|
 |
|
 |
 |
 Johannes Rach, pelukis
berkebangsaan Denmark, yang bekerja di Batavia tahun 1764 sampai
1783, melukis tempat berlabuhnya kapal di lepas muara
Ciliwung yang dangkal beberapa ratus meter sebelah unatra
Menara Syahbandar. Muara Ciliwung berada di sebelah kanan.
Tiada satu pun peninggalan dari kubu ini yang terletak kurang lebih
empat ratus meter di sebelah utara pintu masuk Pelabuhan Sunda
Kelapa sekarang, tetapi di tepi baratnya. |
 |
Lukisan Galangan
Kapal dari tahun 1727 oleh B.D. Vonk. Beberapa bagian
dari bangunan-bangunan ini masih digunakan sampai hari
ini, meskipun kurang terawat. |
KOTA Batavia lama (oud Batavia)
wilayahnya tidaklah begitu luas. Dahulu, kota dikelilingi
tembok dan parit. Luasnya dari daerah sekitar Menara
Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jl. Asemka - Jl. Jembatan Batu
sekarang. Rencana kota Batavia ini dirancang oleh Simon Stevin
atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda (1618). Dalam
benak JP. Coen, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan
perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan
orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga memerintahkan untuk
membangun Galangan Kapal dan rumah sakit, berbagai rumah
penginapan dan toko (di P.Ontrust), dua buah gereja (di dalam
dan di luar benteng) dan sebuah sekolah (tidak jelas
lokasinya).
Tidak semua mimpi Coen membuahkan hasil.
Coan yang adalah pendiri Batavia terlampau dianggap
kontroversial serta bahkan oleh sejarahwan kolonial abad
ke-20, J.A.van den Chijs, dikatakan bahwa "namanya selalu
berbau darah." Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang
tahun Batavia ke 250 (1869) di Waterloo Plein (Lapangan
Banteng), dibangunkan patung JP Coen yang berpose gaya
Napoleon. Namun, pada masa perang, orang Jepang melebur patung
tersebut menjadi logam tua.
Museum Sejarah
Jakarta, bekas Balai Kota Batavia (1710-1925) di
tengah-tengah Kota merupakan gedung terpenting dari
zaman Kompeni yang digunakan sebagai pengadilan, kantor
admnistrasi kota sekaligus penjara. Sejak tahun 1974
digunakan sebagai museum untuk benda-benda sejarah
Jakarta. | Adapun pusat kotanya adalah
bekas Balai Kota, kini Museum Sejarah. Bangunan bertingkat dua
yang menjadi pusat kota lama itu diselesaikan pada 1712.
Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur
Jenderal Abraham van Riebeeck (1653-1713). Tentang bangunan
itu sendiri sebetulnya merupakan Balaikota kedua dari Balikota
pertama yang lebih kecil serta sederhana dan didirikan pada
1620 serta hanya bertahan selama beberapa tahun.
Pada
awalnya kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota selain mengurus
masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan,
peradilan dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat
mengenalnya sebagai "Gedung Bicara". Kemudian, Balaikota ini
juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan di samping juga
digunakan sebagai pusat milisi atau schutterij dari tahun 1620
sampai 1815.
Salah satu sel
dalam penjara kuno di bawah lantai pertama Balai Kota.
Hampir tidak ada ventilasi di tempat penahanan bawah
tanah yang lembab dan penuh sesak dengan para tawanan
ini. | Komandannya adalah ketua Dewan
Kotapraja. Milisi terdiri dari jurutulis dan warga kota
Belanda lain, orang Mardijker dan kompi-kompi pribumi dari
suku yang berbeda. Terdapat antara lain, milisi orang Jawa,
orang Bugis, orang Melayu dan orang Bali. Pos komando milisi
itu ada di dalam Balaikota, dan lapangan di muka digunakan
sebagai tempat latihan.
Pada bulan Agustus 1816 Balai
Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah: Sir John Fendall
mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah
pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925
gedung Balaikota ini menjadi kantor pemerintahan Propinsi Jawa
Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah kotapraja Batavia
pindah ke tempatnya sekarang di Medan Merdeka Selatan di
samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang Dunia II, gedung Balai Kota itu dipakai sebagai
markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi
gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974
menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Rumah Indisch.
dulu kediaman resmi residen Batavia, kini Balai Kota
Jakarta di Jl. MErdeka Selatan 8.
|
Sementara itu, bentuk kota
Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda,
dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota
ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1627 dan 1629 kota
Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP Coen
(1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur
Jendral Jacques Specx. Kali Besar yang semula berkelok
diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota.
Jacques Specx,
ayah Sara dan pengganti Coen (1629-1632) dan penerima
medali emas. | Kastil atau benteng
yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi
pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta
tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta
barang-barang berharga yang tersimpan di balik tembok kuatnya.
Di seberang kali Besar dan kubangan yang menjorok ke
barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan
pelabuhan. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada
tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan di dalamnya. Di
belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu
mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai
gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang
ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada
serta kemudian kopi serta teh. Sebagian besar gudang penting
ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Kubu
Culemborg (1645) dengan Menara Syahbandar
(Uitkijk) pada masa kini.
|
Lebih tua dari semua gudang
tersebut adalah Compagnies Timmer-en Scheepswerf (Bengkel Kayu
dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari
berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih
merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi
di tempat sekarang ini juga sejak 1632, di atas tanah urukan
di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok
(1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan.
Tetapi, kini hanya air Kali Krukut sajalah yang mengalir
melalui Kali Besar.
Gudang Gandum VOC
dari pertengahan abad 18 dilihat (disebelah kiri) dari
suatu tempat sebelah timur laut Benteng Batavia,
sekarang kampung Bandan (gambar atas). Bangunan yang
sama diambil dari sudut tenggara (kiri bawah). Bekas
lorong pemisah antara dua jajaran gudang yang memanjang
(kanan bawah). |
Tentang Kali
Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit
Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel
yang dikenal kini sebagai Toko Merah, karena balok, kusen dan
papan dinding dalamnya dicat merah. Rumah ini dibangun sekitar
tahun 1730 oleh G.von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur
jenderal. Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur
sebagai Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur), karena
bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya
Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun, pada akhir
abad ke-18, citra Ratu Timur itu menurun drastis. Willard A.
Hanna (Hikayat Jakarta) mencatat, bahwa kejadian itu diawali
oleh gempa bumi yang bukan main dahsyatnya, malam tanggal 4
dan 5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada
gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan
memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah.
Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu
yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh
lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian
banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut,
sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut,
seakan-akan mundur sedikit-dikitnya 1 kilometer ke arah
pedalaman.
Rumah Koppel yang
disebut Toko Merah, karena balok, kusen dan papan
dinding di dalamnya di cat merah. Rumah ini dibangun
tahun 1730 oleh G. Von Imhoff sebelum ia menjabat
gubernur jendral. Kini rumah tersebut dipelihara dengan
baik dan digunakan PT Dharma Niaga.
| Sebagian untuk menanggulangi
masalah-masalah penyaluran air dan sebagian pula untuk membuka
daerah baru di pinggiran kota, pihak berwajib telah mengubah
sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan
terusan baru yang penting tepat di sebelah selatan kota pada
tahun 1732, jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar
pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah malaria,
suatu bencana baru bagi penduduk kota, yang berulang kali
menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui,
setidaknya di Batavia, bahwa kuman dalam air akan mati kalau
air dimasak sampai mendidih, namun menurut de Haan penduduk
Banjarmasin pada 1661 dan Ambon akhir abad ke-17 sudah memasak
air untuk membunuh bakteri, walaupun binatang ini belum
dikenal. Sejak 1744 pasien di rumah sakit diberi teh dan kopi,
karena air putih sudah tercemar. Pada tahun 1753 Gubernur
Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan
supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan
membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih. Lalu
tidak usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak
peduli dan minum air Ciliwung begitu saja).
Hampir
tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan
sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu
meninggalkan rumah mereka di Jl. Pangeran Jayawikarta
(Jayakarta) dan pindah ke selatan, ke kawasan Jl. Gajah Mada
dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya
dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk
dikubur secara layak. Dan, mereka pun kemudian dikubur di
pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat
langsir Stasiun Kota di sebelah utara Geraja Sion. Karena itu
pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru
sebagai Het Graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798, banyak gedung besar
di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan
sebagai 'tambang batu' untuk membangun rumah baru di daerah
yang letaknya lebih selatan. 'Tambang batu' ini terjadi karena
begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena
wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang
miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumahnya dan menjual
bebatuannya untuk memperoleh makanan. Dan, John Crawfurd dalam
bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands and
Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan:
"Orang
Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar empat puluh lima
derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota
menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan
pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir
pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui
seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir
karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria,
yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar
kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan.
Keadaan ini diperparah - delapan puluh tahun sesudah Batavia
didirikan - oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung
pada tanggal 4 dan 5 November 1699. gempa tersebut menyebabkan
terjadinya longsoran gunung, tempat pangkal sumber air ini.
Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur
terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia, bahkan
tanggul-tanggulnya, penuh dengan lumpur.
"Groote Huis" atau
istana Daendels di dekat Lapangan Banteng.
|
Penanggulangan keadaan buruk
itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels
pada zaman Prancis tahun 1809 (zaman Prancis sesungguhnya
hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811).
Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah
pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali
ditimbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai
sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh
para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai
tersebut. Sesudahnya Batavia tidak kurang sehat daripada kota
pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran
kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek."
Sementara
itu, pada 9 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158
orang meninggal akibat kolera di kota dan tiga hari kemudian
733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih
sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang
dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan
menjadi awal pembentukan Niew Batavia (Batavia Baru) di tanah
Weltevreden (sekitar Gambir sekarang ini). Inilah tragedi
mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya
dalam mengelola lingkungan hidup. Akankah tragedi ini
terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami
alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia
yang kerap melampaui batas sewajarnya.**
| | |
 |
|
 |
|