|  |
|
 |
 |
 Johannes Rach, pelukis
berkebangsaan Denmark, yang bekerja di Batavia tahun 1764 sampai
1783, melukis tempat berlabuhnya kapal di lepas muara
Ciliwung yang dangkal beberapa ratus meter sebelah unatra
Menara Syahbandar. Muara Ciliwung berada di sebelah kanan.
Tiada satu pun peninggalan dari kubu ini yang terletak kurang lebih
empat ratus meter di sebelah utara pintu masuk Pelabuhan Sunda
Kelapa sekarang, tetapi di tepi baratnya. |
 |
SEBUAH karikatur yang menggambarkan
sopir dan penumpang bajaj, barangkali bisa menggambarkan
profil masyarakat Betawi. "Pan udah gua bilang, kalo mau
ilangin stres, kudu sering naar boven," kata si sopir bajaj.
"Oke deh, ane reken isi dompet dulu. Bangsa goban sih
ada," jawab si penumpang.
Nampak jelas dalam dialog
itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda
(naar boven dan reken), Tionghoa (goban - limaribu), Jawa
(kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal,
dialek Batawi adalah salah satu logat dari bahasa Melayu,
suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dikembangkan.
Kebudayaan
Betawi secara umum merupakan perkawinan berbagai macam
kebudayaan | Sifat campur-aduk dalam
dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam
kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di
Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian,
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang
berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang
berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar
belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang
ke-Belanda-an..
Secara biologis, mereka yang mengaku
sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran
aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Seorang budak
belian perempuan dari Bali | Diawali
oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam
Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain
orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari
pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari
Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta
Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara
Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang
membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan
untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang
Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan
Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang
Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara
Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini
mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia
menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17
perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia
mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane.
Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng
dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten
dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan
Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah
Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan
menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali.
Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang
disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya,
benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di
Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama
budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka
itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak
belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Orang Tiong
Hoa sedang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun
40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856
di Den Haag | Sementara itu, orang
yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki,
karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk
setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka
berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan
'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi
(terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora,
mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa
adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan
orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar
jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang
Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840.
Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi,
namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam
kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas
besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India
dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah
budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal
menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk
dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740
orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang
Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali
dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan
13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan
bangsa (demikian Lekkerkerker).
Gereja
Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18
|
Sepanjang abad ke-18,
kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi
mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga
dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan
cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap
dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini
pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang
Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu
orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau
Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta.
Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti
orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.
Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA
menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu,
antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas
studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus
penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari
berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai
golongan etnis Betawi.
Rumah
Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah
kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal
abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini
di daerah Kota | Hasil sensus tahun
1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa
dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon
dan Banda, dan orang Melayu.
foto pada kartu
pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong
Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara
lama. Sedangkanjalan utama adalah Jatinegara Barat
menuju arah selatan | Namun, pada
tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah
ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus
tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan
menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr
Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi
pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar.
Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang
Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah
kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam
lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul
pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat
Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu
itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah
golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir
abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945),
Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga
orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang
lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada
waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan
ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun
sebetulnya, 'suku' Betawi tidaklah pernah tergusur datau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai
suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan
melalui proses panjang itu pulalah 'suku' Betawi hadir di bumi
Nusantara.**
| | |
 |
|
 |
|