CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 3. ELANG YANG HILANG

No. 1. Bulu Elang

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     Raden Bandung menuruni tebing terjal, setelah beberapa bukit dia lalui akhirnya lembah Candiroto menyambutnya dengan warna hijau rata, ladang persawahan menghadangnya di depannya. Dia putuskan menghindari jalan kembali ke Kedungdang setelah dilihatnya ribuan prajurit  Bhumi Mataram bersiaga penuh di sekeliling hutan Sabawana. Maka dia berjalan ke utara mendaki pegunungan Dieng dan terus ke utara ke Plantungan, namun kemudian dia  membelok ke timur. Dan sampailah dia di Candiroto. Dia sudah memutuskan untuk memulai hidup baru, untuk sementara dia tidak akan pulang ke Kedungdang juga tidak akan menemui orangtuanya di Kadipaten Pengging. Tapabratanya di hutan Sabawana selama empatpuluh hari empatpuluh malam itu dia rasakan tak ada gunanya, kecuali lapar dan haus serta keletihan yang teramat sangat.

 

     "Tapabrata yang paling baik adalah bergulat dengan kesabaran, dan kesabaran adalah sisi lain dari penderitaan. Di hutan tak ada penderitaan, di sana hanya ada kesunyian. Penderitaan akan muncul bersamaan dengan timbulnya permasalahan. Dan masalah ada di kehidupan sehari-hari. Jadi di situlah aku akan bertapa. Juga tidak di Kedungdang, karena Weda bergema di setiap sudut kehidupan Kedungdang, karisma Buyut Bhasutara akan melenyapkan setiap masalah, seberat apapun masalah akan sirna dengan diamnya Buyut Bhasutara. Suasana itu tak menguntungkan bagi diri yang masih mencari kesejatian ini." kata Raden Bandung pada dirinya sendiri.

 

      Siang yang cerah membawanya pada suasana kelegaan yang tinggi setelah berhasil membuat keputusan itu. Maka ketika beberapa orang petani melewatinya dengan pandangan yang aneh, dia berusaha untuk memberi senyuman pada mereka. Dan mereka membalasnya dengan agak canggung. Mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati, siapa laki-laki kurus berambut panjang ini, bagi orang pedusunan yang saling mengenal satu dengan yang lainnya, orang baru akan menjadi pusat perhatian. Apalagi orang ini sangat aneh, kurus kering, rambut panjang, kumis, jambang dan jenggotnya hampir menutupi seluruh raut mukanya. Pakaiannya compang camping dan terlihat seperti tak terurus sama sekali.

 

     "Mereka pasti menganggapku tidak waras!" pikir Raden Bandung. Laki-laki itu tersenyum sendiri.

 

Dan praduga itu terbukti ketika Raden Bandung berusaha mendekati beberapa penduduk desa Candiroto, lelaki itu bermaksud memperkenalkan diri, tetapi penduduk yang didekatinya serta merta menghindar, pelan-pelan kelompok orang-orang desa yang sedang berkumpul itu bubar tanpa sepatah katapun mereka tinggalkan untuk Raden Bandung. Mereka tidak menghina atau berusaha mengusir Raden Bandung, tetapi mereka hanya menghindar saja. Bagi kepercayaan mereka, tidak boleh memperolok, menghina apalagi menganiaya orang gila. Tetapi juga tidak boleh berdekat-dekat dengan orang gila. Karena itu akan membawa mereka pada kesialan.

 

     Maka hari itu Raden Bandung kembali ke perbukitan, untuk sementara dia bisa tidur di gua-gua di tebing-tebing bukit. Sembari merenungi dirinya sendiri dan menatap langit yang berbintang-bintang, pikirannya terasa terbebaskan. Jika dia lapar dia akan menangkap truwelu dan membakarnya. Dan esok harinya dia akan berusaha lagi berkenalan dengan penduduk desa Candiroto. Namun seperti hari kemarin dia gagal lagi. Penduduk desa itu tetap saja menghindar dan tak ada sepatah katapun.

 

     "Ini adalah pelajaran kesabaranku yang pertama," katanya pada dirinya sendiri. "Baiklah, mungkin memang mereka perlu tahu bahwa aku bukan orang gila. Tapi bagaimana caranya?"

 

     Lima hari Raden Bandung turun ke lembah Candiroto dan kembali ke perbukitan dengan tangan hampa. Tak satupun penduduk desa itu mau bertegur sapa dengannya. Dia tidak juga akan memaksa mereka mau menerimanya, karena hal itu akan memperparah keadaan. Di malam yang keenam di depan gua dimana dia tidur dia masih juga tercenung tak mengerti.

 

     Kembali ingatannya pada peristiwa-peristiwa masa lalu, berbaur-baur dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Kadang-kadang  meloncat-loncat dan bertumpang tindih. Dia biarkan pikirannya mengembara semaunya, tak dia pengaruhi dengan pendapatnya sendiri. Sampai timbul pertanyaan dalam hatinya sendiri, "Kenapa aku belum mati?" Api unggun di depannya menghangatkan dirinya dari amukan hawa dingin malam di musim ketigo. Bukankah aku sudah tak mampu mengalahkan macan setan Bondowoso itu?

 

 

 

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No. 2. Terbit Matahari)

BACK