Menuju Hati Yang Bersih
Bersih Ibadah

Home

Bersih Aqidah
Bersih Ibadah
Bersih Akhlaq
Bersih Harta
Foto
Bersih Tujuan Hidup
Kisah dan Hikmah

SIFAT DAN TATA CARA SHOLAT

Sifat shalat

Shalat adalah ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Apabila ingin menunaikan shalat, seseorang wajib wudhu jika dalam keadaan hadast kecil. atau mandi jinabat jika dalam keadaan hadast besar. Bila tidak, mendapatkan air, atau dengan menggunakannya dapat membahayakan dirinya, ia boleh bertayamum. Ia harus pula membersihkan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis.

Tata Cara Shalat

  1. Menghadap kiblat dengan seluruh badannya, tanpa berpaling atau menoleh.

  2. Niat shalat yang ingin ditegakkannya dalam hati, tak usah diucapkannya dengan lisan.

  3. Takbiratul ihram dengan membaca (Allahu Akbar), bersamaan dengan itu mengangkat kedua tangan setinggi (sejajar) dengan kedua pundak.

  4. Meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, diatas dada.

  5. Membaca do'a Iftitah, seperti:

    , , .



    Artinya : "Ya Allah jauhkanlah antara aku dengan dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkaniah aku dari dosa-dosa sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, es dan embun'.

    Atau membaca:

    , ,


    Artinya "Maha suci Engkau ya Allah dan puji untukmu, maha suci namamu, maha tinggi keagungan-Mu, dan tidak ada Illah (yang berhak disembah) selain Engkau".

  6. Membaca ta'awudz yakni : Artinya: 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk'.

  7. Membaca basmalah dan al fatihah. Artinya : 'Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Maha pemurah lagi maha penyayang, Yang menguasai hari pembalasan..Hanya kepada Engkaulah kami meyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat'.
    Kemudian membaca:


    (Ya Allah, kabulkanlah).

  8. Membaca ayat atau surat dari Al Qur'an. Dan pada shalat subuh disunnatkan memanjangkan bacaan Al Qur'an.

  9. Ruku' yaitu sebagai bentuk pengagungan kepada Allah ta'ala. Ketika hendak ruku' membaca takbir dan mengangkat kedua tangan sebatas pundak. Disunnahkan untuk meluruskan punggung pada waktu ruku', demikian halnya dengan kepala, dan menjadikan kedua tangannya bertumpu diatas kedua lutut dan jari-jari terbuka.

  10. Ketika ruku' membaca:


    (Maha suci Robbku yang maha agung) sebanyak tiga kali.

  11. Mengangkat kepala dari ruku' sambil membaca:


    (Allah maha mendengar kepada hamba-Nya yang memuji-Nya).

    Ketika itu ia mengangkat kedua tangannya sebatas pundak. Makmum tidak membaca, sebagai gantinya ia membaca:


    (ya Robb kami, bagimu segala puji).

  12. Setelah menurunkan tangan membaca:



    Artinya 'Ya Robb kami bagi-Mu segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi serta sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu'.

  13. Sujud dengan khusyu' kepada Allah. Ketika hendak sujud membaca (Allah maha besar). Sujud itu dengan tujuh anggota badan. Yaitu kening dan hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung jari telapak kaki. Melonggarkan kedua lengan dari anggota badan dan tidak meletakkan kedua siku tangan diatas lantai serta menjadikan ujung jari-jari menghadap kiblat.

  14. Dalam sujud membaca:


    (Maha suci Robbku yang maha tinggi), tiga kali. Lebih baik jika menambah bacaan dengan:

    ,

    Artinya : 'Maha suci Engkau ya Allah Robb kami dan dengan pujimu, ya Allah ampunilah aku'.

  15. Mengangkat kepala dari sujud seraya membaca:

    (Allah maha besar)

  16. Duduk antara dua sujud di atas telapak kaki kiri dan menegakkan telapak kaki kanan. Meletakkan tangan kanan diatas ujung paha kanan (di atas lutut). Menggenggam jari kelinking diantara jari manis mengangkat jari telunjuk dan menggerakkannya diwaktu berdo'a. sedang ibu jari dikait dengan jari tengah sehingga membentuk seperti lingkaran. Sedangkan tangan kiri diletakkan diatas ujung paha kaki kiri dengan jari-jari terhampar lurus.

  17. Dalam duduk antara dua sujud. Membaca


    (Ya Robbku, aku memohon kepadamu ampunan, rahmat, petunjuk dan rizki, serta cukupkanlah aku dan berilah aku kesehatan).

  18. Sujud kedua dengan khusyu', seperti sujud yang pertama baik dalam bacaan maupun gerakan, dan membaca takbir ketika sujud.

  19. Bangkit dari sujud kedua dengan membaca Allahu Akbar (Allah maha Besar). Lalu mengerjakan raka'at kedua seperti raka'at pertama dalam ucapan dan gerakan , hanya saja pada raka'at yang kedua tidak membaca do'a iftitah.

  20. Duduk setelah usainya raka'at kedua dengan membaca Allahu Akbar dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud.

  21. Membaca Tasyahhud saat duduk, yakni yang artinya: "Segala pengagungan, penghormatan serta kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan atasmu wahai Nabi, juga anugerah dan berkahnya. Semoga keselamatan atas kami dan atas hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang patut disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas Muhammad saw dan keluarganya, sesungguhnya engkau maha terpuji dan maha mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrohim beserta keluarganya. Sesungguhnya Engkau maha Terpuji dan maha Mulia. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta fitnah al masih ad dajjal'.
    Kemudian berdo'a kepada Allah apa saja yang diinginkan dari kebaikan dunia dan akherat.

  22. Lalu mengucap salam Assalamualaikum warahmatullahi wa barakaatuhu
    (semoga keselamatan dan rahmat Allah atas kamu sekalian).
    Dengan menoleh kekanan lalu mengucapkan salam yang sama, dengan menoleh kekiri.

  23. Apabila shalat tersebut tiga atau empat raka'at, ketika duduk tasyahud awwal ia berhenti membaca do'a hanya sampai pada:
    Asyhadu An Laa ilaha illAllah wa Asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu.

  24. Kemudian bangkit berdiri dengan membaca Allahu Akbar serta mengangkat tangan sebatas pundak.

  25. Melanjutkan pekerjaan shalat yang tersisa sebagaimana pada raka'at kedua tetapi ia hanya membaca Al fatihah ketika berdiri.

  26. Duduk tawarruk yakni menegakkan telapak kaki kanan dan mengeluarkan telapak kaki kiri dari bawah betis kaki kanan dengan menjadikan lantai tempat bertelekan. Sedangkan kedua tangan diletakkan di atas ujung kedua paha dengan cara sebagaimana pada tasyahhud awal.

  27. Dalam sujud ia membaca seluruh do'a tasyahud.

  28. Mengucapkan salam dengan menoleh kesamping kanan, lalu menoleh lagi kekiri dengan mengucapkan salam yang sama.


Salat dalam perjalan itu memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri, kami sebutkan sebagai berikut.


  1. Mengqashar Salat yang Empat Raka'at

    Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqashar salat, kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir."

    Alasan karena khawatir gangguan buat dibolehkannya mengqashar itu, di sini tidak dipakai, berdasarkan keterangan dari Ya'la bin Umaiyah, katanya:
    Saya bertanya kepada Umar bin Khattab, "Bagaimana pendapat Anda tentang mengqashar salat, berhubung firman Allah, 'Kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir'." Jawab Umar, "Hal yang kamu kemukakan itu juga menjadi pertanyaa bagi saya, hingga saya sampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, 'Itu merupakan sedekah yang dikurniakan Allah kepadamu semua, maka terimalah sedekah itu'!" (HR Jama'ah).

    Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jureir dari Abu Munib al-Jarsy, bahwa pada suatu ketika Ibnu 'Umar ditanya perihal firman Allah yang tersebut di atas, berhubung sekarang keadaan sudah aman dan tak perlu khawatir kepada siapa pun. Apakah masih boleh mengqashar salat? Ujar Ibnu Umar: "Cukuplah bagimu Rasulullah saw menjadi teladan yang sebaik-baiknya."

    Dan dari Aisyah katanya: "Mula-mula salat itu diwajibkan dua dua raka'at di Mekah. Setelah Rasulullah saw pindah ke Madinah, yang dua raka'at itu ditambah dua lagi, kecuali Maghrib karena ia merupakan witirnya siang, begitu pula salat Fajar atau Shubuh karena bacaaannya panjang. Maka jikalau beliau bepergian, beliau pun salat sebagaimana yang dulu-dulu, yakni yang difardukan di Mekah. (Riwayat Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, serta perawi-perawinya dapat dipercaya).

    Ibnul Qoyyim berkata: "Jikalau bepergian, Rasulullah saw selalu mengqashar salat yang empat raka'at dan mengerjakannya hanya dua-dua raka'at, sampai beliau kembali ke Madinah. Tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap melakukan empat raka'at. Hal itu tidak menjadi perselisihan bagi imam-imam, walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar dan Jabir menetapkan bahwa hukumnya wajib, dan hal ini juga dianut oleh mazhab Hanafi. Maliki menetapkannya sebagai sunnah muakkad. Dan lebih ta'kid lagi dari salat berjamaah, sehingga apabila seorang musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjama'ah, hendaklah ia salat secara perorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya mencukupkan empat raka'at dan bermakmum kepada orang mukim. Menurut golongan Hambali, mengqashar itu hukumnya jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakan. Demikian juga pendapat golongan Syafi'i, kalau memang sudah mencapai jarak boleh mengqashar.

  2. Jarak Bolehnya Mengqashar

    Menurut ayat tersebut di atas dapat diambil keterangan bahwa pada setiap bepergian, pendeknya apa yang dikatakan menurut bahasa bepergian, biar jauh ataupun dekat, boleh dilakukan mengqashar itu. Selain itu boleh pula dilakukan jama' serta berbuka, yakni tidak melakukan puasa wajib. Tidak sebuah hadits pun yang menyebutkan batas jauh atau dekatnya bepergian itu. Ibnul Mundzi dan ulama yang lain menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini. Di sini akan kita cantumkan yang lebih kuat, yaitu:

    Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bin Yazid, katanya:

    "Saya bertanya kepada Anas bin Malik perihal mengqashar salat. Ujarnya: 'Rasulullah saw bersembahyang dua raka'at kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga farsakh'."

    Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab al-Fath, bahwa inilah hadits yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak bepergian yang dibolehkan mengqashar itu."

    Keragu-raguan soal mil atau farsakh dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudry, katanya:
    "Apabila Rasulullah saw bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar salat." (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhis dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).

    Sebagaimana diketahui satu farsakh itu sama dengan tiga mil. Maka hadits Abu Said ini cukup menghilangkan keragu-raguan yang terdapat dalam hadits Anas dan menyatakan bahwa Rasulullah saw telah melakukan qashar jika beliau bepergian dalam jarak sedikit-dikitnya sejauh tiga mil. Satu farsakh adalah 5541 meter sedang satu mil 1748 meter.

    Adapula yang mengatakan bahwa sedikitnya jarak mengqashar itu adalah satu mil, hadits yang menjadi alasannya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sah dari Ibnu Umar. Pendapat inilah yang dianut oleh Ibnu Hazm. Dan sebagai alasan tidak boleh mengqashar bila kurang dari 1 mil, dikemukakannya bahwa Nabi saw pergi ke Baqi' untuk menguburkan orang-orang yang meninggal dan keluar ke suatu padang untuk membuang hajat, tapi salatnya tidak diqasharnya. Adapun syarat yang dikemukakan oleh ahli fiqh bahwa boleh mengqashar itu hanyalah pada perjalanan jauh, dengan jarak sekurangnya dua atau tiga marhalah --ada dua pendapat--, maka untuk menolaknya cukuplah uraian yang dikemukakan oleh Imam Abu Kasim al-Kharqy dalam buku al-Mughni, katanya: "Saya tak dapat menemukan alasan dalam pendapat imam-imam itu, sebab keterangan-keterangan dari para sahabat juga saling bertentangan hingga karenanya tak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil. Dan sebagai diketahui, pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menyalahi pendapat mereka, dan umpama menyetujuinya tetapi ucapan para sahabat itu taklah dapat diambil alasan di depan ucapan Nabi dan perbuatan beliau. Dengan demikian, tak dapatlah diterima ukuran jauh yang mereka sebutkan itu disebabkan dua hal. Pertama, karena menyalahi sunah Nabi saw yang tersebut dulu, dan kedua karena lahirnya firman Allah Ta'ala membolehkan qashar bagi orang yang dalam perjalanan sebagai berikut: "Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tak ada salahnya bila kamu mengqashar sholat."

    Syarat karena takut sudah dapat dihilangkan karena hadits Ya'la bin Umaiyah. Maka tinggallah lahir ayat itu yang mencakup segala macam bepergian, pendeknya asal sudah disebut bepergian.

    Mengenai sabda Nabi saw yang membolehkan seorang musafir itu mengusap khuf atau sepatunya selama tiga hari, maka hadits itu hanya menyatakan lama bolehnya menyapu, hingga tak mungkin diterapkan dalam masalah ini, sebab soalnya berlainan. Lagi pula bepergian jarak dekat dapat saja ditempuh dalam tiga hari. Sedang ini oleh Nabi saw masih dinamakan bepergian juga, sebagaimana sabda beliau: "Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian bepergian selama sehari perjalanan kecuali dengan muhrimnya."

    Kedua, menetapkan batas ukuran itu tidaklah dapat hanya dengan pendapat manusia semata tanpa dasar atau persamaan yang dapat dikiaskan. Maka alasan yang kuat berada di pihak orang yang membolehkan qashar bagi setiap musafir, kecuali bila ijma' menentangnya. Dan dalam hal ini tak ada bedanya bepergian itu dengan kapal terbang, kereta api dll. Juga baik perjalanan itu dengan tujuan menunaikan perintah Allah atau untuk maksud-maksud lain. Dan termasuk pula dalam bepergian, orang-orang yang usaha atau mata pencahariannya mengharuskannya selalu dalam perjalanan, seperti pelaut, kondektur kereta api, dll, sebab pada hakikatnya itu juga berarti bepergian. Oleh sebab itu ia boleh mengqashar, berbuka puasa dll.


Tempat Dibolehkanya Mengqashar

Jumhur ulama berpendapat bahwa mengqashar salat itu dapat dimulai setelah meninggalkan kota dan keluar dari daerah lingkungan. Ini merupakan syarat dan seorang musafir diharuskan lagi mencukupkan salatnya, baru kalau ia sudah memasuki rumah pertama di daerahnya itu. Berkata Ibnul Mundzir: "Saya tidak menemukan sebuah keteranganpun bahwa Nabi saw mengqashar dalam bepergian kecuali setelah keluar dari Madinah."

Anas berkata: "Saya sholat dhuhur bersama Rasulullah saw di Madinah empat raka'at dan Dzul Hulaifah dua raka'at." (Riwayat Jama'ah).

Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa seorang yang telah berniat hendak bepergian sudah boleh mengqashar salatnya, walaupun ia masih berada di rumahnya.

Kapan Seorang Musafir Mencukupkan Salatnya

Seorang musafir itu boleh terus mengqashar salatnya, selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim di suatu tempat karena suatu keperluan yang hendak diselesaikannya, maka ia tetap boleh mengqashar, sebab masih terhitung dalam bepegian, walaupun bermukimnya di sana sampai bertahun-tahun lamanya. Adapun kalau ia bermaksud hendak bermukim di sana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang terkuat yang dipilih Ibnul Qoyyim, bermukimnya itu belum lagi menghilangkan hukum bepergian, baik lama atau sebentar, selama ia tidak berniat hendak menjadi penduduk tetap di sana itu. Dalam hal ini para ulama mempunyai berbagai-bagai pendapat dan diringkas oleh Ibnul Qoyyim sambil memperkuat pendapatnya sendiri sebagai berikut:
"Rasulullah saw bemukim di Tabuk selama dua puluh hari dan terus-menerus mengqashar salat dan tidak pernah mengatakan kepada ummatnya supaya tiada seorang pun mengqashar salat bila lebih lama bermukim dari waktu itu, hanya kebetulan saja lama bermukim Nabi saw itu dua puluh hari. Bermukim dalam waktu sedang bepergian tak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik lama atau sebentar, asal saja ia tidak bermaksud hendak menetap di sana sebagai penduduk. Di kalangan ulama-ulama salaf dan khalaf, banyak terdapat pertikaian mengenai masalah ini. Dalam shahih Bukhari dari Ibnu 'Abbas katanya: "Nabi saw bermukim dalam salah satu perjalanannya selama sembilan belas hari dan selalu salat dua raka'at. Maka kami pun kalau bermukim dalam perjalanan selama sembilan belas hari, kami akan tetap mengqashar dan kalau lebih dari itu, akan kami cukupkan."

Menurut lahirnya ucapan Ahmad, yang dimaksud oleh Ibnu Abbas itu adalah bermukimnya Nabi saw di Mekah di waktu kota itu dibebaskan. Tetapi, sebenarnya bermukimnya di Mekah itu lamanya delapan belas hari, sebab beliau akan melanjutkan perjalanan ke Hunain dan di sana tidak bermaksud akan bermukim. Inilah bermukimnya Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas itu. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud Ibnu Abbas ialah ketika bermukimnya Nabi saw di Tabuk, sebagai yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah katanya:
"Nabi saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan selalu mengqashar salatnya." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya).

Mishwar bin Mahramah berkata: "Kami bermukim dengan Sa'ad di salah satu desa di wilayah Syam selama empat puluh hari. Selama itu Sa'ad tetap mengqashar, tetapi kami mencukupkan." Nafi berkata: "Abdullah bin Umar bermukim di Azerbaijan enam bulan dan tetap salat dua raka'at ketika tertahan oleh salju waktu memasukinya." Hafash bin Ubaidullah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam dua tahun dan terus salat sebagai seorang musafir. Dan menurut Anas, para sahabat Nabi saw bermukim di Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar salat, sedang menurut Hasan, ia bermukim dengan Abdurrahman bin Samurah di Kabul selama dua tahun, dan Abdurrahman terus mengqashar tetapi tidak menjama'. Kemudian Ibrahim mengatakan pula bahwa para sahabat pernah bermukim di Rai selama satu tahun atau lebih dan di Sajistan selama dua tahun. Nah, inilah dia petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah saw dan dicontohkan oleh para sahabatnya dan memang itulah yang benar. Adapun pendapat orang-orang itu, di antaranya ialah yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bahwa jika seorang berniat hendak bermukim selama empat hari, maka harus mencukupkan salatnya, dan kalau kurang masih boleh mengqashar. Mengenai hadits Nabi saw dan perbuatan para sahabat itu mereka menafsirkannya bahwa baik Nabi saw maupun para sahabat, tidak bermaksud akan bermukim, tetapi mereka selalu mengatakan: "Hari ini atau esok kita akan pergi."

Tetapi dalam hal ini ada satu hal yang harus menjadi perhatian, yaitu bahwa Rasulullah saw membebaskan kota Mekah --sebuah kota yang sudah sama dimaklumi keadaannya-- dan bermukim di sana adalah dengan tujuan hendak mengokohkan asas-asas keislaman serta menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan dan mempersiapkan segala sesuatu bagi orang Arab sekelilingnya. Pekerjaan seberat itu tentulah memerlukan waktu berhari-hari dan tidak cukup hanya sehari dua saja. Demikian pula waktu di Tabuk untuk menantikan kedatangan musuh, karena antara Tabuk dan tempat kediaman musuh jaraknya bermil-mil. Nabi saw tentu maklum, bahwa untuk maksud tersebut tidak cukup waktu empat hari saja. Demikian pula ketika Umar bermukim di Azerbaijan selama enam bulan dan tetap mengqashar sebab terhalang oleh salju. Teranglah sudah bahwa salju itu tidak akan cair hingga jalan akan terbuka didalam waktu empat hari. Juga Anas yang bermukim di Syam selama dua tahun serta sahabat-sahabat yang bermukim di Ramhurmuz tujuh bulan dengan tetap mengqashar, tentulah mereka mengerti bahwa mengepung musuh dan berperang itu tidak cukup dalam waktu empat hari pula.

Sahabat-sahabat Imam Ahmad mengatakan dalam pada itu, bahwa kalau bermukim untuk berjihad atau dipenjarakan oleh pihak penguasa atau sebab sakit, maka boleh mengqashar, baik bermukim itu menurut taksiran akan berjalan lama atau sebentar. Ini memang suatu pendapat yang benar. Tetapi anehnya, mereka mengemukakan pula suatu syarat yang sama sekali tidak berasal dari kitabullah, dari sunah Nabi atau ijma' dan tidak pula dari amal perbuatan salah seorang sahabat. Kata mereka syaratnya itu ialah bahwa dalam takaran itu hendaknya ada kemungkinan bahwa urusan itu akan dapat selesai dalam waktu yang tidak menghapus hukuman bepergian, yakni dalam waktu yang kurang dari empat hari.

Sekarang baiklah kita ajukan suatu pertanyaan pada mereka. Dari manakah tuan-tuan peroleh syarat tersebut, padahal Nabi saw sendiri, ketika beliau bemukim lebih dari empat puluh hari, dan tetap mengqashar salat, baik di Mekah maupun di Tabuk, tak pernah mengatakan suatu apa pun dan tak pula menerangkan bahwa beliau tidak bermaksud akan bermukim lebih dari empat hari, padahal beliau mengetahui bahwa perbuatan beliau akan menjadi contoh dan teladan bagi umat, dan bahwa mereka akan mengqashar pula di waktu mukim? Ternyata tidak sepatah katapun keluar dari mulut beliau yang melarang qashar bila bermukim lebih dari empat hari itu, padahal penjelasan mengenai ini amat diperlukan sekali. Begitu pula halnya perbuatan para sahabat di belakang yang mengikut Nabi saw tidak pula mereka mengatakan suatu apa kepada orang-orang yang mengqashar bersama mereka.

Mengenai pendapat Malik dan Syafi'i, kedua imam ini mengatakan bahwa jika seorang berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan salat, dan kalau kurang boleh mengqashar. Abu Hanifah ra berpendapat, jika berniat mukim lima belas hari, harus mencukupkan dan kalau kurang boleh mengqashar. Ini juga merupakan pendapat al-Laits bin Sa'ad dan menurut riwayat, juga dianut oleh tiga orang sahabat, yaitu Umar, Abdullah bin Umar dan Ibnu Abbas. Sa'id Ibnul Musayyib mengatakan jika seorang bermukim selama empat hari, hendaklah ia mencukupkan salatnya empat raka'at. Tetapi ada juga riwayat yang mengatakan bahwa pendapat Ibnul Musayyib ini sama seperti Mazhab Abu Hanifah. Menurut Ali bin Abi Thalib ra jika bermukim sepuluh hari, harus mencukupkan. Ini ada juga yang meriwayatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas. Dalam pada itu Hasan mengatakan bahwa boleh terus mengqashar selama seseorang belum kembali ke tempatnya semula, sementara Aisyah berkata bahwa dibolehkan selama belum lagi meletakkan perbekalan dan wadahnya. Tetapi para imam yang berempat ra bersepakat bahwa kalau bermukimnya seseorang itu karena ada sesuatu keperluan yang harus diselesaikan dan selama menunggu itu ia mengatakan: "Saya akan pulang hari ini atau esok," maka selama itu ia boleh tetap mengqashar. Hanya dalam salah satu pendapat Imam Syafi'i, bahwa kalau keadaannya seperti demikian, maka dibolehkannya mengqashar itu terbatas tujuh belas atau delapan belas hari, dan jika lebih dari itu, maka harus mencukupkan. Dalam hal ini Ibnul Mundzir mengatakan dalam satu penyelidikannya, bahwa para ahli telah ijma' bahwa seorang musafir itu dibolehkan tetap mengqashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di sana, walaupun bermukimnya itu berlangsung selama waktu bertahun-tahun.

Salat Sunah dalam Perjalanan

Jumhur ulama berpendapat bahwa mengerjakan salat sunah, bagi orang yang boleh mengqashar karena bepergian itu tidaklah makruh sekali-kali baik berupa sunnah rawatib maupun lainnya.

Dalam riwayat Bukhori dan Muslim diceritakan: "Bahwa Rasulullah saw mandi di rumah Ummu Hani sewaktu Mekah dibebaskan, lalu salat delapan raka'at."

Dan dari Abdillah bin Umar diriwayatkan: "Bahwa Nabi saw salat di atas punggung kendaraannya menghadap ke arah yang ditujunya dengan memberi isyarat dengan kepalanya."

Berkata Hasan: "Para sahabat Nabi saw juga salat sunah dalam bepergian, baik sebelum atau sesudah salat fardhu." Tetapi Ibnu Umar dll berpendapat bahwa salat sunah sewaktu bepergian, baik sebelum atau sesudah salat fardhu itu tidak disyareatkan, kecuali salat ditengah malam. Bahkan sewaktu pada suatu hari dilihat Ibnu Umar ada orang yang sholat sunah setelah salat fardhu dalam perjalanan, maka katanya: "Seandainya saya hendak salat sunah, tentulah saya akan mencukupkan salat fardhuku --tidak mengqashar-- Hai sahabat, saya sering mengiringkan Rasulullah saw dan saya lihat tak pernah beliau melakukan lebih dari dua raka'at sampai wafatnya. Saya juga mengiringkan Abu Bakar, maka salatnya juga tidak berlebih dari dua raka'at. Demikian halnya Umar dan Utsman. Lalu dibacakanlah ayat yang artinya: "Sesungguhnya dalam perilaku Rasulullah saw itu , contoh sebaik-baiknya bagi kamu." (Riwayat Bukhori).

Kedua maksud hadits di atas, yakni apa yang diriwayatkan oleh Hasan dan yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dikompromikan oleh Ibnu Qudama, bahwa hadits Hasan menunjukan tak ada salahnya bila dilakukan, sedang hadits Ibnu Umar tak ada salahnya pula bila ditinggalkan.

Sumber: Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq

Untuk saran, tanggapan dan kritikan kirimkan ke: