CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 3. ELANG YANG HILANG

No. 2. Matahari Terbit

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     "Ada daya yang membantuku, mungkin itu yang disebut Mahadaya." batinnya. "Tapi daya itu takbisa sembarangan aku bisa gunakan, datangnyapun tak kusadari. Tiba saat aku tak bisa berbuat apa-apa lagi." Ketika daya nalarnya tak mampu menerjemahkan semuanya, maka dia kembali lagi pada pikiran sadarnya. Bahwa dia harus berusaha dengan dayanya sendiri didasari dengan kepercayaan dirinya sendiri.

 

     Malam bergulir dan selalu saja menerbitkan pagi di esok hari. Raden Bandung hanya terlelap beberapa saat, angin semilir dari barat daya yang menuruni dan membelai daun-daun pepohonan di punggung-punggung bukit membangunkannya. Lelaki itu kemudian bergegas menuruni jalan setapak di lengkeng gumuk menuju ke kali. Setelah mandi sepuasnya tanpa dilihat siapapun, laki-laki muda itu kembali ke gua dimana dia tinggal. Beberapa saat melakukan samadi, dan matahari di luar gua tiba-tiba sudah terasa hangat yang dibawa oleh  sinarnya yang sampai di pereng-pereng pada kontur meliuk-liuknya tanah jawa yang subur.

 

     Di siang hari Raden Bandung tampak berjalan turun, namun tak seperti biasanya dia mengarah menuju pasar. Baginya mudah untuk mendapatkan arah menuju ke pasar, karena daya pendengarannya sudah demikian terlatih. Sehingga kumandang pasar akan mudah dia dengarkan jadi mudah pula dia menemukan arahnya. Semakin dekat dengan pasar maka dengung kumandangnya akan semakin jelas pula terdengar. Tatkala sampai di pintu pasar beberapa orang memperhatikannya, dan sebagian lain mengacuhkannya. Ada laki-laki tinggi besar mencegatnya ketika dia mau masuk ke dalam pasar, ditariknya lengan Raden Bandung, sehingga tubuh Raden Bandung terseret ke tubuh besar orang yang menariknya.

 

     "Mau kemana kamu?" tanya orang bertubuh tinggi besar itu.

 

Raden Bandung tak segera menjawab, karena dia masih berpikir apa maksud laki-laki itu mencegahnya masuk ke dalam pasar.

 

     "Hei, punya telinga sebesar ini. Ternyata tuli kau ini!" lanjut laki-laki itu, "Kesini mau apa?"

 

Tiba-tiba Raden Bandung mendapat gagasan untuk menghadapi laki-laki di depannya itu. Deretan giginya yang putih meringis seakan setengah malu dan tak ada dosa.

 

     "Kanjeng Dipati, jangan kamu halangi aku untuk menemui permaisuriku." kata Raden Bandung sambil senyum-senyum.

 

       "Permaisuri apa?! Ini pasar, mana ada permaisuri!" sergah laki-laki tinggi besar itu.

     "Kakang Adipati, hasratku sudah tak terbendung lagi. Diajeng Laratompe sudah menungguku, ini pangeran Lesmana Mandrakumara dari Astinapura ingin menemuinya. Janganlah kau hambat langkahku."

 

    Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah lain, "Hei, kurang kerjaan kau, kenapa kau urus orang gila itu!" Suara itu berasal dari orang berpakaian seperti prajurit. Laki-laki yang menyeret Raden Bandungpun segera melepaskan cekalan tangannya. Dan menyorong tubuh Raden Bandung serta membiarkannya memasuki pasar.

 

    "Wong edan, ra nggenah!, Orang gila, nggak tahu aturan!" gerutunya sambil ngeloyor pergi.

 

Raden Bandung tertawa dalam hatinya. Tidak mesti kekerasan dilawan dengan kekerasan, pikirnya. Ketika melewati para bakul makanan, getuk lindri, srabi, gatot, ketan, growol, jenang dan tiwul, ingin rasanya dia membelinya, sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya makanan-makanan itu. Namun dia urungkan niatnya. Bahkan dia menolak ketika ada mbok bakul menyodorkan satu pincuk nasi.

 

     "Ini dimakan, dan sana cepat pergi!" kata mbok bakul tersebut, menyorongkan satu pincuk nasi sambil mengusirnya. Laki-laki yang dianggab gila itupun pergi tanpa menerima pemberian perempuan itu.

 

     "Wong edan kok sombong!" gerutu mbok bakul itu. Kecewa karena pemberiannya diacuhkan.

 

Semakin ke dalam Raden Bandung berjalan memasuki pasar Candiroto tersebut semakin padat orang-orang yang berbelanja dan berjualan. Dia belum juga menemukan apa yang dia cari. Baru ketika sampai hampir di ujung pasar itu Raden Bandung menghampiri seseorang yang duduk di bawah pohon asem. Orang itu sudah tua dan keriput di wajahnya membuatnya tampak lemah. Di kanan kirinya tersebar beberapa penjual dawet, rujak, pakaian dan kurungan ayam. Orang-orang di sekitar tempat itu memperhatikan tingkah laku Raden Bandung yang dianggapnya asing.

 

      "Ada lagi orang gila di pasar ini," kata penjual dawet yang masih gadis itu kepada penjual rujak di sampingnya.

     " Semakin banyak masalah semakin banyak wong edan." jawab penjual rujak.

     "Mau ngapain dia itu?" tukas penjual pakaian.

     "Paling-paling mau minta dawetnya Srinthil itu," sergah penjual rujak.

     "Nggak mau aku memberinya. Pasti bau tuh badannya," jawab srinthil si penjual dawet sewot. Sambil melengoskan wajahnya ke arah lain.

 

Namun jalannya Raden Bandung tetap mengarah ke orang tua yang duduk di bawah pohon asem. Sambil mengucapkan salam.

 

    "Nuwun sewu, Bapa. Apakah Bapa sudi memangkas rambut dan jambang saya ini, Bapa?" pinta Raden Bandung kepada orang tua itu. Orang tua tersebut agak terkejut dengan perkataan santun orang gila di depannya.

    "Saya memang tukang cukur, Nak. tapi saya tidak mencukur dengan gratis." jawab bapa tua itu.

    "Saya akan membayarnya, Bapa."

    "Apakah kamu punya uang, Nak?" tanya orang tua itu ragu-ragu dan merasa tidak yakin orang gila di depannya itu mempunyai  uang. Raden Bandung merogoh saku celananya dan ditunjukkannya beberapa kepeng uang perak. Tukang cukur itu terbelalak melihat uang perak tersebut. Yang mempunyai uang perak dan uang emas hanyalah orang-orang kaya raya di kota atau keluarga bangsawan. Biasanya hanya uang dari tembaga atau kuningan yang beredar di kalangan rakyat jelata, karena nilainya yang rendah.

 

    "Darimana kamu curi uang itu, Nak?" tanya tukang cukur itu.

    "Sudahlah Bapa, saya akan bayar dengan uang ini kalau Bapa mau." jawab Raden Bandung.

    "Oh ya, mari Nak. Duduk di sini!" kata tukang cukur itu menyilahkan. Dan Raden Bandungpun kemudian duduk di bangku kecil di bawah pohon asem itu. Dikerukupnya tubuh Raden Bandung dengan seulas kain, dan mulailah lelaki tua itu mempersiapkan segala piranti cukurnya..

 

    "Bapa sudah lama menjadi tukang cukur?" tanya Raden Bandung.

    "Sejak masih muda, orang tua Bapak ini dulu juga tukang cukur, Nak."

    "Oh gitu ya, umur Bapak berapa?"

   "Hampir 75, Nak." jawab lelaki tua itu. "Rambutmu bagus Nak. Panjang sampai punggung, mau dipotong seberapa?"

    "Dipotong pendek, juga kumis dan jambang saya, Bapa."

    "Biasanya lelaki sampai leher cukuplah Nak. Kalau terlalu pendek apakah Nak tidak takut?"

    "Takut apa Bapa?"

    "Kalau terlalu pendek, dan hampir gundul. Orang-orang akan curiga kalau nak ini penganut Budha. Apakah Nak ini Budha?"

    "Saya Hindu, Bapa. Bukankah di sini hampir semua penduduk itu Hindu, Bapa? Kecuali di sana di daerah Gelang-Gelang." jawab Raden Bandung.

     "Iya benar Nak. Di sini orang memeluk Hindu. Tapi di sebelah timur Gelang-Gelang ada ajaran baru, Hindu sesat, yaitu Hindu Kalana. Penyembah Sang Hyang Bathara Kala."

     "Hindu sesat, Bapa?" tanya Raden Bandung.

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No. 3. Bunga Soka)

BACK