Bicara soal profesi distributor multi level marketing (MLM) di Indonesia,
tak bisa lepas dari nama Alex I.W. Sosoknya tampak menonjol di antara sekian banyak distributor sukses lainnya. Penyandang peringkat Crown
Agency Manager (tertinggi di CNI) ini telah meraih semua fasilitas yang ditawarkan perusahaan sejak Oktober 1999. Termasuk beberapa mobil dan
rumah mewah yang kini dihuninya bersama Rini, sang istri bersama ketiga
buah hati mereka, Intan (10), Menik (9), dan Ryan (8).
Penghasilannya? Alex enggan mengungkapkannya. Namun, seperti dilansir sebuah tabloid ibukota, pendapatannya pada tahun 2000 tercatat
Rp 1,3 miliar. Yang menarik, meski kerap dihormati bak seorang raja oleh para mitra usahanya, ia benar-benar mempraktekkan ilmu padi. Makin berisi,
makin rendah hati.
Menekuni bisnis ini sejak 1986, awalnya Alex belum punya gambaran jelas tentang MLM sehingga sempat vakum tiga tahun. Ia memilih bekerja sebagai
karyawan kontrak di perusahaan Caltex, Riau. Dirinya baru tergugah setelah bertemu Xaverius Naibaho di Medan, melihat bukti nyata bahwa
bisnis ini bisa diandalkan sebagai pegangan hidup. "Ini semua jalan Tuhan," tutur pria yang sempat menjadi dosen di Universitas Trisakti ini.
Kiatnya dalam menjalankan bisnis MLM sederhana sekali. "Bisnis MLM sama dengan investasi, jadi kita harus berprinsip memberi dulu baru menerima.
Beri dulu saja. Nggak usah pikir macam-macam. Karena memang risiko bisnis ini relatif kecil," jelas Alex, yang lahir 2 September 1961. Dengan prinsip tersebut, ia mengembangkan jaringan hari demi hari. Tidak ada beban, sebab semua itu diangapnya sebagai hobi. Hasilnya luar biasa!
Jaringan distributor yang ia miliki kini berjumlah 500 ribu orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Alex juga mengaku sudah "pensiun" sejak lama. "Kalau pensiun itu tidak terikat waktu, tidak memikirkan faktor keuangan, dan memanfaatkan waktu
untuk hobi, saya sudah dari dulu-dulu pensiun," tandas pria yang gemar baca koran ini. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana ceritanya sampai Anda nyemplung di bisnis MLM?
Tahun 1986 saya diajak kakak saya, Philips Wirayadi, hanya karena ia kepingin adiknya punya kerjaan. Saat itu saya akan menikah dan masih
mahasiswa tingkat akhir. Seperti distributor pada umumnya, mula-mula saya nggak ada gambaran mengenai MLM. Kondisi waktu itu lebih buruk daripada
sekarang. Oleh sebab itu saya sempat tiga tahun tidak aktif. Saya baru aktif lagi akhir 1989. Setelah melihat bukti pada diri Xaverius Naibaho
(Ayah dari Anjuando F. Naibaho - red) barulah hati saya tergerak. Memang pengertian bahwa di MLM perlu evidence (bukti) itu betul. Tapi setelah itulah baru saya mengerti bahwa ternyata itu bukan segala-galanya. Kenapa? Saya waktu itu nggak punya apa-apa, nggak ada yang bisa saya buktikan, tapi akhirnya bisa juga berhasil.
Selama tidak aktif, apa pekerjaan Anda?
Karena bapak dan kakak-kakak saya semua pegawai, saya juga pingin jadi pegawai. Saya kerja sebagai pegawai kontrak di Caltex dari 1987 sampai
awal 1989. Obsesi saya jadi pegawai tetap di sana. Walau sudah berdoa dan kerja mati-matian, ternyata nggak diterima. Saya marah betul pada diri
sendiri, lingkungan, dan Tuhan. Sebab cita-cita saya, lulus kuliah diterima di perusahaan multinasional. Terbayang kalau kerja di Caltex,
walau memang dari bawah, saya bisa meraih jenjang yang tinggi. Meski bukan berasal dari keluarga kaya, saya tidak pernah membayangkan
jadi kere atau jadi orang melarat. Walaupun saya sekolah jalan kaki dan bajunya sobek-sobek, tapi nggak merasa jadi orang susah tuh. Barangkali
dasarnya di situ. Melihat diri sendiri.
Sekarang senior-senior di Caltex yang umurnya 40-an rame-rame masuk CNI. Ada yang sampai berhenti sama sekali, ambil pensiun muda. Coba, kalau
saya jadi karyawan di sana. Skenarionya pasti lain sekali. Itu semua jalan Tuhan.
Selain materi, apa sih yang Anda dapatkan dari MLM?
Banyak sekali. Yang pertama adalah pembentukan pribadi saya, karakter saya. Jujur, saya masuk ke CNI sebagai orang yang negatiflah. Dan melalui
proses waktu, saya mengalami perubahan cara berpikir, kemudian karakter saya berubah hingga saya seperti hari ini. Karakter itu 'kan terus
mengalami perkembangan.
Dalam buku Business School, Robert T. Kiyosaki mengatakan, MLM adalah pelatihan bisnis dan pengembangan kepribadian terbaik di dunia. Bisa
dijelaskan dari pengalaman Anda?
Jelas saya sangat setuju dengan pendapat itu. Coba bayangkan ya, mereka yang masuk ke MLM adalah orang-orang yang tidak punya latar belakang
bisnis sama sekali. Jangankan bisnis, jual satu biji kancing saja belum pernah. Tapi di CNI, tiba-tiba bisa jadi seorang investor. Dia lari sana,
lari sini, susah payah membangun jaringan. Hancur, bangun lagi. Dia maintain terus. Proses kan? Nah, siapa yang gagal adalah orang yang tidak
bisa terima perubahan fisik dari seorang employee menjadi self employee, menjadi pengusaha, bahkan menjadi investor. Dia nggak bisa terima perubahan itu. Padahal kalau kita bicara tentang MLM yang benar, rasanya
sulit ada orang yang begitu bergabung langsung sukses.
Apa sih yang diajarkan dalam pelatihan di jaringan Anda?
Saya setuju dengan Pak Agung (Agung Handaya, mitranya -red), kami lebih banyak ke arah sikap mental. Kalau produk, apanya yang mau diterangkan
lagi sih? Rancangan pengembangan usaha, sudah kami buat sehingga sangat sederhana. Jadi kami lebih banyak ke sikap mental. Itulah sebabnya, bagi
kami di CNI adalah suatu kesempatan untuk berbuat sesuatu. Yang sudah diakui oleh Ibu megawati baru-baru ini bahwa attitude (sikap), bukan hanya dari bangsa tapi juga pengusaha, harus diubah. Pendidikan di
Indonesia juga harus diubah. Sayangnya itu sudah sangat terlambat. Tetapi lebih baiklah daripada tidak sama sekali.
Anda dulu pernah jadi dosen, para leader yang sukses di MLM juga banyak yang tadinya dosen atau guru. Apa memang ada korelasi yang kuat antara
keduanya? Korelasi selalu ada, tetapi tidak menentukan bahwa seorang dosen itu punya peluang jauh lebih besar daripada yang bukan. Karena banyak juga
dosen-dosen yang lebih senior, gagal tuh. Korelasinya, seorang dosen minimal sudah terbiasa presentasi. Tapi massanya berbeda. Tekanan
psikologis berbicara dengan mahasiswa dan masyarakat umum itu beda jauh. Kalau mahasiswa mau nggak mau harus dengar, sedang massa umum boleh dong nggak dengar. Ini semuanya terpulang kepada manusianya.
Menurut saya, ada dua alasan timbulnya gejala makin banyak dosen atau guru yang sukses di MLM. Pertama, karena yang bergabung guru atau dosen,
pasti yang pertama-tama diajak adalah rekan seprofesi mereka, ya toh? Karena berpikir yang paling sederhana adalah mencari di lingkungan
terdekat. Kalau yang rame bergabung tukang parkir, yang ditarik juga tukang parkir. Kedua, karena kebetulan saja saya seorang guru dan dosen,
orang yang dengar lalu mengkopinya. Dia cari guru, cari dosen. Jadi saya tidak melihat korelasi yang sangat kuat antara kesuksesan di MLM dan
profesi dosen.
Profesi distributor MLM sering dipandang sebelah mata. Lantas apa yang mereka lakukan untuk mengurangi pandangan yang kurang bersahabat ini?
Menurut saya, itu malah bagus. Kalau dipandang dua belah mata, nggak ada kerjaan kita. Ha... ha... Tugas kita adalah memelekkan orang yang
memandang sebelah mata tadi. Jadi ada kerjaan. Bagaimana caranya? Bukan hanya sekadar menunjukkan bukti, tapi mengajak mereka untuk membuka
pikiran. Kalau cuma lewat evidence, maka yang repot adalah perusahaan MLM kecil karena belum ada buktinya. Itulah mengapa kadang ada perusahaan
MLM yang evidence-nya diada-adakan. Menurut saya, kok kurang tepat. Bukan hanya itu caranya.
Kira-kira kapan pensiun dari MLM?
Sudah dari dulu-dulu. Pengertian pensiun itu apa sih? Kalau pensiun itu misalnya tidak terikat waktu, saya juga tidak terikat waktu. Kalau tidak
memikirkan faktor keuangan, saya sudah lama tidak memikirkan itu. Kalau pensiun itu adalah memanfaatkan waktu untuk hobi, saya dari dulu
melakukan itu sebagai suatu hobi. Jadi saya sudah lama pensiun.
Kalau pensiun dalam arti tidak lagi berkecimpung di MLM untuk berbuat sesuatu yang lebih luas lagi?
Kalau maksud Anda, misalnya ikut tim relawan banjir, terus terang nggak. Tapi kalau yang dimaksud adalah pokoknya berbuat sesuatu untuk orang
lain, masyarakat umum, tanpa memikirkan imbalannya; menurut saya, itu sudah saya lakukan di CNI. Laporan penghasilan saya per bulan, sudah
berbulan-bulan tidak saya ambil. Kalau ditegur supaya diambil, baru saya ambil. Habis diambil, nggak dibuka-buka.
Saya tidak munafik, saya menerima penghasilan. Tapi buat saya itu bukan yang utama. Dari dulu juga sebenarnya bukan itu. Tapi saya percaya
prinsip dalam bisnis ini, di mana siapa yang melakukan investasi suatu hari apa yang dia tanam akan berbuah. Jadi saya sekarang tanam terus.
Dalam pengertian bukan sebagai seorang petani, menanam untuk dijual. Pokoknya saya tanam. Ada hasilnya atau nggak, tanam saja.
Di luar negeri, leader-leadernya benar-benar pensiun sama sekali...
Itu 'kan karena kita terbayang oleh buku-buku MLM dari luar negeri. Mereka pesiar di kapal layar, tinggal di villa di daerah pegunungan. Saya
kira, kita mengambil satu cermin yang keliru. Buat mereka, mungkin pensiun memang seperti itu. Nggak usah di MLM, di pekerjaan biasa juga
mereka begitu. Saya sering ketemu bule-bule di luar negeri. Gaya hidup mereka memang demikian.
Nah, istilah pensiun bagi saya tidak seperti itu. Barangkali kalau saya sudah uzur sekali, sekitar 65 tahun ke atas, mungkin juga kayak begitu.
Tapi kalau di awal 40-an berbuat seperti itu? Menurut saya itu orang gila. Itu bisa saya lakukan kalau saya mau. Tapi saya tidak mau.
Kenapa?
Itu yang saya katakan tadi. Pengertian MLM seperti di Barat itu kurang tepat dengan budaya yang ada di Indonesia. Mungkin latar belakangnya ya.
Gaya hidup, budaya dan kondisi negaranya juga beda. Yang bergabung di CNI bukan orang yang punya pilihan banyak. Saya ketemu kawan, dia dari
kalangan menengah. Pertama kali dengar istilah ini, saya terkejut juga. Dan kemudian saya suka pakai istilah ini.
Dia suka berkata, "Pak Alex, ini kan bukan urusan mati dan hidup?" Hari ini dia sudah gagal tuh. Bagi saya, CNI adalah urusan mati dan hidup.
Mati dalam konotasi bukan secara fisik, tapi mati harapannya. Karena yang bergabung di MLM ini rata-rata adalah orang yang nggak mati ya hidup, nggak hidup ya mati. Mereka tidak punya banyak pilihan dalam hidupnya. Nah, sekarang kita punya banyak saudara-saudara seperti itu. Anda tega
nggak ninggalin? Kalau saya sih nggak tega.
Kalau saya sekarang apa sih capeknya di usaha ini? Nggak ada capeknya kok. Kasih training di luar kota itu saya anggap jalan-jalan. Kadang saya
bawa istri saya atau bawa anak saya. Jadi kembali ke pengertian pensiun yang menurut saya kurang tepat. Pola pikir saya nggak begitu. Saya inves
di sini. Yang namanya investasi suatu hari keluar hasilnya. Dan sampai sekarang saya inves terus. Pengusaha yang benar itu justru nggak usah
terlalu bagaimana... ya investasi saja.
Artinya pensiun Anda lain dari kebanyakan orang?
Iya. Orang membayangkan pensiun itu pergi ke kebun, motong- motong pohon, berhari-hari melakukan hobi tersebut. Hobi saya sekarang membangun
karakter dan sikap mental orang. Jadi kalau ada orang gemar merawat tanaman, saya juga begitu. Tapi yang dirawat itu manusia, bukan pohon.
Dalam hidup, kadang orang terlalu banyak mesti begini, mesti begitu. Kadang itu membuat mereka kena sendiri dalam pikirannya lho. Mesti
istirahat, mesti relaksasi. Kalau kita lihat ceramah-ceramah tentang kesehatan dan lifestyle, kan memang demikian. Untunglah saya tidak begitu
terpengaruh. Saya biasa saja. Buat saya begini saja sudah relaksasi. Tidak ada stres.
Jadi konsep hidup Anda mengalir seperti air?
Barangkali, kalau mau dikonsep-konsepkan... ha ha ha. Orang suka bicara konsep, 'kan? Pokoknya easy going-lah. Jalan saja gitu. Nanti di tengah-tengah jalan, baru kita lihat.
Bagi Anda, menolong orang lain bisa diartikan sebagai bagian dari
menikmati hidup?
Betul. Saya sudah tidak bisa menarik diri dari bisnis ini. Karena setiap saat saya terbayang mengenai orang-orang yang sudah berjuang bersama
saya. Dan itu jumlahnya ratusan ribu manusia. Saya nggak bisa enjoy menikmati makanan, begitu teringat hal itu.
Dulu Anda pernah bilang, akan mengurangi aktivitas bila omzet jaringan sudah mencapai Rp1 triliun. Apa ini bisa diartikan pensiun?
No, no. Itu sekadar kompensasi untuk mengatur penjadwalan sedemikian rupa sehingga waktu untuk keluarga lebih banyak. Hanya itu saja. Kalau
pensiun, dari dulu saya sudah pensiun. Saya ada di Jakarta, tapi saya nggak ke Cideng tuh, nggak kasih training. Di rumah saja, kadang begitu.
Kalau ditanya, apa yang Anda lakukan sekarang untuk bangsa ini?
Kalau dulu mungkin proses ya. Kalau sekarang, menurut saya lho, saya bisa berperan memberi harapan hidup. Dengan harapan itulah orang bisa berjuang
kan?
Apa makna MLM bagi Anda pribadi?
Bagi pribadi saya, MLM adalah sarana untuk mengeluarkan potensi. Sebelumnya saya sadari potensi saya hanya sekian. Setelah masuk di CNI,
seiring dengan waktu, makin lama saya sadari potensi saya tak terbatas juga. Hanya Tuhan yang tahu batasnya.
Sementara ditinjau dari bisnis, MLM saya katakan bukan bisnis. Di atasnya bisnislah. Kalau menurut Kiyosaki, kita jadi investor. Saya ambil contoh
begini, mungkin satu-satunya orang yang punya jaringan paling banyak di seluruh Indonesia adalah saya. Tahun 1991 saya mulai buka daerah yang
jauh, di Makassar. Untungnya belum tentu datang. Tapi sekarang, dari jalur Makassar setiap bulan menghasilkan omzet bagi saya kira-kira Rp 2,5 miliar.
Jaringan Anda sekarang berapa?
Total jaringan saya sekitar 500 ribu orang.
Pengalaman paling berkesan di MLM?
Saya menjumpai begitu banyak orang yang boleh disebut tidak tahu lagi apa yang mesti dia kerjakan, selain bertahan hidup.
Akhirnya mereka menemukan usaha CNI. Yang lebih berkesan lagi, saya melihat bagaimana orang seperti
itu berjuang mengentaskan dirinya dari kesulitan hidup, kesulitan keuangan, kesulitan dicerca orang-orang di sekelilingnya. Mereka berjuang habis-habisan. Saya bisa melihat bagaimana semua teori mengenai pengembangan SDM, pengembangan kepribadian, itu muncul di lapangan.
Segala yang diseminarkan, segala yang ditrainingkan, dengan mata kepala sendiri saya lihat di lapangan. Itu yang sangat mengesankan.
Apa sih prinsip Anda dalam menjalankan MLM?
Saya kira sederhana sekali. Dalam investasi di mana pun, kita harus berprinsip memberi dulu baru menerima. Beri dulu saja. Nggak usah pikir
macam-macam. Karena memang dalam bisnis ini risikonya relatif kecil. Bisa dihitung berapa sih risikonya dari segi uang. Di MLM nggak perlu sampai
gadein rumah untuk dapat pinjaman bank. Jadi nggak usah mikir terlalu panjang.
Punya kiat khusus?
Saya kira sejak 15 tahun yang lalu sampai sekarang mengalami perubahan. Cuma satu saja yang tidak berubah, yaitu bahwa saya tidak berpikir dulu
dapat hasil besar. Pokoknya saya nikmati saja, saya enjoy, saya fight, berjuang untuk hidup. Di situlah kelebihan MLM dibanding bisnis
konvensional. Di konvensional terlalu banyak faktor "x", sementara di MLM sederhana saja. Produk: ada yang beli, ada yang tidak mau. Ajak orang:
ada yang mau gabung, ada yang tidak mau. Sudah bergabung: ada yang mau serius, ada yang tidak mau serius.
Visi ke depan?
Visi saya ke depan ingin suatu hari pemerintah kita bisa melihat peranan MLM, khususnya CNI, di tengah-tengah pembangunan keagamaan. Tapi itu
entah kapan...
Bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis MLM di Indonesia dewasa ini?
Wah, luar biasa. Sekarang perkembangannya sudah jauh lebih baik dibanding 10 atau 15 tahun lalu. Sudah lebih banyak orang yang terbuka matanya,
walaupun yang tertutup matanya masih lebih banyak lagi. Tapi sudah jauh, jauh lebih baik. Paling tidak sudah ada Izin Usaha Penjualan Berjenjang
(IUPB) dari Deperindag.
Tapi praktek-praktek MLM gadungan masih juga jalan...
Hal itu tidak bisa dihindarkan sepanjang masih ada manusia yang mau short cut. Mereka lihat kesuksesan itu kayak komputer, ada icon yang tinggal
klik, langsung terbuka semua. Dan walaupun nanti ada UU Anti Money Game atau UU Pemasaran Berjenjang, hal seperti itu tetap ada.
Sekarang Anda baca di koran. Orang yang sudah kena money game ditanya sama wartawan,
bagaimana kalau nanti ada perusahaan seperti ini lagi. "Wah, saya ikut lagi." Ini 'kan sudah bicara attitude. Ada orang yang punya attitude untuk buka perusahaan money game, ada yang punya attitude memanfaatkannya. Sejoli. Jadi diatur kayak apa pun juga, paling
hanya mengurangi. Dihapuskan tidak bisa. Kita harus terima itu sebagai suatu kenyataan. Di Malaysia yang sudah punya UU mengenai MLM, masih
banyak terjadi juga. Apalagi negara seperti Indonesia, yang katanya peraturan dibuat untuk dilanggar. Tapi nggak jadi masalah, itulah tugas
kita, makanya saya masih di sini.
[dikutip dari majalah berwirausaha]