 |
 |
|
 |
 |
 Johannes Rach, pelukis
berkebangsaan Denmark, yang bekerja di Batavia tahun 1764 sampai
1783, melukis tempat berlabuhnya kapal di lepas muara
Ciliwung yang dangkal beberapa ratus meter sebelah unatra
Menara Syahbandar. Muara Ciliwung berada di sebelah kanan.
Tiada satu pun peninggalan dari kubu ini yang terletak kurang lebih
empat ratus meter di sebelah utara pintu masuk Pelabuhan Sunda
Kelapa sekarang, tetapi di tepi baratnya. |
 |
Bagian terakhir
dari tembok kota dengan gardu jaga di bagian depan
Westzijdsche Pakhuizen (kini Museum Bahari) dibangun
pada abad 17. |
SEANDAINYA Fatahillah memperbaharui
Perjanjinan Sunda Kelapa dari tahun 1522 dan penguasa di
Banten serta Jayakarta tidak mengijinkan musuh bebuyutan
Potugis, yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
Belanda, membangun gudang di tepi Ciliwung, mungkin sekali
sejarah Pulau Jawa tidak begitu parah, demikian R.Mantas
Sembiring (Seribu Wajah Jakarta) dan H.M. Ambary (The
Establishment of Islamic Rule in Jayakarta). Sebab, Portugis
di seluruh Asia tak berdaya dan tidak pernah menguasai tanah
yang luas, melainkan ingin menguasai beberapa bandar saja
sebagai tempat berdagang. Hal ini dilakukan Portugis di Goa,
Malaka, Ternate, Dili dan Macau.
Terlepas dari itu
semua, Jayakarta kala itu memang menarik begitu banyak
peminat. Terutama karena hasil ladanya yang sangat bagus dan
daerahnya relatif tenang serta aman. Karena itu, dua
persekutuan dagang raksasa dunia kala itu, yaitu Belanda dan
Inggris yang senantiasa bersaing untuk mendapatkan simpati
dari penguasa Sunda Kelapa. Demikian juga dengan Portugis
sendiri yang kembali lima tahun kemudian setelah 1526/1527.
Reproduksi
naskah asli di atas ini memperlihatkan sisi kanan dari
halaman terakhir Perjanjian Sunda Kelapa (1522) antara
Kerajaan Sunda dan Portugal. Dari dokumen yang tersimpan
dalam arsip Lisbon tersebut terlihat tanda tangan para
perwira Portugis. |
Adalah
Lopo Alverez, yang mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa dan
mendapatkan kuasa untuk mengamankan hak perdagangannya di
kawasan itu. Kuasa yang di-akte notaris-kan itu dibuat di
Malaka pada 9 Januari 1532 dan kini disimpan dalam arsip Torre
do Tombo di Lisbon. Ini dikuatkan pula oleh Fernao Mendez
Pinto (Peregrinicao), yang sebagaimana disimpulkan A.Heuken
SJ, bahwa pada waktu itu (1544) orang Portugis sudah terbiasa
berdagang dengan Banten (dan Kelapa), atau berarti permusuhan
17 tahun sebelumnya (1526/1527) tidak berlangsung terlalu
lama.
Adapun ketertarikan kongsi dagang Belanda dan
Inggris terhadap Sunda Kelapa sebetulnya diawali dari
informasi Linschoten. Jan Huygen van Linschoten, demikian nama
lengkapnya, secara diam-diam menyalin berbagai sumber dan peta
Portugis sewaktu bekerja untuk uskup agung di Goa (1583-1589)
yang kemudian diterbitkannya dengan judul Itinerario. Apa yang
dilakukan Linschoten ini telah menyebabkan kaum pedagang di
beberapa kota Belanda mengumpulkan modal untuk bersama-sama
mengirim beberapa kapal ke Jawa dan Maluku (1595). Mereka
ingin memasuki pasaran rempah-rempah. Dan, pada 2 April 1595,
berangkatlah empat kapal dari Belanda yang dipimpin Cornelis
de Houtman dan singgah di Banten antara 22 Juni sampai 7 Juli
1596 serta tiba di Jayakarta pada 13 November 1596. Sementara
kapal Inggris pertama kali singgah di Jayakarta pada 1602.
Tentang pusat kekuatan, kala itu, Bantenlah yang
menjadi pusat. Hanya saja, kondisi Banten kemudian mengalami
kekacauan sejak 1602 dan mencapai puncaknya pada 1608. Dan
karena itu, Belanda maupun Inggris mulai mendekati pangeran
Jayakarta supaya mereka diperbolehkan memindahkan kantor,
gudang dan markas mereka ke negeri Jayakarta yang lebih
teratur.
Negosiator Belanda itu adalah Kapten Jacques
L'Hermite, wakil perusahaan di Banten yang bertindak atas
instruksi Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC pertama. Adapun
perjanjian itu ditandatangani secara resmi pada 18/28 Januari
1611 di Jayakarta. Perjanjian ini kemudian diperbaharui pada
21 Oktober 1614 yang ditandatangi Gubernur Jenderal Rijnst,
yang memasukan tambahan izin untuk membongkar rumah-rumah
Tionghoa yang terlalu dekat dengan gudang Belanda. Dan, inilah
berita penggusuran rumah penduduk pertama di Jakarta.
Adapun hasil perundingan L'Hermite dengan Pangeran
Jayawikarta, putera Pangeran Tubagus Angke, adipati Jayakarta
II (1670-1600), adalah persetujuan untuk membangun sebuah
rumah kayu dan batu untuk pangkalan niaga. Dengan membayar
1.200 ringgit (real?) orang Belanda mendapatkan tanah seluas
50 x 50 depa dekat muara di pinggir timur Ciliwung. Di tempat
ini, di pinggir kampung Cina, mereka boleh membangun apa yang
dengan berbagai istilah disebut rumah (huis), tempat berkumpul
(loge) atau kantor dagang (factorij). Bangunan yang kemudian
disebut Nassau Huis (Rumah Nassau) itu dilengkapi dengan
sebuah bangunan yang lebih kecil, tak jauh dari sana, yang
kemudian dikenal sebagai Rumah Kapten Watting, saudagar
menetap yang pertama.
Jan Pieterszoon
Coen (1587-1629) dari kota Hoorn (Belanda), seorang
akuntan sekaligus politikus hebat dan lawan yang tak
kenal lelah dengan semboyan : Jangan Hilang
Harapan!(Dispereetniet!) berencana menghancurkan
Kayakarta dan mendirikan Batavia (1619).
|
Di tangan Jan Pieterszoon
Coen (1587-1629), Nassau Huis (1610-1613), ditingkatkan
kualitasnya dan bahkan ia juga membangun gedung kembarannya,
Mauritius Huis (1617-1623). Antara kedua gedung ini kemudian
dibangun sebuah tembok batu, dan di atas tembok ini dideretkan
beberapa buah meriam. Coen, juga memperbesar regu penjagaannya
yang terdiri dari 25 orang menjadi 50 orang yang dipersenjatai
secara kuat dengan senapan musket dan arquebuses.
Bangunan-bangunan ini kemudian menjadi serupa benteng segi
empat di tangan Piere de Carpentier, yang menjabat Gubernur
Jenderal selama Coen bepergian ke Maluku mencari bantuan.
Dinding-dindingnya, setinggi 6 - 7,5 meter, terbujur 150 meter
sepanjang pinggir sungai dan sama panjangnya membujur ke
pedalaman. Dinding-dinding ini berhadapan dengan tembok batu,
sama halnya dengan tanggul-tanggul tanah liat yang letaknya
agak kejauhan, yang kemudian akan menjadi dinding-dinding kota
dengan di dalamnya dikenal sebagai Kasteel Jakatra (Kastil
Jakarta).
Apa yang dilakukan Coen ini, makin
mempertajam persaingannya dengan Inggris dan juga Jayakarta.
Persaingan ini mencapai puncaknya pada Desember 1618. Dan,
Pieter van den Broecke, komandan benteng Belanda pun ditangkap
tentara Pangeran Jayawikarta yang kala itu dibantu armada
Inggris pimpinan Sir Thomas Dale. Namun, pada bulan Februari
1619 Sultan Banten (Pangeran Rananenggala) yang adalah atasan
Pangeran Jayawikarta menggeser (memecat) penguasa Jayakarta
dan mengasingkannya ke Tanara (Citanara).
Tentu saja,
orang Belanda merasa lega dan berusaha mengeratkan hubungan
(sementara) dengan Banten. Garnisun benteng, yang terdiri dari
orang Belanda dan sewaan Jepang, Jerman, Perancis, Skotia,
Denmark dan Belgia merayakan perubahan situasi ini dengan
pesta meriah. Mereka pun kemudian menamai benteng ini dengan
Batavia (12 Maret 1619), untuk mengenang suku bangsa Germania,
yang disebut C.J. Caesar, dalam bukunya Bellum Gallicum (50
SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni daerah di sekitar
mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang
Belanda.
Rekonstruksi
letaknya kota Jayakartadan kastael Belanda tahun
1619menurut J.W. Ijzerman.
|
Dari benteng di tepi timur
Ciliwung itu, tentara Belanda di bawah JP Coen menyerang dan
menghancurkan kota serta kraton Jayakarta, pada 30 Mei 1619.
Sejak itu pula, Belanda praktis menguasai bandar Jayakarta.
Dan kemudian, VOC mendirikan Koninkrijk Jacatra (Kerajaan
Jakarta, yang tidak lagi ada rajanya kecuali Coen). Adapun
nama Batavia untuk kasteel dan kota baru disahkan pada 1620,
untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan (Stad)
Batavia pada 4 Maret 1621. Dan, sejak saat itu pula, Jayakarta
disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih (1619-1942).
Kini, tiada satu pun yang tersisa dari Sunda Kelapa
atau Jayakarta, kecuali namanya, batu padrao di Museum
Nasional dan mungkin makam Pangeran Jayawikarta. Tentang
situasi dan luas kota Jayakarta yang dihancurkan JP. Coen juga
agak sulit ditentukan. Tetapi, menurut perkiraan, lokasi dan
luasnya terentang di antara Jl. Tiang Bendera Raya, Kali
Besar, Jl. Roa Malaka dan Jl. Semut - Penjaringan - Roa Malaka
II. Pusat Jayakarta terletak di sebelah utara dan selatan Jl.
Kopi di tepi Ciliwung atau kurang lebih seratus meter di
sebelah barat-laut Balai Kota lama atau Museum Sejarah Jakarta
sekarang. Penduduk Jayakarta kala itu, kurang lebih
sepuluhribu orang, yang terdiri dari 'Orang Banten' (berasal
dari Demak dan Cirebon) yang menggantikan orang Sunda,
saudagar Arab dan Tionghoa. Dan, mereka ini, kecuali orang
Tionghoa kemudian mengundurkan diri ke daerah Kesultanan
Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta.
Tentang
kota Batavia sendiri, selama rentang 1619-1627 mengalami
percepatan pengembangan. Setelah memberikan nama Batavia,
mereka pun membangun Kasteel baru yang berbentuk persegi empat
dengan empat benteng menjulang berbentuk tajam yang diberi
nama Parel, Diamant, Saphir, dan Robijn. Namun, tiada sedikit
pun yang tersisa. Sebab bangunan itu dibongkar Gubernur
Jenderal Daendels pada 1809 dan diratakan samasekali dengan
tanah pada 1835. Hanya, nama populer "Kota Inten" sajalah yang
masih mengingatkan akan salah satu kubu (1623) benteng Batavia
kuno.**
| | |
 |
|
 |
|