Massage
274
From: Robert Adolf
Date: Thu May 16,
2002 12:07 pm
Subject: Masih Belajar
- 1 (d/ Re: Otonomi Jalan Terus)
Sebagai new comer saya bersyukur
mendapat suguhan
artikel menarik bertema
Otonomi Jalan Terus. Saya
membaca dengan penuh minat
tulisan Pak Pipit. Yang mana
saya mengakui kualitas opini
maupun analisanya.
Masih belajar.... Paling
tidak itulah persepsi saya
menilai dampak negatif dari
pelaksanaan otonimi
daerah, sebagaimana ditulis
Bu Pipit. Kita sadar
daerah memiliki potensi
kekayaan yang khas. Sepatutnya
kita pun optimis daerah
mampu memanfaatkan kekayaan
tersebut demi pengembangan
dan kemajuan masyarakat
setempat.
Pada saat yang sama kita
perlu berbesar hati mengakui
masih sering berhadapan
dengnan keterbatasan
pengalaman mengelola kekayaan
tersebut. Ditambah lagi
hembusan dan warisan KKN
dari pusat, menjadikan aparat
setempat malah ikut memperkaya
diri. Alias ikut-ikutan
KKN.
Dalam proses pembangunan
sebagai respon dari semangat
otonomi, kita pun disuguhi
tontotan kebingungan yang
semakin transaparan. Bahwa
konsep pembangunan harus
punya tujuan, sasaran yang
jelas. Namun begitu
diterjemahkan pada pembuatan
program dan agenda aksi,
terlihat wajah-wajah bingung
yang sengaja disamarkan.
Kondisi diatas merupakan
potret kecil yang kami
diskusikan bersama rekan
Kepala kantor cabang bank
kami yang ditugaskan di
suatu kabupaten di Jawa
Tengah. Yang lebih etisnya
tidak saya sebutkan nama
kabupaten tersebut.
Misalnya saat membuat saat
mencanangkan program
optimalisasi hasil pertanian
daerah setempat.
Tujuannya sudah jelas, yaitu
meningkatkan taraf hidup
petani. Sejalan desakan
transparansi, sebelum rencana
tersebut dirumuskan, pemda
setempat minta masukkan
dari masyarakat. Beragam
komentar muncul dari tokoh
masyarakat setempat. Ada
yang mengusulkan tanaman
kentang yang harus dikembangkan.
Sesuai kondisi
tanahnya. Yang lain bilang
tanaman tembakau lebih baik
karena harga pasar sedang
baik. Sumbangan usul lain
mengatakan petani setempat
lebih terbiasa menanam
sayur-sayuran atau palawawija.
Lebih baik itu saja
yang dikembangkan.
Bisa dibayangkan bagaimana
sulitnya mengakomodir
pendapat tersebut dalam
suatu program kerja. Terlebih
dihadapkan pada keterbatasan
dana dan sumber daya
manusia. Tidak mungkin mengakomodir
semua usulan. Saat
program kerja selesai, siap
dilaksanakan setelah
melalui sosialisasi, muncul
kritik, tanggapan beragam.
Pemda setempat jadi sasaran.
Tidak terbiasa dengan
kebebasan pendapat, kritik
tersebut ditanggapi dengan
sikap arogan. Menjadi dilema
untuk dilaksanakan atau
ditunda saat tokoh masyarakat
berpengaruh ikut
memberikan saran.
Beda sekali sebelum otonomi.
Semua keputusan sudah
ditetapkan pusat. Daerah
tinggal melaksanakan. Tidak
ada keberanian menawar.
Suara pusat harus segera
dilaksanakan. Berani membantah
siapsiap jabatan
dicopot. Siapa yang mau...?
Sementara pemda setempat
masih berkutat mematangkan
rencana kerja, dalam kesempatan
lain penggalangan dana
masyarakat sudah dilaksanakan.
Sasarannya adalah
pengusaha setempat, pedagang,
pemilik toko, maupun
pelaku bisnis lainnya. Bahkan
lembaga sosial seperti
panti asuhan, gereja, LSM,
ikut diminta
partisipasinya. Bank, meski
berstatus kantor cabang,
di tuntut membiayai rencana
sejumlah proyek. Meski
sesungguhnya proyek tersebut
baru pada tahap
penggodogan.
Message
275
Di dorong semangat memajukan
daerah, usaha menghimpun
dana masyarakat ternyata
berjalan mulus. Sumbangan
mengalir dari pengusaha,
pedagang, dan organisasi
lain. Baik itu dilakukan
secara tulus ikhlas, maupun
dengan keterpaksaan yang
tersimpan dalam hati.
Yang di sayang begitu dana
terkumpul pelaksanaan
program belum siap. Pertanyaannya,
mau dikemanakan
dana tersebut? Karena ini
milik masyarakat. Pasti
masyarakat mengharapkan
agar segera digunakankan.
Dana partisipasi tersebut
mengendap, menunggu
digunakan. Karena kuatnya
desakan transparansi
penggunaan dana, serta dorongan
agar dana tidak
mengendap terlalu lama alangkah
baiknya digunakan
dulu. Untuk apa? Padahal
proyek masih di tahap
perencanaan. Belum siap
dilaksanakan. Namun karena
prinsipnya dana tersebut
harus segera digunakan.
Berbekal pengalaman dari
pusat, proses pencairan dana
berhasil dilaksanakan. Tujuannya
adalah pengayaan
pribadi. Supaya tidak kelihatan
proyek dadakan
dilaksanakan.
Untuk menutupi proyek siluman
(pengayaan pribadi),
ditengah derasnya esakan
masyarakat setempat seputar
transaparansi penggunaan
dana, membuat aparat pemda
setempat cukup kewalahan.
Dana tersebut harus segera
digunakan. Draf proyek dipercepat.
Proyek pun dipaksa
dikerjakan. Yang terjadi
adalah proyek asal jadi,
tanpa kejelasan manfaat
untuk jangka panjang. Contoh,
proyek pengaspalan jalan
yang bukan akses ke sentra
ekonomi. Asal ada jalan
yang belum diaspal itulah yang
harus dipilih. Bahkan pekarangan
rumah bupati tidak
luput dari pengaspalan.
Di satu sisi proyek tersebut
bagus tetapi di sisi lain
merupakan pemborosan.
Peran bank sangat diharapkan.
Derasnya harapan kepada
bank agar partisipasi menimbulkan
pertanyaan, bukankah
ini pemerasan secara halus.
Bentuk partisipasi yang
diharapkan tidak jauh dari
usaha memberikan kredit,
pendanaan untuk proyek yang
dipaksa dilaksanakan.
Adalah hak bank untuk bersikap
selektif berdasarkan
prinsip kehati-hatian (prudentian
banking). Bank tidak
boleh sembarang mengucurkan
dananya. Sebelum
mengucurkan dana, bank berhak
menganalisa kelayakan
proyek. Jangan sampai proyek
yang dibiayai bank seret.
Sehingga menyebabkan kredit
macet.
Sebagai kepala cabang sering
dihadapkan pada dilema.
Proyek masih trekatung-katung
di tahap pematangan,
para perancangnya masih
ribet, muncul desakan agar
dana harus segera turun.
Menyimak proses pelaksanaan
otonomi di daerah tserbut,
saya tidak mau memvonis
sebagai ketidakbecusan kepada
aparat setempat. Terutama
saat menterjemahkan makna
otonomi daerah ke program
pembangunan daerah setempat.
Kata yang lebih tepat adalah
: “Kita Masih Belajar”.
Berlajar mematangkan visi
yang sudah di susun. Belajar
membuat agenda kerja yang
mengakomodir kepentingan
masyarakat setempat. Belajar
mengaplikasikan rencana
kerja. Belajar menerapkan
transparansi pengawasan
kerja.
Karenanya otonomi daerah
jangan menjadi GEBRAKAN
REFORMASI. Meski bendera
start sudah dikibarkan,
daerah segera merealisasi
otonomi, hendaknya pusat
jangan lepas tangan. Tetap
melakukan pembinaan,
bimbingan, pengarahan maupun
pengawasan. Sampai daerah
setempat siap. Konsepnya
adalah kemitraan kerja,
menggantikan konsep komando.
Hanya saja saya cukup membuat
gelisah dengan kehadiran
pusat. Terutama saat kehadirannya
ikut membawa
virus-virus KKN. Maka salah
satu program kerja yang
cukup mendesak dilaksanakan,
menyangkut mental aparat
terkait adalah : BELAJAR
TIDAK KKN”.
Robert Adolf
Massage
286
From: Robert Adolf
<robert_adolf@yahoo.com>
Date: Tue May 21,
2002 12:28 pm
Subject: Hikmah Dibalik
Tangis Haru
Tianhe Gymnasium menjadi
saksi bisu lahir seorang
pahlawan olah raga nasional.
Sekian juta mata penonton
menyaksikan tangis haru
Hendrawan, setelah mengalahkan
Muhammad Roslin Hashim dengan
angka telak 7-8;2-7;1-7.
Di saat posisi Tim Indonesia
diambang kritis
mempertahankan Piala Thomas,
Hendrawan tampil
semangat, dengan melalui
permainan sangat bagus.
Perjuangannya tidak sia-sia.
Membawa Indonesia kembali
merebut lambang supermasi
Bulutangkis beregu dunia.
Tidak mau ketinggalan larut
dalam kegembiraan,
Presiden Megawati saat menjalankan
tugas negara
menyempatkan diri memberi
ucapan selamat atas
keberhasilan Tim Bulu Tangkis.
Di saat citra Indonesia di
mata dunia sedemikian
buruk. Terkenal dengan negara
korupsi terbesar.
Pembinaan atlet olah raga
yang kerap mengecewakan.
Menjauhkan harapan atlet
Indonesia berprestasi di
event olah raga internasional.
Perjuangan Hendrawan
dan kawan-kawan memutarbalikan
kesan negatif tersebut.
Putra Indonesia, tidak hanya
pintar korup atau kolusi,
tetapi mampu membuktikan
kesanggupan mencetak
prestasi.
Saat ini kita sepakat menobatkan
Hendarawan sebagai
pahlawan bulu tangkis. “Saya
bukan pahlawan dan saya
juga bukan pemain terbaik
Indonesia. Saya bisa bermain
di Piala Thomas ini karena
support dari teman-teman
saya sesama pemain dan pengurus
yang selalu mendukung
saya”, ujarnya merendah.
Pernyataannya cukup mengharukan.
Di saat sanjungan,
pujian datang bertubi-tubi,
ia memilih untuk merendah.
Ia menyambut keberhasilan
dirinya dengan tangis haru.
Tangis seorang pahlawan
baru. Sementara ia sendiri
enggan menerimanya. Tangis
dramatis yang tidak hanya
ditujukan kepada dunia bulu
tangkis nasional, tetapi
kepada seluruh insan olah
raga nasional. Tangis
kebanggaan bangsa Indonesia.
Bila menengok ke belakangan,
tampaknya jerih payah
pengorbanannya tidak sebanding
dengan keluhan nasibnya
yang sempat ia lontarkan.
Publik nasional mungkin
masih teringat beberapa
waktu lalu, sebelum ia
berangkat, sempat mengeluh
dengan status
kewarganegaraan yang tidak
kunjung usai.
Terlahir dengan mewariskan
keturunan Cina, ia wajib
memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik
Indonesia (SBKRI). Meski
lahir di bumi Indonesia
sekalipun. Tidak cukup darah
ibunya saat melahirkan
dirinya menebus secara otomatis
haknya sebagai manusia
Indonesia. Bersama warga
keturunan lain, ia wajib
patuh pada hukum yang mengharuskan
memiliki SBKRI.
Rupanya ia terkenal POLUSI
BIROKRASI. Statusnya
pengesahan sebagai warga
negara Indonesia
terkatung-katung. Sebuah
dokumen legal yang mengsahkan
kewarganegaraannya tidak
kunjung usai. Berarti
nasibnya terkatung-katung.
Selama surat tersebut belum
di tangan, maka ia pun belum
layak dikatakan sebagai
warga Indonesia. Berarti
statusnya sama dengan orang
asing. Astaga.....
Meski saat itu ia belum menjadi
pahlawan Piala Thomas,
namun ia mencatatkan diri
sebagai pemain berprestasi.
Publik tanah air masih ingat
keberhasilannya
menyumbangkan medali perak
di ajang olimpiade Sydney.
Meski hanya perak, cukup
menghantarkan Indonesia di
jajaran negara dunia yang
punya prestasi olah raga
dunia. Tidak hanya mengandalkan
prestasi korupsinya.
Sayangnya, di sisi lain masih
ada pihak yang seakan
berpaling dari prestasinya.
Kalau tidak mau dikatakan
tidak menghargai. Sampai
menimbulkan tanda tanya,
kenapa status kewarganegaraan
yang amat krusial bagi
setiap warga negara, terbengkalai
oleh birokrat. Kalau
seorang (calon) pahlawan
saja diperlakukan demikian,
apalagi yang bukan pahlawan.
Untung media massa, Kompas,
sempat memblow-up
keluhannya. Untungnya Presiden
Megawati menaruh
perhatian akan nasibnya.
Saat bertandang ke Pusat
Pelatihan Bulutangkis di
Cipayung, sempat menanyakan
eberadaan Hendrawan. Media
massa pun mencatat,
Megawati sempat menanyakan
statusnya. Meminta aparat
terkait segera membereskan
status Hendrawan. Setelah
itu barulah birokrat terkait
menyatakan status
kewarganegaraannya sudah
selesai. Pertanyaannya,
kenapa harus menunggu presiden
turun tangan? Apakah
ini menjadi kebiasaan umum
para birokrat terhadap
warga keturunan, termasuk
yang berprestasi?
Hendrawan termasuk beruntung.
Tong Sin Fu, seorang
pelatih bulu tangkis tim
Piala Thomas, akhirnya
hengkang ke RRC. Salah satu
penyebabnya status WNI
terkatung-katung. Entah
sudah sampai di meja mana dan
sudah seberapa jauh perjalanan
berkas pengajuannya.
Kita pun masih ingat dengan
Ivana Lie, seorang atlet
berprestasi lainnya, sempat
menjadi korban birokrasi.
Mirip nasibnya dengan Hendrawan.
Padahal Ivana
termasuk atlet berprestasi.
Ah... tapi itu khan dulu,
di era orde baru. Sekarang
khan iklimnya lain. Birokrat
sudah direformasi.
Mungkin kita bisa menyanggah
dengan argumen itu. Namun
kasus Hendrawan, yang notabenenya
di alam reformasi,
merupakan bukti bahwa pencemaran
di jajaran birokrasi
masih berlangsung.
Ada apa dengan (birokrat)
bangsa ini? Kenapa kepada
warga berprestasi saja begitu
pelit memberikan hak
kewarganegaraan? Apa susahnya
memproses status
tersebut terhadap orang
yang sudah jelas identitasnya.
Tokh orang macam Hendrawan
bukan orang berbahaya,
bukan pengungsi politik
seperti pengungsi Vietnam atau
Afganistan, bukan juga koruptor,
bukan residivis.
Kenapa seakan nilai sebuah
SBKRI begitu tinggi.... dan
sangat tinggi. Sampai orang
terhormat macam Hendrawan,
Ivana Lie, Tong Sin Fu,
dll harus tergopoh-gopoh
meraihnya? Atau terlalu
tinggi kah nilai diri sebuah
status bernama warga negara
Indonesia.
Padahal kalau kita bandingkan
dengan Singapura,
Malaysia, Thailand, yang
mampu membangun citra lebih
bagus, mungkin kita bertanya,
siapa Indonesia ini?
Tentu saja setiap anak bangsa
harus punya rasa bangga
sebagai manusia Indonesia.
Apapun kondisinya. Tetapi
saya pun khawatir akan menjadi
bulanan ledekan dan
obyek tertawaan manakala
kita mengatakan : "Biar
korup....tetap punya harga
diri lho....".
Padahal kalau mau Hendrawan
bisa saja mengajukan
status warga negara lain.
Misalnya, Singapura,
Australia, Selandia Baru,
atau bahkan Amerika Serikat.
Yang mana jelas sekali posisi
negara tersebut di
percaturan dunia. Dengan
hadiah uang yang ia peroleh
bisa saja Hendrawan imigrasi
ke negara-negara
tersebut. Membangun kehidupan
yang lebih baik, dengan
fasilitas dan perhatian
pemerintah lebih optimal.
Seperti yang dilakukan sebagian
warga Indonesia.
Mungkin kita akan menganggap
entang sebagai “kasus”
yang sangat sepele, yang
tidak perlu dibesar-besarkan.
Namun adakah yang bisa kita
pelajari dari sekian
banyak kasus yang dialami
putra terbaik bangsa macam
Hendrawan dkk? Terutama
sebagai bahan refleksi menuju
masa depan Indonesia yang
lebih baik. Bagaimana pun
kita tidak bisa lepas dari
karma, kalau kita yakin dan
percaya karma itu ada. Bahwa
masa depan bangsa sangat
bergantung pada perlakuan
manusiawi penguasa
(birokrat) terhadap warganya.
R Adolf Izaak
Massage
314
From: "yul_erdani"
<yul-erdani@uni.de>
Date: Fri May 31,
2002 6:21 am
Subject: Re: Mempertanyakan
Identitas Anak Bangsa (d/h HikmahDibalik...)
Rekan-rekan milis,
Saya ingin menanggapi tulisannya
Mbak Titien Saraswati mengenai
isu-isu seputar pemilihan
pemimpin daerah (DKI) yang saya rangkum
sebagai berikut :
- pentingnya orang betawi
dalam pemilihan gubernur DKI => fanatisme
- kepentingan nasional karena
DKI sebagai ibukota negara
- Siapapun asal berprestasi
dan berwawasan luas layak jadi
gubernur DKI
- bagaimana jika tidak ada
putera daerah yang layak untuk menjadi
pemimpin di daerahnya sendiri
Maksudnya mungkin bukan fanatisme
melainkan primordialisme kedaerahan.
Sebelumnya saya coba ragkum
inti dari pembicaraan ini, yaitu seputar
peran "putera daerah" dan
"primordialisme kedaerahan"
Secara umum apa yang diutarakan
oleh Mbak Titien saya rasa sudah
sesuai dengan konsep bagaimana
hidup berbangsa dan bernegara yang
dibuat semasa rejim Orba.
Namun sayang sekali kalau kita memahaminya
hanya sebatas kontektual
atau teoritis saja. Pada pelaksanaannya
konsep tersebut tidak lah
mudah diterapkan dan bahkan seringkali
digunakan sebagai alasan
untuk menjawanisasikan nusantara sehingga
seringkali berbenturan dengan
motivasi sosial dan bahkan menimbulkan
gejolak sosial.
Maaf saya menulis kata "menjawanisasikan"
karena pada masa rejim Orba
masyarakat berpandangan
bahwa kiat yang dilakukan oleh rejim tersebut
nampaknya seperti "menjawanisasikan".
Saya sendiri sebagai orang
campuran yaitu Sunda-Jawa
tidak berniat mengkambinghitamkan orang
jawa. Bahkan menurut saya
orang jawa ketempuhan karena kiat rejim
tersebut.
Memang benar bahwa siapa
saja putera bangsa ini bisa tumbuh dan
berkembang di mana saja
di nusantara, berkarya di mana saja demikian
juga memimpin dimana saja
selama dia mampu. Namun itu kan baru sebatas
teori. Kenyataannya untuk
menerapkan teori tersebut banyak sekali
aspek-aspek yang ada pada
masyarakat yang harus diperhatikan. Apalagi
tingkatan kedewasaan masyarakat
kita yang terbilang sangat heterogen
dan struktur masyarakatnya
kita yang majemuk sehingga penerapan teori
tersebut dapat menimbulkan
polemik di daerah.
Pada saat rejim Orba, wujud
dari polemik ini atau perlawanan
masyarakat ini tidak muncul
ke permukaan karena diredam dengan
berbagai lapisan penangkal
seperti peraturan SARA, tekanan militer
dll. Namun saat ini dimana
reformasi sudah digulirkan, kebebasan
sudah dibuka, isu Otda dikedepankan
dll maka nampaklah ketidakpusan
mayarakat yang terakumulasi
sejak jaman orba berupa primordialisme
kedaerahan yang menurut
saya itu bukanlah primordialisme kedaerahan
malainkan hak mereka untuk
mengurus dan mengembangkan tanahnya
sendiri.
Kembali ke orang betawi tadi,
mungkin bukan orang betawi saja, juga
etnik-etnik lainnya, saat
ini merupakan momentum yang bagus untuk
meningkatkan kemampuan mereka
dalam mengelola dan mengembangkan
daerahnya yang selama ini
dijadikan sapi perahan oleh Jakarta,
maksudnya pemerintah pusat.
Pada jaman rejim orba kemarin keadilan
yang mereka dapatkan hanyalah
keadilan semu yaitu keadlian yang
pebuh dengan tekanan dan
dipaksakan.
Mengenai prioritas kepentingan
nasional karena DKI sebagai ibukota
negara saya rasa tidak mengena.
Term DKI disini adalah provinsi atau
daerah sementara term nasional
adalah pusat, jadi bisa disalurkan
ke pusat. Disanalah tempat
berkumpulnya seluruh kelompok masyarakat
dari pelbagai penjuru nusantara.
Kalau orang betawi berteriak
untuk mendapatkan superiority, maka
buru-buru dicap primordialisme
kedaerahan sementara banyak sekali
primordialisme-primordialisme
terselubung lainnya yang dilakukan
di betawi oleh non betawi
tetapi tidak mendapatkan kritikan, seperti
misalnya kolusi dan nepotisme
di kepegawaian atau kegiatan-kegiatan
lainnya. Mereka memprioritaskan
orang-orang dari luar betawi untuk
mendapatkan kesempatan kerja
di Jakarta, sementara orang betawinya
sendiri disisihkan
Kesimpulannya adalah isu
nasionalisme yang selama ini dikembangkan
hanyalah isu nasionalisme
semu karena penerapannya sarat dengan
ketidakadilan dan tidak
memberdayakan kemampuan daerah. Negara ini
akan kuat apabila daerah-daerahnya
juga kuat. Selain itu pemahaman
isu nasionalisme tersebut
tidak bisa secara kontekstual saja
melainkan harus melihat
kondisi real yang ada dilapangan. Banyak
sekali aspek-aspek yang
harus diperhatikan, seperti aspek sosial,
budaya dll. Terlalu prematur
kalau kita menerapkan teori tersebut
begitu saja.
Mengenai kriteria pemilihan
putera daerah, saya rasa kita belum
bisa beranjak ke tema tersebut
karena persepsi kita mengenai isu
ini belum sama. Masalah
pemilihan putera daerah adalah masalah
praktis, namun pemahaman
dan penyamaan visi kita akan isu kedaerahan
lebih prioritas karena hal
ini adalah prinsipil.
Sebagai tambahan; Kalau rekan-rekan
mau rajin membuka situs-situs
daerah dari seluruh penjuru
nusantara, utamanya dari luar Jawa,
silahkan menyimak sendiri
bagaimana pandangan mereka terhadap
isu kepentingan nasionalisme
yang selama ini digulirkan. Kalau
saya mengibaratkan sepertinya
mereka itu mau membuat negara baru.
Padalah saya meyakini mereka
itu mencintai tanah air, namun karena
perlakuan pusat yang selama
ini timpang dan berat sebelah
menjadikan mereka memiliki
sikap semacam itu. Ini adalah fakta.
Wassalam,
Bung Yul
Massage
329
From: Titien Saraswati
Date: Thu Jun 20,
2002 3:00 pm
Subject: Re: [ICSCI]
Akhirnya Hukum Tak Berarti bagi Pemberantasan Korupsi
Dear Netters dan Pak Hok
An,
Yah, memang begitulah yang
kita hadapi. Bisakah kita punya penegak hukum
sekaliber Carla del Ponte,
rasanya kok masih jauh. Hal ini menyangkut
kualitas dari penegak hukum
kita, dan mungkin yang bisa saya katakan
saat ini, jaksa. Saya mencoba
mengingat apa yang saya lihat dan
dengarkan di TV pada saat
persidangan mantan Pres.
Soeharto (di mana ia sendiri tak hadir), tanya
jawab antara jaksa dan lawyers
Soeharto. Terlihat di situ, bahwa
kemampuan jaksa untuk berbicara
dan berdebat masalah hukum jauh di bawah
kemampuan lawyers Soeharto
tersebut (Juan Felix Tampubolon dkk.). Jadi
bagaimana bisa hukum ditegakkan
dengan baik, kalau jaksanya saja dalam
berdebat maupun menyusun
dakwaan amburadul, sehingga dakwaan itu dengan
mudah bisa dipatahkan penasehat
hukum terdakwa? Contoh lain lagi yang
saya ikuti dari koran, yaitu
tentang, kalau tidak salah (mohon
dikoreksi), banding Tommy
Soeharto di MA (mohon dikoreksi pula, apakah
banding atau kasasi?) sebelum
Tommy tertangkap polisi. Hakim Agungnya 3
orang, dua meloloskan (artinya,
Tommy boleh bebas), satu orang tidak
meloloskan alias melakukan
dissenting opinion. Setelah diulas oleh
beberapa pakar hukum di
koran, saya baru tahu bahwa salah satu Hakim
Agung (Taufiq) betul-betul
melakukan kesalahan fatal dengan meloloskan
Tommy Soeharto. Argumentasi
Taufiq meloloskan Tommy itu berdasarkan pada
buku yang ditulis oleh seorang
pakar hukum, jadi TIDAK berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Nah, bagaimana kita tidak
sedih melihat hal ini, wong Hakim Agung saja
kemampuannya hanya segitu.
Orang awampun akan tahu, bahwa buku hukum
saja tidak bisa dijadikan
acuan, justru Kitab Undang-Undang itu yang
harus diacu. Ini memang
menyangkut kualitas. Bagaimana caranya agar
jaksa, hakim, polisi tidak
kalah kualitas dengan pengacara, yah ini
persoalan kita. Itulah (kualitas)
sementara ini yang saya lihat, di
samping masalah moral tentunya.
Silakan ditanggapi para netters......
(Mohon kalau menanggapi,
tidak perlu memberi 'predikat' atau memberi
'penilaian' kepada lawan
bicara Anda, seperti yang saya terima dua kali
akhir-akhir ini. Tidak etis,
dan tidak sesuai dengan nettiquette. Cukup
tulisannya saja yang ditanggapi).
Terima kasih.....
Titien.
Massage
330
From: Asep mulyana
<amulyana_2000@yahoo.com>
Date: Thu Jun 20,
2002 4:10 pm
Subject: Re: [ICSCI]
Akhirnya Hukum Tak Berarti bagi Pemberantasan Korupsi
Dear Netter, Pak Hok-An dan
Ibu Titien.
Sebelumnya saya turut beduka
cita atas ketidak
berdayaan hukum Indonesia
terhadap pemberantasan
Korupsi di negara ini. Hukum
Indonesia baru bisa
berarti dan gagah berani
jika dihadapkan pada kasus
maling ayam dan pencopet
yang mungkin jika ditelusuri
mereka mencopet/mencuri
hanya karena kelaparan/perut
kosong atau saudara/ibu
mereka sedang sakit parah di
rumah yang tentunya memerlukan
pertolongan kita,
pernahkan hukum/hakim/jaksa
menyelidiki sampai ke sana
seperti halnya para koruptor
yang dengan berbagai
alasan dapat dibebaskan..???
:) Wallahu Allam.
Sungguh ironis memang, jika
para penegak hukum lebih
perkasa terhadap pencuri
ayam daripada pada Koruptor,
bos pengedar exctasy dan
lain-lain. Sampai kapan ini
akan berakhir, sampai pada
suatu waktu di mana uang
dan jabatan tidak menjadi
tujuan utama (Tuhan mereka,
atau kita semua).
Kalau mengenai pengacara
lebih pintar dari Jaksa
penuntut umum sih itu bukan
barang yang aneh, seperti
halnya pencuri itu pasti
lebih pintar dari Polisi
kan... :)????
Tetapi disini yang harus
berlaku, adalah hati nurani
mereka, dan moral (kata
ibu titien) dan mungkin
presure Group dalam hal
ini Pers, masyarakat, wakil
Rakyat yang harus mengarah
kepada berjalannya proses
hukum yang mengedepankan
hati nurani dan kebenaran di
banding pada siapa yang
banyak uang dan dapat menyewa
Lawyer, sehingga dapat memenangkan
semua perkara
walaupun perkara yang ia
menangkan itu tidak sesuai
dengan hati nurani. Atau
mungkin para lawyer kita
harus di ajak nonton Film
"The Devils of Lawyer"
(maaf kalau salah judulnya),
tetapi sekedar gambaran
adalah film itu mengisahkan
pengacara yang hebat di
mana selalu memenangkan
perkara, tetapi satu ketika
pada saat di toilet ia bermimpi
dengan kejadian2 aneh,
yang membuat dia tersadar,
sehingga pada akhirnya ia
tersadar bahwa selama ini
ia melakukan kesalahan yang
fatal.
Atau jika mungkin teman-teman
di indonesia bisa
mencoba meminta bantuan
televisi kita RCTI;TVRI atau
yang lainnya untuk mencoba
menayangkan Film ini.
Sungguh menarik sekali,
walaupun barangkali ada yang
perlu di sensor dalam beberapa
adegan, tapi jika
tayangan untuk dewasa saya
kira tidak terlalu banyak
yang harus di sensor.
Semoga dangan Film ini,
para penegak hukum terutama
Lawyer tersadar dengan apa
yang mereka perbuat. Saya
yakin jika Film ini diputar
terus-menerus akhirnya
akan tertanam dalam alam
bawah sadar seluruh rakyat
indonesia, dan akhirnya
kita akan berani menegakkan
kebenaran.
Ada pepatah dalam pemasaran
" jika kita melakukan
iklan terus menerus, maka
konsumen lama-lama akan
percaya dan sedikit demi
sedikit akan membeli produk
anda", seperti halnya iklan
rinso "mencuci sendiri",
karena sudah lama dan gencar
di dengungkan iklannya,
maka sebagian masyarakat
kita percaya bahwa rinso itu
dapat mencuci sendiri.
Akhirnya, netters sekalian,
kita masih punya waktu
untuk memperbaiki bangsa
ini. Hanya tergantung siapa
yang mau memulai . Mudah-mudahan
melalui ICSCI ini
kita dapat memulai memasarkan
"Hati Nurani dan Moral"
yang sudah lama di tinggalkan,
sehingga setahap demi
setahap bangsa ini akan
menuju ke arah yang lebih
baik.
Insya Allah.
Salam hangat dan sukses selalu,
marburg, 20.06.02
asep mulyana
Massage
324
From:
Hokan@t-online.de
Date:
Tue Jun 18, 2002 1:35 pm
Subject:
Menyelesaikan Obligasi lewat Rekayasa Keuangan?
Dear
Rekan2 Milis,
Tulisan
di Media Indonesia (tertera dibawah) memerlukan pemikiran yang mendalam.
Saya
sendiri berpendapat bahwa penerbitan obligasi untuk menutup biaya Rekap
dan
BLBI,
adalah rekayasa keuangan sangat bodoh (= menipu diri sendiri) yang
mengakibatkan
penggelembungan Rupiah dalam jumlah yang luar biasa, karena
obligasi2
ini tidak ditutup dengan nilai yang wajar.
Sebenarnya
rekayasa ini menimbulkan kelebihan Rupiah (currency overhang)
besar2an.
Bandingkan
jumlah obligasi kira2 Rp 700 Tr. dengan jumlah dana di bank yang
kira2
hanya Rp 900 Tr.
Kalau
dibandingkan dengan M1, jelas sekali penerbitan obligasi tindakan yang
ngaco
dan mirip2 perampokan masyarakat, sebab diterbitkan tanpa suplemen RAPBN,
walaupun
jumlahnya lebih dari 200% RAPBN.
Kasus
BCA menurut saya adalah hukuman wajar terhadap rekayasa ini.
Obligasi
yang dikeluarkan effektiv hanya dibayar dengan nilai yang rendah sekali
oleh
pasar (FARALON).
Biasanya
disini (Jerman) perusahaan2 bangkrut tidak boleh ditalangi ruginya oleh
pemerintah.
Paling
jauh adalah fasilitas jaminan atas kredit2 baru.
Obligasi2
REKAP dan BLBI sesungguhnya dasar hukumnya rendah.
Bagaimana
kalau obligasi2 ini ditukar dengan garansi tabungan masyarakat yang
kalau
mau tegas juga bisa ada biayanya?
Salam
damai
Hok
An
Media
Indonesia Senin, 17 Juni 2002
Menyelesaikan
Obligasi lewat Rekayasa Keuangan
Elvyn
G Masassya, Pengamat perbankan
PEKAN
lalu, beberapa pejabat tinggi pemerintah dan sekalangan
pengamat
berdiskusi mengenai upaya penyelesaian obligasi. Hasilnya,
mereka
sepakat bahwa salah satu solusi final untuk mengurangi beban
obligasi
adalah dengan melakukan akuisisi silang antarbank pemegang
obligasi
(bond holder). Sebagai misal, Bank A dibeli Bank B, dan
pembayarannya
dilakukan dengan obligasi.
Menurut
teman-teman yang merekomendasikan cara tersebut, langkah
seperti
itu merupakan alternatif paling pas untuk mengurangi beban
obligasi
pemerintah. Sebab, kalau tidak dicari jalan keluarnya, teman-
teman
itu berkeyakinan dalam beberapa tahun mendatang akan
terjadi
'bom' obligasi yang totalnya bisa mencapai ribuan triliun.
Terus
terang, kita harus memberi apresiasi terhadap kerelaan teman-
teman
tersebut memikirkan masa depan bangsa ini. Kita juga mesti
memberikan
salut kepada mereka yang bersedia berpikir keras agar anak
cucu
kita tidak dibebani utang.
Tapi,
masalahnya, apakah upaya mengurangi obligasi pemerintah,
khususnya
obligasi rekapitalisasi (rekap), bisa diselesaikan secara
mudah
hanya dengan financial engineering (rekayasa keuangan), dengan
meminta
bank-bank melakukan akuisisi silang? Di atas kertas
barangkali,
ya, benar demikian. Namun, kalau kita mau lebih
realistis,
banyak hal yang mesti dikaji lagi.
Tidak
percaya? Mari kita telaah. Obligasi rekap yang telah
diterbitkan
pemerintah adalah sebesar Rp430 triliun. Sebagian di
antaranya,
yakni sekitar Rp53 triliun, sudah berpindah tangan alias
dijual
oleh bank-bank rekap kepada pihak lain. Sehingga, obligasi
rekap
yang masih bertengger di neraca bank hanya tinggal Rp377
triliun.
Sebenarnya, tidak ada masalah dengan obligasi tersebut
sepanjang
pemerintah masih mampu membayar bunganya, dan tentu saja
pokoknya,
pada saat obligasi itu jatuh tempo. Pada APBN 2002 pun,
sudah
pula dialokasikan sekitar Rp3,9 triliun untuk membayar obligasi
yang
jatuh tempo pada tahun ini.
Tetapi,
masalah obligasi rekap ini mencuat ketika ada sebagian
kalangan
yang berang terhadap bank rekap yang didivestasi. Keberangan
itu
sebenarnya wajar karena bank rekap yang didivestasi, seperti BCA,
hanya
menghasilkan cash in flow bagi pemerintah tidak lebih dari
Rp5,7
triliun. Tetapi di sisi lain, pemerintah masih berutang pada
bank
tersebut senilai Rp28 triliun untuk obligasi rekap. Artinya,
dengan
menjual bank yang masih menyimpan obligasi, pemerintah
mengalami
kerugian dua kali.
Pertama,
harga bank tersebut lebih murah ketimbang obligasi yang
telah
diberikan. Kedua, pemerintah masih harus membayar bunga
terhadap
bank bersangkutan karena bank tersebut masih mengantungi
obligasi
pemerintah. Kalau yang dijadikan landasan berpikir adalah
pendekatan
nasionalisme, maka keberangan terhadap divestasi bank-bank
yang
masih menyimpan obligasi pemerintah tentu layak didukung. Namun,
kalau
kita menggunakan pendekatan logika realistis, maka sulit
dipungkiri
bahwa secara finansial pemerintah pasti akan merugi
tatkala
bank-bank rekap didivestasi.
Massage
326
From:
Sutopo <sutopo@panin.co.id>
Date:
Tue Jun 18, 2002 4:30 pm
Subject:
Re: [ICSCI] Menyelesaikan Obligasi lewat Rekayasa Keuangan / skema mengurangi
Obligasi Rekap.
Salam
perkenalan
Rekan-rekan,
perkenalkan nama saya Sutopo, tempat tinggal Jakarta
sudah
2 minggu saya mengamati tulisan rekan-rekan sekitar rencana
penghapusan
pencantuman marga, identitas anak bangsa dsb.
ternyata
ada yang peduli juga tentang Obligasi Rekap
Saya
juga sedikit mengamati masalah obligasi rekap ini.
Kalau
saya berpendapat bahwa melakukan akuisisi silang antar bank rekap
merupakan
blunder yang kedua kali, sekali lagi blunder tamatlah sang raja.
(
ikut istilah main catur).
Melakukan
rekap perbankan dengan menerbitkan recap bond
untuk
memperbaiki CAR ( Capital Adequate Ratio / Kecukupan Modal atas
Aktiva
Tertimbang menurut Resiko) sebenarnya adalah teknik pembukuan saja (
sebutlah
namanya "bond swap"). Tidak ada fresh money.
Namun
secara pembukuan sudah bisa menaikan CAR suatu bank.
Melakukan
rekap suatu bank atau apapun juga bisa melalui Saham
yang
dikenal dengan "Share Swap" namun hasilnya tidak efektif.
Apakah
dikira "bond swap" bisa efektif.
Bisa
: bagi Bank yang direkap, CAR akan naik, pendapatan juga naik
Namun
sebaliknya bagi Pemerintah: berarti suatu kebobolan bisa menimbulkan
kebangkrutan
jika tidak segera diatasi dengan seksama.
Seperti
yang Saudara Hok An katakan hal ini memerlukan pemikiran yang
mendalam,
memang benar sekali.
Bahkan
dipikirkan secara mendalampun tidak bisa ditemukan jalan keluarnya.
Kembali
kemasalah rekayasa pembukuan, nampaknya sepele namun
dampaknya
luar biasa.
Melakukan
akuisisi antar bank rekap tidak akan efektif, memang akan
menurunkan
jumlah obligasi rekap namun tidak signifikan, padahal ini akan
berakibat
pada rasionalisasi pegawai ( menambah pengangguran).
Yang
paling efektif yang harus dilakukan pemerintah dan semua unsur
yang
terkait adalah :
1.
Membukukan kembali ( reversing entry ) atas obligasi rekap.
berarti
pemerintah harus membeli kembali Obligasi Rekap.
Beruntung
dari Jumlah Rp.430 trilyun obligasi rekap yang keluar
dari
bank rekap ybs baru Rp.73,7 trilyun ( posisi Mei 2002) atau
masuk
dalam trading, berarti yang masih menjadi portfolio bank
rekap
masih lebih besar.
2.
Merekap dengan cara yang benar.
Dalam
skala yang kecil perusahaan yang membutuhkan tambahan
modal
bisa dilakukan melalui right issue / menerbitkan saham baru
Saham
baru yang terjual tersebut yang efektif menambah jumlah
modal.
Bank
yang direkap menerbitkan saham baru dan pembelinya
Pemerintah
Pemerintah
harus setor tunai / cash.
Jika
Pem tidak punya Cash maka kerjasama dengan BI
BI
akan mencetak uang tunai atas dasar jaminan dari Pemerintah
Bagaimana
bisa keluar dari blunder ?
a.
Melaksanakan butir 1 dan 2 diatas sekaligus.
b.
Dilakukan secara bertahap, harus ada koordinasi antara Pemerintah
(
melalui Menkeu) dan BI serta pihak terkait lainnya ( Mis. DPR )
Demikian
pendapat saya, jika ada pendapat lain yang penting untuk
kesejahteraan
bangsa ini perlu dihargai dan mohon maaf jika ada kata-kata
yang
tidak berkenan.
Sekian
Massage
334
From: Hokan@t-online.de
Date: Fri Jun 21,
2002 2:05 pm
Subject Re: [ICSCI]
Menyelesaikan Obligasi lewat Rekayasa Keuangan?
Maaf saya baru sempat jawab
sekarang.
Dalam masalah keuangan negara
menurut saya perlu ada penataan total. Bencana
obligasi bukan sebab satu2nya.
Sebetulnya devaluasi, sanering
dsbnya adalah masalah legitimasi dari pemerintah.
Kalau pemerintahnya (+DPR)
tidak diterima/diakui lagi oleh rakyatnya maka dengan
sendirinya rakyat merasa
dirampok.
Kalau pemerintah didukung
rakyatnya maka devaluasi, obligasi paksa dan sanering
adalah semacam pajak untuk
membiaya proyek bersama masyarakat yang namanya
negara. Pajak tidak lain
adalah manifestasi kepemilikan rakyat terhadap negara.
Langkah2 drastis seperti
ini bisa diputuskan secara reguler oleh DPR.
Saat ini sebetulnya pemerintah
ragu2 apakah rakyatnya mendukung atau tidak,
sebab itu masalah2 keuangan
negara disembunyikan terhadap rakyatnya.
Padahal obligasi yang begitu
besar jelas merupakan gelembung (buble) luar biasa
yang sudah merongrong berat
APBN dan sedang menyeret negara kearah bangkrut
terbuka seperti yang dialami
Argentina dan diramalkan BAPPENAS.
Sekarang saja NKRI sudah
tidak solven/likuid lagi. Kalau bank istilahnya harus
direkap.
Tapi masalahnya adalah siapa
yang harus dan mampu merekap?
Yang harusnya merekap tentu
rakyat sendiri.
Salah satu caranya misalnya
obligasi paksa atau sanering. Tetapi dalam keadaan
kepercayaan politik nol
dan ekonomi yang parah ini cara2 itu bisa2 menghancurkan
ekonomi dan negara secara
total.
Sebab itu memang harus dicari
gabungan dari beberapa therapi (yang tentu bukan
hanya rekayasa keuangan
konyol), dan juga serangkai bantuan luar negeri yang
cukup banyak/substantial
(menurut saya kalau bisa kira2 1/2 jumlah obligasi).
Tetapi baik masyarakat maupun
dunia international sudah pasti tidak memberi
bantuan dan legitimasi kepada
pemerintah RI kalau masih doyan korupsi, tidak
setia kepada negara hukum
dan sebagainya. Sebab itu sedikitnya pemerintah RI
harus segera jelas2 menunjukan
dan membuktikan kemauan politik untuk menegakkan
hukum dan memberantas KKN.
Kalau tidak ada kemauan politik
ini, kita semua perlu mengusahakan adanya
partai2 yang memperjuangkannya
dan membawa partai itu menjadi pemenang pemilu
berikutnya.
Salam damai
Hok An
Massage
315
From: Robert Adolf
Date: Fri May 31,
2002 8:17 am
Subject: Munafik (1)
Dikatakan munafik, siapa
yang tidak sakit hati.
Rasanya ingin mendamprat
orang yang mengatakan kita
munafik. Yang mana bila
diartikan sebagai sikap suka
berpura-pura. Sikap tersebut
sering dinyatakan dengan
sikap bermuka dua. Misalnya
menyatakan perang terhadap
korupsi tetapi sebenarnya
dia sendiri koruptor.
Bersuara nyaring mengatakan
komitmen membangun daerah,
tetapi diam-diam malah menguras
kekayaan daerah untuk
kepentingan sendiri. Kurang
lebih demikian gambaran
seorang munafik.
Sangat menyakitkan bila kita
ternyata adalah person
yang dimaksud. Sangat mengkhawatirkan
jika sikap
tersebut telah menjadi kebiasaan
dalam pergaulan
sehari-hari. Tetapi itulah
ciri manusia Indonesia.
Yang mengatakan ini bukan
orang bule atau orang asing
yang tidak suka dengan masyarakat
Indonesia. Bukan
juga sebagai ungkapan emosi
Gonzales, pengusaha
Spanyol baru baru ketipu
dengan mitra bisnisnya asal
Indonesia.
Justru yang mengatakan adalah
salah satu tokoh
intelektual berkaliber nasional.
Karyanya diakui
kalangan internasional.
Yang dimaksud adalah Mochtar
Lubis. Publik mengukuhkan
sebagai salah satu tokoh
pers nasional, sastrawan.
(sebagian) masyarakat
menghormatinya sebagai tokoh
intelektual nasional yang
sangat berkualitas. Di buktikan
dalam sejarah hidupnya
menghasilkan banyak karya
yang membuahkan penghargaan.
Yang mononjol adalah Magsaysay
Award for the Press
tahun 1953.
Sudah lama beliau mengatakan
itu, yaitu tahun 1977.
Dalam karyanya : Manusia
Indonesia. Dimana sikap
munafik sebagai ciri manusia
Indonesia yang pertama ia
sebutkan. Walau sudah 20
tahun lebih usia
pernyataannya, tampaknya
sedikit banyak masih
tercermin dalam sikap dan
perilaku sebagian manusia
Indonesia.
Sentimen kah beliau pada
bangsanya sendiri? Saya kira
tidak. Kecewa kah beliau
dengan perilaku sebagian
manusia Indonesia? Mungkin
ya. Yang pasti beliau tidak
bermaksud mengukuhkan identitasnya
dirinya sebagai
pengkhianat bangsa. Sama
sekali beliau tidak bermaksud
mencoreng wajah buruk profil
manusia Indonesia.
Saya kira dalam semangat
kedewasaan berpikir,
sebagaimana menjadi ciri
kaum intelektual, tentunya
kita tidak perlu menyikapi
pemikiran beliau secara
negatif. Setelah membaca
tuntas bukunya, saya tidak
melihat sedikit pun tujuan
mendiskreditkan bangsanya.
Sebab dalam tulisannya,
ia tidak mengambil jarak dari
obyek yang dianalisanya.
Dia tidak mengatakan misalnya
: Hei kamu, (kalian), orang
Indonesia... Melainkan
meleburkan dirinya menjadi
bagian tidak terpisahkan
dari identitas manusia Indonesia
yang dikatakannya
munafik. Dengan kata lain
Mochtar Lubis tidak ragu
mengatakan dirinya adalah
juga manusia munafik.
Saya pikir tidak banyak orang
mau menyebut dirinya
demikian. Sebaliknya yang
sering terjadi justru
mengatakan bukan saya yang
munafik, melainkan kamu, si
Badu, si...?? Siapa saja
yang penting bukan saya.
Bertolak dari kenyataan tersebut,
ada kalanya saya
berpikir sudah waktunya
dalam semangat menuju
pembaharuan Indonesia, kita
berani mengatakan apa
adanya untuk diri ini. “ya
betul... Saya seorang
munafik. Sekarang ijinkan
saya mengubah diri..."
Setidaknya itulah pesan
moral yang saya tangkap dari
tulisan Mochtar Lubis. Maka
di samping berbagai
julukan terhormat sudah
menyanding namanya, saya pun
ingin menambahkan sebagai
seorang REFLEKSIONIS.
Bahwa bangsa ini sedang mengalami
pendangkalan sikap
kritis dan kemampuan reflektif.
Demikian dikatakan
seorang tokoh pers, Pemimpin
Umum Harian Kompas, Jakob
Oetama dalam diskusi menandai
peluncuran buku : Menuju
Indonesia yang Demokratis,
Adil, dan Pluralis, di
Jakarta, Selasa 28 Mei 2002.
Yang dibutuhkan saat ini
bukan sekedar pencerdasan,
melainkan juga pencerahan,
pergulatan batin, dan pergulatan
intelektual yang
dimulai dari masing-masing
individu bangsa Indonesia.
Di tengah gelora semangat
otonomi daerah, sudah saat
kita mencoba meluangkan
waktu untuk berdiam diri
sejenak. Menggunakan waktu
berdiam tersebut untuk
bercakap dengan sang diri,
dengan mengajukan sejumlah
pertanyaan, sebagai langkah
awal memerangi kemunafikan
diri :
Pertama, sudah berapa lama
kita menipu diri sebagai
warga yang merasa siap mandiri
padahal sesungguhnya
masih perlu bantuan pihak
lain.
Kedua, sudah berapa lama
saya memvonis aparat daerah
sebagai pihak yang bermental
dan kualitas diri sangat
rendah. Sementara seharusnya
diri kita yang pertama
layak mendapat vonis tersebut.
Ketiga. Sudah berapa lama
kita menuntut perubahan
mental aparat daerah. Padahal
kita menyangkali diri
bahwa sesungguhnya mental
diri inilah yang harus
pertama di ubah.
Keempat... Masih banyak lagi...
Terserah kita hendak menjawab
berapa lama. Ukuran
waktu tidak menjadi penekanan.
Yang penting kita jujur
mengakui pernah dan mungkin
sedang berperilaku
munafik. Berbahagialah kita,
melalui refleksi kritis
seorang anak bangsa bernama
Mochtar Lubis, Jakob
Oetama, kita diinginkan,
saatnya sekarang bangkit
membenahi diri. Pembangunan
daerah sangat bergantung
kecintaan warga kepada daerahnya.
Dalam semangat
kebanggaan dan kencintaan
tersebut, sebelum membangun
daerah daerah, pertama kali
yang kita lakukan adalah
membenahi diri. Kiranya
komitmen tersebut dapat
tertanam melalui kebiasaan
melakukan refleksi....
Robert Adolf
Massage
316
Sebagai kelanjutan proses
perenungan dan reflektif
diri atas sikap munafik
sebagai ciri manusia seperti
dikatakan Moctar Lubis,
muncul kebanggaan diri untuk
tidak malu mengakui bahwa
sesungguhnya saya ini malu.
Malu karena masih memelihara
kemunafikan dalam diri
ini, malu sebagai bagian
dari komunitas bangsaa yang
masih terbiasa dengan kemunafikan.
Sudah terbiasa bergaul dengan
bergam etnis yang
menjadi ciri masyarakat
Indonesia. Bermitra bisnis
dengan rekan yang kebetulan
peranakan Tionghoa, Jawa,
Sunda. Tetapi di sisi lain
sulit menghindar dari
jebakan ketidaksadaran meremehkan
eksistensi mendasar
mitra kita tersebut. Terbukti
dalam cetusan makian,
gosip, isu negatif menyangkut
eksistensi suatu suku
bangsa... Misalnya mengatakan
: dasar x (menyebut
salah satu suku bangsa),
hanya bisa omong besar
saja...
Contoh sikap kemunafikan
juga tercermin dalam perilaku
politis bangsa ini (bersama
bangsa-bangsa lain), dalam
konteks pergaulan internasional,
adalah sikap enggan
mengakui Taiwan sebagai
negara. Tetapi negara ini
sangat mengharapkan kucuran
dana dari negara tersebut.
Mungkin dengan pembahasaan
lain sikap ini semakin
jelas : Ngga mau orangnya,
tapi mau duitnya.
Terlepas kita bisa terima
atau tidak kalau kenyataan
tersebut menjadi bagian
dari sikap dan perilaku kita,
menurut saya sudah waktu
menjadi kesepakatan bahwa
sikap diatas merupakan salah
satu keanehan sikap
pergaulan dalam lingkungan
masyarakat lokal maupun
komunitas dunia. Selanjutnya
kita pun perlu bertanya :
kenapa keanehan itu terjadi?
Sampai kapan kita
berkutat dengan keanehan
tersebut...?
Beberapa hari lalu saya beruntung
menemukan tulisan
Yopie Hidayat di Tabloid
Kontan No 34/VI/27 Mei 2002.
Bertajuk : “Munafik”. Konteksnya
berbeda dengan
refleksi kritis Mochtar
Lubis. Masih membicara seputar
pahlawan bulu tangkis yaitu
Hendrawan.
Dalam kesempatan ini saya
akan menulis ulang
pemikirannya. Apabila rekan-rekan
membacanya, mohon
saya jangan digugat dengan
argumen, terlalu memberi
perhatian kepada saudara-saudara
keturunan Tionghoa.
Sama sekali tidak. Tulisan
ini saya angkat dengan
tetap memperhatikan konteks
tema yang kita bicarakan :
Otonomi Daerah.
Bahwa diskriminasi pengakuan
status, mungkin hanya
sebagai kerikil dalam pelaksanaan
agenda pembangundan
derah. Namun, mari kita
mengakui bahwa kerikil
tersebut telah menciptakan
ketidaknyamanan dalam
proses interaksi. Selanjutnya,
mari kita mulai
menyingkirkan kerikil tersebut
melalui proses
refleksi.
" M u n a f i k "
(Yopie Hidayat)
Tak ada lagi perkara lain
yang lebih munafik dari pada
bagaimana negeri ini mengurusi
sebagian kawulanya yang
kebetulan bermata sipit,
berkulit kuning, dan disebut
dengan sangat menyakitkan
sebagai warga keturunan.
Coba tengok ketika Hendrawan
memenangi pertandingan
Ddi Guangzhou, Minggu lalu,
sehingga Thomas Cup tetap
menjadi milik Indonesia.
Tak sedikit manusia yang
merasa Indonesia melelehkan
air mata, tak peduli mata
itu sipit atau belok.
Kemenangan Hendrawan tentu
membuka hati banyak orang
bahwa kita juga punya warga
Cina yang lebih Indonesia
ketimbang beberpa gelintir
orang Jawa yang perlu
dirayu-rayu dulu sebelum
mau membela Indonesia. Tapi,
nasib Hendrawan sebelum
berangkat ke Guangzhou adalah
cermin kemunafikan nan tak
terbantahkan. Negeri ini,
setidaknya sebagian pejabatnya,
enggan memberikan
secarik pengakuan bahwa
Hendrawan adalah Indonesia.
Cuma karena ada campur tangan
Megawati, bereslah
status Hendrawan itu.
Beruntunglah Hendrawan. Ia
jagoan bulu tangkis.
Msalahnya, masih ada ratusan
ribu lainnya yang
kebetulan sial karena lahir
di sini. Mungkin orang tua
mereka dulu tidak ikut program
naturalisasi. Walhasil,
mereka yang lahir dan Cuma
tahu Indonesia, tanpa
sedikit pun bisa mengoceh
dalam Bahasa Mandarin,
sekarang menyandang status
sebagai stateless alias
tunawarganegara. Di sini
saja mereka tak masuk
hitungan, boro-boro di Cina
sana yang tentu tak merasa
punya kawula yang harus
diurusi.
Sabtu lalu, dalam sebuah
seminar, lagi-lagi kita
mendengar penegasan pejabat
bahwa Surat Bukti
Kewarganegaraan RI Sudah
dihapuskan. Pernyataan
semacam ini sebenarnya sudah
sering kita dengar.
Bahkan ada instruksi presiden
yang menegaskan
penghapusan diskriminasi
terhadap warga Tionghoa. Toh,
diskriminasi itu terus berjalan,
mungkin lantara warga
Tionghoa sudah lama pasrah
menjadi obyek pemerasan
birokrasi.
Sayang, hajatan Thomas Cup
Cuma ada dua tahun sekali.
Minggu depan orang sudah
lupa lagi tentang tangisan
haru yang tumpah di Guangzhou
itu.
* *
Sebagai penutup dua tulisan
ini, lagi-lagi saya ingin
sedikit berkomentar. Bukan
berarti kita harus terus
berada dalam tangis haru
bersama Hendrawan. Saatnya
kita pun mulai terbiasa
dengan sikap reflektif, yang
sesekali sulit menahan kucuran
air mata. Sesungguhnya
tangis Hendrawan pantas
disepakati sebagai tangis
bangsa Indonesia. Terutama
saat perilaku diskriminasi
masih sering terjadi.
Robert Adolf
From:
Robert Adolf
Date:
Fri Jun 28, 2002 8:18 am
Subject:
Premanisme Bank (1)
Preman
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua
arti.
Arti yang berkembang dan sudah dikenal dalam
masyarakat
: “sebutan kepada orang jahat (penodong,
perampok,
dsb). Umumnya preman di dominasi kelompok
pengangguran,
putus sekolah. Sasarannya pun umumnya
kaum
berduit.
Sulit
tidak pungkiri, bahwa premanisme telah menjadi
penyakit
masyarakat khususnya di strata menengah
bawah.
Seperti sering diberitakan, perampasan uang dan
HP
oleh kelompok kapan merah saat macet dijalanan.
Dari
pelaku yang ditangkap umumnya remaja putus
sekolah,
putus-asa, plus putus harapan. Mereka adalah
kelompok
masyarakat yang karena sebab tertentu tidak
terakomodasi
potensi dan sumber daya-nya di sektor
formal.
Terpaksa demi menunjang kehidupan, di tambah
tidak
ada pihak yang mempedulikan nasibnya, akhirnya
memilih
jalan kekerasan.
Umumnya
kita sepakat, sasaran/korban segala bentuk
premanisme
adalah kaum lemah. Baik lemah secara fisik
maupun
status dirinya di masyarakat. Sangat jarang
sasaran
preman diarahkan kepada tokoh masyarakat,
politikus,
profesional. Meski satu dua sering juga
kita
mendengar kasus pemerasan terhadap tokoh
terhormat
tersebut. Namun biasanya aparat berwenang
segera
bertindak.
Namun
perkembangan di masyarakat, muncul dan
berkembang
fakta yang cukup memilikukan. Bahwa
premanisme
juga telah melanda kelompok terhormat
terhormat
yang bernaung dalam institusi terhormat : B
A
N K. Sasaranya sama seperti preman jalanan, yaitu
kaum
lemah. Kalau boleh diidentifikasi yang menjadi
korban
umumnya para Pengusaha Kecil Menengah (PKM),
yang
dianggap merugikan suatu bank. Padahal PKM yang
dimaksud
adalah debitur. Repotnya, premanisme tersebut
merupakan
terjemahan dari kebijakan bank dalam
menyelesaikan
sejumlah kredit bermasalah.
Seperti
pernah dilansir media cetak, seorang PKM
menjadi
debitur bank x. Meski tokonya terbakar, ia
tetap
bayar cicilan. Suatu saat bank tersebut
dilikuidasi.
Dia tetap membayar cicilan, tapi bingung
mau
bayar kemana. Wong banknya sudah hilang dari
peredaran.
Ketimbang keliru membayar kepada pihak yang
tidak
jelas, yang diantisipasi bisa merugikan dirinya,
terpaksa
sang PKM menunda dulu membayar cicilannya.
Tetapi
tiba-tiba saja dia kejutkan saat di datangi
Debt
Collector untuk menagih hutang. Ngga
tanggung-tanggung
jumlah 300 juta. Bila tidak bisa
bayar,
hutangnya menjadi 800 juta.
Lah...
kalau begini bukankah bank juga berprilaku bak
seorang
preman. Kog sempat-sempatnya menjadi preman.
Padahal
banyak bank lagi bermasalah. Saat lagi citra
bank
lagi terpuruk sempat-sempatnya memiliki tindakan
ala
preman sebagai salah satu kebijakan.
Kalau
demikian, apa bedanya premanisme bank dengan
premanisme
jalanan? Jelas sekali bedanya. Premanisme
jalanan
adalah salah satu bentuk tindakan kriminal
pidana.
Yang mana pelakunya bila tertangkap bisa
langsung
diproses secara hukum. Tetapi premanisme bank
mencoba
berlindung pada suatu hukum dan kebijakan.
Sehingga
bila debt collector yang mengatasnamakan
suatu
bank jelas-jelas melakukan intimidasi, jangan
harap
masyarakat sebagai korban bisa memperkarakan
bank
tersebut di pengadilan.
Sebagai
praktisi, meski tidak berurusan langsung
dengan
kredit, hati ini sempat panas mendengar sinisme
sebagian
masyrakat bahwa bank telah berpraktek preman.
Namun,
saya pun sulit membela institusi tempat saya
mengais
rejeki, bahwa tuduhan tersebut keliru. Sebab
premanisme
bank itu ada. Bahwa debt collector, yang
kerap
bertindak ala preman, meski keberadaannya di
luar
mekanisme formal penyelesaikan kredit,
keberadaanya
sulit dihindari.
Bersambung
....
Robert
Adolf
Premanisme
Bank (2)
Suatu
hari saya berdiskusi dengan seorang kawan di
suatu
bank yang kebetulan menangani kredit ritel dan
konsumsi.
Ia tahu betul seluk-beluk debt collector
(DC).
Menangggapi sinisme masyarakat akan perilaku
bank
yang mengerahkan debt collector, ia menjawab :
“Salahnya...
Kenapa mau jadi pengusaha kecil?”.
Cukup
terkejut mendapat jawaban tersebut. Tetapi
setelah
saya tangkap maksudnya adalah pengusaha kecil
dan
menengah (PKM) yang menghadapi tunggakan angsuran.
Memang
umumnya yang menjadi sasaran DC dua pihak,
pertama
debitur (penerima kredit) yang masuk dalam
kelompok
usaha kecil menengah. Kedua, debitur
individu.
Untuk
debitur korporat (perusahaan besar) yang
bermasalah
biasanya jarang DC berani masuk. Apalagi
kalau
debitur tersebut punya akses ke orang “kuat” di
negeri
ini. Pihak DC akan pikir panjang. Kecuali DC
itu
sendiri punya bekengan orang kuat juga. Persis dan
mirip
dengan praktek preman jalanan. Dimana berlaku
hukum
rimba. Menyelesaikan persoalan dengan kekuatan
fisik
dan keberutalan. Karenanya maksud rekan dekat
tersebut
di atas semakin jelas. Sasaran empuk adalah
pihak
lemah.
Berkembangnya
praktek DC merupakan akibat dari suatu
efek
domino. Berawal dari usaha debitur yang bangkrut.
Berakibat
debitur gagal menyelesaikan kewajibannya
dengan
pihak bank. Meski sudah ada agunan, ternyata
proses
penyitaan agunan tidak mudah. Ada prosedur yang
harus
dijalani dengan melibatkan berbagai pihak.
Sementara
bank itu sendiri di kejar target
penyelesaikan
kredit bermasalah.
Pada
prinsipnya bank pun ingin terhindar penyelesaikan
yang
berlarut-larut. Bank ingin kredit yang diberikan
kepada
debitur segera kembali. Plus bunanya tentu.
Bila
usaha tersebut terkatung-katung terpaksa
melibatkan
pihak ketiga, yang sering dikenal DC.
Kebetulan
ada DC menjanjikan proses penyelesaian yang
cepat,
tidak berkepanjangan, dan menjanjikan tingkat
keberhasilan
yang diharapkan bank. Bahkan ada juga DC
yang
berani bayar dulu ke pihak bank. Itu berarti
pihak
DC sudah mengkalkulasi tingkat keberhasilan
menanggih
hutang kepada debitur. Sehingga berani
menalangi
dulu.
Dijanjikan
tersebut sudah pasti bank setuju. Mengenai
bagaimana
DC menyelesaikan dengan pihak debitur, bank
tidak
ikut campur. Meski diantara bank dengan DC
sudah
ada kesepakatan bisnis. Bank tidak mau tahu
dengan
urusan kerja DC.
Namun
sulit dihindari kalau petugas DC di lapangan
bertindak
atas nama bank. Sehingga seakan bahwa
penggunaan
DC adalah kebijakan bank. Padahal sangat
jarang
pihak bank yang mengikat kerja sama resmi
dengan
pihak DC dalam menyelesaikan kredit macet atas
debiturnya.
Termasuk bertanggungjawab atas segala
risiko
tindakan para DC.
Biasanya
untuk memperlancar aksinya para DC dilengkapi
surat
kuasa dari bank. Sementara surat kuasa tersebut
baru
diakui bank dalam kondisi sangat terpaksa, bila
ada
pihak tertentu yang punya power menekan bank
tersebut.
Tetapi meski bank sudah mengeluarkan surat
kuasa,
tidak otomatis bank akan bertanggungjawab atas
dampak
perilaku para DC di lapangan.
Karena
“perangkat kerja” para DC di lapangan terbatas,
juga
mentalitas yang tidak seragam, umumnya yang
berhasil
digarap para DC adalah PKM bermasalah yang
benar-benar
“lemah”. Lemah dalam arti tidak punya
kekuatan
pendukung, koneksi dengan kekuasaan. Beda
jika
debitur tersebut memiliki “perangkat” memadai
untuk
menghadapi para DC. Sehingga umumnya yang
menjadi
korban DC adalah PKM, individu, yang tidak
punya
dukungan.
Bersambung...
Premanisme
Bank (3---selesai)
Prospek
Ke Depan
Kalau
dipertanyakan, apakah premenisme ala bank akan
terus
berlanjut? Tampaknya akan sulit dihindari
praktek
Debt Collector (DC), yang menimbulkan istilah
:
Premanisme Bank, di masa mendatang akan berkurang.
Artinya,
bila pemanfaatan DC menjadi salah satu
kebijakan
umum yang digunakan bank, sangat mungkin
premanisme
bank akan terus berlanjut. Apalagi bila
usaha
memakai DC dianggap berhasil. Dalam arti debitur
(penerima
kredit dari bank) takut dan jera, sehingga
segera
melunaskan kreditnya.
Sementara
yang menjadi sasaran lagi-lagi pihak lemah
macam
Pengusaha Kecil dan Menengah (PKM), debitur
individu.
Apalagi belakangan ini penawaran kredit
konsumsi
semakin gencar. Meningkatknya kredit macet
atas
kredit konsumsi tersebut umumnya signifikan
dengan
total outstanding kredit konsumsi tersebut.
Sementara
yang memanfaatkan kredit konsumsi biasanya
adalah
para individu. Berarti peluang suatu kredit
bermasalah
untuk kelompok individu tetap terbuka
lebar.
Tidak
terkecuali dengan pihak PKM. Menyoroti jumlah
hutang
PKM, ada dugaan data sebagai berikut : 4.8
trilun
ada di BPPN ; 10.3 triliun di tangani Dirjen
Piutang
dan Lelang Negara ; 4.8 triliun ; 44,4 triliun
di
sejumlah bank. Total 59.5 triliun. Suatu jumlah
yang
cukup mengundang decak kagum, saking banyaknya
Pertanyaannya,
seandainya dari jumlah hutang tersebut
ada
yang bermasalah, apakah akan ditempuh secara
proseduran
atau di “luar” itu. Yang berarti
menggunakan
cara DC? Jawabannya, tergantung proses
penyelesaiannya.
Bank akan menggunakan jasa DC bila
proses
penagihan berlarut-larut. Apalagi kalau bank di
kejar
target.
Jadi
dapat disimpulkan, premanisme bank tidak bisa
dilepaskan
dari ketidakmampuan debitur menyelesaikan
tagihan.
Sehingga sedikit banyak, bank berusaha
mencari
“pembenaran” atau alasan logis menempuh cara
di
luar prosedur. Mengingat target uang kembali plus
bunga.
Sementara
dari sisi debitur, khususnya PKM,
persoalannya
bukan tidak mau bayar. Tetapi belum
sanggup.
Karena usaha lagi seret. Menyikapi kegagalan
usaha
para PKM, ada lagi sinisme yang mengatakan di
negara
yang katanya bernama Indonesia sulit bagi PKM
untuk
bernapas dan mengembangkan usaha. Begitu sang
PKM
mencoba mengembangkan usaha dia akan terbentur
oleh
2 kondisi. Pertama, keterbatasan modal. Ini bisa
di
atasi jika punya akses ke bank dengan mengajukan
kredit.
Kedua, begitu dia berusaha berkembang, baik
melalui
dana kredit bank maupun hasil tabungan
sendiri,
langsung “disikat” pengusaha yang sudah mapan
dan
kuat modalnya. Dengan alasan takut pangsa pasarnya
terancam.
Repotnya, umumnya pengusaha yang sudah mapan
tersebut
dekat dengan kekuasaan.
Catatan
Penutup
Tampaknya
mengurangi praktek premanisme bank yang
menggunakan
DC, akan sulit dihindari. Namun yang bisa
kita
hindari adalah berhadapan dan menjadi korban DC.
Kondisi
tersebut terjadi bilamana kita sanggup menjadi
debitur
yang baik dalam arti yang sederhana, cicilan
tagihan
tetap lancar.
Tentunya
kalau kita tetap punya idealisme ingin
berjuang
menghapus aksi para premanisme yang
mengatasnamakan
bank, tidak bisa tidak menggalang
kekuatan
dan kekompakkan di antara sesama debitur.
Saat
ini belum ada wadah yang menampung dan
memperjuangkan
hak-hak para debitur bank khususnya
macam
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Diharapkan
suatu saat akan ada pihak yang mempelopori
terbentuknya
lembaga tersebut. Dimana lembaga tersebut
bersedia
komitmen membela debitur/nasabah.
Satu
lagi yang bisa disharingkan di sini adalah,
sebagai
PKM maupun individu, yang paling aman adalah
JANGAN
BERHUTANG kepada bank. Walaupun di negeri yang
katanya
bernama Indonesia termasuk negara penghutang
terbesar
di dunia, tidak otomatis warganya pun harus
(dan
akan) menjadi penghutang. Kalaupun sudah
terlanjur
memiliki hutang, kontrol diri baik-baik agar
tetap
memiliki likuiditas setiap saat membayar
tagihan.
Meski saya sendiri adalah orang bank (plus
merangkap
nasabah maupun debitur) tetap saya perlu
ingatkan
juga, bahwa bank sering bermuka dua. Hari ini
menjadi
malaikat yang baik hati yang menawarkan
sejumlah
uang. Besoknya sudah berganti wajah bak
preman
jalanan.
Robert
Adolf
Tanngapan
From:
Sutopo
Date:
Fri Jun 28, 2002 6:36 pm
Subject:
Re: Premanisme Bank
Jika
preman hanya takut pada petrus (tulisan terdahulu) preman bank alias
debt
collector hanya takut pada siapa ? karena DC dilindingi oleh
institusi
yang memeliharanya (bank ? / perusahaan yang bergerak dalam
bidang
keuangan) artinya tidak selalu DC tsb adalah DC dari Bank,
perusahaan
non bank mungkin juga banyak yang menggunakan DC.
Apakah
BI melarang bank menggunakan DC untuk menagih uang kepada Debitur
nakalnya
?
Sejauh
ini rasanya belum ada larangan / peraturanya.
Apakah
jika diaudit oleh BI atau Akuntan Publik bisa ditemukan
DC
dibawah Divisi atau Bagian apa , berapa biaya yang dikeluarkan oleh
Bank
untuk membayar DC tidak akan diketemukan oleh auditor.
Hanya
bankir yang bodoh tentunya jika sampai ada pos dimaksud.
Sangat
sulit memang,
Bisakah
sang auditor menemukan berapa jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk
DC ?
Sangat
diragukan untuk bisa menemukannya
Mungkin
auditor yang sedikit agak jeli hanya bisa membayangkan jika
pemerintah
saja mengembangkan dana yang namanya dana non budgeter
apakah
di perusahaan juga ada dana non budgeter. Kebanyakan tidak ada, yang
ada
Petty Cash, Perjalanan Dinas, Jamuan ( tamu), Iklan/Promosi
dsb.
Jadi
jika rekan kita Robert pesimis rasanya bisa dimengerti
sekian
|