|  |
|
 |
 |
 Johannes Rach, pelukis
berkebangsaan Denmark, yang bekerja di Batavia tahun 1764 sampai
1783, melukis tempat berlabuhnya kapal di lepas muara
Ciliwung yang dangkal beberapa ratus meter sebelah unatra
Menara Syahbandar. Muara Ciliwung berada di sebelah kanan.
Tiada satu pun peninggalan dari kubu ini yang terletak kurang lebih
empat ratus meter di sebelah utara pintu masuk Pelabuhan Sunda
Kelapa sekarang, tetapi di tepi baratnya. |
 |
Monumen Jan
Pieterszoon Coen, pendiri Batavia, dahulu di depan
Departemen Keuangan sekarang |
DI Tengah Perang Dunia
II, Maret 1942, Jepang masuk ke Pulau Jawa dan samasekali
menghentikan pembangunan Batavia. Walaupun, dalam rangka
propaganda, tantara Dai Nippon mengganti nama Batavia menjadi
Djakarta Toko Betsu Shi, serta menghancurkan patung JP Coen di
Waterlooplein.
Untuk lebih mengukuhkan propagandanya,
Jepang juga menempatkan seorang Wakil Walikota Djakarta Toko
Betsu Shi, yakni Soewirjo. Sementara itu, Walikotanya diambil
dari orang Jepang.
Monumen Proklamator
Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta di Jl. Pegangsaan Timur
No 56 | Penguasaan yang tidak lama ini
ternyata menghadirkan sangat banyak kerusakan, hampir semua
bangunan indah dan hotel dijadikan barak tentara yang
samasekali tidak terawat. Sampai kemudian, 17 Agustus 1945,
Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia di Jl. Pegangsaan
Timur (Proklamasi) No. 56 memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia.
Satu bulan kemudian, tidak kurang dari
300.000 orang berkumpul di Lapangan Ikada (Taman Medan
Merdeka), 19 September 1945. Hebatnya, massa sebanyak itu
datang berkumpul berkat berita dari mulut ke mulut. Sebenarnya
rapat direncanakan tanggal 17 September, tepat satu bulan
setelah Proklamasi Kemerdekaan. Namun karena ada ancaman
tentara Jepang dan Sekutu, rapat raksasa di Lapangan Ikada
diundur menjadi 19 September. Setelah Rapat Raksasa di
Lapangan Ikada itu, menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita,
rakyat Surabaya bergelora pada 10 November 1945, demikian juga
perlawanan pada penjajah terus menyebar di seluruh negeri.
Namun Belanda, yang membonceng tentara Sekutu (NICA)
tidaklah pernah mengakui proklamasi tersebut hingga Desember
1949. Dan, karena itu pecahlah Perang Kemerdekaan. Hanya saja,
perang ini tidaklah berlangsung di Batavia, walaupun Bandung,
Surabaya, dan juga Yogyakarta, tempat dimana Soekarno, Hatta
dan beberapa pejabat tinggi lainnya dan keluarga mereka
bemukim dan menjadikannya Ibukota Republik yang baru lahir itu
sejak kepergian mereka dari Batavia pada 4 Januari 1946.
Oleh sebab itu, pemerintah pendudukan pun kembali
menata dan merencanakan sebuah pemekaran Batavia. Rencana
pemekaran kota ini ke wilayah sebelah selatan lapangan
Merdeka, kira-kira 8 kilometer. Wilayah itu sendiri sebelumnya
telah disurvey dengan maksud untuk membuat lapangan terbang
internasional yang baru untuk menggantikan lapangan terbang
Kemayoran (didirikan menjelang Perang Dunia II) yang ternyata
menjadi penghalang pemekaran kota ke arah timur. Wilayah yang
dimaksud adalah Kebayoran seluas 730 Ha, yang dapat
dihubungkan dengan jalan raya bagi kendaraan bermotor. Daerah
yang diproyeksikan bagi perumahan itu bersinggungan tepinya
dengan jalan Kereta Api Tanah Abang - Serpong, yang dapat
mempermudah pengangkutan bahan-bahan bangunan.
Rencana
pertama pembangunan kota itu diserahkan pada M.Soesilo,
seorang insinyur praktek pada Centeral Planologisch Bureau
(Biro Pusat Planologi). Dan sejak itu pula, dikenal istilah
Kota Satelit Kebayoran. Pada Februari 1949 rencana kota
Kebayoran selesai. Pembuatan jalan-jalan dan persiapan
tanah-tanah perumahan mulai berjalan dengan sistematis. Pada
18 Maret 1949, dimulailah peletakan batu pertama. Dan, setahun
kemudian terjadilah perubahan-perubahan sebagai berikut: 150
Ha tanah untuk perumahan telah dibuka; 1.000.000 M2 jalur
jalan tanah telah disiapkan; 42 km luas jalan telah dikeraskan
dengan aspal; 17 km saluran pipa-pipa air minum telah
dipasang; 7 titik sumur bor telah dibuat; 2.050 unit perumahan
telah selesai dibangun dari rencana sebanyak 2.700 unit. Tanah
seluas 730 Ha itu dibagi untuk keperluan perumahan rakyat (152
Ha); perumahan sedang (69,8 Ha); villa (55,1 Ha);
bangunan-bangunan istimewa (75,2 Ha); Flat (6,6 Ha); toko dan
kios (17 Ha); industri (20,9 Ha); taman-taman (118,4 Ha);
jalan-jalan (181,5 Ha) dan sawah-sawah di pinggiran (33 Ha).
Semua itu dimaksudkan untuk memberi tempat kediaman bagi
100.000 penduduk.
Kemudian, Desember 1949, pemerintah
republik Indonesia kembali ke Jakarta, dan Jakarta kembali
dijadikan ibukota negara. Hal ini mengakibatkan makin
meningkatntya kebutuhan kantor dan perumahan. Selain itu,
jumlah penduduknya pun mengalami pemekaran luar biasa akibat
Jakarta juga berkembang sebagai kota industri dan perdagangan.
Bermukim di tempat
tersebut pasti bukan tujuannya, namun pertanyaannya,
kenapa menjadi pilihannya
| Konsekwensinya, pada awal 1952
tercatat adanya pembukaan tanah-tanah liar dengan
gubuk-gubuknya di seantero Jakarta. Menurut taksiran kala itu,
sekurangnya terdapat 30.000 gubuk liar yang dihuni para
pendatang baru. Selain itu, juga terdapat 46 macam bangsa
asing yang berdiam di Jakarta, belum termasuk bangsa Indonesia
sendiri. Menurut catatan, pada periode 1948-1951, terdapat
surplus penduduk di Jakarta rata-rata 118.563 orang tiap
tahunnya. Sementara itu, Rencana Induk DKI Jakarta 1965-1985
menghitung, rata-rata pertambahan penduduk Jakarta 124.000
orang per tahun.
Oleh sebab itu, pada 1953 muncul
suatu gagasan bahwa proyeksi Jakarta masa datang akan menjadi
16.200 Ha, dan akan dibatasi oleh suatu jalan lingkar luar,
yang juga dimaksudkan sebagai perluasan kota tahap berikutnya.
Dari gagasan ini, kemudian muncul Jakarta By-Pass di sebelah
timur.
Sejak 1959, perkembangan ibukota menjadi bagian
politik mercu suar yang bertujuan membuat RI sebagai inti dari
The New Emerging Force (Kekuatan Baru yang sedang Tumbuh) di
dunia. Sukses-sukses sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung
(1955) menjadikan Jakarta sebagai pusat penyelenggaraan Asian
Games IV (Pesta Olahraga se Asia) pada tahun 1962, kemudian
menyusul Games of The New Emerging Forces (GANEFO) pada tahun
1963.
Jakarta sebagai
The New Emerging Force (kekuatan baru yang sedang
tumbuh) di dunia | Semua itu disertai
oleh pembangunan jalan-jalan besar, hotel-hotel mewah, toko
serba ada, jembatan Semanggi dan Komplek Asian Games di
Senayan (Gelora Bung Karno), Gedung Conference of the New
Emerging Forces (CONEFO) yang kini menjadi gedung DPR/MPR.
Sementara itu, di sisi ujung Jl. MH Thamrin dibangunlah gedung
Bank Indonesia (1957); gedung kantor PT pembangunan Perumahan
(1959); Hotel Indonesia (diresmikan 5 Agustus 1962); Monumen
Nasional (17 Agustus 1961) dan seminggu kemudian dibangun
Masjid Istiqlal. Tahun 1962, Presiden Soekarno merestui
pembangunan gedung kantor pusat Bank Dagang Negara (BDN),
menyusul kemudian gedung toko serba ada pertama di Indonesia,
Sarinah (1963).
Sampai kemudian, munculah tragedi 1965
yang menjadi noktah hitam dalam kesejarahan Indonesia. Kala
itu ketimpangan dan kemiskinan penduduk Jakarta menjadi warna
yang sangat dominan. Dalam memoarnya Ali Sadikin mencatat
bahwa di awal tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta
(1966-1977) penduduk Jakarta telah mencapai 3,6 juta jiwa.
Tercatat kurang lebih 60 persennya tinggal di perkampungan
sangat padat dan kumuh. Di banyak daerah, kepadatannya
berkisar antara 4.000 hingga 6.000 jiwa per kilometer persegi.
Kemacetan lalulintas terjadi pada jaringan jalan-jalan yang
sangat terbatas. Telekomunikasi baru mampu melayani 26.000
pesawat. Listrik hanya mampu memenuhi 13 persen kebutuhan
kota. Sementara air minum, baru memenuhi 12,5 penduduk kota.
Jakarta kini
tampil seperti kota-kota dunia lainnya yang sarat dengan
aktivitasnya | Namun, berkah minyak
(oil boom) pada dasawarsa 70-an, telah memicu sejumlah
perubahan baru, walaupun tidak terlampau mempedulikan kualitas
lingkungan hidupnya. Ekspansi jalan kian mengembang ke arah Jl
Soedirman yang juga telah memiliki sejumlah gedung
perkantoran. Misalnya Wisma Arthaloka (1976), demikian juga
Wisma Metropolitan I. Sedangkan gedung Granada (Veteran mulai
tahun 1973) dan pada tahun-tahun berikutnya menyusul gedung
Panin, S.Widjoyo Center serta Ratu Plaza, ini dikembangkan
pada akhir dasawarsa 1970-an.
Adapun jalur Kuningan,
mulai dikembangkan pada awal 70-an. Pembangunan Jaya merupakan
kontraktor utama pembangunan jalan HR Rasuna Said, dengan
panjang 3.885 meter dan lebar 40 meter. Di kawasan ini gedung
yang pertama berdiri adalah Gelanggang Soemantri Brojonegoro
(1974). Sedangkan jalur MT Haryono menuju pasar Minggu pada
tahun 1974 pula didirikan perkantoran Five Pillar Office Park.
Menjelang berakhirnya dasawarsa 80-an, puluhan gedung
baru bermunculan. Misalnya, Prince Centre (d/h Gedung
Pangeran); Chase Plaza; Wisma Indocement; Wisma BCA; Summitmas
Tower; Mid Plaza; Central Plaza; Wisma Bumiputera dan
sebagainya. Demikian pula dengan gedung Bank Pemerintah yang
mengambil lokasi di Jl, Soedirman.
Pada tahun 1995
menurut data PT Procon Indah/JWL Research ada 5 gedung baru
yang rampung dibangun di kawasan Segitiga Emas (MH Thamrin -
Soedirman; Gatot Subroto; HR Rasuna Said), yakni Bappindo
Plaza; Gedung Artha Graha; Gedung GKBI; Jakarta Stock Exchange
Building; Summitmas II dan Plaza Exim. Satu tahun berikutnya,
di kawasan tersebut juga telah dirampungkan gedung-gedung
baru: Wisma BNI II; BII Plaza 2 dan 3; Menara Imperium;
Anggana Danamon I dan II dan sebagainya.
Bersamaan
dengan tumbuhnya gedung-gedung perkantoran, di Jakarta juga
terus disarati dengan gedung pertokoan baru (plaza dan super
plaza) serta rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan). Di
Jakarta Selatan hadir dua super plaza: Blok M Mall dan Blok M
Plaza, di samping Pondok Indah Mall, Plaza Bintaro dan Plaza
Cinere. Di Jakarta Pusat di kawasan Pasar Baru juga dibangun
plaza baru, selain Plaza Indonesia dan Plaza Senayan serta
menyusul kemudian Komplek Cempaka Mas. Di Jakarta Utara ada
Mal Kelapa Gading. Di Jakarta Timur, dengan Sentra Primer Baru
Timurnya juga mengalami perkembangan pesat. Misalnya di
sepanjang Kalimalang, Pulogebang, Klender dan Jatinegara. Di
Jakarta Barat telah berkembang pesat Mangga Dua (1988).
Apalagi didukung oleh proses renovasi areal Chinatown di Pasar
Pagi dan Petak Sembilan. Kawasan Mangga Dua yang merupakan
pusat grosir makin diramaikan dengan hadirnya Mangga Dua Mas
dengan komplek Jakarta International Trade Centre (JITC).
Sementara di Roxy, hadir komplek Roxy Mas, Tomang Plaza,
Tomang Toll Shop; Mall Taman Anggrek; Citra Land; Puri Indah
Mall; Mall Mega Pluit dan sebagainya.
Peristiwa 27 Juli
1996 di kantor DPP PDI Jl. DIponegoro 58 Jakarta Pusat,
pengambil alihan kantor DPP PDI dari kubu Megawati
Soekarno Putri oleh kubu Suryadi, merupakan awal dari
terguling rezim Orde Baru
| Perkembangan yang demikian gencar
itu kemudian seolah diinterupsi oleh kerusuhan Mei 1998.
Puluhan dan bahkan ratusan gedung kantor, pertokoan, mall, dan
pemukiman mewah dibakar oleh amuk masa yang sulit dibayangkan.
Para sosiolog maupun psikholog menganggap bahwa kejadian itu
tidak lain dari ledakan amarah akibat ketimpangan yang
terlampau berlebihan. Karena itu mungkin, ada baiknya kita
mengikuti apa yang difikirkan Peter Hall (Three Systems, Three
Separate Paths, 1991), bahwa Jakarta sudah saatnya
mengembangkan perencanaan humanopilis, yaitu kota yang lembut
dan manusiawi dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan
oleh perlakukan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan
mengolah hubungan antar manusia dan lingkungan binaannya
secara akrab. Tanpa kesediaan itu, maka kehancuran akan
semakin cepat. Dan, Jakarta, setidaknya dapat belajar dari
pengalaman terdekatnya, Oud Batavia.**
| | |
 |
|
 |
|