan tersangkut asmaranya dengan orang yang mempunyai pemikiran seperti yang tertulis dalam puisi itu? "Hahh, gandrik! Bisakah aku membayangkannya?" mbergidik bulu roma si perempuan bertubuh tambun itu.

 

     Pergeseran kehidupan selalu saja membuat kegundahan, perubahan selalu diikuti ketidakpastian, menghilangkan cinta dan harapan. Orang-orang Sanjaya yang berbahasa Sanskrit dicoba digoyah oleh Syailendra yang memperkenalkan bahasa Jawa Kawi, sementara tiba-tiba muncul huruf-huruf Jawa baru yang katanya dulu diperkenalkan oleh orang bernama Adji Saka. Penafsiran terhadap deretan huruf Jawa Barupun berbeda-beda, orang Kalana lebih lugas mengartikan deretan huruf Jawa itu.

 

    Tuan Guphala selalu menceriterakan kepada Rara Jonggrang yang tentu saja didengar oleh Obloh Owoh juga bahwa deretan huruf itu berarti demikian :

 

Ha Na Ca Ra Ka

(Ada Utusan)

Da Ta Sa Wa La

(Tidak bisa mangkir dari tugasnya)

Pa Da Ja Ya Nya

(Sama saktinya)

Ma Ga Ba Tha Nga

(Tinggal menjadi bangkai)

 

    Sementara orang-orang Bumi Mataram penganut Wisnu, Bhrahma dan Syiwa mengartikannya lain, Ha Na Ca Ra Ka (Ada Utusan), yang dimaksud utusan adalah utusan dewa atau reinkarnasi dari Bathara Wisnu yang turun ke bumi untuk mengajarkan dharma, Da Ta Sa Wa La (dharma itu "tidak berpolah", atau datan suwala, atau hanya berpasrah diri saja). Pa Da Ja Ya Nya (sehingga semuanya menjadi jaya / menang), Ma Ga Ba Ta Nga ( silahkan membatang) atau silahkan menerka sendiri rahasia hidup ini. Perbedaan itupun makin lama akan makin tajam, sehingga kaum Kalana semakin menjauh dari Sanjaya dan semakin mencari simpati Syailendra yang Budha. Tentu saja Obloh Owoh yang hanya seorang emban hanya bisa kuatir saja akan terjadinya perang besar yang tidak mustahil akan terjadi. 

 

 

             

 

(BERSAMBUNG KE 2. No. 10. Merekah Pagi)

BACK